Mencapai pelataran rumah Sekar, termangu di bawah pohon kersen yang berbuah lebat, ranum-ranum kemerahan, mengapa yang kutemui malah wajah pucat perempuan itu? Ia tinggal di lingkungan rumah-rumah tua, yang kebanyakan belum lagi dipugar, dengan Eyang Putri, Ibu, dan adik perempuannya. Rupanya perempuan berumur tiga puluhan itu tak pernah menghiraukan datangnya siang dan malam. Dia melukis hingga larut, dan setelah itu tidur sepanjang siang. Aku datang sore hari, yang kukira dia dalam keadaan rapi sehabis mandi. Tapi perempuan itu, sungguh mengejutkan, baru saja bangun tidur. Belum makan. Belum minum. Terlihat letih. Acak-acakan. Tubuhnya rapuh. Tatapannya menerawang ke kehidupan yang jauh, menembus labirin buram, tabir waktu yang telah diluruhkannya.
“Kamu mau membeli lukisanku?” tanya Sekar sinis, seperti tak memerlukan kehadiranku. “Tampaknya kau begitu yakin, aku akan melepaskan lukisan itu.”
“Aku masih berharap kau mau melepas lukisan itu.”
“Tak akan kulepas, kecuali aku mati.”
Tertawa, memandangi Sekar yang lunglai, aku meredakan hasratku menaklukkannya. Kutawarkan padanya untuk makan di sebuah restoran. Dia menolak. Kutawarkan padanya untuk berjalan-jalan. Dia menggeleng. Diambilnya sebatang rokokku. Dan berseru ke warung sebelah untuk mengantarkan dua botol minuman.
“Lukisan itu terlalu pribadi. Tak kan dijual. Berkisah tentang keluargaku sendiri,” kata Sekar. “Seumur hidup aku hanya menemukan Eyang Putri, Ibu, diriku, dan seorang adik perempuan. Tanpa lelaki di rumahku.”
“Lalu kenapa keempat perempuan itu berada dalam perut babi?”
“Kamu sudah tahu, siapa babi itu.”
Siapakah yang dimaksud babi dalam lukisan itu. Ayahnya? Lelaki brengsek yang telah merusak kehidupan keluarganya? Dia selalu tertawa sinis bila aku bertanya, siapakah yang dimaksud dengan babi dalam lukisan itu. Tapi sebenarnya aku tak perlu bertanya, siapakah yang dimaksud babi dalam lukisan itu. Lukisan itulah yang memancarkan sapuan kuasnya. Sapuan kuasnya tak bimbang, tak setengah hati. Garis-garis lukisannya cepat dan mendalam.
Sekar meninggalkanku. Dia muncul dengan tubuh yang segar, berdandan rapi, dan berucap ringan. “Aku mau pergi.” Aku merasa terusir. Ada juga rupanya seorang perempuan yang begitu saja menelantarkan tamu yang sedang asyik duduk di teras rumahnya, sambil memandangi daun-daun karena luruh di pelataran. Kuajak dia pergi bersama dengan mobilku. Dia menolak. Membayar dua minuman botol ke warung sebelah. Melangkah menyusuri gang. Kuserukan lagi agar dia turut dengan mobilku. Tapi, lagi-lagi, dia menolak.
Dengan begitu saja Sekar meninggalkanku di bawah pohon kersen. Seorang diri ia menyusuri lorong gang sempit menuju jalan raya. Aku masih belum ingin beranjak dari bawah pohon kersen. Teringat masa kecil, di rumah Eyang Kakung, bergelayutan memetik buah-buah kersen ranum, mengulumnya dalam mulut. Eyang Kakung dulu selalu mengumpatku dengan kasar, bila mendapatiku meninggalkan pekerjaan, dan memanjat pohon kersen. “Dasar, babi tengik!”
Aku tak paham, kenapa aku ditelantarkan Ayah. Ibu menitipkanku pada Eyang Kakung, yang selalu menyuruhku menyapu pelataran, mengepel lantai, menimba air sumur memenuhi bak mandi, mencuci pakaian dan piring. Cucu-cucu lain, yang datang dari keluarga kaya, dibiarkan bersenda gurau, mengotori lantai, menghabiskan air di bak mandi, dan menumpuk piring-piring kotor. Akulah, yang dipanggil babi tengik, yang mesti membersihkan segalanya. Di bawah pohon kersen depan rumah Eyang Kakung itulah aku berayun-ayun menghibur diri, merenung, kenapa diperlakukan buruk dan diumpat sebagai babi tengik.
Aku tak pernah mengadu pada Ibu, bila selalu mendapat umpatan babi tengik. Aku menampakkan kegembiraan, bila Ibu menengokku di rumah Eyang Kakung. Dan ketika di galeri lukis, beberapa hari yang lalu, aku tercengang menatap lukisan empat perempuan dalam perut babi. Terpukau. Aku teringat Eyang Kakung, yang selalu memanggilku babi tengik. Ketika beliau meninggal, ketika cucu-cucu lain menangis, aku tak bisa menangis. Seekor babi tengik macam aku, tak pantas menangisi kematian manusia yang dimuliakan anak cucunya. Aku juga selalu menolak berdoa di sisi makamnya. Doa babi tengik, mana mungkin terkabul?
Lukisan Sekar telah menggetarkan dadaku. Aku jadi ingin selalu melihatnya. Ketika lukisan itu ingin kubeli, Sekar tak pernah merelakannya. Aku memburunya dalam beberapa pameran, hingga ke rumah Sekar. Tapi aneh. Ia kukuh dalam pendirian: tak mau melepas lukisan itu. Kalau tak diperkenankan membeli lukisan itu, aku ingin melihatnya.
Dan di rumah besar yang didiami Sekar, terdapat Eyang Putri, Ibu, adik perempuan Sekar, yang kesemuanya bergerak lamban. Eyang Putri selalu memandangiku dengan lama, penuh perenungan, seperti ingin mendalamiku, ingin memahami perasaanku. Ibunya sedikit lebih terbuka. Tersenyum dan mengajakku berbincang-bindcang. “Kau teman Sekar?”
“Betul. Aku ingin membeli lukisannya.”
“Sekar tak kan melepas lukisan empat perempuan dalam perut babi. Kalau kau memang ingin membeli lukisannya, belilah yang lain.”
“Aku hanya ingin melihat lukisan itu!”
Dibawalah aku ke sanggar lukis Sekar. Sebuah ruang yang agak luas di ruang belakang. Berjajar lukisan, kanvas, dan sebuah lukisan yang tak jadi, yang ditinggalkannya begitu saja. Ia pergi, dan tak tahu kapan bakal kembali. Tapi memandangi lukisan empat perempuan dalam perut babi, aku mulai memahami sepi yang merasuki suasana hatinya. Aku memahami betapa ia terhina. Apakah itu lantaran ulah ayahnya sepertiku? Ia tak pernah menyebut-nyebut ayah dalam hidupnya. Berkali-kali ia berbicang denganku, tetapi tidak pernah benar-benar menyingkap endapan perasaannya. Ia sungguh lebih parah dariku. Mungkin ia menanggung penghinaan yang lebih keji dariku. Ia tak memiliki apa pun, kecuali melukis.
Kutunggui Sekar melukis. Aku diperkenankannya menunggui ia melukis malam itu. Berkali-kali aku memohon untuk dibiarkan menungguinya melukis. Dia memang memperkenankannya. Dia akan melukis. Ia banyak merokok, menenggak anggur merah, dan beberapa waktu merenung. Hampir tak berkata-kata. Berdiam diri. Aku tak disapanya sama sekali, kecuali dibiarkannya terkesima. Dia sempat berkata lirih, “Kuizinkan kau untuk memiliki lukisanku ini.”
Dan mulailah Sekar melukis. Mula-mula pelan, sangat pelan, tipis, dengan guratan-guratan samar. Lambat laun ia bergerak lebih cepat. Lebih capat lagi, tegas, dan goresannya meluapkan perasaan-perasaan yang tak terduga. Sesekali ia menenggak anggur merah itu. Langsung dikulum dari mulut botol. Merokok. Melukis lagi. Membiarkanku terdiam. Memandanginya. Tirai gerimis dan desau angin merapuhkan malam. Ibu Sekar, perempuan setengah baya yang menyisakan gurat wajah keningratannya, menyuguhkan dua cangkir kopi mengepul dan goreng pisang hangat.
Lewat tengah malam baru aku tahu, Sekar melukis seekor babi dengan tiga perempuan dalam perutnya. Dan seorang perempuan membebaskan diri dari perut babi itu. Bersayap lembut. Meronta. Tersenyum. Terbang meninggalkan ketiga perempuan yang meringkuk dalam perut babi.
Aku tertidur. Bergelung di atas karpet merah. Gelisah. Sesekali terbangun. Menatap Sekar masih melukis. Tubuhnya melemah. Tapi terus saja ia melukis. Tak berhenti. Aku tertidur lagi. Merasakan angin pagi yang dingin, sepi, dan gugus waktu yang luruh. Tercium harum buah-buah kersen ranum. Aneh. Tidur yang sungguh aneh. Aku mencium aroma buah-buah kersen ranum yang terkelupas kulit luarnya. Menyengat, segar, dan manis.
Sebuah tangan mengguncang tubuhku. Ibu Sekar membangunkanku. Aku tergeragap. Kabur. Samar. Bergoyang karena kantuk. Tubuh Sekar terbujur di bawah kanvas berlukiskan tiga perempuan bergelung dalam perut babi, dan seorang perempuan yang lain, bersayap, membebaskan diri.
“Sekar sudah meninggal,” kata ibu Sekar, parau, tersekap dingin pagi. Ia memintaku mengangkat tubuh Sekar ke meja. Menata tubuhnya. Ia cantik, pucat, dan menampakkan segurat senyum. Kecantikan yang ikhlas. Kecantikan yang tak lagi menampakkan gurat dendam. Langit disepuh hangat fajar yang rekah, pelan, dan merebakkan aroma buah-buah kersen ranum yang terserak di pelataran rumah. Tetangga-tetangga berdatangan. Memandangi jasad Sekar. Memandangi lukisan yang hampir selesai: tiga perempuan di dalam perut babi dan seorang perempuan bersayap yang meninggalkan perut babi itu.
Pemakaman di bukit itu hampir-hampir tanpa pelayat. Sekar madi dalam kesepian. Aku menungguinya. Seperti tersihir, aku tertidur. Kini saat dia dimakamkan, hanya terhitung beberapa orang yang hadir. Selain Eyang Putri, Ibu, adik perempuan Sekar dan aku, beberapa teman dekat perempuan itu—dapat dihitung dengan jari tangan—menaburkan bunga di atas pusaranya.
Datang seorang lelaki tampan, berambut putih, mendaki makam. Diiringi dua orang ajudan yang berjalan tegap di belakangnya. Semua orang memandanginya. Dia tampak bimbang. Lelaki itu—seorang pejabat negara—datang dengan penampilan penuh harga diri. Enggan mendekat ke arah gundukan makam. Ibu Sekar yang bergegas menyambut. Menyalaminya. Dalam rindu dan duka yang tertahan. Tak memeluk lelaki tampan berambut putih itu. Ia menawarkan sekeranjang kembang untuk ditaburkan. Tapi ditolak. Ia menawarkan kendi berisi air agar dikucurkan di atas makam Sekar, sambil berbisik, “Ini yang terakhir, agar dia tenteram.”
Bimbang sesaat, lelaki tampan dengan dagu terangkat—yang terkesan congkak itu—menggenggam leher kendi. Mengucurkan air kendi di atas makam Sekar. Aku berpikir, inikah babi yang dimaksud Sekar? Betapa tampan, ningrat, dan mengambil jarak dengan siapa pun yang hadir dalam pemakaman.
Turun dari makam, aku kehilangan selera memiliki lukisan yang diselesaikan Sekar hingga menjemput ajal. Aku tak tega memilikinya. Sekar memendam luka maha dalam. Ia telah mempertaruhkan hidupnya saat menyelesaikan lukisan itu. Aku tak segera pulang. Kembali ke rumah duka. Duduk di bawah pohon kersen. Tercium aroma buah- buah kersen ranum, harum, dan terserak di pelataran rumah tua.
Pandana Merdeka, November 19, 2006
Tulis komentar baru