PERPADUAN WAYANG KULIT DAN WAYANG ORANG PADA CERITA RAMAYANA DAN MAHABARATA
Oleh: Hafash Giring Angin*
Di awal tahun 2013, tepat pukul 5 sore, masyarakat Desa Longos Kecamatan Lombang Kabupaten SumenepMadura tengah berkumpul dalam acara rokad (syukuran) salah satu putera Ki Samo yang baru lepas menikah. Kesibukan tampak sekali di setiap sudut dan bilik rumah; para ibu-ibu menyiapkan makanan dan minuman untuk para tetamu yang datang. Di luar halaman, sekelompok seniman grup Topeng Dalang “Sinar Kemala Paberresen” tengah mendirikan panggung ukuran 6x4 meter dilengkapi tirai dan sebeng yang menyekat sebelah kanan dan kiri. Seperangkat alat musik klenengan dan seperangkat gamelan turut dipersiapkan di depan panggung. Begitu juga sound system berukuran besar tidak luput menghiasi prosesi penting ruwatan ini.
Menjelang malam sekitar pukul 19.00, sehabis sholat isya’ para tamu undangan mulai berdatangan mengisi emperan tanean lanjheng di bawah terop dengan lampu sekedarnya. Musik gamelan pembuka mulai dibunyikan secara lirih oleh ke 20 pemusik dengan suara ritmis mengalun sebagai tanda undangan kepada masyarakat. Semua pemain laki-laki terdiri dari pemain profesional;menggabungkan petani, tukang, pedagang kecil, dan karyawan sekedar mencari tambahan nafkah, terutama pada musim kemarau.
Sementara di luar, penjual makanan dan minuman berjubel berderet mengisi petak persawahan kosong di bawah lembayung malam yang mulai redup. Masyarakat Desa Longos, tampak gembira menikmati suasana saat itu. Ketika para tetamu mulai mengisi saf-saf di depan panggung, tembang mulai mengalun. Keras. Dalang mulai bermonolog; menuturkan kisah serta melantunkan suaranya yang lantang dengan lagu dalam wiracerita Mahabharata dan Ramayana yang berkisah seputar konflik para Pandawa Lima dengan saudara sepupu mereka Korawa, mengenai sengketa hak pemerintahan tanah negara Astina. Puncaknya adalah perang Bharatayuddha di medan Kurusetra.
Petasan dan air mancur berbunyi dengan keras sebelum akhirnya layar terbuka dan lampu warna-warni melimpah dan menyorot ke berbagai apron panggung. Para penari mengguncang pangung dengan hentakan kaki dan gemirincing gunseng, giring-giring di sekeliling pergelangan kaki sehingga menimbulkan suasana magis. Pertunjukan Topeng Dalang itu dimulai pukul 21.00 dan berakhir pada sejitar pukul 05.00 keesokan paginya; sebagai sebuah ritual dan upacara pribadi untuk membayar hajat dan nazdar mereka.
SEJARAH MULA TOPENG
Pada awal sejarahnya, topeng dalam pertunjukan di Pulau Garam Madura, terutama masyarakat Madura bagian timur; menjadi benda upacara penting yang melambangkan roh-roh nenek moyang yang dipakai dalam upacara berupa tari-tarian dan drama sakral. Topeng artinya (tatopong–bahasa Madura, kedok (dalam bahasa jawa) tutup muka. Dalam istilah Madura, topeng ini disebut tokop. Menurut buku Ensiklopedy, topeng berasal dari urat kata ping, peng, pung yang artinya merapatkan sesuatu. Artinya melekat, nempel dan napel. Bisa juga diistilahkan tarian yang ditarikan oleh penari yang mengenakan tokop tutup muka atau topeng.
Topeng menjadi salah satu perlengkapan penting yang mempunyai karakter sendiri. Sesuai dengan sifatnya, topeng ini ada yang berwatak keras, halus, lembut dan lucu yang menggambarkan watak hitam putih sesuai dengan watak tokoh yang dimainkan. Ia mempunyai nilai tata rias wajah yang diartikan sebagai wujud karakter tokoh. Dalam sejarah awal, topeng dikatakan sebagai bentuk kesenian paling tua, karena sejak dahulu nenek moyang kita yang masih menganut ajaran Animisme dan Hinduisme menjadikan topeng sebagai media untuk berhubungan dengan alam ghaib, dengan para roh-roh nenek moyang dan dengan para penguasa alam lain untuk meminta bantuan yang dimaksudkan untuk mengusir roh-roh jahat yang mengganggu kehidupan mereka.
Topeng yang pertama kali digunakan oleh bangsa primitif entah untuk menyamar maupun melakukan magi simpati hanya kepala dan kulit binatang buas. Di balik topeng terletak dua bentuk kepercayaan primitif yang kita sebut animesme dan totemisme. Topeng memainkan peran penting untuk pemujaan arwah leluhur di mana drama pertama kali muncul yang bertujuan untuk memperasing tokoh cerita. Walau pun berbentuk statis dan tidak bergerak, namun wujudnya dapat menyampaikan suatu watak yang ekspresif.
Oleh karena itu, topeng dapat digunakan untuk mengganti peran yang dimainkan. Seorang pemain selalu memakai topeng yang lebih besar dari mukanya yang dimaksudkan untuk menekankan sebuah ekspresi dalam bentuk dan warna sesuai tokoh yang ditampilkan disesuaikan dengan watak tokoh. Helene Bouvier:2002;118) menyebutkan bahwa: topeng Madura lebih kecil dari pada topeng jawa. Tingginya dari 12 sampai 16 cm, dan lebarnya 15 sampai 21 cm. Selain itu, pada umumnya bentuk dan ukuran dari Topeng Madura lebih kecil, kecuali Semar. Hampir semua topeng Madura diukir pada bagian atas kepala dengan berbagai ragam hias. Ragam hias yang paling populer ialah hiasan bunga melati. Sedangkan tokoh-tokoh penguasa zalim, digunakan ragam hias badge, yaitu lambang yang dipakai para penguasa kolonial Belanda.
Bentuk-bentuk topeng yang dikembangkan di Madura, berbeda dengan topeng yang ada di Jawa, Sunda dan Bali. Topeng Madura yang dikenakan para pemain, terkesan cukup sederhana, bersahaya dan agak kaku ukirannya. Inilah salah satu hal yang membedakan dengan topeng Yogyakarta, Solo, Bali ataupun daerah Jawa lainnya. Karakteristik topeng Madura, diidentikkan dengan pembawaan dan karakter orang Madura yang terkenal keras, kaku tetapi polos dan jujur, seperti yang terlihat pada tokoh yang dimainkan seperti; Puteri: Dewi Sinta, Sumbodro,-Srikandi,-Arimbi,. Putera Halus: Yudistira, Suryodano, Nakulo, Sadewo, Putera Kasar: Bolodewo, Brotosono, Rahwono, Gatotkoco, Suterejo, Sangkuni. Putera Menengah: Krisna, Adipati Karno dan Arjuno. Begitu juga dengan judul, tema dan wiracerita yang ditampilkan seperti “Arjuna Kembhar, Romo Gandrung, Gatotkaca Palsu, Romo Penganten, pandhaba Lema, Kresna Toron, Sumbodro Tondhung, dan Prabu Dosomoko” atau tema-tema cerita Panji. Helene Beuvier (2002:118) menyebutkan bahwa Panji Jaeng Kusumo, adalah nama tokoh yang diangkat dalam pertunjukan mereka; disamping juga mengangkat banyak cerita yang dianggap kuno yang konon diturunkan dari leluhur dan disimpan didalam buku yang terbuat dari kulit kayu: seperti Polo Salaka (Pulau Perak), Polo Mas (Pulau Mas), Tase’ Beddhih (Lautan Pasir), Kole’ Besseh (Kulit Besi). Soedarsono:2011) menyebutkan bahwa topeng hadir antara lain dalam kultur Bali, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, termasuk Madura.
Sejak abad ke-14, ketika Gadjah Mada melebarkan sayap kekuasaan Majapahit ke seluruh Nusantara, Madura kian bersentuhan dengan Jawa. Tradisi Majapahit memiliki dramatari bernama Wayang Wong. Pengaruh Jawa hadir sejak masa Kerajaan Singasari. Hubungan itu makin lekat pada zaman Mataram Islam di Jawa Tengah. Dramatari Topeng tetap dilanjutkan oleh raja-raja Islam dan para wali. Topeng Dalang menjadi sarana menarik massa untuk kemudian para wali menanamkan ajaran. Pertunjukan itu dilestarikan raja-raja Mataram dan pengaruhnya sampai ke Madura yang pernah berada di bawah pengaruh Mataram.
PENGERTIAN TOPENG DALANG
Dikatakan Topeng Dalang, karena semua pemainnya menggunakan topeng (dalam bahasa madura: tokop), sesuai dengan peran yang dimainkan oleh pemain. Topeng yang dipakai oleh pemain tidak ada celah pada bagian mulut sehingga pemain tidak bisa berbicara sendiri, akan tetapi dialognya disuarakan oleh seorang dalang, kecuali tokoh Semar yang bisa berbicara sendiri, karena topengnya terdapat celah atau lubang dibagian mulut dan dagunya. Inilah sebabnya dinamakan Topeng Dalang, karena sebagian besar dialog disuarakan oleh dalang. Sebagaimana lazimnya, topeng ini terpasang berkat dua tali yang diselipkan ke belakang kepala. Sistem topeng cokotan Jawa, dengan pemain menggigit lidah kayu atau kulit yang ada di bagian dalam topeng.
Pada awal mulanya Topeng Dalang Madura adalah kesenian keraton, lahir di lingkungan keraton, dan menjadi kaum bangsawan dan elite tingkat atas. Menurut kisah para seniman Topeng Dalang Madura, baik dari Bangkalan, Sampang dan Pamekasan, kesenian Topeng Dalang ini berasal dari Keraton Jambringan (Jambringen) yang berada di kecamatan Proppo, Kabupaten Pamekasan yang diperintah oleh Raden Ario Menak Sanoyo atau juga dijuluki Pangeran Prabu Menak Sanoyo. Dalam sejarah tradisi lisan, disebutkan bahwa ada versi yang menceritakan kalau Raden Ario Menak Sanoyo ini anak dari Ario Damar yang menjadi bupati Palembang, sementara Ario Damar sendiri disebut-sebut putra dari Prabu Brawijaya V yang merupakan raja terakhir Majapahit. Disuatu malam Raden Ario Menak Sanoyo bermimpi didatangi Kakeknya yang berkata begini : “Nak, pergilah ke timur dan bila kau mendarat di sebuat pulau bernama Madura, carilah desa bernama Proppo. Desa itu yang akan jadi tempat kekuasaanmu.” Dia terbangun dan berhari-hari memikirkan mimpi tersebut. Akhirnya dia mengambil keputusan untuk menuruti wangsit yang didapatnya dari mimpi tersebut. Setelah memohon restu kepada Raden Ario Damar, Raden Ario Menak Sanoyo keluar dari keraton sendirian. Dia menuju pantai dan naik perahu yang telah disiapkan sebelumnya. Sesampainya di Pulau Madura, Raden Ario Menak Sanoyo melanjutkan perjalanannya ke desa yang disebut-sebut dalam mimpinya, yakni desa Proppo.
Setelah dia menetap di Proppo, masyarakat sekitar ternyata sangat senang dan hormat kepada Raden Ario Menak Sanoyo, dan oleh karenanya dia diangkat jadi kepala desa yang akhirnya menjadi raja di kerajaan Jambringen. Di Kerajaan Jambringen itulah, dia mengubah kesenian wayang kulit (bajang kole’ dalam bahasa Madura) menjadi Topeng Dalang Madura. Karena menurutnya perlu banyak orang yang terlibat dalam pertunjukan ini, dari pada sekedar wayang kulit yang hanya dimainkan seorang Dalang.
Mulanya, Topeng Dalang ini hanya dimainkan oleh kerabat keraton karena tujuannya untuk menghormati para tamu agung yang datang ke keraton Jambringen. Namun lambat laun, kesenian ini keluar dari pintu keraton dan menyebar hingga segala penjuru Pulau Madura. Lakon cerita dalam Topeng Dalang Madura ini intinya sama dengan wayang kulit, yakni lakon Mahabharata dan Ramayana. Di zaman dulu, hanya laki-laki yang boleh berpentas karena perempuan tidak diperkenankan menjadi pemain lakon dalam pertunjukan ini. Namun seiring dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat, maka akhirnya perempuan pun tampil dalam kesenian ini.
Seperti halnya ludruk dan Al-Badar (keduanya pertunjukan teater musikal tanpa topeng), Topeng Dalang merupakan bentuk teater rakyat yang paling populer di dataran pulau Madura. Karena ia sendiri pada mulanya adalah kesenian rakyat yang lahir di lingkungan keraton yang menyuguhkan berbagai kisah-kisah heroik kemanusiaan. Salah satu yang menjadi pembeda dari struktur pertunjukan lain adalah terletak pada gaya penuturan dan peragaannya yang diungkap lewat monolog ataupun nyanyian dari dalang dan beberapa pemain yang terlibat di dalamnya.
Dari gaya penuturan dan peragaannya, Topeng Dalang ini merupakan suatu jenis kesenian teater tradisional lokal yang termasuk dalam kelompok seni pedalangan. Dalam sejarah lisan disebutkan bahwa seni pedalangan sudah sangat tua menerobos dinding zaman berabad-abad lamanya. Begitu juga Topeng Dalang itu sendiri lebih tua dari pada kesenian pedalangan itu sendiri. Helene Beuvier:(2002;121), menyebutkan bahwa Topeng Dalang keraton dimasukkan ke Madura oleh Adipati Wiraraja, seorang pengeran dari kerajaan Hindu Singasari di Jawa Timur, yang dikirim ke Sumenep oleh Raja Kertanegara di sekitar tahun 1270.
Topeng Madura yang masih ada hingga saat ini banyak mengambil bentuk figur dari tokoh-tokoh pewayangan. Hal itu dikarenakan secara historis Kerajaan Madura memiliki hubungan yang mesra dengan kerajaan Majapahit dan Singosari. Jadi tak dapat dipungkiri bahwa Topeng Dalang di pulau Madura ini merupakan kelanjutan dari Teater Topeng di kedua kerajaan Jawa Timur tersebut. Namun dalam perkembangannya, Topeng Madura menempuh jalan sendiri, lebih-lebih ketika agama Islam mulai masuk ke pulau Madura. Unsur-unsur cerita yang dipentaskan, banyak menyelipkan penjabaran nilai-nilai nilai-nilai moral, filosofi dan spritual yang berlandaskan ajaran Islam. Bentuk-bentuk penggarapan topeng pun mulai dihubungkan dengan hasil modifikasi yang dirancang pada era para Wali, terutama dalam hal kesederhanannya. Bentuk dan kehalusan ukirannya diperindah. Begitu pula dengan seni karawitannya dan seni pedalangan sekaligus proses pemanggungannya. Sehingga pada masa itu, merupakan masa berkembangnya sastra Madura. Apalagi hubungan antara raja Madura dengan kerajaan Mataram semakin erat, sehingga pengaruh Mataram tak dapat dielakkan lagi. Dalam cerita babad Madura disebutkan bahwa perkawinan antara keluarga kerajaan Mataram dengan keluarga Madura, yaitu Pangeran Buwono VII (1830-1850) dengan salah satu putri raja Madura (Bangkalan), semakin mengokohkan jalinan kekeluargaan. Karena mertuanya senang dengan Topeng Dalang, Paku Buwono VII memberikan hadiah seperangkat topeng lengkap dengan busana dan perlengkapannya. Kehadiran topeng hadiah dari Solo ini sedikit banyak berpengaruh pada seni topeng Madura, terutama kehalusan ukiran-ukirannya.
Pertunjukan topeng dikembangkan sebagai seni keraton berdasarkan repertoar dan perangkat wayang jawa. Pertama-tama berdasarkan wayang gedog dan wayang kulit. Ensiklopedia menyebutkan bahwa “Wayang Gedog atau Wayang Panji adalah wayang yang memakai cerita dari serat Panji. Wayang ini mungkin telah ada sejak zaman Majapahit. Bentuk wayangnya hampir sama dengan wayang purwa yang menceritakan kisah sejak Sri Gatayu, Putera Prabu Jayalengkara sampai masa Prabu Kuda Laleyan. Sebutan Wayang Gedog diperkirakan berasal dari pertunjukan Wayang Gedog yang mula mula tanpa iringan kecrek (besi), sehingga bunyi suara keprak "dog" sangat dominan.
Apabila ditarik permasamaanya, antara wayang gedog dan wayang kulit memiliki persamaan tergantung pada cara penyampaian cerita dan media yang disampaikan. Menurut Ensiklopedia, Wayang Kulit merupakan pementasan bayang yang terbuat dari patung dan belulang (kulit lembu/kerbau/kambing). Ia merupakan seni tradisional Asia Tenggara merangkumi Indonesia, Thailand, dan Malaysia, yang terutama berkembang di Phattalung wilayah selatan Thailand, Jawa dan disebelah timur dan utara semenanjung Malaysia seperti di Kelantan, Kedah, Perlis dan Terengganu. Dalam hal ini, Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disuluhkan lampu eletrik atau lampu minyak, sehingga para penonton yang berada disebelah berlawanan layar dapat melihat bayangan wayang yang berada ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang (lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar. Dalam bahasa Jawa, kata wayang berarti “bayangan.” Ditinjau dari perspektif filosofi, wayang dapat diartikan sebagai bayangan atau cerminan seluruh sifat-sifat yang ada dalam diri manusia, seperti sifat angkara murka, dan segala macam sifat kebaikan. Wayang digunakan sebagai instrumen untuk memperagakan suatu cerita kehidupan manusia di jagad raya, serta gambaran khayangan, atau alam gaib.
Sehubungan dengan perkembangan kedua wayang tersebut, maka pada abad ke-17 dan ke-18, keraton-keraton dari Jawa Tengah melalui berbagai hubungan politik dan perkawinan, kemudian mereka mengembangkan suatu gaya Topeng Dalang khas Madura yang jelas tampak pada abad ke 19. Sampai awal abad ke-20, Topeng Dalang ini kemudian sontak dimainkan, baik oleh kaum bangsawan, rakyat jelata, pemain profesional, pemain amatir, pemain keliling, dan pemain keraton, dengan reportoar yang berubah-ubah mengikuti keadaan sesuai dengan dialek dan gaya pemanggungan mereka. Seperti yang terlihat pada pertunjukan Topeng Dalang yang ada di gugusan pulau Madura, menggunakan bahasa Madura dan kadang dicampur dengan dialek Jawa untuk mempermudah komunikasi dengan publik baru mereka.
Dengan demikian, Topeng Dalang sebagai sebuah genre pertunjukan dalam masyarakat Madura merupakan kolaborasi dari jejak pertumbuhan Wayang Kulit dan Wayang Orang itu sendiri seperti yang terlihat pada sendratari; dimana; drama atau cerita yang disajikan dalam bentuk tarian tanpa adanya dialog, cuma diiringi oleh musik gamelan. Dalam peran Dalang sangat erat hubungannya dengan fungsi wayang itu sendiri dalam kehidupan sosial; sebagai media pengajaran bagi manusia yang melambangkan pergulatan hidup dan budi pekerti luhur. Dalam struktur pertunjukannya sarat dengan nilai-nilai filsafat, etika, estetika, dan pendidikan.
Oleh karena itu lakon wayang sering dipercaya dapat berpengaruh bagi perkembangan kehidupan penanggapnya. Dari fungsi Wayang semacam itulah, Dalang sebagai sutradara dan pelaku utama dalam pertunjukan sering diibaratkan dengan simbol perantara antara mikrokosmos dan makrokosmos; dimana visi, misi dan fungsinya lebih mengutamakan pada nilai-nilai kemanusiaan.
DALANG SEBAGAI SUTRADARA
Dalang sebagai sutradara dan pelaku utama dalam pertunjukan Topeng Dalang ini merupakan pengatur produksi pertunjukan yang berupaya merancang seluruh gerak topeng yang dimainkan oleh pemain di atas panggung. Seluruh dialog dari pertunjukan tersebut, diucapkan oleh sang Dalang. Sedang para pemain topengnya hanya menggunakan bahasa isyarat mengikuti gerak dialog yang diucapkan sang Dalang; seolah-olah pemain wayangnya yang berbicara. Gerakan setiap pemain pada dasarnya berupa gerakan pantomimik dan sendratari yang disesuaikan dengan isyarat Dalang. Dalam sejarahnya, dalang diibaratkan dengan seorang guru yang menguasai persoalan-persoalan dalam masyarakat. Ia memiliki kedudukan yang terhormat setingkat kyai atau sekelas pujangga.
Dalam proses pertunjukan ini, seorang dalang bekerja dengan duduk bersila di belakang kain penyekat yang dibuat beberapa lubang kecil untuk dapat mengikuti pementasan yang tengah berlangsung. Kegiatan semacam ini membutuhkan kemampuan dalam mengatur semua pemain-pemain yang terlibat. Antara lain tokoh yang berperan seperti Yudistira yang memerankan tokoh tenang dan penuh kasih sayang, Wayang Krisna, memerankan arif bijaksana, bersih dari nafsu duniawi, Wayang Subadra sebagai tokoh yang memerankan tokoh anggun dan berwibawa dan tokoh-tokoh figuran lain yang berperan di dalamnya. Penggambaran karakter pada tokoh-tokoh Topeng ini dikendalikan oleh seorang Dalang dengan melibatkan seluruh spektakel yang berkait dengan unsur-unsur kepentasan, seperti bagaimana ia memilih cerita, merancang komposisi panggung; setting artistik, lampu, musik, koreografi dan unsur kerupaan lainnya.
Dalam struktur pertunjukan Topeng Dalang ini dapat digambarkan sebuah rincian adegan dan pembabakan yang memakan waktu yang sangat lama dimulai sekitar dari awal pukul 19.00 sampai pukul 05.00 pagi. Tentu hal ini membutuhkan stamina dan kerja yang luar biasa, karena berkait dengan penguasaan dalam mengontrol setiap pemain dan adegan yang tengah berlangsung. Prosesi pertunjukan ini berlangsung spontan dengan melibatkan musik klenengan sebagai kode dan jeda permainan. Intinya, dalam setiap adegan, dalang berupaya menggerakkan semua pemain dengan menggunakan suara sebagai medianya. Ia memimpin semua kru-nya untuk “melebur” dalam alur lakon yang disajikan. Dalam adegan yang kecil-kecil-pun dan spontanitas harus ada kekompakan di antara semua kru. Untuk itu ia dituntut menguasai berbagai macam gending atau aransemen alat musik gamelan, karena syarat mutlak bagi seorang dalang menghayati masing-masing karakter dari semua tokoh dalam pewayangan.
Dalam setiap pertunjukannya, dalang membuka pagelaran dengan penampilan tarian atau “ngremo”. Biasanya yang ditampilkan adalah jenis tarian sakral. Setelah tari pembukaan, yaitu Tari “Ksatria Kelana Tunjung Seta” yang membawa serta empat raksasa pengiring, Cerita yang terkandung dalam tari pembuka ini sendiri adalah tentang Dewa Siwa yang sedang mengirim “Kelana Tanjung Seta” beserta anak buahnya untuk mengawasi keadaan serta perilaku manusia di bumi. Tarian tersebut juga diringi percakapan Dalang untuk membuka pemetasan Topeng Dalang lewat pemaparan prolog/panorama. Kemudian disusul tembang-tembang Suluk (Nyanyian). Alunan tembang ini mengantarkan para penonton untuk memasuki inti cerita yang akan dipentaskan. Suluk dan dialog dalam Topeng Dalang Madura memakai bahasa Madura halus. Untuk suluk pembukaan menggunakan bahasa Jawa kuno. Hal ini membuktikan bahwa topeng awalnya berasal dari satu sumber.
Dalam ritme pertunjukan ini, dalang memimpin suluk, narasi dan mengucapkan dialog. Dengan suaranya yang lembut dan kadang menghentak (sesuai kebutuhan cerita dan adegan), ia memimpin penari-penari yang bergerak di belakang topeng sesuai dengan alur cerita. Setiap lakon yang dibawakan, selalu sarat dengan cinta, adegan heroik ataupun beragam petuah kehidupan yang sangat kental. Kadang-kadang gerakan tariannya halus, lemah lembut dan melankonis, lalu berubah kasar, kaku dan bisa dikatakan sedikit naif, namun tetap dibawakan dengan penuh ekspresi emosional. Walaupun setiap gerak tariannya naif dan sedikit kaku, tetapi mengandung nilai spiritual yang sangat tinggi. Dalam setiap pementasannya, seluruh pemain Topeng Dalang serta para penari didominasi pemain laki-laki. Setiap pementasan dibutuhkan penari sebanyak 15 sampai 25 orang dalam setiap lakon.
Di tengah adegan yang tengah berlangsung, seorang dalang serta merta menyiapkan segala konsentrasinya. Ia berdiam secara masif di satu tempat kadang bergeser ke tempat di sebelahnya yang gelap; sekedar untuk istirahat merokok atau pun minum sebotol air. Hal ini dapat dimaklumi, karena perannya sebagai dalang dirasa berat; memerankan berbagai karakter berikut dengan perubahan suara di setiap tokoh-tokoh topengnya. Salah satu yang menjadi bagian yang tak kalah penting dalam pertunjukan ini, dalang sangat hafal betul setiap gerak topeng-topengnya yang bergerak lewat tarian. Gerak tarian yang dipakai adalah; 1. Tandhang Alos (Tari Halus). 2. Tandhang baranyak (Tari Sedang).3. Tandhang ghalak (Tari Kasar). Masing-masing Tandhang ini diiringi oleh gending-gending tersendiri: 1. Tandhang Alos diiringi gending-gending Puspawarna, Tallang, Rarari, dan lain-lainnya. 2. Tandhang Branyak diiringi gending-gending, Calilit, Pedat dan Lembik. 3. Sedangkan Tandhang Ghalak diiringi gending-gending Gagak, Pucung, Kwatang Serang dan Gunungsari.
Alat-alat musik yang dipakai adalah seperangkat gamelan yang terdiri dari kendang, gambang, saron, gong, kenong, gender, ponggang, bonang dan peking serta ada kalanya ditambah dengan terompet khas Madura (Sronen). Sedangkan nilai lebih dari pertunjukan Topeng Dalang ini adalah suasana dengan nuansa magis yang dibangun oleh bunyi gemerincing gungseng. Seolah-olah getaran gungseng menyebar ke seluruh arena membentuk suasana yang diperlukan, baik suasana sedih, gembira ataupun tegang. Apalagi ketika penari menghentak-hentakkan kaki. Sepanjang pertunjukan tak sepi dari suara gungseng. Apabila disimak memang suara satu dan lainnya memberikan ekspresi tersendiri. Hal ini merupakan ciri khas yang paling spesifik yang menentukan media komunikasi dengan gerak pemain lainnya. Karena sejatinya, para penari tidak boleh berdialog dengan pemain lainnya. Dialog hanya dilakukan oleh seorang Dalang dengan mengikuti gerakan setiap penarinya dalam setiap adegan.
Sebagaimana kita ketahui, fungsi gungseng yang dipakai dalang dalam mengatur ritma permainan adalah digunakan sebagai kode perubahan gerakan dalam cerita. misalnya bunyi sreng (panjang) berarti aserek, dan bunyi kroncang-kroncang berarti para pemain sedang berjalan. Dalam hal ini, gungseng biasanya dikenakan oleh para pemain yang berperan sebagai tokoh antagonis. Selain Topeng dan Gungseng dalam pementasan Topeng Dalang, para pemain juga dilengkapi berbagai perlengkapan, di antaranya : 1. Tokop (Topeng). 2. Mahkota. 3. Rape’ (diikat di pinggang). 4. Bang-Bang. 5. Kalabbau. 6. Kalong (kalung). 7. Gellang (Gelang). 8. Siyet/Obu’ (Rambut Palsu). 9. Rambai. 10. Ponjung/Sampur. 11. Gungseng (ada di kaki pemain kasar). Helene Beouvier (2002:117) menyebutkan bahwa pertunjukan Topeng sebagai genre mandiri; pertunjukan musikal dengan topeng dan tarian, disutradarai hanya oleh seorang pencerita, yakni Dalang. Oleh karena itu, pertunjukan topeng sering disebut Topeng Dalang atau juga disebut “Wayang Topeng.”
DAFTAR BACAAN
Achmad, A. Kasim, Pengaruh Teater Tradisional pada Teater Indonesia, dalam Teater Indonesia: Konsep, Sejarah, Problema, Tommy F. Awuy (ed.), Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1999.
________________, Mengenal Teater Tradisional di Indonesia, Jakarta, Dewan Kesenian Jakarta, 2006.
Bahar, Mahdi (ed.), Bunga Rampai “Seni Tradisi Menantang Perubahan” STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia): Padang Panjang Press, 2004.
Danandjaja, James, Foklor Indonesia, Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2002.
Kayam, Umar, Seni Tradisi Masyarakat, Jakarta, PT Djaya Pirusa, 1981.
Malaon,Tuti Indra. (ed.), Menenggok Tradisi Sebuah Alernatif Bagi Teater Modern, Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1986.
Rendra, Mempertimbangkan Tradisi, Jakarta: PT Gramedia, 1984.
Sumardjo, Jakob, Ikhtisar Sejarah Teater Barat, Bandung: Angkasa,1986.
______________Arkeologi Budaya Indonesia (Pelacakan Hermeneutis-Historis Terhadap Artefak-Artefak Kebudayaan Indonesia), Yogyakarta: Qalam, 2002.
Yudiaryani, Panggung Teater Dunia, Yogyakarta: Pustaka Gondho Suli, 2002.
Sedyawati, Edi, Pertumbuhan Seni Pertunjukan, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1981.
Bouvier, Helene, Lebur, Musik dan Pertunjukan dalam masyarakat Madura, Jakarta:Grafika, Mardi Yuana, Bogor, 2002.
Padmodarmaya, Pramana, Tata dan Teknik Pentas, Jakarta: Balai Pustaka, 1988.
*Penulis adalah kreator di Panggung Budaya Nusantara Bogor. Alumnus Seni Urban dan Industri Budaya pada Program Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta.
Komentar
Tulis komentar baru