FIKSIONALISASI FAKTA: MASALAH TEORITIS PUISI ESAI
Oleh: Jamal D. Rahman
Senin, 07 Januari 2013 07:34
PUISI ESAI AHMAD GAUS
Saya mengenal Ahmad Gaus sebagai intelektual dan aktivis yang banyak menyuarakan isu-isu pluralisme dan inklusivisme Islam, di samping tentang politik dan kebudayaan. Dia telah menulis dan menyunting sejumlah buku seputar isu-itu tersebut. Salah satu karyanya yang cukup penting adalah Api Islam Nurcholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner (2010),[1] yang merupakan biografi dan pemikiran Nurcholish Madjid, salah seorang tokoh neo-modernis Islam Indonesia terkemuka. Sudah tentu Ahmad Gaus adalah intelektual yang pemikirannya mengikuti dan sejalan dengan neo-modernisme Islam Indonesia. Maka ketika kini Gaus datang dengan sebuah buku puisi, dengan segera kita menduga bahwa puisi-puisinya pun mengusung gagasan-gagasan yang telah digelutinya selama ini. Tapi mengapa puisi? Apakah puisi di tangannya akan menjadi kaki dan tangan melalui mana gagasan dan obsesi intelektualnya diharapkan sampai kepada khalayak sasaran dan khalayak andaiannya? Jika puisi lebih merupakan kaki dan tangan, dan bukan Puisi —dengan P besar— itu sendiri, untuk menyampaikan gagasan apakah gerangan Gaus berpuisi?
Meskipun Ahmad Gaus adalah akivis dan intelektual yang bergelut dengan isu-isu pluralisme dan inklusivisme Islam, perlu ditekankan lebih dahulu di sini bahwa bagaimanapun puisi bukan hal asing baginya. Dia adalah dosen bahasa, sastra, dan kebudayaan Indonesia di Swiss-German University, Serpong, Banten, yang sebagian materinya adalah puisi Indonesia. Dengan demikian, puisi bukan sekadar minat dan kesenangan pribadinya. Mengapresiasi dan mengajarkan puisi merupakan salah satu tugas yang dijalankannya selama ini sebagai seorang dosen sastra. Dia bahkan mendorong dan membimbing mahasiswanya menulis puisi, dan telah menerbitkan antologi puisi mereka. Di samping itu, dia sendiri telah menulis sejumlah pantun —bentuk puisi tradisional Melayu-Nusantara itu— yang merupakan satir sosial tentang haji. Pantun-pantunnya dibukukan dengan judul Haji Gonjang-ganjing (2011)[2] —betapapun sebagiannya lebih merupakan syair ketimbang pantun. Maka, jika kini dia sendiri menulis puisi, itu berarti dia bergerak selangkah lagi: dari mengapresiasi ke mengkreasi puisi. Tidak bisa tidak, mencipta puisi selalu diawali dari mengapresiasi puisi. Tak ada kreasi tanpa apresiasi. Sekali lagi, untuk menyampaikan gagasan apa dan dengan cara bagaimana Gaus berpuisi?
MENYAMBUT PUISI ESAI
Ahmad Gaus datang dengan lima buah puisi yang bukan puisi liris sebagaimana lazim dalam perpuisian Indonesia modern. Ia juga tidak datang dengan bentuk puisi klasik Nusantara (syair, pantun, gurindam, ikat-ikatan, dan sebagainya). Ia datang dengan sebuah buku kumpulan puisi esai berjudul Kutunggu Kamu di Cisadane (Jakarta: Komodo Books, 2012). Puisi esai adalah konsep baru dalam perpuisian Indonesia dan memiliki sejumlah kriteria teknis yang dapat dikatakan “baku”. Maka, sebelum membicarakan puisi esai Ahmad Gaus, adalah penting untuk pertama-tama memahami konsep puisi esai tersebut, mengingat puisi esai merupakan bentuk baru dan belum banyak dikenal di Indonesia.
Puisi esai digagas oleh Denny JA, seorang ilmuwan sosial yang dikenal luas terutama dengan survei-survei politiknya. Untuk itu dia menerbitkan buku puisi esai berjudul Atas Nama Cinta (2012).[3] Berisi 5 puisi panjang, buku tersebut merupakan hasil sekaligus contoh puisi esai yang lahir dari pergulatan intelektualnya sebagai seorang ilmuwan dan seorang aktivis. Sebagai ilmuwan sosial, esais, dan kolumnis, Denny merasa medium-medium “lama” (esai, kolom, karya ilmiah) tidak memadai lagi untuk mengungkapkan gagasan, perhatian, dan kepeduliannya atas fakta dan fenomena sosial. Dalam pada itu, puisi yang umum dipahami orang tidak memuaskannya pula, sebab puisi sulit dipahami atau diapresiasi oleh khalayak luas. Tapi bagaimanapun, puisi dipandangnya sebagai bentuk karya yang bisa menyentuh dan menggugah perasaan orang. Atas dasar itu, Denny mencari medium baru yang pas untuk mengemukakan gagasan-gagasannya. Baginya, puisi esai adalah medium baru yang dipandangnya tepat untuk itu. Denny telah merumuskan kriteria puisi esai yang digagasnya, yakni:
Pertama, ia mengeksplor sisi batin, psikologi dan sisi human interest pelaku. Kedua, ia dituangkan dalam larik dan bahasa yang diikhtiarkan puitik dan mudah dipahami. Ketiga, ia tak hanya memotret pengalaman batin individu tapi juga konteks fakta sosialnya. Kehadiran catatan kaki dalam karangan menjadi sentral. Keempat, ia diupayakan tak hanya menyentuh hati pembaca/pemirsa, tapi juga dicoba menyajikan data dan fakta sosial.[4]
Dengan kriteria tersebut, kiranya apa yang dimaksud dengan puisi esai cukup jelas. Yaitu puisi yang mengemukakan sisi batin seorang tokoh (atau lebih) dalam larik-larik yang puitis, dan secara langsung mengaitkannya dengan konteks, data, dan fakta sosial lewat catatan kaki. Dengan demikian, puisi esai adalah fiksi dalam larik-larik puisi, yang secara sadar ditautkan langsung dengan fakta sosial.
Kalau Atas Nama Cinta adalah puisi esai, maka ada satu hal lagi yang penting namun tak disebutkan dalam kriteria, yaitu cerita. Seluruh puisi dalam Atas Nama Cinta merupakan puisi naratif, yakni puisi yang mengisahkan (beberapa) tokoh lengkap dengan alur, latar, konflik, klimaks, dan selesaian yang sejauh mungkin diusahakan menyentuh, menggugah, dan atau mengejutkan. Tentu saja ia adalah puisi, bukan prosa atau cerita pendek, karena secara formal ia ditulis dalam susunan larik. Dengan demikian, puisi esai sesungguhnya merupakan puisi naratif, yang sudah kita kenal dalam puisi Melayu-Indonesia, baik klasik maupun modern. Hanya saja, Denny menekankan arti penting catatan kaki dalam puisi esainya. Denny menulis, “Karangan (puisi esai) itu ditulis dalam bentuk puisi kisah cinta, namun dipenuhi catatan kaki tentang fakta. Ini sebuah eksperimen yang menjembatani fiksi dan fakta. Detail kisahnya fiksi. Tapi kenyataan sosial dari isu itu fakta.” Begitu pentingnya catatan kaki, sehingga Denny mengatakan pula, “Kehadiran catatan kaki dalam karangan (puisi esai itu) menjadi sentral.”
Akhirnya, yang membedakan puisi esai dengan puisi naratif atau balada yang sudah kita kenal, secara formal, adalah catatan kaki, yang berisi rujukan, tambahan informasi atau keterangan tentang fenomena, data, dan fakta sosial. Dalam arti itulah catatan kaki —yang mutlak dalam puisi esai— berfungsi menjembatani fiksi (dalam puisi esai) dengan fakta (yang mungkin diacunya, dan disampaikan lewat catatan kaki). Kita tidak akan mendiskusikan seberapa penting catatan kaki dalam puisi, sebab catatan kaki merupakan unsur penting dalam konsep puisi esai. Di sini kita hanya harus menerimanya, dan melihat sisi positifnya. Mungkin saja (sebagian) kita menganggap catatan kaki itu tidak penting, atau malah menganggapnya mengganggu dan membatasi asosiasi-asosiasi faktual yang mungkin dibangkitkan oleh fiksi dalam puisi esai itu sendiri. Kalaupun catatan kaki tidak berguna apalagi mengganggu, pembaca toh bisa mengabaikannya. Tapi catatan kaki yang menyajikan fakta setidaknya telah membuka satu kemungkinan tentang fakta yang mungkin diacu oleh fiksi —tanpa menutup kemungkinan-kemungkinan lain.
Tentu saja puisi esai bukanlah hal yang sama sekali baru dalam puisi Indonesia —sebab memang tak ada yang benar-benar baru di bawah bintang dan matahari. Tapi bagaimanapun, gagasan puisi esai pada hemat saya bukan saja menarik, namun juga penting, antara lain dan terutama dalam kerangka pentingnya menghidupkan puisi naratif di tengah begitu kuatnya pengaruh puisi imajis dan puisi liris dalam puisi kita sejak beberapa dekade terakhir. Juga dalam konteks perlunya membawa puisi ke tengah gelanggang masalah-masalah sosial kita dan sebaliknya.[5] Dengan demikian, gagasan puisi esai layak disambut sebagai sebuah percobaan dalam puisi kita. Dan Ahmad Gaus menyambut gagasan tersebut dengan menulis puisi-puisi naratif, tentu saja lengkap dengan catatan kaki. Kelima puisi esainya dalam buku ini merupakan puisi yang mengisahkan tokoh-tokoh dengan persoalan mereka masing-masing (masalah pendidikan, arti kesederhanaan, ketegangan dalam hubungan Islam-Nasrani, ketegangan dalam pembaharuan Islam, dan cinta tak sampai karena perbedaan etnis). Semua dikisahkan dari sudut pandang pencerita (orang ketiga, diaan). Karena naratif, sebagaimana juga puisi esai Denny JA, maka puisi esai Gaus panjang-panjang.
SEBAB GAUS SEORANG INTELEKTUAL
Membaca kelima puisi esai Gaus, yang segera tampak adalah penekanan penulisnya pada gagasan yang ingin disampaikan tinimbang pada cara penyampaian gagasan tersebut dalam puisi. Isi puisi lebih penting dari puisi itu sendiri. Gaus jelas bergulat dengan masalah-masalah krusial dan problematis seputar tema yang menjadi perhatiannya, dan tidak bergulat dengan cara penyajiannya dalam puisi. Peralatan puitik paling minimal pun —misalnya rima, metrum, asonansi, aliterasi— tak dimanfaatkannya dalam mengemukakan berbagai gagasan yang secara substansial menarik, penting, dan strategis, sehingga kita tidak mendengar nada musikal dalam puisi esainya. Kemampuan teknisnya memainkan rima dan metrum sebagaimana terlihat pada pantun-pantunnya, tak terlihat di sini. Demikian pun metafor tidak dieksplorasi sebagai alat penting untuk mengemukakan dimensi-dimensi emotif gagasan yang sesungguhnya sarat dengan aspek emosional itu. Dirumuskan dengan cara lain, puisi esai Gaus bukanlah arena tempat sang penulis bergulat dan bemain-main dengan bahasa, melainkan tempat sekaligus alat menyampaikan beberapa gagasan, gagasan mana sesungguhnya cenderung normatif dan diskursif. Pun sebagai cerita, pilihan-pilihan cara berceritanya nyaris tak memberikan efek yang mengejutkan. Alur mundur yang digunakan, misalnya, tidak dimanfaatkan untuk menunda kisah yang mungkin jadi kejutan atau menguak misteri yang ingin diketahui pembaca.
Pada hemat saya, semua itu menjelaskan bahwa Gaus memang seorang intelektual yang lebih banyak bergulat dengan gagasan dan masalah sosial-keagamaan. Bagi seorang intelektual, bagaimanapun gagasan lebih penting tinimbang estetika dalam menyampaikan gagasan itu sendiri. Estetika hanya boleh diambil sejauh tidak mengaburkan gagasan yang ingin disampaikan. Atau, gagasan tak boleh dikaburkan oleh ambisi terhadap estetika “tinggi” yang memang cenderung memaksimalkan polisemi dan ambivalensi. Dalam arti itu, Gaus seakan menyadari tentang bahaya polisemi dan ambivalensi bahasa puisi dalam mengemukakan gagasan dan kepeduliannya pada masalah-masalah yang menjadi perhatiannya. Maka, puisi esai Gaus mengusung gagasan yang jelas dan tegas: menggunakan metode baru dalam pendidikan bisa mengandung risiko serius, tapi bagaimanapun tetap mesti dijalankan (“Bu Guru Jangan Pergi!”); alangkah mulia seorang intelektual dengan pemikiran terbuka dan tetap hidup sederhana meskipun telah jadi menteri (“Sufi Jadi Menteri”); alangkah keliru menganggap seorang pembaharu Islam sebagai budak kuffar (“Budak Kuffar”), dan seterusnya dan seterusnya.
Tapi bagaimanapun, kita tidak bisa mengabaikan arti puisi esai Gaus dalam konteks puisi Indonesia hari ini. Pertama-tama sudah jelas ia meramaikan puisi kita yang sepi puisi naratif sejak tiga dekade terakhir. Sudah cukup lama puisi kita sepi dari cerita —dengan (sejumlah) tokoh dan masalah serius yang dihadapinya, lengkap dengan alur, konflik, dan lain sebagainya. Jika kita berbicara puisi hari ini, maka itu berarti kita berbicara tentang puisi liris, imajis, dan sejenisnya. Cerita sudah lama hilang dalam puisi kita. Dalam konteks itu, puisi esai sesungguhnya menyambung kembali satu corak yang sudah ada dalam puisi lama (syair Melayu) dan puisi Indonesia modern (balada), namun tampak terputus dalam puisi kita hari ini. Ia menjaga kesinambungan cerita dalam syair dan puisi, dengan sejumlah perubahan baik menyangkut isi, gaya, maupun sumbernya. Lebih dari itu, ia mengingatkan kembali tentang pentingnya cerita dalam puisi sebagai cara mengemukakan suatu gagasan, bahwa cerita tak hanya bisa dikemukakan lewat prosa (cerita pendek, novelet, atau novel), melainkan juga lewat puisi.
Sebagaimana kita tahu, cerita (fiksi) merupakan unsur penting dalam syair Melayu-Indonesia. Banyak contoh dapat dikemukakan. Bahkan syair yang mengambil tema diskursif pun, tak lepas dari cerita (fiksi). Cukuplah di sini disebutkan satu contoh: Syair Siti Sianah karya Raja Ali Haji dari abad ke-19.[6] Karya pujangga asal pulau Penyengat, Kepulauan Riau, ini berisi pelajaran ilmu fiqih (dan akhlak), tentang tata cara wudu, shalat, puasa, dan seterusnya. Untuk menyampaikan pelajaran ilmu fiqih tersebut, Raja Ali Haji menggunakan fiksi. Alkisah, para perempuan dalam zawiyah —semacam majelis taklim sekarang— mendiskusikan tentang masalah ibadah, mulai wudu sampai haji. Karena tidak bisa menjawab seluruh pertanyaan, maka mereka sepakat mengundang seorang ustazah untuk menjawab sejumlah pertanyaan seputar ilmu fiqih. Maka berangkatlah utusan mereka mengundang dan menjemput Siti Sianah, sang ustazah. Melalui tokoh Siti Sianah inilah, pelajaran ilmu fiqih dan akhlak —terutama berkaitan dengan perempuan— disampaikan. Setelah pengajian selesai, suami Siti Sianah datang menjemput. “Paduka kakanda dibawa bertakhta,” tulis Raja Ali Haji melukiskan kedatangan suami itu. Dan, tulis sang pujangga pula, dia datang “berkuda putih semberani”. Kisah ini dilengkapi dengan adegan romantis antara Siti Sianah dan suaminya setiba mereka di rumah, dan mereka berdua saja. Perlu dicatat bahwa semua itu dikemukakan dalam syair (puisi).
Puisi Indonesia modern memutus cerita (fiksi) sebagai unsur penting dalam syair Melayu-Indonesia. Penyair-penyair Indonesia modern awal (dan sekarang) tidak meneruskan cerita (fiksi) dalam puisi mereka. Baru di tahun 1950-an Rendra menulis puisi balada, yang mengangkat kembali bentuk cerita dalam puisi secara meyakinkan.[7] Juga Ajip Rosidi,[8] Taufiq Ismail,[9] dan Linus Suryadi AG[10] —untuk menyebut beberapa nama. Tapi bagaimanapun, kecuali pada Rendra dan Linus, cerita (fiksi) tak pernah benar-benar penting dalam puisi Indonesia modern, sampai sekarang. Dalam konteks itulah, secara diakronis gagasan puisi esai mengingatkan kembali tentang arti penting cerita (fiksi) dalam puisi, sekaligus menjaga kesinambungannya hari ini. Dan, bersama Atas Nama Cinta Denny JA, secara sinkronik puisi esai Gaus seharusnya dipandang sebagai usaha menghidupkan kembali cerita (fiksi) dalam puisi kita hari ini dan di masa yang akan datang.
Telah dikatakan bahwa puisi esai secara sadar dan langsung menautkan fiksi dengan fakta. Dan dalam puisi esai, fakta dimaksud adalah fakta atau fenomena sosial. Maka puisi esai pada dasarnya adalah puisi sosial. Pada titik ini gagasan puisi esai mengandung arti penting lain lagi, yaitu membawa puisi ke tengah gelanggang masalah sosial, dan sebaliknya membawa masalah-masalah sosial ke jantung puisi. Puisi esai Gaus jelas mengangkat tema-tema sosial, berkaitan dengan masalah pendidikan, politik, ketegangan sosial baik inter maupun antaragama, serta diskriminasi etnis. Kiranya tak perlu dikemukakan lebih jauh soal arti penting membicarakan tema-tema besar tersebut: pada taraf apa pun, semua isu itu menuntut perhatian dan kepedulian kita, termasuk lewat puisi.
BEBERAPA MASALAH TEORITIS
Akhirnya kita sampai pada arti penting puisi esai Gaus pada aspek teoritis puisi esai itu sendiri. Bahkan pada hemat saya, pada titik inilah terletak sumbangan penting puisi esai Gaus, yaitu mengingatkan sekaligus menguji dasar-dasar teoritis konsep puisi esai yang tampak menyederhanakan hubungan fakta dan fiksi.[11] Telah dikatakan bahwa puisi esai adalah sebuah eksperimen menjembatani fakta (yang disampaikan dalam catatan kaki) dan fiksi (yang dikisahkan dalam puisi). Diktum itu memberi batas dimarkasi antara fakta dan fiksi, bahkan menempatkan keduanya sebagai oposisi satu sama lain. Tapi benarkah fakta semata-mata fakta, dan fiksi semata-mata fiksi? Puisi esai Gaus menunjukkan bahwa hubungan antara fakta dan fiksi ternyata begitu kompleks, sehingga sulit memberi garis dimarkasi yang tegas antara keduanya.
Karena puisi Gaus adalah puisi esai, maka harus diandaikan bahwa kisah dalam puisi itu sendiri adalah fiksi. Puisi esai sendiri adalah indikasi fiksional yang sangat jelas: sekali sebuah cerita dikemukakan dalam puisi esai maka ia adalah fiksi. Sama halnya sekali cerita dikemukakan lewat cerpen, maka ia adalah fiksi, betapapun cerita yang dikemukakan dalam cerpen tersebut merupakan fakta atau kisah nyata. Demikianlah maka puisi esai “Budak Kuffar” karya Gaus, misalnya, adalah kisah fiksional tentang tokoh pembaharu (neo-modernis) Islam yang pandangan-pandangannya berhasil mengubah pandangan seorang anak muda yang dulu turut mengecam sang pembaharu sebagai budak kuffar. Tapi barangsiapa mengenal sosok Nurcholish Madjid, ia akan tahu bahwa tokoh budak kuffar dalam puisi itu bukanlah tokoh fiktif, melainkan sosok Nurcholish Madjid yang terkenal kontroversial antara lain karena adagiumnya “Islam Yes, Partai Islam No”. Bahkan hampir semua detail cerita dalam puisi esai itu adalah kisah hidup Nurcholish Madjid dengan segala implikasi kontroversialnya:
...
Kiprah si Budak Kuffar masih malang melintang
Media massa menjulukinya Guru Bangsa
Ia berhasil membujuk Soeharto turun dari singgasana kekuasaan
Dengan solusi husnul khatimah
Tanpa pertumpahan darah.
Zuhri mengagumi si Budak Kuffar
...
Tapi ia kaget ketika si Budak Kuffar memuji-muji
Partai yang didirikan Gerakan Tarbiyah sebagai partai masa depan
Apakah dia sudah mencabut gagasannya
Islam yes, partai Islam no?
...
Demikian juga puisi esai “Sufi Jadi Menteri”, misalnya, adalah kisah fiksional tentang seorang anak muda asal Banjar, yang faham keagamaannya semula sangat konservatif dan puritan, namun kemudian jadi begitu terbuka, toleran, dan inklusif setelah belajar di Yogyakarta, dan kelak ia jadi menteri yang sederhana. Dalam puisi disebutkan bahwa anak muda itu bernama Affandi Al-Banjary, dan orang-orang memanggilnya Abu Dzar, lalu seterusnya ia dikisahkan sebagai Abu Dzar. Tapi barangsiapa mengenal sosok Djohan Effendi, ia segera tahu bahwa tokoh fiksional itu ternyata tidak fiktif, melainkan sosok konkret Djohan Effendi yang juga dikenal sebagai salah seorang tokoh pembaharu Islam. Bahkan hampir semua detail cerita dalam puisi esai itu adalah kisah hidup Djohan Effendi dengan segala kesederhanaannya:
..
Abu Dzar menyukai lukisan itu
Langitnya memantulkan permukaan bumi
Tapi semua kosong kecuali bayang-bayang
Dan penggembala itu membiarkan
Domba-dombanya bebas berlarian
Di padang rumput terbuka
....
Lalu di manakah batas fakta, di manakah batas fiksi? Puisi esai Gaus adalah fiksionalisasi fakta. Karenanya, ia menunjukkan bahwa dalam fiksi ada fakta, menunjukkan juga bahwa fakta bisa jadi fiksi, sehingga batas dimarkasi antara keduanya harus batal demi puisi esai Gaus itu sendiri. Sudah tentu kisah fiksional budak kuffar (dalam puisi “Budak Kuffar”) bertolak dari fakta tentang pengalaman dan kenyataan hidup Nurcholish Madjid, dan kisah fiksional Abu Dzar (dalam puisi “Sufi Jadi Menteri”) berangkat dari fakta tentang pengalaman hidup Djohan Effendi. Tetapi fakta tidak melulu fakta, dan fakta tidak selalu fakta. Bahkan, fakta bisa dengan mudah jadi fiksi, sehingga fakta dan fiksi berbaur satu sama lain. Fakta dan fiksi seakan saling berhubungan sendiri, meskipun catatan kaki sama sekali tidak menghubungkan keduanya. Jika dalam puisi esai Denny JA catatan kaki berfungsi menjembatani fakta dengan fiksi, dalam puisi esai Gaus catatan kaki tidak menjembatani fiksi dengan fakta yang benar-benar diacunya. Catatan kaki di situ hanya memberikan informasi tambahan dan konteks cerita, bukan fakta yang secara langsung diacu oleh fiksi yang diceritakan. Gaus menghubungkan dan bahkan membaurkan fakta dengan fiksi dengan caranya sendiri: menfiksionalisasi fakta.
Mudah diduga bahwa Gaus dengan sengaja menyembunyikan indikasi faktual yang sebenarnya paling jelas dalam puisi esainya, yaitu nama sang tokoh yang sebenarnya. Ini cara paling mudah untuk mengubah fakta jadi fiksi —tapi perlu ditegaskan bahwa dengan menyembunyikan atau menyamarkan nama tokoh faktual tidak dengan sendirinya mengubah fakta jadi fiksi, sebab hal itu tergantung pada indikasi-indikasi fiksional lainnya. Mudah diduga juga bahwa Gaus dengan sengaja pula tidak menfungsikan catatan kaki sebagai menjembatani fakta dengan fiksi dalam puisi esainya —sebagaimana dimaksudkan dalam konsep puisi esai Denny JA.
Kalau kita bandingkan dengan puisi esai Denny JA, perbedaan yang cukup mencolok dalam konteks hubungan fakta dan fiksi adalah ini: dalam puisi esai Denny, fiksi disampaikan dalam tubuh puisi, sedangkan fakta —yang mungkin diacunya atau merupakan konteksnya— disampaikan dalam catatan kaki; dalam puisi esai Gaus, fakta dan fiksi berbaur dalam tubuh puisi. Dalam puisi esai Denny, perbedaan atau batas antara fakta dan fiksi sedemikian jelasnya, bahkan nyaris dikontraskan; sementara dalam puisi esai Gaus, perbedaan atau batas antara fakta dan fiksi sedemikian tipisnya, bahkan nyaris ditiadakan.
Apa artinya itu? Di sini Gaus kembali pada jembatan yang mungkin dan tak mungkin dalam hubungan fakta dan fiksi, yaitu inferensi pembaca. Sekiranya pembaca memiliki inferensi tertentu, maka dengan inferensinya dia akan menghubungkan fiksi dengan fakta tertentu. Jika tidak memiliki inferensi apa pun, biarlah fakta yang telah diubah jadi fiksi diterima sebagai fiksi belaka, tanpa kemungkinan berhubungan dengan fakta tertentu. Biarlah fakta yang kini dikisahkan dalam puisi esai diterima sebagai teks fiksional. Sebab, fiksi tak kurang pentingnya dibanding fakta. Bahkan sampai batas tertentu, fiksi lebih penting tinimbang fakta.
Sampai di sini, Gaus membawa kita pada apa yang sangat penting dalam puisi, yaitu fiksi dan atau imajinasi. Selain bahasa, unsur penting dalam puisi adalah imajinasi, yang sebagiannya —sesuai dengan pembicaraan kita di sini— mewujud dalam fiksi. Dalam konteks fakta dan fiksi, yang primer dalam puisi (dan sastra pada umumnya) tentu saja adalah fiksi. Fakta dalam puisi bersifat sekunder. Fiksi tidak hanya mengacu pada konteks aktual dan partikular tertentu. Fiksi bisa melakukan rekontekstualisasi dengan fakta-fakta partikular yang berbeda-beda, sesuai dengan inferensi, pengalaman, dan moral yang hidup dalam horison harapan pembaca.
Maka, kalau Gaus membiarkan kisah-kisah fiksionalnya melulu dibaca sebagai fiksi, ia sebenarnya membuka kemungkinan-kemungkinan lain bagi rekontekstualisasi kisah-kisah fiksional itu dengan fakta-fakta partikular dan aktual yang mungkin diacunya. Mungkin saja pembaca yang dulu faham keislamannya sangat konservatif dan puritan namun kemudian menerima gagasan-gagasan inklusif dan plural neomodernisme Islam, misalnya, akan mengidentifikasi diri dengan tokoh anak muda dalam kisah fiksional puisi esai “Budak Kuffar”. Setelah membaca puisi tersebut, pembaca itu mungkin berkata, “Anak muda dalam puisi ini gue banget.” Di sini, puisi “Budak Kuffar” mengalami rekontekstualisasi dengan horison pengalaman partikular pembaca, yang sama sekali berbeda dengan fakta yang benar-benar diacunya.
Dalam arti itu, fakta tidak lagi diperlakukan sebagai fakta, melainkan sebagai fiksi. Fakta tidak lagi diterima sebagai apa yang sebenarnya dan sungguh-sungguh terjadi, melainkan diangkat ke tataran makna simboliknya, yaitu spirit yang mungkin diambil dari fakta itu sendiri. Dengan demikian, fakta tidak lagi penting sebagai fakta, yang penting kini adalah moral dan pesan substansialnya. Ahmad Gaus sebenarnya mengemukakan moral dan pesan substansial dari fakta-fakta partikular yang menarik perhatiannya, dan dengan caranya sendiri dia menjalankan tugas puisi esainya.
MENARIK MUNDUR PUISI ESAI
Tetapi inilah soalnya. Sekali lagi, dalam puisi (dan sastra pada umumnya), fiksi (dan atau imajinasi) adalah hal primer sedangkan fakta merupakan hal skunder. Maka dalam puisi, fiksi (imajinasi) harus hadir, sementara fakta boleh absen. Puisi tidak selalu menyebutkan fakta yang diacunya atau yang menjadi sumber inspirasinya. Sekali penyair menulis puisi atas dasar sebuah fakta, fakta akan diabaikannya. Fakta boleh absen begitu fiksi hadir dalam puisi, betapapun fakta tersebut merupakan sumber inspirasi fiksi itu sendiri atau konteks faktualnya.[12] Berbeda dengan itu, dalam puisi esai, fakta dan fiksi sama pentingnya, sehingga keduanya harus hadir secara bersama-sama: fiksi dalam tubuh puisi; fakta dalam catatan kaki. Puisi esai dengan demikian menggarisbawahi fakta yang seringkali diabaikan dalam puisi seraya tetap menggarisbawahi fiksi yang memang mendapat tempat istimewa dalam puisi pada umumnya. Dirumuskan dengan cara lain, kalau puisi lebih mengindahkan fiksi dan menomorduakan bahkan mengabaikan fakta, puisi esai mengindahkan keduanya secara bersamaan. Dan ini merupakan hal penting dalam puisi esai, yang membedakannya dengan puisi pada umumnya.
Dalam konteks itu, fiksionalisasi fakta yang dilakukan Gaus justru menarik “mundur” puisi esai kembali ke puisi. Puisi esai Gaus mengabsenkan indikasi-indikasi faktual paling jelas dari fakta yang dikisahkannya, terutama nama sang tokoh yang sebenarnya. Itu berarti Gaus mengabaikan atau bahkan mengabsenkan fakta dalam puisi esainya, demi menghadirkannya sebagai fiksi. Dengan demikian, puisi esai Gaus menempatkan fiksi sebagai hal primer dan, sebaliknya, menempatkan fakta sebagai hal skunder. Padahal, sebagaimana telah dikatakan, dalam puisi esai baik fakta maupun fiksi sama pentingnya, sama primernya, sehingga keduanya harus sama-sama dihadirkan dalam puisi esai itu sendiri. Dikatakan dengan cara lain, puisi esai Gaus sesungguhnya mengindahkan fiksi dan menomorduakan fakta, sementara puisi esai justru mengindahkan dan mengutamakan keduanya secara bersama-sama.
Tapi misalkan Gaus mengisahkan fakta sebagai fakta, dengan indikasi-indikasi faktual yang secara objektif mengacu pada nama dan kenyataan yang dialami tokoh-tokoh konkret dan historis itu, tanpa perlu inferensi apa pun dari pembaca, dapatkah ia disebut fiksi? Inilah persoalan krusial lain dari aspek teoritis puisi esai. Telah diuraikan bahwa di satu sisi Gaus menunjukkan problem dan kompleksitas batas dimarkasi antara fakta dan fiksi. Namun di sisi lain Gaus justru kembali pada apa yang dipersoalkannya atau dipertanyakannya: fakta tetaplah fakta; fiksi tetaplah fiksi; dan karenanya fakta tak mungkin dianggap fiksi. Karena puisi mengemukakan fiksi, maka dalam puisi fakta haruslah difiksionalisasi agar ia dianggap fiksi. Persoalan krusial dari aspek teoritis puisi esai di sini adalah: benar-benar tak bisakah fakta dianggap fiksi?
Pada hemat saya, misalkan Gaus mengisahkan fakta sebagai fakta tanpa menyamarkan atau menyembunyikan indikasi faktual apa pun, fakta atau cerita yang dikisahkan dalam puisi esainya tetaplah mungkin dianggap fiksi. Katakanlah dalam puisi “Budak Kuffar” disebutkan secara eksplisit bahwa nama tokoh di situ adalah Nurcholish Madjid, dan dalam puisi “Sufi Jadi Menteri” disebutkan secara eksplisit bahwa nama tokoh di situ adalah Djohan Effendi. Secara faktual, objektif, dan historis tokoh-tokoh tersebut adalah Nurcholish Madjid yang itu dan Djohan Effendi yang itu. Tapi secara pragmatik, pembaca memiliki subjektivitasnya sendiri tentang tokoh-tokoh yang dibacanya dalam puisi, sesuai dengan cakrawala harapan dan asumsinya sendiri pula. Dengan subjektivitasnya, pembaca bisa menganggap Nurcholish Madjid dalam puisi esai Gaus sebagai Nurcholish Madjid yang lain, bukan Nurcholish Madjid yang itu; Djohan Effendi yang lain, bukan Djohan Effendi yang itu. Di sini mungkin terjadi tarik-menarik atau ketegangan antara objektivitas fakta dan subjektivitas pembaca. Tapi justru ketegangan itulah yang memungkinkan pembaca bekerja dengan asumsi subjektifnya sendiri sehingga mengabaikan fakta objektif yang dikemukakan dalam puisi.
Lebih dari itu, sekali lagi misalkan Gaus mengisahkan fakta sebagai fakta tanpa menyamarkan atau menyembunyikan indikasi faktual apa pun, fakta atau cerita yang dikisahkan dalam puisi esainya bukan saja mungkin melainkan bahkan harus dianggap fiksi. Kenapa? Karena apakah fakta adalah fakta ataukah fakta adalah fiksi untuk sebagian ditentukan oleh medium yang digunakan dalam mengemukakan fakta itu sendiri. Jika fakta dikisahkan dalam laporan jurnalistik, misalnya, maka harus diandaikan bahwa ia adalah fakta. Jika fakta dikisahkan dalam puisi (dan karya sastra dalam pengertiannya yang khusus) maka harus diandaikan bahwa ia adalah fiksi. Demikianlah misalnya suatu kisah nyata yang dilaporkan oleh sebuah majalah berita akan jadi berita (fakta), dan ketika kisah yang sama dikisahkan dalam sebuah cerita pendek maka ia akan jadi cerita (fiksi). Karenanya, puisi esai Gaus, betapapun faktualnya kisah di dalamnya, tetaplah sebuah teks fiksional. Medium memiliki asumsi dasar dan tendensi khas, yang karenanya ia turut menentukan kapan fakta tetaplah fakta dan kapan fakta jadi fiksi. Asumsi dasar dan tendensi puisi adalah fiksi (imajinasi), sehingga cerita faktual dalam puisi harus dianggap fiksi. Dengan demikian, harus di sini merupakan konsekuensi logis belaka dari watak dasar puisi.
Demikianlah sepintas lalu saya telah menunjukkan kelemahan puisi esai Gaus, yang untuk sebagian dikarenakan Gaus tidak memanfaatkan kemampuan teknisnya dalam berpuisi sebagaimana ditunjukkannya dalam pantun-pantunnya —dengan rima dan metrum yang cukup rapi, dan dalam banyak hal amat jenaka sehingga terasa sebagai satir sosial yang tajam. Tetapi yang lebih penting, saya telah menunjukkan bahwa dengan segala kelemahannya bagaimanapun alumnus Pondok Pesantren Dar el-Qalam, Banten, ini memberikan sumbangan penting terutama pada gagasan puisi esai, khususnya pada aspek teoritisnya. Penyimpangan atau ketidaksetiaan puisi esai Gaus terhadap dasar-dasar teknis puisi esai, disadarinya atau tidak, telah menjadi batu uji bagi konsep dasar puisi esai itu sendiri. Arti penting puisi esai Gaus terutama terletak pada implikasi teoritis yang dirangsang dan ditimbulkannya, di samping pada tema-tema besar yang menjadi perhatian dan obsesi intelektualnya. Kiranya hal itu akan memperkuat batu-batu dasar bangunan puisi esai yang batu pertamanya belum lama diletakkan. Dan itu merupakan sumbangan pula bagi puisi Indonesia hari ini. Salam. []
Pondok Cabe, 10 Agustus 2012
DAFTAR PUSTAKA
Aart van Zoest, Fiksi dan Nonfiksi dalam Kajian Semiotik (Jakarta: Intermasa, 1980).
Abu Hassan Sham (editor), Puisi-puisi Raja Ali Haji (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1993).
Agus R. Sarjono, “Puisi Esai: Sebuah Kemungkinan Sebuah Tantangan” dalam Jurnal Sajak, No 3, 2012.
Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner (Jakarta: Kompas, 2010).
----------------, Haji Gonjang-Ganjing: Kesalehan, Bisnis, Gaya Hidup (Tangerang: Lotus Book, 2011).
Ajip Rosidi, “Jante Arkidam”, dalam http://ohkitu-ohkitu.blogspot.com/2010/11/jante-arkidam.html. Diakses Jum’at, 10 Agustus 2012.
Denny JA, Atas Nama Cinta (Jakarta: Renebook, 2012).
----------------, “Atas Nama Cinta: Isu Diskriminasi dalam Puisi Esai”, Pengantar pada Denny JA, Atas Nama Cinta (Jakarta: Renebook, 2012).
Ignas Kleden, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-esai Sastra dan Budaya (Jakarta: Grafiti, 2004).
Jamal D. Rahman, “Percobaan Seorang Ilmuwan Sosial” dalam Horison, Juli 2012.
Linus Suryadi AG, Pengakuan Pariyem (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, cetakan kelima).
Rendra, Balada Orang-orang Tercinta (Jakarta: Pustaka Jaya, 1957).
Taufiq Ismail, Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit (Jakarta: Horison, 2008).
----------------, Tirani dan Benteng (Jakarta: Yayasan Ananda, 1993).
[1]Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner (Jakarta: Kompas, 2010).
[2]Ahmad Gaus AF, Haji Gonjang-Ganjing: Kesalehan, Bisnis, Gaya Hidup (Tangerang: Lotus Book, 2011).
[3]Denny JA, Atas Nama Cinta (Jakarta: Renebook, 2012).
[4]Denny JA, “Atas Nama Cinta: Isu Diskriminasi dalam Puisi Esai”, Pengantar dalam Ibid., h. 11.
[5]Tentang arti penting gagasan puisi esai lihat Agus R. Sarjono, “Puisi Esai: Sebuah Kemungkinan Sebuah Tantangan” dalam Jurnal Sajak, No 3, 2012, dan Jamal D. Rahman, “Percobaan Seorang Ilmuwan Sosial” dalam Horison, Juli 2012.
[6]Lihat Abu Hassan Sham (editor), Puisi-puisi Raja Ali Haji (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1993), h. 401-402.
[7]Lihat terutama Rendra, Balada Orang-orang Tercinta (Jakarta: Pustaka Jaya, 1957).
[8]Misalnya puisi Ajip Rosidi “Jante Arkidam”. Puisi ini sering dibacakan dalam berbagai kesempatan oleh beberapa aktor atau pembaca puisi. Iman Soleh, aktor dari Bandung, barangkali adalah pembaca puisi tersebut yang paling berhasil dan memukau. Dia telah membacakan “Jante Arkidam” di hampir seluruh provinsi Indonesia, bahkan juga di kota-kota kabupaten. Antara lain itu sebabnya, puisi tersebut sangat terkenal, sehingga dapat ditemukan dengan mudah di berbagai alamat dunia maya, antara lain di sini (lengkap dengan foto-foto pembacaan puisi oleh Iman Soleh): http://ohkitu-ohkitu.blogspot.com/2010/11/jante-arkidam.html. Diakses Jum’at, 10 Agustus 2012.
[9]Misalnya puisi Taufiq Ismail “Pelajaran Tata Bahasa dan Mengarang” dalam Taufiq Ismail, Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit (Jakarta: Horison, 2008), h. 526.
[10]Lihat Linus Suryadi AG, Pengakuan Pariyem (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, cetakan kelima).
[11]Tentang batas-batas fakta dan fiksi, atau fiksi dan non-fiksi, lihat misalnya Aart van Zoest, Fiksi dan Nonfiksi dalam Kajian Semiotik (Jakarta: Intermasa, 1980), dan Ignas Kleden, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-esai Sastra dan Budaya (Jakarta: Grafiti, 2004), khususnya h. 405-456.
[12]Puisi “Karangan Bunga” karya Taufiq Ismail (dalam Taufiq Ismail, Tirani dan Benteng [Jakarta: Yayasan Ananda, 1993], h. 75) dapat dijadikan contoh. Berikut puisi tersebut:
Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
Sore itu
“Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami turut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati
Siang tadi.”
1966
Puisi “Karangan Bunga” di atas adalah fiksi tentang tiga anak kecil yang datang ke Salemba pada suatu sore, untuk menyampaikan karangan bunga dengan pita hitam di atasnya sebagai ucapan duka bagi kakak yang ditembak mati/ siang tadi. Puisi itu sendiri hanya mengemukakan kisah tiga anak kecil yang datang ke Salemba sebagai fiksi, tanpa menyertakan fakta sebagai konteks atau sumber inspirasi puisi itu sendiri. Tidak jelas siapa kakak yang ditembak mati/ siang tadi, tidak jelas pula kenapa ia ditembak. Tapi jelas, dengan inferensi, beberapa petunjuk, dan sebagaimana dikatakan sang penyair dalam berbagai kesempatan, puisi tersebut lahir dalam konteks tertembaknya Arief Rahman Hakim, mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dalam unjuk rasa mahasiswa menentang Orde Lama, 24 Februari 1966, di depan Istana Merdeka. Martir itu selanjutnya disemayamkan di kampus UI Salemba, dan dimakankan sehari kemudian selepas shalat Jum’at —di mana Nurcholish Madjid, yang ketika itu mahasiswa IAIN Jakarta, menyampaikan khatbah Jum’at. Namun fakta ini tidak dikemukakan dalam puisi Taufiq Ismail di atas, misalnya lewat catatan kaki. Dengan demikian, puisi tersebut menghadirkan fiksi dan mengabsenkan fakta yang diacunya atau sebagai konteks faktualnya: dalam puisi, sekali fiksi lahir dari fakta, fakta boleh diabaikan, sebab yang penting dalam puisi adalah fiksi (imajinasi).
Sumber: http://horisononline.or.id/esai/fiksionalisasi-fakta-masalah-teoritis-puisi-esai
Komentar
Tulis komentar baru