Cinta Terus Bersemi

Jemariku menyelipkan sekuntum bunga di sela rambutnya yang lebat. Kerling bening matanya seperti telaga, memantulkan wajah langit. Aku menunduk tidak menatapnya. Dia hanya tersenyum lalu beranjak menyusuri pasir pantai. Ombak pantai menenggelamkan mata kakinya. Aku tidak berani mendekat, tapi isyarat gemulai langkahnya yang memainkan pasir pantai membuat aku berjalan ke arahnya seolah tak terasa.

Di atas pasir, langkahku ringan, melayang. Aku hendak meraih jemarinya, dia mengelak dengan manis dan penuh manja. Entah,,, tiba-tiba kmai berjalan berdampingan menyusuri pasir pantai. Tidak bercakap, semua kata dan kalimat seperti sirna di bawa hanyut ombak ke tengah samodra. Dan senja sudah melirik di ujung bukit. Aku ingin bergegas pulang dan  mengemas seluruh asmara senja hari.

Diamnya menegaskan keyakinanku, sesungguhnya dia telah memastikan bahwa cinta akan terus bersemi. Nyanyian rindu sat malam mendekap kami mengabarkan benih asmara. Sepercik rasa sakit dan sepotong rindu yang tiba-tiba mencul sesaat sebelum tidur menutup kami adalah getar asmara. Esok pagi saat matahari terbit kita akan taburkan asmara di pelataran kami.

Bolehkah aku bertanya? dia diam tidak menjawab. Bolehkah aku menyentuhmu? Dia diam tidak menjawab. Bolehkah aku mencubitmu, dan sekali lagi dia diam sejuta bahasa. Dia diam dan membisu seperti arca. Namun tatap bening matanya sesunggunya adalah percakapan yang tiada henti. Dan aku menikmati saja, menyimpan senyum masing-masing.

Walaupun tidak ada kata dan kalimat, namun sudah sepuluh tahun ini kami menyaksikan musim datang silih berganti. Kami menyaksikan wajah-wajah keriput dan pohon kelapa di potong. Diding rumah sudah beberapa kali berganti warna catnya. Kami menyaksikan cinta kami bersemi diantara perubahan-perubahan yang hinggap di pelupuk mata, rasa, pikiran dan batin kami. Cinta kami bersemi dalam goa.

(Tulungagung, 28 Juli 2012)