aku masih selalu merasa asing, meski sudah
terbiasa menatap jendela, dan ternanap lama menyaksikan
kemiskinan di luar sana. anak-anak kecil berjari mungil
berusaha memandikan hujan. memberanikan diri
menghadapi nasib yang membawanya raib.
tersesat di antara sesak impian dan kecemasan.
tanpa menyadari, bahwa mereka sedang perlahan-lahan
meruntuhkan masa depan. gedung-gedung yang
kelak mencumbu masa lalu dari mereka.
pernahkah kau bayangkan, betapa aku harus
merelakan isak-tangis berguguran
seperti daun-daun kering di musim kemarau yang asing.
sementara di balik meja, di sebuah ruangan megah
dengan fasilitas serba mewah, orang-orang
tengah belajar membaca kehidupan
hanya untuk melupakannya saat itu juga.
bahkan sebuah rancangan baru telah diajukan,
untuk dirayakan dengan bergelas-gelas kebohongan.
—sebuah kegilaan yang bahkan
memikirkannya pun, sudah sangat memilukan.
bagiku, yang sehari-hari hanya memiliki puisi,
hal-hal seperti itu semakin menambah kesedihan
untuk tetes demi tetes kutuangkan
ke dalam bejana yang dipenuhi air mata.
sekali lagi, aku masih selalu merasa asing,
menyaksikan kesedihan memenuhi
lanskap yang kukenal. anak-anak kecil berjari mungil,
telah berhenti memikirkan cita-cita yang mustahil.
mereka pasrah. barangkali juga menyerah.
dan aku merasa harus mencatat lengkap semua itu
untuk suatu saat dimakamkan, di sebidang tanah
tempat orang-orang khidmat berziarah.
dan kelak kita akan tahu, apakah air mata
atau justru tawa, yang bergegas lepas dari mereka.
Bogor.April.2011
Komentar
Tulis komentar baru