oanwutun
Saya adalah salah seorang mahasiswa pasca sarjana di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik, Ledelero.
Informasi Pengguna
OAN WUTUN
-
Karya Sastra:
PHANTASMAGORIA
oanwutun — Jumat, 3 Mei 2013 - 22:14 — 0 komentar 11 tahun 30 minggu yang lalu
-
Drama — Jumat, 3 Mei 2013 - 22:14
Tidak ada tulisan.
Tidak ada tulisan.
-
Karya Sastra — Jumat, 3 Mei 2013 - 22:14 — dibaca 859 kali
Jenis | Tulisan | Komentar | Pengunjung | ||
---|---|---|---|---|---|
oanwutun | Orang Lain | Total | Hari Ini | ||
Berita | |||||
Karya Sastra | 1 | 859 | 0 | ||
Wawasan | |||||
Bookmark | |||||
Dapur Sastra | |||||
JUMLAH | 1 | 0 | 0 | 859 | 0 |
Data sampai dengan Senin, 2 Desember 2024 - 06:32
Cerpen: RIP
RIP
Kau terbang menghampiriku.
“Sendiri?” tanyamu.
Aku menggelengkan kepala, tidak mau menjawab, maksudku. Tetapi sepertinya kau salah mengerti.
“Ooo. Di mana sahabat-sahabatmu?”
Sebenarnya kamu siapa? Untuk apa menanyakan sahabat-sahabatku? Pergilah. Aku ingin sendiri. Kutak ingin seorang pun mengganggu, tidak juga kau.
Aku mengangkat bahu sekedarnya hanya untuk menghargai pertanyaan dan kehadiranmu yang tak kuharapkan. Tapi, nampaknya kau masih salah mengerti.
“Mereka belum datang, ya?”
Tidak. Mereka telah pergi.
“Atau mereka pergi sebentar?”
Tidak seperti yang kau bayangkan. Kau tentu berpikir, baru beberapa saat yang lalu, sahabat-sahabatku ada bersamaku, lalu beberapa menit sebelum kau datang, mereka pergi meninggalkan aku. Mungkin ke ujung kampung, mungkin ke tengah kampung, mungkin ke toilet atau entah ke mana saja. Kau pikir mereka pergi sebentar saja untuk satu keperluan kecil dan akan segera kembali.
Maaf, aku tak sedang ingin menjawab pertanyaan-pertayaanmu.
Kuhela nafas dalam-dalam dan hembuskan sekaligus. Aku berharap dengan begitu engkau dapat mengerti kalau yang terjadi tak sesedarhana yang kau pikirkan.
“Ya,” katamu seraya menghembuskan nafas pula, “hari-hari terakhir ini memang sangat panas.”
Benar. Hari-hari terakhir ini memang sangat panas. Tetapi, lagi-lagi kau salah mengerti. Rupanya kau tak begitu pandai membaca bahasa tubuh. Tarikan dan hembusan nafasku tadi bukan karena panas yang menyengat ini.
“Aku sering memperhatikan kalian berkumpul di sini.”
“O ya?” Kau sering memperhatikan kami? “Terima Kasih.” Tapi, apa itu penting bagi kami?
“Sepertinya kalian begitu akrab.”
Sebenarnya lebih dari sekedar akrab, karib, dekat, erat, maupun....
Ya sudahlah, tak mengapa jika kau gambarkan hubungan kami seperti itu. Itu yang kau lihat. Meski memang berbeda dengan yang kami jalani. Tidak apa-apa.
“Apa kau sedang ada masalah?”
“Mmm? Tidak.”
Maaf sobat, aku sedang tidak ingin menceritakan padamu apa yang sebenarnya sedang kualami.
“Apa kau sedang bersedih?”
Lebih dari sedih sobat.
“Tidak.” Sebaiknya aku tidak jujur padamu. “Aku tidak sedang bersedih.”
“Ooo.”
Syukurlah jika kau percaya pada jawabanku. Aku tak perlu menjelaskan kepadamu mengapa aku bersedih. Aku pun tak mesti menceritakan kepadamu apa yang tejadi baru-baru ini.
“Ke mana sahabat-sahabatmu? Mereka belum juga kembali. Lama sekali mereka pergi?”
Tidak salah lagi. Kau telah salah mengerti. Kau kira sahabat-sahabatku pergi ke suatu tempat yang tak terlalu penting, untuk keperluan sepele. Kau pikir mereka pergi sebentar dan akan kembali lagi. Sekali lagi, kau salah.
“Apa mereka menyuruhmu menunggu di sini?”
Tidak pernah. Mereka tak meninggalkan secarik pesan pun.
“Tunggu saja. Mungkin mereka akan segera datang. Mungkin juga...,” mereka tak akan kembali.
“Apa kau tidak keberatan jika aku menemanimu menunggu sahabat-sahabatmu datang?”
Aku ingin sendiri tetapi.... “Terima kasih sobat. Aku senang bila engkau tulus ingin menemaniku.”
Jika ingin berkata jujur, aku sebenarnya ragu dengan niatmu. Sampai kapan kau akan bertahan bersamaku menunggu mereka?
“Maaf. Apa boleh kutanyakan sesuatu lagi padamu?”
“Tanyakan saja.” Aku pun ingin bertanya padamu sobat, apa kau wartawan? Sejak tadi kau hanya bertanya. “Jika aku dapat menjawab, akan kujawab.”
“Maafkan aku jika aku lancang. Apa kalian berlima datang dari tanah Timur Jauh? Aku bertanya demikian karena warna sayap kalian....”
“Kau benar sobat.” Sadarkah kau? Ini kali pertama kau berkata benar. “Kami datang dari tanah seberang, tanah Timur Jauh. Sayap kami hitam, jauh berbeda dengan punyamu.”
“Maukah kalian menerimaku sebagai sahabat?”
“Hahaha....” Menjadi sahabat? “Benarkah sobat?” Mestinya akulah yang bertanya demikian kepadamu, sebab diriku jauh dari sempurna. “Aku tentu sungguh bahagia bisa menjadi sahabatmu”
“Hahaha..., sudah kuduga, kalian begitu bersahabat.”
“Terima kasih.” Andai saja kejadian itu tak terjadi, tentu sahabatmu kini tak hanya diriku.
“Bagaimana jika sambil menunggu mereka pulang, aku pergi sebentar mencari sedikit makanan dan minuman. Kau tentu haus dan lapar. Aku akan bawakan pula untuk mereka berempat”
“Terima kasih, Sobat.”
Sobat, apa kau satu-satunya kumbang yang tak tahu apa yang terjadi beberapa hari lalu di kota ini? Tentang sekelompok manusia bertopeng yang lari berhamburan masuk gedung itu. Mereka membawa serta masing-masing sepucuk senjata api yang dapat meletus kapan saja, membunuh siapa saja.
Ketika itu, kami sedang menikmati angin sepoi. Kelompok manusia bertopeng itu lari berhamburan melintasi taman ini. Kami panik. Beberapa saat sebelum terdengar bunyi letusan senjata api dan pekik kemenangan di gedung itu, isi perut sahabat-sahabatku telah terburai keluar di taman ini. Sepatu kulit mereka sudah meremukkan tubuh empat sahabatku.
Sahabat-sahabatku telah pergi dan tak akan kembali. Kini, kau pergi pula. Semoga hanya sebentar. Aku di sini. Apa yang dapat kulakukan? Aku hanya bisa menunggu.
Kumbang-kumbang yang malang. RIP.