Maman S. Mahayana
1.1 Pengantar
Kehidupan dunia kesenimanan di Indonesia, khususnya yang menyangkut citra kesastrawanan kita, baik di dalam kehidupan kemasyarakatan, maupun dalam kehidupan-nya selaku warganegara sebuah bangsa, sering kali dipandang secara tidak proporsional, jika tidak dapat dikatakan dilecehkan. Profesi kesastrawanan atau pekerjaan sebagai pe-ngarang dianggap tidak lebih baik dari profesi atlet, pegawai negeri atau pengusaha. Ci-tra sastrawan sebagai warga masyarakat yang tidak jelas pekerjaannya dan dengan sendi-rinya tidak jelas penghasilannya, menyebabkan banyak anggota masyarakat yang meman-dang rendah profesi itu. Padahal, profesi sastrawan, tidaklah berbeda dengan profesi lain. Ia mempunyai tempatnya sendiri dalam kehidupan sosialnya. Ia juga mempunyai peranannya sendiri yang juga tidak kalah pentingnya dari profesi lain. Di dalam kehidup-an sebagai warganegara, banyak pula sastrawan kita yang dikenal luas di tingkat dunia. Tidak sedikit karya sastra Indonesia yang sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Dengan sendirinya, mereka juga dikenal oleh bangsa lain. Jika salah seorang atlet kita berhasil menjadi juara dalam kejuaraan tingkat dunia, mendapat penghargaan luar biasa dari masyarakat dan pemerintah, lalu mengapa hal yang sama tidak dilakukan kepada sastrawan kita yang meraih hadiah tingkat dunia? Atau mengapa tidak ada penghargaan sama sekali kepada sastrawan kita yang karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan dipublikasikan di berbagai negara?
Itulah yang terjadi dalam dunia kesastrawanan kita. Status sosial sastrawan kita sering dianggap lebih rendah daripada seorang pegawai pemerintah, pengusaha, atau bahkan pedagang. Mengapa penghargaan masyarakat hampir selalu demikian? Untuk menjawab persoalan itu, terpaksalah kita melihat ke belakang, terutama pada dasawarsa tahun 1950-an. Pada masa itulah, sesungguhnya pembentukan citra sastrawan Indonesia ‘dimulai’ dan kemudian terus bergulir hingga kini.
1.2 Kerangka Teoretis dan Sumber Data
Pembicaraan citra sastrawan secara umum termasuk ke dalam pembicaraan sis-tem makro-sastra, yang di dalamnya dibicarakan sistem pengarang (sastrawan). Dalam hal ini, yang menjadi pusat perhatiannya adalah latar belakang pendidikan sastrawan, lingkungan sosial, ideologi yang dianut, agama, kebudayaan yang melahirkan dan mem-besarkannya, penghasilannya, serta persoalan yang berkaitan dengan sistem penerbitan-nya. Masalahnya, bahwa sastrawan adalah anggota masyarakat, sama halnya seperti ang-gota masyarakat lain. Ia tidak dapat melepaskan dirinya dari lingkungan sosial, tradisi kebudayaan, dan hal lain yang berkaitan dengan itu. Jika sastrawan mempublikasikan karyanya, ia langsung berhadapan dengan penerbit dan masyarakat pembacanya.
Dalam kaitan dengan persoalan itu, pembicaraan citra sastrawan Indonesia lebih dipusatkan pada sistem pengarang di Indonesia tahun 1950-an yang memang menjadi se-macam dasar bagi pembentukan citra sastrawan Indonesia. Meski pembicaraannya lebih khusus menyangkut sistem pengarang tahun 1950-an, tidaklah berarti kita hanya mem-bicarakan para pengarang Indonesia yang karya-karyanya pada tahun 1950-an itu per-nah diterbitkan sebagai buku. Cara demikian tidak hanya berarti menggelapkan nama-nama pengarang yang karya-karyanya lebih banyak dipublikasikan dalam lembaran surat kabar atau majalah, tetapi juga menafikan keberadaan pengarang-pengarang baru yang kiprah dalam kegiatannya bersastra, dimulai tahun 1950-an dan dalam tahun-tahun ber-ikutnya justru berperan sangat penting dalam perjalanan sejarah kesusastraan Indonesia pascaperang. Sesungguhnya, penelitian yang dilakukan A. Teeuw[1] merupakan contoh yang amat baik, betapa penelitian yang semata-mata berdasarkan penerbitan buku, meng-undang munculnya pengaburan data. Perhatikan pernyataan Teeuw berikut ini.
Pada hakikatnya, Rivai Apin menulis sajaknya yang terakhir dalam bulan Agustus 1950 … dan sejak itu ia giat di bidang kebudayaan yang lain. Juga Asrul Sani tidak banyak lagi menulis sajak sejak 1950 dan cerpen-cerpen pun tidak banyak. … Sejak 1950, ia tidak lagi memainkan peranan penting apa pun di bidang kehidupan sastra …
Di bagian lain, Teeuw mengungkapkan:
Pada awal 1960-an, kita pun bertemu untuk pertama-tama nama-nama seperti antara lain, Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono, dan Goenawan Moehamad.[2]
Bahwa Rivai Apin kemudian bergiat dalam bidang kebudayaan yang lain, tidak-lah serta-merta ia meninggalkan kegiatannya menulis karya kreatif (: sastra). Tercatat, dalam tahun 1950, lima buah puisinya dimuat majalah Siasat (tiga buah) dan Indonesia (dua buah). Sampai tahun 1957, Rivai Apin masih menghasilkan empat buah puisi lagi. Jadi, dalam tahun 1950-an itu, ia masih menghasilkan sembilan puisi; satu jumlah yang sama yang termuat dalam antologi puisi Tiga Menguak Takdir (1950).[3] Empat buah puisi Apin dari antologi Tiga Menguak Takdir yaitu Kebebasan, Elegi, Batu Tapal dan Tugu dimuat pula dalam Budaya (No. 8, Agustus 1954), Zaman Baru (No.11, Agustus 1957; No. 23-24, 1958) dan Bintang Merah (No. 8/14, 1958). Kemudian pertengahan 1956 cerpennya “Rumah Tangga” dimuat pula dalam majalah Indonesia No. 8, Juni 1956.
Karya-karya Rivai ini juga belum termasuk beberapa esai kesusastraan yang se-benarnya dapat dijadikan petunjuk, bagaimana perhatiannya terhadap kesusastraan.
Hal yang sama juga dapat kita lihat pada diri Asrul Sani, yang menurut A. Teeuw, sejak 1950 tidak lagi memainkan peranan penting apa pun di bidang kesusastraan. De-lapan buah puisi Asrul Sani yang termuat dalam antologi Tiga Menguak Takdir, ke-cuali puisi berjudul ”Surat dari Ibu” selebihnya adalah puisi yang pernah dimuat majalah Indonesia, Mimbar Indonesia dan Siasat. Seluruhnya, sejak puisi Anak Laut dimuat ma-jalah Siasat, No. 54, II, 1948 sampai terbit antologi Tiga Menguak Takdir, Asrul Sani telah menghasilkan 19 puisi dan lima buah cerpen; setelah antologi itu terbit sampai tahun 1959, ia masih menghasilkan tujuh buah puisi–dua di antaranya termuat dalam Tiga Menguak Takdir, enam buah cerpen, enam terjemahan puisi, dan tiga terjemahan drama. Jadi sungguh tak beralasan jika Asrul Sani dikatakan “tidak lagi memainkan peranan pen-ting apa pun di bidang kesusastraan.
Sementara itu, nama Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono, dan Goenawan Mo-hamad yang menurut A. Teeuw muncul pertama kali awal tahun 1960-an juga tidak sepenuhnya sesuai, kecuali yang disebut terakhir. Sebelum tahun 1960, Taufiq Ismail sedikitnya sudah menghasilkan satu cerpen dan 18 puisi yang dimuat lima majalah; Kisah, Siasat, Mimbar Indonesia, Gadjah Mada, Media, dan Indonesia. Di samping itu, ia juga telah menerjemahkan dua cerpen asing (Kisah Turunnja Iblis di Division Street karya Nelson Algreen, Siasat, No.13, 22 Djuli 1955, dan Kolonel dan Sangkar Burungnja karya Harry Brown, Merdeka, No. 11, 14 April 1958) dan lima puisi karya Taniyus Abduh (Tiga Pepatah), Engenio Montale (Laut Tengah), Chalil Matrau (Kenangan pada Dunia Kanak-Kanak); ketiganya dimuat Siasat, 26 Agustus 1959, Vincenzo Cardarelli, Fajar dan Patricia Hooper, Pulang, (Siasat, 2 September 1959 dan November 1957).[4]
Demikian pula nama Sapardi Djoko Damono. Sejak pemuatan puisinya Tjerita Burung (Merdeka, No. 11, April 1958) sampai Tamu Malam Natal (Mimbar Indonesia, No. 13, 24 Desember 1959), ia telah menghasilkan 21 buah puisi yang dimuat majalah Mimbar Indonesia, Konfrontasi, Merdeka, dan Widjaja.[5]
Demikianlah, bahwa pembicaraan sistem pengarang yang terlalu mengandalkan data yang berupa terbitan buku dan mengabaikan karya sastra yang muncul di media massa –surat kabar dan majalah– dapat menimbulkan begitu banyak kekosongan dalam pengungkapan data lainnya yang sesungguhnya amat penting. Jadi tidak dapat lain, dalam pembicaraan ini pun, penelitian yang telah dilakukan Sapardi Djoko Damono dan Ernst Ulrich Kratz merupakan sumber andalan dalam penelitian ini. Pemeriksaan pada sumbernya hanya dilakukan jika ada data yang meragukan dan dipandang perlu untuk melakukan cek ulang. Sekadar contoh, sebuah cerpen karya S. Marjati yang berjudul Dua Kali Sial, tercatat dimuat dalam majalah Kunang-Kunang No. 5, Februari 1953. Dalam penelitian Sapardi Djoko Damono, nama majalah itu hanya tercatat sekali, sedangkan dalam penelitian E.U. Kratz, nama majalah ini sama sekali tak tercatat. Se-telah melihat Katalog Majalah Terbitan Indonesia Koleksi Perpustakaan Nasional dan memeriksanya di Perpustakaan Nasional ternyata majalah Kunang-kunang adalah ma-jalah anak-anak yang diterbitkan Balai Pustaka pertama kali tahun 1949 dan berhenti penerbitannya tahun 1954. Balai Pustaka kemudian melanjutkan penerbitan majalah ini, tidak lagi untuk kanak-kanak, melainkan untuk para pelajar. Nama majalahnya pun di-ganti dengan nama Teruna yang mengakhiri penerbitannya tahun 1980.
1.3 Tujuan
Dengan mempertimbangkan data yang bersumber dari majalah dan surat kabar, maka diharapkan, akan terungkapkan, bagaimana sistem pengarang di Indonesia tahun 1950-an; bagaimana peranan sastrawan di tengah masyarakatnya; bagaimana penghidup-an atau mata pencahariannya; bagaimana pula pandangan masyarakat terhadap profesi pengarang; benarkah, sebagaimana yang dikatakan Sapardi Djoko Damono, ”Ditinjau dari satu segi, sastrawan dihormati setinggi-tingginya; ditinjau dari segi yang lain yakni mata pencaharian ia cenderung direndahkan.”[6] Lalu mengapa pula dapat terjadi demi-kian? Marilah kita periksa masalahnya sebagaimana yang menjadi tujuan penelitian ini.
2.1 Terbentuknya Citra Sastrawan Indonesia
Sinyalemen Sapardi Djoko Damono agaknya sangat beralasan mengingat kecen-derungan masyarakat kita, sampai sekarang, masih menempatkan profesi pengarang se-bagai profesi yang tak jelas penghasilannya, tidak punya masa depan, kehidupannya serba cuek (:tidak peduli), menggelandang dan serba bebas. Pandangan yang demikian seolah-olah dilegitimasi oleh calon seniman yang lebih mementingkan penampilan dari-pada karyanya; rambut gondrong, pakaian aneh-aneh lengkap dengan aksesorisnya. Apa-kah dengan penampilan yang seperti itu, ia hendak menutupi ketidakmampuannya dalam berkarya atau sengaja agar ia mendapat predikat sastrawan yang sebenarnya masih be-rupa ‘angan-angan’. Lalu apa yang melatarbelakanginya sehingga pandangan masyarakat terhadap pengarang (seniman) –inheren pula dengan profesinya– seperti itu? Sebelum kita membicarakan persoalan itu lebih jauh, mari kita telusuri ke masa sebelum perang.
Pada awalnya, terutama sejak masa pertumbuhan kesusastraan Indonesia, pro-fesi pengarang hampir tidak dapat dipisahkan dari profesi wartawan. Profesi sastrawan atau wartawan ini, lekat pula dengan citra mereka sebagai golongan terpelajar, intelek-tual, dan kaum pergerakan nasional. Boleh dikatakan, sastrawan masa itu, termasuk go-longan intelektual, setidak-tidaknya, mereka adalah lulusan sekolah-sekolah Belanda ke-cuali Hamka yang lebih banyak memperoleh pendidikan di luar itu. Dengan perkataan lain sastrawan sebelum perang adalah sastrawan dengan latar belakang pendidikan Belan-da. Profesinya sebagai pengarang bukan pekerjaannya yang utama, melainkan pekerjaan penunjang atau pekerjaan yang sama sekali tak akan menjadikannya sebagai orang yang lebih terhormat dibandingkan pekerjaan di luar itu, betapapun hanya orang-orang terten-tu saja yang mampu melakukan kerja kepenga-rangan. Jadi meskipun ia bekerja di peme-rintahan, dunia pendidikan ataupun kewartawanan, mengarang (menjadi sastrawan) tidak menjadikan dirinya lebih rendah atau lebih tinggi dari profesi lain. Dalam pandangan ma-syarakat Indonesia sebelum perang, tidak ada profesi yang lebih tinggi kedudukannya selain pekerjaan sebagai ambtenaar (pegawai pemerintah). Masuk dan menjadi pegawai pemerintah, berarti ia masuk sebagai kelompok yang umumnya disebut priyayi.[7]
Satu hal yang sangat mungkin bagi rakyat biasa untuk mengangkat status sosial-nya dan kemudian masuk ke dalam kelas priyayi adalah dengan menempuh pendidikan Belanda dan bekerja sebagai pegawai pemerintah. Paling tidak, dengan pendidikan Belan-da, betapapun ia bekerja sebagai pegawai partikelir, pegawai swasta, ia masih tetap akan dipandang dengan status sosial sebagai priyayi.
Sesungguhnya adanya perubahan sosial yang menyangkut status kepriyayian se-bagai status capaian (achievement) erat kaitannya dengan perubahan kebijaksanaan ko-lonial Belanda dalam bidang pendidikan bagi penduduk pribumi di tanah jajahan. Dija-lankannya politik etis memaksa pemerintah Belanda mengadakan perluasan pendidikan bagi golongan bumiputra. Surat Menteri Jajahan (Pleijte) pada Gubernur Jenderal (Van Limburg Stirum), tanggal 2 Maret 1918 mengungkapkan perlunya segera perluasan HIS dan pendidikan rendah bumiputra. Dalam surat itu selanjutnya diungkapkan:
… jumlah guru yang telah dihasilkan oleh lembaga pendidikan yang telah ada dan yang akan didirikan dalam tahun ini (1918: MSM), hampir-hampir tidak cukup untuk memenuhi permintaan guru dalam jangka waktu tujuh tahun yang akan datang. Akan ada kekurangan 650 tenaga pengajar, yang dianggap dapat dicukupi dengan tenaga didikan bebas dan sekolah guru swasta. Jumlah permintaan guru yang ditentukan ini didapat dari rencana pendirian sekolah, yang meliputi 62 sekolah bumiputra kelas 2 dan tujuh sekolah HIS per tahun. Apakah perluasan jumlah sekolah itu tidak dapat dilaksanakan lebih cepat?
Mengenai HIS perluasan perlu sekali dilaksanakan lebih cepat, karena hasrat ke pendidikan ini sangat besar sekali dan ternyata dalam membanjirnya anak-anak yang akan masuk ke sekolah (yang) ada… Perluasan HIS secara agak besar-besaran hanya mungkin jika dapat tersedia guru bumiputra …[8]
Perluasan pendidikan bagi golongan pribumi, di samping karena desakan agar politik etis dijalankan, juga karena Belanda sendiri memerlukan tenaga terampil yang ber-pendidikan Barat untuk menjalankan birokrasinya di Indonesia. “Dari perluasan dan perkembangan pendidikan inilah ditemukan akar dari perubahan sosial yang mempe-ngaruhi elite Indonesia.”[9] Lalu bagaimana dampaknya? Robert van Niel mengungkapkan:
Hal ini pada gilirannya membuahkan beragamnya elite Indonesia. Bila di tahun 1900 kelompok priyayilah yang menjadi kaum bangsawan dan administratur menjelang tahun 1914 kelompok ini bertambah dengan sejumlah pegawai pemerintah, teknisi-teknisi pemerintah dan cendekiawan yang sama-sama memerankan peran elite dan yang di mata rakyat biasa Indonesia di desa-desa tercakup ke dalam yang umumnya disebut “priyayi”.[10]
Hal senada diungkapkan Akira Nagazumi,[11] bahwa pembaharuan dalam bidang pendidikan ini telah mempercepat erosi terhadap kedudukan istimewa kaum bangsawan tradisional. ”Pendidikan formal menurut pola Barat telah menjadi keharusan bagi orang-orang Jawa yang menginginkan perbaikan kedudukannya di dalam masyarakat kolonial.”
Begitulah, kemunculan sastrawan-sastrawan Balai Pustaka dipandang sebagai go-longan elite, bukan karena profesi kepengarangannya, melainkan karena mereka terma-suk kaum terpelajar yang memperoleh pendidikan Barat (:Belanda). Dengan begitu, pro-fesi pengarang dianggap sama halnya dengan profesi lain yang pencapaiannya harus lewat pendidikan tertentu. Akibatnya, pekerjaan mengarang tak diperlakukan sebagai satu pro-fesi khusus, tetapi sebagai pekerjaan sambilan atau pekerjaan yang dilakukan di luar pe-kerjaan rutin yang secara periodik mendapat gaji atau penghasilan dalam jumlah tertentu.
2.2 Profesi Sastrawan sebelum Perang
Untuk memperoleh gambaran bagaimana profesi pengarang Indonesia sebelum perang, berikut ini akan dipaparkan biografi ringkas beberapa sastrawan kita.
Abdul Muis (3 Juli 1886-17 Juli 1959)[12] pengarang Salah Asuhan (1928) misal-nya, mengawali penulisan novelnya tahun 1927, saat ia sudah meninggalkan kegiatannya politiknya dalam Sarekat Islam selama lebih dari satu dasawarsa (1912-1924). Waktu itu, ia dilarang mengunjungi semua daerah di luar pulau Jawa dan Madura sebagai akibat yang dituduhkan kepadanya mengenai peristiwa Toli-Toli di Sulawesi Tengah, Juni 1919, pemogokan pegawai pegadaian di Jawa, 11 Februari 1922, dan keterlibatannya dalam membantu masyarakat Minangkabau dalam memperjuangkan hak tanahnya yang berkait-an dengan pajak (Belasting). Setelah ada larangan itu, Abdul Muis tinggal di Garut tahun 1924 sebagai petani. Betapapun novelnya Salah Asuhan telah membuat namanya begitu populer, aktivitasnya sendiri sebagian besar dicurahkan dalam bidang kewartawanan dan politik. Bahkan pengangkatannya sebagai Pahlawan Nasional, bukanlah karena jasanya di bidang kewartawanan dan kesusastraan, melainkan dalam politik, yaitu dianggap te-lah berjasa dalam pergerakan kebangsaan ketika ia menjadi anggota Sarekat Islam.
Pendidikan formal Abdul Muis, sepenuhnya adalah pendidikan Belanda. Lulus ELS (Europese Lagere School) tahun 1900, ia masuk STOVIA (School ter Opleiding van Inlandse Artsen) selama tiga tahun dan ke luar dari sekolah kedokteran itu karena sakit. Selanjutnya, berkat bantuan J.H. Abendanon, Direktur Pendidikan di Hindia Timur (Department Orderwijs en Eerredienst), ia bekerja di departemen itu sebagai juru tulis (klerek), satu jabatan yang waktu itu hanya dapat dimasuki orang-orang Indo-Belanda. Hanya dua tahun bekerja di situ (1903-1905), ia lalu bekerja di Bank Rakyat (Volkscre-dietwezen). Tak tahan melihat penyelewengan yang dilakukan para pejabat bank itu,[13] ia memutuskan pindah pekerjaan, bergabung dengan Abdul Rivai yang waktu itu menjadi pemimpin Bintang Hindia, sebuah majalah progresif terbitan Amsterdam, 1901-1908. Abdul Muis sendiri bertindak selaku wartawan dan pemimpin redaksi majalah itu di Ja-karta dalam edisi bahasa Indonesia,[14] membantu Dr. Tuhuteru. Berakhirnya penerbitan majalah ini akibat dihentikannya dukungan keuangan pemerintah, memaksanya pindah dan bekerja di surat kabar Belanda, Preanger Bode yang juga tidak bertahan lama.
Selanjutnya tahun 1912, Abdul Muis bersama A. Widiadisastra, seorang warta-wan asal Banten yang pernah bekerja di surat kabar Medan Priyayi pimpinan Tirto Adi-suryo dan Mohammad Yunus seorang Arab dari Palembang yang bersedia menjadi pen-dukung keuangannya, mendirikan surat kabar Kaum Muda, sebuah surat kabar progre-sif yang berbahasa Indonesia yang belakangan amat diperhitungkan keberadaannya oleh pemerintah Belanda. Sejak itulah, Abdul Muis mempunyai hubungan yang erat dengan tokoh-tokoh Islam.Atas permintaan Tjokroaminoto, ia bersama Suwardi Suryaningrat, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara, dan Wignyadisastra, bergabung dengan Sarekat Islam. Ketiganya kemudian menjadi Ketua (Abdul Muis), Wa-kil Ketua (Suwardi Suryaningrat) dan Sekretaris (Wignyadisastra) Sarekat Islam Cabang Bandung. Jabatan terakhirnya dalam karier politik adalah sebagai anggota Volksraad.
Dalam dua dasawarsa abad XX, Muis lebih banyak berkecimpung di dunia ke-wartawanan dan Sarekat Islam. Setelah kegiatan politiknya ditinggalkan, ia mengarang novel Salah Asuhan. Selepas itu sampai pascaperang, ia menghasilkan sebuah novel lagi Pertemuan Jodoh (1933) dan beberapa novel terjemahan. Pada awal tahun 1950-an, ia menghasilkan novel dua serangkai, Surapati (1950) dan Robert Anak Surapati (1953).
Dengan gambaran biografi ringkas Abdul Muis, kita dapat melihat bahwa profe-si mengarang tidaklah diperlakukan dan ditempatkan sebagai pekerjaan utama, melain-kan pekerjaan yang dilakukan dalam “waktu senggang”, meskipun sebenarnya keuntung-an material yang diperoleh dari karyanya itu cukup besar,apalagi untuk ukuran waktu itu.
Berapa tepatnya royalty yang diterima seorang pengarang novel untuk karyanya yang diterbitkan Balai Pustaka? Mari kita periksa pernyataan Sutan Takdir Alisjahbana berikut ini mengenai honorarium yang diterimanya untuk novelnya, Tak Putus Dirundung Malang yang diselesaikannya ketika ia cuti dari pekerjaannya sebagai guru.
Masa cuti itu saya pergunakan pergi ke Bandung, berobat di rumah sakit Cimahi. Di rumah sakit itulah saya menyelesaikan roman Tak Putus Dirundung Malang itu. Saya kirimkan ke Balai Pustaka. Pada tahun 1929 saya mendapat honorarium dari Balai Pustaka, kalau saya tidak salah, sebanyak 250 gulden. Ketika itu jumlah itu sangat banyak bagi saya.Coba bayangkan, gaji saya cuma 110 gulden. Dengan uang itu dapat saya membayar antaran untuk kawin dengan Raden Ajeng Rohanidah H. di Bengkulu.[15]
Ada dua hal yang dapat ditarik dari pernyataan Sutan Takdir Alisjahbana itu.
Pertama, novel Tak Putus Dirundung Malang diselesaikan ketika Alisjahbana cuti dari pekerjaannya sebagai guru. Jadi jelas pekerjaan mengarang memerlukan waktu tersendiri. Paling tidak, pekerjaan mengarang diperlakukan sebagai pekerjaan nomor sekian dari serangkaian pekerjaan rutin yang diutamakan atau yang menjadi mata pen-caharian seseorang. Kedua, penghasilan atau penghargaan material (honorarium) yang diterima Alisjahbana untuk novelnya itu, sebenarnya relatif besar untuk ukuran masa itu. Bahwa ia kemudian dapat membayar antaran untuk menikah dengan seorang putri bang-sawan, menunjukkan bahwa honorarium yang diterimanya lebih dari sekadar cukup.
Ketika lamaran Alisjahbana untuk menjadi redaktur Balai Pustaka diterima, ia secara sadar meninggalkan pekerjaannya sebagai guru. Namun waktu itu pekerjaan re-daktur bahkan pemimpin redaksi sekalipun, tidaklah populer, jika tidak dapat dikatakan tidak ada artinya, sebagaimana dinyatakan Alisjahbana. Hal itu berarti pula pekerjaan sebagai pengarang, lebih tidak populer lagi, meski honorariumnya sangat memadai.
Sebagai perbandingan, saat Alisjahbana menerbitkan majalah Pujangga Baru, ia masih bekerja di Balai Pustaka dengan gaji 150 gulden, sedangkan Armijn Pane sebagai guru di Taman Siswa, menurut Alisjahbana, paling banyak mendapat 15 gulden. Jadi, penghasilan sebagai guru tidaklah menjanjikan materi yang berlebihan. Namun keduduk-annya di mata masyarakat, pekerjaan guru dipandang lebih terhormat. Hal itu juga diung-kapkan Achdiat K. Mihardja saat ia tak bekerja di pegawai pemerintah (ambtenaar).
Begitu tamat AMS (SMA) jurusan sastra-budaya Timur, saya langsung bekerja sebagai guru Taman Siswa di Kemayoran, Betawi. Kemudian jadi redaktur surat kabar harian dan majalah. Kemudian lagi buka warung jualan keperluan rakyat se- hari-hari. Akhirnya kami membeli “pabrik” kue dan roti … Tapi selama itu saya pun bekerja sebagai wartawan “freelance” dan menulis di pelbagai surat kabar dan majalah, baik yang berbahasa Indonesia, Sunda, maupun Belanda.[16]
Ketika itu Achdiat Karta Mihardja ditawari oleh Raden Satjadibrata untuk bekerja di Balai Pustaka dengan permulaan sebagai volontair (magang) dengan gaji sebulan 40 gulden. Sesudah tiga bulan baru diangkat sebagai pegawai tetap dengan pangkat adjunct hoofredacteur (wakil pemimpin redaksi) dengan gaji permulaan 70 gulden. Lalu berapa penghasilan Achdiat ketika itu dari usaha pabrik kue dan roti miliknya itu?
…saya keluarkan buku catatan keluar-masuknya keuangan pabrik kue dan roti itu. Hampir tak percaya meneer Satja ketika melihat jumlah keuntungan bersih dari pabrik itu. Rata-rata per bulan 150 gulden … akhirnya saya terima juga tawaran itu. Terutama atas desakan ibu saya yang sangat menginginkan anaknya menjadi seorang ambtenaar. Ibu, juga Bapak, adalah keturunan menak … ambte-naar BB (Binnenlands Bestuur)…saya dapat merasakan betapa iba hati ibu dan bapak yang telah begitu bersusah payah menyekolahkan anaknya … hasilnya koq cuma menjadi guru Taman Siswa yang gajinya cuma 20 gulden sebulan… kemu-dian jadi “tukang nulis di koran” … kemudian buka warung … jual kue dan roti. Wah, semua itu kan tidak punya kedudukan sosial apa-apa …[17]
Begitulah bahwa pada zaman sebelum perang, kedudukan pegawai pemerintah (ambtenaar) dipandang sebagai status yang terhormat. Balai Pustaka sebagai lembaga pemerintah, juga telah menempatkan para pegawainya, dalam pandangan masyarakat, sebagai pegawai pemerintah. Dalam hal ini, profesi lain pun, sejauh tidak berada di ba-wah lembaga pemerintah, cenderung ditempatkan dalam status yang lebih rendah. Se-orang pedagang, misalnya, betapapun secara materi penghasilannya lebih besar daripada pegawai pemerintah, dalam status sosialnya, ia tetap dipandang lebih rendah. Dalam hal ini, pandangan kepriyayian pada masa itu condong diukur berdasarkan pendidikan dan status kepegawaiannya dan bukan dari profesi, keahlian dan penghasilannya dalam peker-jaan tertentu. Pandangan ini yang terus berkembang di masyarakat hingga pascaperang.
Dalam kaitannya dengan profesi pengarang, juga masalahnya sama. Terlebih lagi mengarang dianggap sebagai ‘bukan pekerjaan’. Dengan demikian tidaklah mengherankan jika masyarakat kita, sampai kini, masih tetap melihat kedudukan sastrawan dengan nada yang ‘sumbang’. Akibatnya, dapat dipastikan, sebagian besar masyarakat kita, tidak hanya tidak punya keinginan menjadi pengarang, melainkan juga cenderung tidak mau tahu mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan profesi kepe-ngarangan; penghasilannya, peranannya dan syarat (tak tertulis) yang dituntut profesi itu.
2.3 Profesi Sastrawan sesudah Perang
Selepas perang sampai pihak Belanda mengakui kedaulatan Indonesia akhir tahun 1949, dibandingkan para pegawai negeri atau pedagang (pengusaha), para pengarang sebenarnya lebih dapat ‘bertahan hidup’. Modalnya, pengetahuan, kemahiran memainkan bahasa, dan ketajaman menangkap situasi zamannya, memungkinkan seorang pengarang dapat ”bertahan hidup” dalam situasi apa pun. Itulah yang terjadi pada diri HB Jassin, J.A. Dungga, Darsyaf Rahman, Pramudya Ananta Toer, Achdiat Karta Mihardja, Idrus, Asrul Sani, Rivai Apin, dan sederetan nama lain yang sebelum perang (zaman pra-Jepang dan zaman Jepang) sudah memainkan peranannya dalam kesusastraan Indonesia.
Achdiat Karta Mihardja yang waktu itu sedang dalam kepayahan keuangan dan menganggur berkepanjangan, dalam arti tidak mempunyai pekerjaan tetap sebagai-mana lazimnya pegawai kantor, dalam situasi seperti itulah ia menulis novelnya, Atheis. Lalu berapa honor yang diterimanya waktu itu? Inilah pernyataannya:
… ada satu kegembiraan yang belum pernah saya alami sebelumnya. Yaitu mene- rima honor untuk buku saya Atheis yang di zaman itu (1949) sudah cukup bagi istri saya untuk langsung membikin rumah di Jalan Tembaga, Galur, Jakarta.[18]
Bagaimanakah pandangan masyarakat terhadap status sosial pengarang dalam da-sawarsa 1950-an? Bahwa apa yang terjadi pada tahun 1950-an, sebenarnya tidak terlepas dari berbagai faktor yang melatarbelakanginya. Ketika terjadi perubahan sosial akibat me-luasnya perkembangan pendidikan yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda, status kepriyayian tidak hanya berdasarkan keturunan, melainkan juga berdasarkan capaian yang dapat diraih melalui jalur pendidikan. Akibatnya, jalur profesi tidak lebih penting daripada status kepegawaian yang terkait dengan pemerintahan.
Pada saat yang bersamaan, sebenarnya jalur profesi di bidang kewartawanan, ikut memainkan peranan penting dalam pergerakan kebangsaan. Namun, itupun yang dilihat bukan profesi kewartawanannya, melainkan status kepegawaian dan tingkat pendidikan yang dicapainya. Itulah sebabnya, tokoh wartawan macam Tirto Adhi Suryo, Adinegoro, Abdul Muis dan sastrawan-sastrawan ‘veteran’ seperti Merari Siregar, A. St. Pamuntjak, Sutan Takdir Alisjahbana, Marah Rusli, Sanusi Pane, dan Armijn Pane, di dalam status sosialnya, tidaklah dilihat dari profesinya, melainkan dari status kepriyayiannya.
Peranan mereka dalam kehidupan bangsa ini kemudian menjadi tak menonjol dan surut ke belakang, saat perang kemerdekaan berkecamuk selama hampir setengah dasawarsa (1945–1949). Yang muncul sebagai tokoh penting dalam tahun 1950-an ada-lah mereka yang berjasa dalam perang kemerdekaan. Dengan begitu, muncul pula priyayi model baru yaitu mereka yang pendidikan formalnya tidak menonjol, namun berjasa da-lam perang kemerdekaan, hanya karena ia punya keberanian untuk memanggul senja-ta. Dengan demikian, citra sastrawan–wartawan sebagai pejuang moral, makin terpuruk oleh mereka yang bergerak di bidang kemiliteran dan politik. Itulah citra sastrawan dalam pandangan masyarakat kita dan terus berlanjut hingga kini.
Komentar
Tulis komentar baru