Skip to Content

PENGAJARAN PUISI DI PERGURUAN TINGGI: SEBUAH PENGANTAR SINGKAT

Foto SIHALOHOLISTICK

Oleh: ASEP SAMBODJA

 

Dalam Seminar Sastra dan Bahasa Indonesia yang diselenggarakan Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), Depok, 22-23 Januari 2007, Sapardi Djoko Damono mengatakan sebaiknya pengajaran sastra di sekolah, termasuk perguruan tinggi, tidak sekadar menempatkan sastra sebagai ilmu pengetahuan, namun juga sebagai karya seni. Hal ini mengimplikasikan seyogyanya karya sastra itu diposisikan sama seperti karya seni lainnya, seperti seni lukis, seni tari, seni musik, dan sebagainya.

Dengan demikian, banyak hal yang dapat dibicarakan, digali, diteliti secara lebih mendalam lagi terhadap sebuah karya sastra. Sastra dapat dipandang sebagai suatu hasil ekspresi seorang sastrawan dalam melihat, memandang, dan merasakan kenyataan sehari-hari. Dalam hal puisi, pembaca tidak saja melihat unsur-unsur puisi atau keindahan puisinya saja, melainkan menggali makna yang terkandung dalam puisi itu. Pesan penting apa yang hendak disampaikan oleh penyairnya.

Sebelum berbicara bagaimana menganalisis sebuah puisi, ada baiknya kita tahu dulu data puisi yang kita miliki. Pengamat sastra Indonesia, A. Teeuw, dalam Kratz (1988), mengatakan bahwa setidaknya ada empat orang yang sangat berjasa terhadap dokumentasi dan perkembangan sastra Indonesia. Mereka adalah H.B. Jassin dengan PDS HB Jassin-nya, John M. Echols yang menyimpan karya sastra Indonesia di Cornell University, Claudine Salmon yang meneliti karya sastra peranakan Cina, dan E.U. Kratz.

Jasa Kratz yang sama-sama kita ketahui adalah menyusun Bibliografi Sastra Indonesia dalam Jurnal dan Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX . Buku yang pertama merupakan buku yang sangat penting, yang berguna bagi peneliti sastra untuk mengembangkan wilayah penelitiannya, sehingga karya sastra yang tercipta dalam kurun waktu 1922-1982 tidak menjadi fosil atau artefak tak bermakna. Buku yang kedua berisi pemikiran sastrawan Indonesia salam kurun waktu 1928-1995 mengenai sastra dan kebudayaan Indonesia. Kedua buku tersebut menjadi bahan baku bagi peneliti untuk melihat sejarah pemikiran bangsa Indonesia.

Dalam bibliografi yang disusun Kratz itu terkandung karya sastra dalam berbagai genre, yakni puisi, cerpen, novel, maupun drama. Dalam tulisan ini, pembicaraan difokuskan ke karya sastra bergenre puisi. Dari hasil pencatatan Kratz, ternyata ada 5.506 penyair Indonesia yang menulis puisi dalam kurun waktu 20 tahun, dan puisi yang dihasilkan sebanyak 26.615 puisi. Kalau ditambah puisi yang diciptakan dalam kurun 1982-2008, tentu jumlahnya sangat melimpah.

Dari data yang ada itu, kita bisa membaca bahwa ternyata dalam sejarah sastra Indonesia yang telah beredar dan digunakan di sekolah-sekolah sebagai materi pelajaran, banyak sekali karya sastra dan pengarang atau penyair Indonesia yang terpinggirkan, tersisihkan, dalam proses kanonisasi itu. Sejarah sastra kanon telah mendistorsi begitu banyak karya sastra Indonesia. Memang ada yang mengatakan ini merupakan proses seleksi yang tumbuh seiring perkembangan zaman. Tapi, nanti dulu, bagaimana cara penyeleksian itu? Apakah karena berdasarkan kualitas karya sastra atau berdasarkan ketersediaan karya? Apakah murni berdasarkan kualitas karya atau ada faktor politik di belakangnya?

Buku Kratz itu sekaligus meruntuhkan sastra kanon yang dibuat oleh Bakri Siregar, H.B. Jassin, dan Ajip Rosidi, serta beberapa penyusun buku sejarah sastra Indonesia ataupun penyusun antologi karya sastra yang bertendens sejarah yang muncul kemudian. Bahwa ternyata sesungguhnyalah jumlah penyair dan puisi Indonesia itu sangat berlimpah dan memerlukan penelitian yang sangat intens dan mendalam. Bukankah akhir-akhir ini kita juga sering dikejutkan dengan hasil kerja filolog yang menemukan dan “membaca” kembali naskah-naskah lama yang dulu tak terbaca atau sulit ditemukan? La Galigo adalah salah satu contoh penting.

Ajip Rosidi berupaya menyusun sebuah antologi sastra yang berwibawa dalam Laut Biru Langit Biru. Karena yang ditampung bukan hanya penyair, melainkan cerpenis, novelis, dan penulis naskah drama, akibatnya jumlah penyair dalam buku itu hanya segelintir saja. Ini merangsang Linus Suryadi Ag. yang mencoba membuat antologi puisi yang lebih komplit, yang dibukukan dalam Tonggak 1-4 (1987). Ternyata, upaya Linus itu mengalami kendala di tengah proses pembuatan buku tersebut. Setidaknya, ada tiga kendala utama yang dihadapi Linus, sehingga ia hanya bisa mengumpulkan 180 penyair dari ribuan penyair Indonesia. Pertama, faktor politik, karena buku Tonggak terbit di zaman Soeharto yang melarang penerbitan karya sastrawan Lekra, maka Linus tidak dapat menampung puisi-puisi karya sastrawan Lekra. Istilah Linus, sastrawan Lekra masih terkena “segel merah”. Kedua, faktor ekonomi; penerbit Gramedia tidak sanggup menerbitkan sebuah antologi puisi dalam ukuran tebal, karena itulah diambil jalan kompromi dengan hanya menerbitkan puisi karya 180 penyair. Ketiga, faktor penyair itu sendiri. Tidak semua penyair mau dan mengizinkan karyanya dibukukan dalam antologi Tonggak yang disusun Linus itu, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, dan Ikranagara.

Pada 1995, Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, dan Hamid Jabbar menerbitkan buku Ketika Kata Ketika Warna. Buku itu merupakan proyek dari pemerintah Soeharto untuk memperingati 50 tahun Indonesia merdeka. Tahun Emas Indonesia. Dalam buku luks itu, memang hanya ditampilkan 50 penyair yang merepresentasikan Indonesia, disertai 50 karya pelukis Indonesia. Soal jumlah memang tidak menjadi soal. Yang menjadi persoalan adalah kenapa Rendra dan Sitor Situmorang tidak masuk dalam antologi itu?

Rupanya, dalam antologi puisi lainnya, yang juga disunting oleh Taufiq Ismail dan kawan-kawan, Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi lagi-lagi nama Sitor Situmorang tidak masuk juga. Apa yang salah di situ? Apa kurangnya penyair Sitor Situmorang yang menurut A. Teeuw sebagai penyair terkuat setelah Chairil Anwar.

Yang mengejutkan, ketika Taufiq Ismail dan DS Moeljanto menyusun buku Prahara Budaya, puisi dan tulisan Sitor Situmorang bertebaran di situ. Menurut saya, Taufiq Ismail tidak fair terhadap Sitor Situmorang, bahkan lebih ekstrem lagi, tidak fair terhadap sejarah. Puisi-puisi Sitor yang digunakan Taufiq dalam Prahara Budaya bukanlah puisi-puisi terbaiknya, melainkan puisi yang sangat verbal, puisi dengan pesan-pesan yang sangat transparan.

Pertanyaannya: kenapa ketika membuat buku Prahara Budaya yang memojokkan kelompok “kiri”, puisi-puisi Sitor Situmorang ditampilkan, sementara dalam buku Ketika Kata Ketika Warna dan Horison Sastra Indonesia tak satu pun puisi Sitor ditampilkan. Ada apa? Subjektivitas penyusun tampak jelas di sini. Bisa saja alasannya karena faktor like and dislike. Tapi, bisa juga karena masih ada “dendam” sejarah.

Kita dapat berargumentasi bahwa pembuatan antologi karya sastra, termasuk antologi puisi, merupakan hak prerogatif si editor atau penyunting. Ada unsur subjektivitas editor dalam pembuatan antologi itu. Tapi, kalau dasarnya subjektivitas, dan itu menjadi faktor yang sangat menentukan, maka antologi puisi itu sangat diragukan kredibilitasnya. Buku semacam itu sama saja dengan buku keluarga, silsilah raja-raja, yang tentu saja sangat eksklusif.

Saya memang salut dengan Taufiq Ismail dan kawan-kawan yang mengawali sejarah perpuisian Indonesia dengan sosok Hamzah Fansuri. Teeuw, dalam bukunya Indonesia: Antara Kelisanan dan Keberaksaraan, juga menyebutkan Hamzah Fansuri sebagai penyair pemula Indonesia. Namun, setelah peristiwa 1965, kenapa tidak bisa lagi melihat suatu karya sastra secara objektif? Kenapa Sitor Situmorang dilenyapkan dalam sejarah sastra kanon Indonesia? Di mana pula penyair-penyair Lekra semacam Agam Wispi, H.R. Bandaharo, Klara Akustia, misalnya?

Tapi, saya pun tidak menganggap sastrawan Lekra itu suci atau bersih semuanya. Kita juga harus ingat bahwa ketika PKI dekat dengan kekuasaan, ketika sastrawan-sastrawan Lekra itu juga dekat dengan kekuasaan Presiden Soekarno, mereka juga menindas sastrawan-sastrawan Manifes Kebudayaan (Manikebu). Buku-buku karya sastrawan Manikebu dilarang menyusul pelarangan Manikebu pada 8 Mei 1964. Bahkan buku-buku sastrawan Indonesia yang sedang mengajar di Malaysia, seperti Sutan Takdir Alisjahbana, M. Balfas, dan Idrus, juga dilarang. Karena, pada 1963-1965 ada ketegangan antara Indonesia dengan Malaysia. PKI menekan Soekarno agar melakukan pengganyangan terhadap Malaysia, yang dituduh sebagai antek imperialisme di Asia Tenggara. Namun, upaya itu tidak didukung para jenderal saat itu. Hingga kita tahu bahwa pada peristiwa 1965 itu para jenderal yang membangkang Bung Karno—yang disebut sebagai Dewan Jenderal—itu menjadi korban pembantaian pasukan pengawal Presiden Soekarno, Cakrabirawa.

Ketika Soeharto naik, dan mengambil alih kekuasaan, “roda berputar”, kata Keith Foulcher. Dan “bandul pun berbalik” kata Ajip Rosidi. Buku-buku karya sastrawan Lekra dilarang terbit dan beredar. Bahkan ada surat khusus dari Kepala Bakin (sekarang BIN, Badan Intelijen Negara) Yoga Sugama, yang memberi surat kepada penerbit-penerbit, termasuk penerbit Pustaka Jaya, penerbit besar yang banyak menerbitkan karya sastra saat itu, untuk menarik buku-buku karya sastrawan Lekra dari pasar, dan memusnahkannya. Begitu juga dengan karya-karya yang siap naik cetak.

Ketika Tonggak terbit, bisa dipastikan tidak ada seorang penyair pun dari Lekra. Padahal, Goenawan Mohamad, dalam Kurniawan (2006) menyebutkan setidaknya ada tiga penyair Lekra yang bagus, yakni Agam Wispi, Hr. Bandaharo, dan Amarzan Ismail Hamid. Ketiga penyair itu juga disebut-sebut dalam buku Prahara Budaya, namun dilihat dari perspektif seorang Taufiq Ismail. Namun, dalam konteks lain, ketika sebuah buku sejarah kanon diupayakan kelahirannya, ketiga nama itu tidak muncul atau bahkan tidak disebut. Rasanya agak aneh kalau tiga penyair itu tidak masuk dalam Horison Sastra Indonesia, mengingat buku itu terbit di era reformasi.

Hampir bersamaan dengan terbitnya Prahara Budaya, Pramoedya Ananta Toer mendapat penghargaan dari Yayasan Ramon Magsaysay. Tapi, lagi-lagi, Taufiq Ismail membuat manuver politik dengan menghimpun sejumlah sastrawan (26 orang) untuk menandatangani pemberian penghargaan itu. Sebenarnya, apa urusannya pemberian penghargaan kepada Pram oleh Yayasan Magsaysay dengan Taufiq Ismail? Hubungan secara langsung tidak ada. Tapi, beberapa pengamat seperti Ariel Heryanto mengatakan Taufiq Ismail masih terbelenggu dengan masa lalu.

Menurut Arief Budiman, Taufiq Ismail juga mengajak K.H. A. Mustofa Bisri (Gus Mus) untuk menandatangani petesi itu, tapi Gus Mus langsung menolaknya. Karena, menurut Gus Mus, lebih mulia memaafkan Pram daripada menuntut penolakan pemberian penghargaan kepada Pram. Yang menarik, Arief Budiman dan Goenawan Mohamad yang dulu sejalan dengan Taufiq Ismail saat melahirkan Manikebu, dalam hal hadiah Magsaysay itu justru tidak sepakat dengan Taufiq dan Mochtar Lubis. Arief menyatakan sebaiknya kita tidak dendam kepada Pram, mengingat posisi Pram di masa Orde Baru dalam keadaan tertindas.

Polemik mengenai hadiah Magsaysay itu kemudian dibukukan AS Laksana dalam Polemik Hadiah Magsaysay. Dari polemik itu, kita juga bisa mengetahui sikap sastrawan dan budayawan muda Indonesia yang lebih maju, seperti yang ditunjukkan Ariel Heryanto dan Tommy F. Awuy, yang tidak mau terjebak dalam belenggu sejarah.

Setelah Soeharto lengser pada Mei 1998, pengamat sastra Indonesia Harry Aveling menerbitkan Rahasia Membutuhkan Kata. Buku ini berisi 24 penyair dengan 114 puisi. Perspektif yang digunakan Harry Aveling adalah perspektif politik yang menyoroti kekuasaan Soeharto (1966-1998). Dari buku ini pula kita bisa membaca bagaimana Taufiq Ismail tampil sebagai penyair yang tanggap terhadap masalah politik. Tanggapan dan perlawanan Taufiq Ismail itu bisa dibaca dalam Tirani dan Benteng serta Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Dalam MAJOI itu, banyak hal yang ditanggapi Taufiq Ismail, termasuk protes kerasnya terhadap PBB yang tidak mampu menciptakan perdamaian dunia, serta tidak dapat menyelesaikan pertikaian secara adil, karena lebih condong ke kebijakan-kebijakan (policy) yang dikeluarkan negara-negara NATO, terutama Amerika Serikat.

Perlawanan terhadap kekuasaan yang lebih radikal dan frontal justru dilakukan oleh penyair muda Wiji Thukul. Suara lantang yang dihasilkannya, “Hanya ada satu kata: Lawan!” mengakibatkan Wiji Thukul sering berurusan dengan aparat keamanan. Kenapa Wiji Thukul sering berurusan dengan polisi, dibandingkan dengan Rendra dan Taufiq Ismail yang juga kritis terhadap penguasa? Rendra dan Taufiq meskipun menyuarakan suara kaum tertindas, masih terasa ada jarak antara penyair dengan subjek (orang-orang tertindas) yang disuarakan dalam puisi-puisi mereka. Selain itu, puisi mereka cenderung menggunakan simbol-simbol dan metafor.

Hal ini sangat berbeda dengan Wiji Thukul yang menyuarakan dirinya sendiri sebagai bagian dari orang-orang yang tertindas itu. Pesannya disampaikan secara lugu dan apa adanya. Ia mengakui bahwa dalam menulis puisi, bukan keindahan yang menjadi targetnya, melainkan suara perlawanan, terutama menyuarakan suara orang-orang kecil. Hampir semua puisi Wiji Thukul bersuara seperti itu. Berbicara tentang diri sendiri. Dan ternyata hal ini secara tidak langsung menggoyahkan kekuasaan. Selain itu, Wiji Thukul juga bergerak dalam politik praktis dengan memimpin langsung aksi-aksi demonstrasi kaum buruh. Akibatnya, Wiji Thukul diculik dan dibunuh. Dugaan dari sahabat-sahabat Wiji Thukul, ia diculik oleh aparat keamanan. Peristiwanya terjadi setelah kasus penyerbuan Kantor DPP PDI di jalan Diponegoro, di mana PRD (Partai Rakyat Demokratik) dijadikan kambing hitam dalam kasus 27 Juli 1996. Sementara Wiji Thukul sendiri aktif di Jaringan Kesenian Rakyat (Jaker), yang merupakan underbouw PRD.

Sebagai penutup, saya ingin mengatakan, sebaiknya dalam penulisan buku sejarah sastra Indonesia, atau sebuah antologi karya sastra yang berpretensi kesejarahan, penyusun harus bertindak searif mungkin. Harus ada jarak antara penulis sejarah atau penyusun antologi dengan bahan kajian. Dalam politik, memang seringkali kita mendengar slogan “Sejarah hanya ditulis oleh mereka yang berkuasa.” Namun, setelah kekuasaan Soekarno jatuh, setelah kekuasaan Soeharto jatuh, dan kebebasan berada di depan mata, maka bersikap adil dalam menulis buku sejarah, termasuk sejarah sastra Indonesia, harus lebih diutamakan.

Dan yang bisa melakukan hal itu hanya kalangan akademisi maupun peneliti yang independen. Sebab, tanpa independensi, mustahil kita dapat menghasilkan sebuah buku sejarah sastra Indonesia yang komprehensif. Semua dapat tempat, semua harus dicatat, kata Chairil Anwar dalam puisi “Catetan 1943”.

Bahan baku yang telah dihimpun Kratz, dan juga hasil temuan Claudine Salmon, dapat menjadi bahan kajian sejarah sastra yang sangat memikat. Bahwa ternyata sastra kanon telah menyingkirkan sekian ribu karya sastra lainnya, yang tidak diakui atau tidak dibaca penulis buku sejarah. Dan ini menjadi lahan yang terbuka bagi peneliti sastra. ***

 

Catatan Lama (Arsip), Januari 2007

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler