Skip to Content

Para Pengingkar

Foto Nista Nihil Nadir II
files/user/11603/covercropped.jpg
Lelaki Kembang Krisan.jpg

 

             Days that are over, dreams that are done.

Though we seek life through, we shall surely find

             There is none of them clear to us now, not one.

The low downs lean to the sea; the stream,

             One loose thin pulseless tremulous vein,

Rapid and vivid and dumb as a dream,

             Works downward, sick of the sun and the rain;

No wind is rough with the rank rare flowers;

The sweet sea, mother of loves and hours,

Shudders and shines as the grey winds gleam,

             Turning her smile to a fugitive pain.

—The Triumph of Time, Algernon Charles Swinburne

 

* * * *

   Ia meraih sebotol eau de vie dari atas dasbor dan langsung menenggak satu regukan. Suatu kehangatan purba pun menjalar di dalam dada, menambah kegerahan. Ingin rasanya ia melepaskan jas kelabu ini. Tetapi ia mengurungkan niat itu, dan justru merogoh sebentuk cincin dari dalam saku dada kiri dan mendekatkannya ke kaca depan, untuk dapat lebih jelas memeriksanya dalam sorotan mentari sore. Ukiran tangkai dan bunga dari emas yang teranyam melingkari batang tubuh cincin itu tampak merekah berkilauan. Gemilangnya melebihi kilau emas dua-empat karat, dan sungguh serasi dengan pendar perak pada lingkaran platina yang melatarinya, maupun butiran berlian yang tertatah indah di setiap pusat putik ukiran bunga itu. Pastilah ini merupakan karya seorang maestro. Atau setidaknya bukan buatan perajin sembarangan. Harganya pun tentu tak terjangkau bagi banyak orang. Ia meneliti cincin ini dengan lebih saksama. Di bagian dalamnya terpahat sebaris tulisan sambung, ‘Karena Cinta, Kami Hidup – Oleh Cinta, Kami Binasa – J & C.’

   Ia mengembalikan perhiasan itu ke dalam saku semula, lalu merapikan korsase kembang krisan yang merekah semerah darah di atas saku yang sama, seraya menunggu atap kanvas sedannya mengembang sempurna. Seusai kabin ini tertutup penuh, dari jok sebelah ia mengambil sebuah topi panama, yang tadinya menyembunyikan keberadaan sepucuk revolver andalannya yang hampir terisi penuh, dan sekadar minus sebutir peluru. Ia pun mengenakan topi dan menyimpan pistol itu ke dalam saku rahasia pada bagian dalam jasnya yang sebelah kiri. Lantas ia membuka pintu dan memijak keluar.

   Parkiran ini tampak lengang. Selain sedannya, hanya terparkir empat mobil lain di sisi seberang, di petak parkiran yang bersebelahan dengan gedung hotel. Ia mengunci pintu mobil dan berjalan menuju trotoar. Bau segar lautan mulai tercium samar, tetapi baru beberapa langkah ia beranjak, kerongkongannya sudah meminta diairi lagi. Ayolah, barang satu atau dua reguk saja, setelah itu barulah lanjut bekerja ….

   Ia menoleh ke belakang, ke botol kristal yang berkilauan di atas dasbor mobilnya, lalu menggeleng lemah, menolak panggilan Dionisos. Tidak. Setidaknya tidak sekarang. Sekarang ia harus bersikap profesional. Ia harus mengutamakan urusan bisnis di atas kesenangan pribadi. Termasuk pula perkara minuman, dan segala muslihat manis sang Iblis dan bualan pahit harapan beserta rayuan ampas asam-garam kehidupan yang bersemayam di dasar botolnya. Kerjalah dahulu, baru bersenang-senang kemudian, simpulnya, seiring kakinya melanjutkan langkah yang tertunda, menyusuri trotoar ke arah pesisir dan menuruni serangkaian tangga batu menuju hamparan pasir putih.

   Dari tepi pantai, kebiruan garis laut tampak menari-nari, menyerbu, membaur dan menyatu dengan syahdu biru cakrawala yang telanjang—tanpa sehelai pun gemawan—di bawah kawalan sinar mentari yang membengkak dan meruahkan ruam oranye, membeberkan secarik selendang jingganya. Di sekitar sini tak ada satu pun orang, kecuali sepasang bocah di tepian dangkal yang menjorok ke lautan.

   Ia berjalan mengikuti garis pantai menuju keduanya, dan berhenti di dekat salah satu bocah yang sedang asyik membangun istana pasir dengan ember dan sekop mungil. Ia langsung mengenalinya. Bocah itu adalah Atalarik. Rambutnya cokelat pirang dan bergelombang, serupa surai singa. Matanya besar, seperti mata boneka. Hidungnya bercuping ramping, dan bibir ranumnya yang mengembang penuh sungguh serupa dengan milik ibunya. Jika saja ia tak mengenal si bocah, paras elok itu akan membuatnya mengira bahwa Atalarik adalah anak perempuan, sebagaimana halnya Cassandra, saudari kembarnya—yang sedang bermain kejar-mengejar dengan ombak, tak jauh darinya.

   Beberapa saat ia termenung memandangi kedua bocah. Pastilah sudah enam tahun lebih ia tak bertemu mereka. Sekarang keduanya pasti sudah berumur tujuh tahunan. Saat ia menanyakan di mana ibu mereka, jemari mungil itu hanya menunjuk ke timur, ke satu-satunya payung pantai bergaris merah muda yang terkembang di antara barisan pohon kelapa. Ia berjalan cepat ke tempat itu, seusai menyimpulkan bahwa keduanya sudah benar-benar tak lagi mengenalinya—sebagaimana yang terungkap dari tatapan penuh tanya dan tawa lugu mereka.

   Tak ada Cressida di sekeliling payung itu. Begitu pula di kursi panjang yang tergelar menghadap ke lautan di bawah naungan payung. Di atas kursi tergeletak setumpuk buku, sepasang kacamata hitam, segulung handuk dan krim tabir surya. Di sebelah kaki tiang payung terdapat tas jinjing yang berisi sepasang handuk kecil dan baju ganti anak. Ia pun menyisir deretan pohon kelapa dan menelusuri daerah sekitar. Tetapi tetap nihil. Masih tak tampak siapa-siapa. Ia kembali ke kursi panjang dan menduduki ujungnya, lalu meraih sebuah buku tebal dari atas tumpukan. Di sampul kulit berpernis hijau tuanya terukir tulisan sambung dari tinta emas yang rapi dan indah, ‘Les Contrerimes – Paul-Jean Toulet.’ Di halaman yang tersisipi pita ungu tertulis, ‘Sur l’océan couleur de fer, pleurait un choeur immense ….’ [1]

   Bacaannya terusik oleh sesosok siluet yang meliuk timbul-tenggelam di antara gulungan ombak. Ia pun bangkit, mengembalikan buku itu ke atas kursi dan berlari memasuki laut untuk menghampiri sosok itu. Selangkah demi selangkah, belaian hangat samudra mulai membenamkan kakinya. Ia terus berlari, semakin kencang. Air laut kian meninggi dan menenggelamkan celananya sampai sedalam lutut. Langkahnya pun semakin tak nyaman, lantaran gumpalan pasir di dalam sepatu yang terasa mengganjal dan kaos kaki yang telah basah kuyup.

   Ia terus merangsek maju, menerobos sepasukan riak gelombang. Kini lautan sudah setinggi paha, dan siluet itu pun tampak lebih jelas, tak lagi hanya sebatas titik di kejauhan. Ukurannya sudah sebesar penampang tutup botol eau de vie favoritnya. Perawakannya berlekuk feminin dan ramping, berkulit putih cerah, dengan kobaran rambut pendek yang menyala cokelat terang. Tak salah lagi, itu adalah Cressida.

   Ia mempercepat langkah, tak mengindahkan rasa dingin yang menyerang kemaluan. Kini air laut telah menggenang sedalam pinggang, sedangkan belasan meter di depan, Cressida tampak asyik mengapung di permukaan laut seraya berayunan lincah di antara guyuran ombak, bagaikan putri duyung. Lalu dengan tak kalah gesit, duyung itu berenang memanjat dinding gelombang dan memancang anggun di puncaknya. Di belakangnya, semesta lazuardi senantiasa bergejolak, membubung dan menggulung, melebur jadi untaian tirai safir yang lantas menerjang maju, menembus tubuhnya dan menyelubunginya. Gemuruh ombak menggeruh di kanan jauh, dari arah hamparan karang di sepanjang sisa garis pantai sampai kaki tebing yang menganjur membentuk semenanjung di ujung pesisir ini, dengan gugusan bangunan megah di pundak dan puncaknya.

   Sekuncup percikan api merekah dari badan Cressida, disusul serentetan raungan yang sekejap meredam dan bungkam. Ia menunduk dan menyelam separuh badan, butiran peluru mendesing dan melintas di samping kepala, menimbulkan bunyi gemericik nun jauh di belakang. Peluru berikutnya menyerang dan bersarang di permukaan air tenang yang membujur datar beberapa langkah di depan.  

   Baiklah. Sudah cukup main-mainnya. Sekarang saatnya bertindak profesional. Waktunya mulai serius dan bekerja yang benar. Ia menggenggam tangkai revolver yang masih tersimpan di dalam saku jas dan bersiap mencabutnya jika dibutuhkan, seraya berlari mengejar si duyung sialan yang telah lebih dahulu bergerak mendekati gerombolan karang. Ia hendak melompat ke bagian laut yang lebih dalam, untuk dapat leluasa berenang dan menyalip buronannya, kala kakinya menginjak landas bebatuan yang landai dan datar. Maka ia lanjut berlari melintasi dataran bebatuan itu, sekencang-kencangnya menyusul Cressida.

   Di ujung landas bebatuan ia melompat ke dalam lautan, dan menyeruduk punggung buronannya yang sedang berlari di lautan dangkal, di pertengahan perjalanannya menuju padang karang. Mereka berdua pun tenggelam ke dalam lautan. Air asin menyeruak ke dalam mulut, menggaramkan ludah dan lidah, seiring bau amis menusuk hidung dan butiran pasir putih mencakari pipi dan dahi. Basahlah sudah sekujur tubuh dan pakaiannya. Ini tak sepenuhnya buruk. Setidaknya topinya masih terpasang di kepala. Di dalam air, tepat di bawah tindihannya, si duyung pun meronta membabi buta, berjuang membebaskan diri dengan bertubi-tubi memukul dan menendang ke sembarang arah, dan sesekali mengenai lawan. Tetapi sang profesional jauh lebih ahli dalam urusan pergumulan. Cukup satu jurus, ia sudah berhasil merebut pistol dari genggaman lawan, seraya tangan satunya meraih dan mencengkeram leher Cressida.

   “Lepas—lepaskan aku—”

   “Tenanglah. Tak ada gunanya Nyonya melawan—”

   Dengan sikutnya duyung itu memukuli dada lawan, lalu dengan sengit menendangi dan menginjaki kaki si pengejarnya. Tetapi sang profesional tetaplah tangguh bertahan, tetap gigih memegangi buronannya dari belakang. Sekepal tinju meluncur dan telak menghantam rusuk kanan yang tak tertutupi bikini seputih susu itu. Cressida pun merintih nyaring dan perih. Pupuslah sudah perlawanannya.

   Di antara desir napas Cressida, ia membenarkan topinya dengan tangan yang menggenggam pistol rampasan. Senjata itu tergolong berkaliber kecil, tak lebih dari sembilan milimeter, dengan tubuh berwarna tan, berlaras ramping, dan berlapiskan sepasang pelat gading di kedua sisi tangkainya. Lantas ia melepaskan perempuan itu lalu bangkit menegakkan badan dan meluruskan tangan, menurunkan moncong pistol agar tak lagi mengarah kepada buronannya, untuk membuatnya lebih kooperatif.

   “Nyonya, tenanglah. Dengarkan saya baik-baik.” Ia menghela napas panjang. “Meskipun, sekarang Nyonya Rajiman bisa lolos, tapi Nyonya tak akan bisa terus-menerus bersembunyi dari kami, bukan? Orang kiriman Meester Jauhari akan terus mengejar Nyonya. Dan cepat atau lambat, Nyonya pasti akan tertangkap. Begitu pula Hendrikus van Meeuwen.”

   Cressida sepintas menggigil dan perlahan membalikkan badan, menjadikan mereka saling bertatapan, lalu membiarkan tubuh ramping itu roboh dan terduduk lemas, memamerkan kepala seputih dan semulus porselen yang menjulang di atas permukaan laut. Butiran air di wajah dan puncak lehernya yang semampai pun bersinar terang—bagaikan permata yang mengerlap gemilang dalam pancaran cahaya keemasan muntahan mentari. Begitu pula dengan rambut cokelat muda yang berpotongan bob pendek itu. Di mata ini sungguh tampak indah benderang, layaknya mahkota sang putri Poseidon, sang penghuni asli jagat bahari ini.

   Tatapan cokelat keemasan itu barulah meredup kala bibir cupid Cressida melontarkan sedendang tawa renyah yang kian lama kian meledak riuh. “Oh, tadinya kukira siapa ... ah, ternyata Tuan ini. Sepertinya, kita pernah bertemu bukan? Anda ini, Tuan Selim bukan?” si duyung berucap ramah, seusai sukses membendung tawa.

   Ia mengangguk mengiakan dan sejenak memberikan hormatnya dengan menaikkan pinggiran topi bagian depan. Ia lantas merapikan korsase krisan di atas sakunya. Syukurlah, meskipun telah dilanda gelombang dan pergumulan, hiasan ini masih terpasang erat. Ia hanya perlu meluruskan mahkotanya yang sedikit menguncup lantaran terlalu banyak menyerap air asin.

   Cressida yang masih terduduk berulang kali menepuk dan membilas pundaknya dengan air laut, menyebabkan buah dadanya yang ranum menggoda bergoyang naik-turun—seolah ingin melepaskan diri dari belenggu bikini putih itu.

   “Ah, ternyata memang benar.” Si duyung melayangkan seutas senyum tipis. “Lama sekali kita tak jumpa. Kalau tidak salah, terakhir kali kita bertemu itu, seingatku waktu Ata dan Casey masih bayi ….” Mata cokelat itu melirik ke langit, berupaya mengingat lebih dalam, lalu menyempit muram. “Oh. Sungguh bahagia rasanya waktu itu. Tidakkah Anda ingat? Saat kita semua berkumpul di pesta ulang tahun si kembar yang pertama,” mata itu kembali membuka sempurna, menghablur syahdu, “… sungguh tak terasa, begitu cepat segalanya berlalu. Seperti mimpi saja.”

   Ia terdiam. Pikirannya ikut menyusul Cressida mengunjungi masa lalu, kembali ke momen itu, ke sebuah sore di mana seluruh bawahan dan rekanan keluarga Rajiman sedang menghadiri perayaan yang kini tinggal kenangan. Ia juga hadir saat itu, dan menyaksikan betapa cerianya Jauhari dan Cressida di sepanjang acara, terutama ketika mereka memperkenalkan si kembar kepada para tamu undangan, lalu bergantian menciumi pipi dan kening keduanya. Ia mengingat betapa si bayi Cassandra selalu merengek tiap kali hendak dipisahkan dari gendongan ayahnya, maupun bagaimana Jauhari berusaha menahan harunya, kala mengumumkan bahwa putranya yang telah tertidur di pangkuan ibunya itu kelak akan menggantikan dirinya sebagai kepala keluarga Rajiman, berikut seluruh sistem dan kerajaan pribadi yang dibangunnya dari nol—sejak bos besar itu masih berumur dua puluhan.

   Cressida kembali angkat bicara, memaksanya menghentikan penelusuran ke masa lalu. “… Dan sekarang, ternyata Tuanlah yang Hari kirim.” Duyung itu meluruskan lutut dan menegakkan badan. Air mata mulai mengumpul di kedua sudutnya. “Ayo. Cepatlah Tuan. Segera saja kita selesaikan semuanya.”

   Ekspresi wajah perempuan itu mengungkapkan sebuah kepasrahan terhadap nasib yang akan ditanggungnya. Deretan gigi putihnya menggigiti bibir bawah, seraya matanya terpejam menahan tangis dan dadanya mengembang dan menciut dalam irama yang beraturan. Tetapi sang profesional tetaplah mematung, tak bergerak sedikit pun, dan hanya membisu, mengamati buronannya yang setelah beberapa tarikan napas akhirnya menyadari bahwa tak kunjung terjadi apa-apa—melainkan keheningan yang semakin meraja.

   Cressida membuka mata dan menyalak, “Tunggu apa lagi? Apa jangan-jangan suamiku memintamu untuk menghabisiku pelan-pelan?”

   Ia mengembuskan napas panjang dan berbalas membentak, “Hei, jangan berpikiran yang bukan-bukan.”

   Seketika itu terbayang kejadian kemarin malam. Wajah Jauhari yang kurus pucat dan berpipi cekung itu tampak kontras dengan segenap kesuraman yang mengisi ruang kerja pribadinya yang temaram. Di belakang tubuh tinggi tegapnya, bayangan pekat membentang bagaikan tirai, seolah menyatu dengan setelan jasnya yang serba-hitam. Ia pun mempertanyakan keputusan si bos besar. Apakah keputusannya sudah bulat? Tak adakah jalan lain? Tak adakah ampunan bagi istrinya?

   Dengan mata sembap dan sebam Jauhari menjawab, “Jika permasalahan istri saja tak mampu kubereskan, lalu bagaimana dengan urusan bisnis? Jika kubiarkan masalah ini berlarut-larut, lama-kelamaan aku akan kehilangan wibawa di mata orang-orang. Kalau itu terjadi, pasti nanti si bangsat Meeuwen dan antek-anteknya akan semakin kurang ajar, bahkan akan berani terang-terangan menyerang dan merebut wilayah kita.” Jauhari pun menggebrak meja kayu di depannya. Di jari manisnya melingkar sebentuk cincin platina berukirkan jalinan tangkai dan bunga dari emas yang berkilau menyilaukan kala terkena secercah sinar dari luar jendela.

   Bos besar itu berkata halus, “Tetapi Bung, tolong lakukan secepat mungkin, selembut yang kaubisa. Cukuplah sebentar saja Cressi merasakan sakitnya. Cukup sedetik saja.” Kemudian kontur rautnya mengeras, mendidih oleh darah, seraya mulutnya menggeram, mengacungkan sepasang taring tajam, “Sedangkan Hendrik haruslah dibuat mampus pelan-pelan. Harus kaubuat menderita, sampai dia berlutut minta ampun, memohon-mohon ingin dikirim ke neraka ….”

   Tatapan kosong Cressida memulihkan kesadarannya. Ia segera menyambung pembicaraan. “Tunggu dulu. Masih ada satu hal lagi yang perlu saya tanyakan. Apa Atalarik dan Cassandra memang benar-benar anak Jauhari? Atau jangan-jangan, sebetulnya—”

   Cressida lekas menyeruduk maju dari posisi duduknya dan mencengkeram kaki sang profesional yang sedari tadi berdiri membayanginya, seraya air mata tertumpah deras, tak terbedung lagi.

   “Mereka itu anaknya—benar-benar darah dagingnya—sumpah, oh Tuhan …. Tuan—kumohon jangan sakiti mereka, jangan libatkan mereka, cukuplah aku saja—” Cressida melepaskan cengkeramannya, berganti meraih tangan lelaki di hadapannya dan mengecupnya. “Aku inilah sasaran Tuan. Anak-anakku itu tidak berdosa, tak tahu apa-apa. Apa Hari sungguh setega itu? Sampai hati mau menyakiti anak kandungnya sendiri? Tak adakah sedikit saja rasa kasihan di hati Tuan?”

   Sang profesional menyeka air mata yang membasahi wajah jelita itu, seiring batinnya bertanya-tanya. Bila Cressida memang mencintai anaknya, lalu mengapakah dirinya malah bertindak gegabah dengan membawa lari mereka dan mengundang malapetaka? Jika perempuan itu meninggalkan Atalarik dan Cassandra di rumah, tentulah Jauhari tak akan mencurigai pertalian darahnya dengan kedua bocah. Terlebih lagi, mengapa pula Cressida sampai nekat bermain gila—seperti halnya Cressida dalam legenda? Dan tega mengkhianati Troilus-nya? Entah apa pun alasannya, yang jelas Drupadi satu ini benar-benar sudah membelot ke kubu Kurawa. Tentulah dapat dimaklumi jika pihak Pandawa tak akan bersedia tinggal diam begitu saja. Meskipun sekali lagi harus ditegaskan, prahara rumah tangga Rajiman itu bukanlah urusannya. Sebagai seorang profesional, ia hanya perlu melakukan apa yang diminta kliennya, sesuai kesepakatan awal. Tak kurang dan tak lebih dari itu. Etos ini berlaku pula untuk pekerjaan kali ini, sebab Jauhari tak pernah memintanya untuk turut turun tangan membereskan si kembar.

   Maka ia berjanji, Atalarik dan Cassandra akan pulang ke sisi ayahnya dengan selamat, tanpa sedikit pun luka dan cela. Dengan menunjukkan raut penuh percaya, Cressida pun tersenyum lega dan menyampaikan terima kasihnya. Baguslah. Berarti sekarang ia sudah bisa menuntaskan perkara ini. Ia baru beranjak maju selangkah dan hendak menaikkan pistol, tetapi seketika itu, terasa ada sesuatu yang masih mengganjal pikiran, dan memaksanya menembakkan pertanyaan.

   “Mengapa Nyonya melakukan ini semua? Tidakkah Nyonya memedulikan perasaan Meester Jauhari? Dan tentulah Nyonya tahu risikonya? Tentunya kejadian seperti inilah yang pada akhirnya, cepat atau lambat akan terjadi.”

   Cressida tak segera menjawab dan justru tertawa lepas, lalu membalikkan badan ke arah laut lepas, membenarkan letak duduknya dan menyiramkan setangkup air ke wajah dan lehernya yang tak tergenang kebiruan nan mahaluas ini. Kepalanya perlahan menengadah menatap langit, dan barulah duyung itu berucap, “Apa itu juga pertanyaan titipan suamiku?”

   Cressida menoleh ke kiri, memperlihatkan separuh sisi samping wajahnya. Mata cokelat itu bergerak ke sudut dan melirik tajam ke arah sang profesional, yang lekas menggeleng tegas.

   Si duyung tersenyum lemas dan melanjutkan ucapannya, “Kurasa penjelasanku tak akan bisa memuaskan Tuan. Sebaiknya Tuan tanyakan kepada suamiku saja. Aku yakin, kalau Hari sesungguhnya paham kenapa aku pergi dari sisinya.”

   Ia mengangkat bahunya dan membalas, “Saya lebih memilih jawaban yang langsung keluar dari mulut Nyonya. Itu pun jika Nyonya memang berkenan.”

   Hidung tirus Cressida menghela napas pendek, cupingnya sekilas menyempit kurus. “Memangnya penjelasan seperti apa lagi yang Tuan mau? Soal hal ini pun, Tuan sendiri tentunya sudah punya gambaran bukan?”

   Ia tetap terpaku tanpa memberikan isyarat pembenaran maupun bantahan. Duyung itu lantas memasukkan telunjuknya yang basah ke dalam mulut, menarik bagian dalam pipinya dan memainkannya seraya menunjukkan raut penuh pertimbangan.

   “Setidaknya, apa Nyonya tidak menyesal?” Desaknya, dengan nada meninggi.

   Cressida mengeluarkan jarinya dari dalam mulut dan meluruskan pandangannya ke biru lautan, membelakangi lawan bicara. “Untuk apa? Terserah apa penilaian Tuan terhadapku. Tapi yang jelas, jangan pernah bilang kalau aku ini lari dari tanggung jawab. Aku—dan Hendrik, kita berdua sejak awal tahu risikonya. Jadi tak ada yang perlu disesalkan.”

   Duyung itu sejenak mencuri pandang ke belakang. Percikan air kembali menetesi pipi kanannya—entah apakah itu air mata ataukah air laut. “Kuyakin Hari pasti sudah paham betul soal sifatku yang keras kepala ini. Justru aku akan lebih menyesal jika memilih untuk tetap bersamanya. Atau bisa jadi kuakan membenci diriku sendiri, seandainya aku terus-menerus membohongi perasaanku, menipu diriku sendiri.”

   “Lalu, ini semua rencana Hendrik atau Nyonya—”

   Cressida berpaling ke belakang dan memotong, “Akulah yang merencanakannya. Awalnya Hendrik tidak setuju, apalagi setelah aku memaksa agar kita sekalian membawa Ata dan Casey. Tapi, setelah kuakui kepadanya kalau aku sudah lama tahu, kalau dia itu adalah seorang Meeuwen ….”

   “Ah, saya paham sekarang. Berarti awalnya Hendrik mendekati Nyonya dengan identitas palsu. Dan kemudian, setelah pengakuan Nyonya itu, Hendrik akhirnya bersedia kabur bersama Anda dan anak-anak?”

   Itu adalah pertanyaan retoris belaka, tetapi Cressida tetap membalasnya dengan anggukan yang sepertinya sarat akan kejujuran. “Mungkin bukan cuma karena itu, tapi juga karena keadaan akhir-akhir ini. Tentunya Tuan tahu bagaimana situasi di antara keluarga kami sekarang.”

   Ia merabai dagunya dengan ujung jemari yang senggang seraya mempertimbangkan perkataan si duyung. Tentu saja ia mengetahui hal itu. Tetapi yang terpenting ialah kini semuanya menjadi masuk akal. Selama ini, sampai beberapa tahun belakangan, keluarga Rajiman dan Meeuwen tidaklah pernah punya masalah. Tetapi sejak si tua Meeuwen mulai sering sakit dan putra tertuanya mengambil alih pucuk pimpinan, sumbu pertengkaran pun tersulut dan bergolak memanas. Bahkan sebentar lagi sangat mungkin akan meletus jadi konflik terbuka yang tak kalah berdarah dengan kisah trah Montague kontra Capulet, ataupun Metzengerstein versus Berlifitzing.

   Sepahamnya, bukanlah pihak Rajiman yang memantik api permusuhan. Jauhari sebenarnya sudah puas dengan posisi sindikatnya saat ini. Bos besar itu hanya ingin menikmati sisa hidupnya dengan penuh ketenangan. Tetapi lain cerita dengan Adrianus van Meeuwen. Bos baru itu masih muda dan ambisius. Baru tiga tahun Adrian naik takhta, tetapi dirinya telah sukses memperkuat organisasi, sampai berekspansi ke wilayah sekitar dan menguasai sepertiga residensi di Metropleks VI. Tetapi prestasi itu belumlah cukup memuaskan baginya. Si Meeuwen muda masih berhasrat memperluas operasinya ke kota tetangga, termasuk pula ke beberapa residensi di sepanjang pesisir utara yang merupakan pusat pasar gelap dan bisnis penyelundupan milik sistem Rajiman.

   Binar bening pada mata cokelat muda itu kembali memulangkan kesadarannya, entah untuk kali yang ke berapa. Untuk menuntaskan penelusuran, ia pun mengemukakan kepingan terakhir dari kisah ini, “Jadi, kondisi yang semakin gawat inilah yang sudah mendorong Nyonya untuk secepatnya melarikan diri dengan kekasih Anda dan membawa serta anak-anak. Selagi masih ada waktu untuk bertindak. Sebelum kalian terjebak di antara taring Rajiman dan cakar Meeuwen.”

   Cressida tak mengindahkan ucapannya dan justru memekarkan sekembang senyuman lebar yang tersaji teramat manis, melebihi semua senyum sebelumnya, lalu mempertemukan tatapan mereka. “Nah. Sepertinya sudah tak ada lagi teka-teki yang membuat Tuan penasaran. Kalau begitu, mari segera kita selesaikan urusan ini. Biar aku bisa secepatnya menyusul Hendrik ke alam sana, dan Anda pun bisa segera pulang dan beristirahat.”

   Udara sekejap terasa sesak dan berat. “Bagaimana Nyonya bisa tahu kalau Hendrik sudah saya—”

   Duyung itu memotongnya dengan sepatah siulan lemah dan merinai, “Oh Tuan Selim yang penuh tanya—” Pandangan mereka tak lagi saling beradu, lantaran Cressida telah memutuskan tatapannya dan berganti memandangi langit. “Aku ini sudah hapal betul cara kerja orang-orang suruhan suamiku.”

   Kedua mata si duyung menyempit sendu. Bibirnya berjuang membentuk setangkai senyuman tulus yang hanya merekah matang sekilas saja dan lekas berubah masam, seraya pikiran sang profesional terbang melayang, menuju bangunan hotel di tepi pantai dan bergerak menembus dinding, memasuki lantai yang paling atas, menyusup ke dalam salah satu kamar deluxe yang menghadap ke lautan—yang tadi ia kunjungi sebelum mencari Cressida.

   Di atas sofa panjang di ruang tengah itu barangkali masih terbaring sebatang raga berpostur tinggi dan berbahu lebar yang mengenakan setelan bisnis kasual. Wajahnya yang berhidung mancung dan berahang kokoh itu mungkin belumlah sepenuhnya kaku dan pucat pasi, bahkan bisa jadi masih menyisakan sedikit ketampanan—meskipun mata biru yang sedingin gletser itu benar-benar telah terpejam untuk selamanya. Atau barangkali, darah yang tadinya mengucur deras dari sebuah lubang di jantungnya kini sudah tak lagi mencurah dan hanya menggenang di lantai. Mungkin bentuknya tak lagi merah cair, namun telah mengental dan menghitam.

   Cukuplah ganjil pekerjaannya yang tadi itu. Entah karena setan apa ia enggan menuruti permintaan kliennya. Bukannya mempersembahkan kematian yang paling perlahan dan menyakitkan, ia malah bekerja seperti biasa, sesuai standar emas profesinya—yakni satu peluru untuk satu nyawa. Entahlah apa penyebabnya. Apakah di hatinya masih tersimpan setitik rasa kasihan? Ataukah sekadar karena dirinya enggan mencampuri urusan rumah tangga orang lain?

   Mata batinnya lantas menyoroti empat lembar tiket yang tergeletak di atas meja di depan mayat Hendrikus van Meeuwen. Terkuaklah sudah tujuan pelarian mereka. Di situ tercantum jadwal penerbangan ke Ngurah Pemecutan, Bali, Perserikatan Timur Raya, dari bandara kecil di dekat pantai ini, pada pukul 10.20 esok hari. Ia sempat menggeledah kamar mandi sebelum meninggalkan tempat itu, dan menemukan cincin platina berukirkan rangkaian bunga emas dan berlian yang kemudian dipungutnya dari timbunan tisu bekas di dasar tong sampah. Seketika itu ingatannya memudar. Kesadarannya tersentak mundur, kembali ke dalam raga, seiring jemarinya bergerak masuk ke dalam saku dada yang berhiaskan krisan dan menyentuh lembut cincin buangan itu, untuk memastikan bahwa ia masih menyimpannya.

   Cressida membalikkan tubuh dan kembali duduk menghadap ke laut lepas, lalu berkata lirih dan tenang tanpa sedikit pun berpaling. “Terima kasih, Tuan sudah jauh-jauh datang untuk menemuiku dan anak-anak. Dan tolong bilang kepada suamiku, jagalah Ata dan Casey baik-baik. Kalau sampai terjadi apa-apa, nanti aku akan menjelma jadi arwah gentayangan yang tak akan pernah berhenti menghantuimu.” Duyung itu lantas meletupkan sepenggal tawa riang yang terlalu ringkas, dan untuk sesaat mencuri pandang ke belakang, memperlihatkan mata kiri yang bersinar teduh dan sungai air mata yang mengalir kecil di sepanjang pipinya.

   “Nah. Karena sudah tak ada lagi pertanyaan yang mengganjal hati Tuan. Ayo, cepatlah kita tuntaskan semua ini.”

   Ia melangkah maju untuk segera memenuhi permintaan terakhir sasarannya, tetapi timbullah suatu kepahitan yang menyesakkan di dalam mulut, seolah mencakari ujung lidah sampai pangkal kerongkongan. Ia mengabaikannya dan mencondongkan badan ke depan dengan setengah bercangkung. Ingin rasanya ia mengembalikan cincin di dalam saku ini kepada Cressida, sebelum melakukan aksi pemungkasnya, namun ia langsung mengurungkan niat itu. Dengan tenang ia justru melekatkan moncong pistol rampasan ke tengah dada Cressida, tepat di jantungnya, tanpa sekali pun menatap wajah putih porselen itu.

   Sekarang, sekali lagi ia harus menampilkan keahliannya, dan mematuhi pedoman kerja yang sama untuk kedua kalinya pada hari ini. Selang satu peluru lagi, dan kontraknya pun terpenuhi.

   “Selamat tinggal Nyonya Cressida Rajiman. Beristirahatlah dengan tenang di alam sana.”

   Si duyung tidak membalas ucapannya dengan perkataan, tetapi dengan serinai lantunan yang lembut dan merdu. “Et puis la mort, et le silence. Montant comme un mur noir ….” [2]

   Segulung ombak menggunung tinggi belasan meter di depan dan menyerbu maju, mendekat secepat kilat lalu menghantam ganas padang karang yang menghampar tak seberapa jauh di sebelah kanan mereka. Seaum debur memekik lengking, menggema bertalu-talu—seperti raungan seorang ayah yang berulang kali memanggil dan mengajak pulang anak gadisnya dari suatu titik yang terlampau jauh, dari semesta lain di dasar palung samudra yang terdalam. Kala seruan mahapurba itu mulai mereda, si putri duyung pun menyaringkan kidungnya hingga suaranya melambung parau, seolah membalas panggilan sang ayahanda.

   “… Parfois au loin se laissait voir, un feu qui se balance.” [3]

   Itukah ungkapan kerinduan sang Kirke kepada Odisseus? Ataukah sebentuk jerit penyesalan dari lubuk hati yang sedang memendam rasa bersalah? Persetan dengan itu semua, hardiknya, seraya jemarinya menekan pelatuk pistol ini.

   Dentum tembakan menggelegar dan sekejap tenggelam dalam amuk dan debur susulan. Darah segar mencurah pekat dan memerahkan lautan di sekitar tubuh Cressida, yang kini mengambang bebas dalam buaian lautan. Lantas ia membuang pistol itu ke sisi pemiliknya, dan menutup rapat sepasang mata cokelat terang yang masih setengah terbuka, lalu menyaksikan bagaimana wajah jelita itu berubah memucat—tanpa ekspresi maupun sekerut pun ketakutan.

   Ia bergegas pergi dari sini, sebelum tumpahan darah itu menyebar semakin luas dan mengenai pakaiannya. Berlarilah ia menerobos padang karang, menuju daratan. Ketika kakinya menapaki pasir kering, barulah ia menoleh ke belakang, ke arah lautan. Dari pesisir ini, sisa tubuh Cressida tampak seperti setitik benda kelabu di tengah tumpahan tinta merah pastel yang sebesar kuku tangan, dan serupa kepingan mahkota krisan. Bagaikan sebutir debu—jika dibandingkan dengan kebiruan tanpa batas yang mengepungnya.

   Kemudian di kiri jauh, dari arah lautan dangkal berlandaskan bebatuan landai yang tadi ia lintasi, setitik siluet lain tampak bergerak mendekati mendiang Cressida. Kepalanya mengenakan semacam topi berbentuk pipih dan lebar. Sepertinya sosok itu adalah seorang pengunjung yang sedang menjelajahi pantai, atau mencari tempat memancing. Baguslah. Orang itu benar-benar meringankan sisa pekerjaannya. Berarti, sekarang ia tak perlu lagi melaporkan keberadaan mayat Cressida kepada seseorang di sekitar sini. Sebenarnya ia pun sudah bisa angkat kaki, lantaran kontraknya telah terlaksana sepenuhnya. Tetapi sebelum itu, masih ada satu hal lagi yang perlu dilakukan. Ia memandangi garis pantai yang melengkung landai sekitar dua kilometer dari posisinya sampai ke pesisir di depan hotel, dan menemukan sepasang siluet mungil yang sedang berdiri saling berdekatan di tepian di tengah jalur. Lantas ia berjalan cepat ke sana, dengan sebisa mungkin bertingkah laku sewajarnya agar tak mengundang perhatian.

   Mata boneka yang membulat bening itu tak sekali pun berkedip sejak Atalarik berhenti menatap ke lautan dan berganti menandanginya, seraya mulut mungilnya terus-menerus menanyakan, “Mama, Mama di mana?”

   Ibunda sudah berpulang ke dunia asalnya, dalam hati ia berucap—tak sampai hati menjawab lantang. Seketika itu matanya menangkap sesosok lelaki bercelana merah yang baru saja menuruni menara pengawas di dekat pesisir hotel dan berlari mendekati mereka. Ia berencana menitipkan si kembar kepada penjaga pantai itu, sebab mereka bukanlah urusannya. Biarlah anak buah Jauhari yang datang menjemput dan membawa pulang mereka. Ia tentu tak ingin ada orang yang mengenali identitasnya, apalagi jika orang itu adalah pihak yang berwenang. Maka ia tak bisa secara terang-terangan menyerahkan kedua bocah kepada penjaga itu, yang masih berada cukup jauh dari mereka. Dan selagi masih ada waktu, ia pun berjongkok dan merogoh cincin platina dari dalam saku berhiaskan krisan dan menyerahkannya kepada Atalarik yang masih mematung menatapinya, lalu melepas korsase krisan itu dan menyematkannya ke rambut Cassandra yang baru saja beringsut maju dan memegangi lengan kakaknya. Barang sejenak ia membelai rambut keduanya yang berkilau keemasan dalam siraman semburat surya yang sudah separuh terbenam, dan menepuki kedua pipi tembam Cassandra.

   “Mintalah paman itu untuk mengantarkan kalian ke hotel. Akan ada orang yang menjaga kalian nanti. Lalu bilang kepadanya, kalau ibu kalian minta dijemput di sana, di dekat karang-karang itu.” Ujarnya kepada si kembar, seraya menunjuk ke arah penjaga pantai yang bergerak mendekat, jauh lebih dekat, dan berganti menunjuk ke lokasi mendiang ibu mereka, seiring pandangan kedua bocah itu sigap mengikuti arah yang dimaksud, dan membalasnya dengan anggukan polos.

   Ia tersenyum renyah, semanis yang ia bisa, dan berpamitan dengan menciumi dahi keduanya seraya menahan gejolak sedu sedan yang mengental dan mulai menyumbat hidung dan sudut mata. Penjaga pantai kini hanya berjarak dua puluhan meter. Tanpa membuang waktu ia lekas beranjak menjauhi si kembar, berlari menuju rimbunan palem dan perdu di bagian luar pesisir dan menerobosnya, melintasi gundukan pasir dan tanjakan terjal berbatu, sampai ia tiba di tepi jalan beraspal yang sepi, tanpa satu pun batang hidung orang lain maupun kendaraan. Kemudian barulah ia memperlambat langkah dan menyusuri jalan itu ke kompleks hotel.

   Bangunan hotel mulai mencuar di depan mata. Tak ingin tampil memalukan di hadapan orang-orang, ia lantas membenahi pakaiannya yang berantakan—dan untungnya sudah sedikit mengering, tak lagi meneteskan air. Seusai meluruskan jas dan celana, ia memasukkan dan merapikan bagian belakang kemejanya yang menyembul keluar, seraya kakinya terus melangkah maju, lidahnya menelan ludah dan kerongkongannya merengek, menuntut disuguhi pancuran kehangatan. Ia melonggarkan dasi dan membuka kancing kerahnya, menghirup angin pesisir berulang kali, berjuang meredakan godaan Dionisos. Tetapi sia-sia. Ia tak mampu lagi membungkam gumam makian yang sesaat menyembur bebas dari mulutnya, mengutuki pekerjaan kali ini, menyerapahi Jauhari dan para Meeuwen sialan itu beserta nasibnya sendiri, dan juga muslihat pahit sang Iblis, segala-galanya.

   Ia tiba di parkiran dari sisi yang berlawanan dari jalur turun ke bibir pantai maupun lokasi mobilnya, dengan fasad samping gedung hotel tampak jauh di seberang. Ia harus secepatnya pergi dari sini. Segala profesionalitas di dunia ini tidaklah berarti apa-apa jika ia tertangkap basah di tempat kejadian perkara. Ia pun bergegas melaju menuju mobilnya yang terparkir jauh di sisi seberang, dengan sesekali melirik langit yang telah meredup dan seluruhnya menyala jingga, menyajikan sepotong senja tanpa awan dan bintang dalam tampuk penghabisan kuasa mentari yang tengah sekarat, setengah meleleh di balik perbukitan hijau di ujung utara, nun jauh di sana.

   Kini mobilnya sudah tampak di depan mata. Begitu pula sebotol eau de vie di atas dasbor itu, yang penampakannya sekejap memperparah dahaga. Ah ayolah, bertahanlah sebentar lagi. Sebotol wiski sudah menunggu di dalam laci dasbor, tak sabar ingin segera dijamah dan digerayangi, lalu berbalik mencumbu dan memeluknya, mengusir segenap kepahitan yang memenuhi mulut dan mencekik leher ini.

   Ia melangkah lebih cepat, seraya pikirannya mengkritik hasil pekerjaan hari ini. Tidaklah dapat dipungkiri, tadi ia sudah berulang kali bertindak kurang profesional. Apakah itu pertanda bahwa sudah waktunya ia harus pensiun? Entahlah. Mungkin saja demikian. Yang pasti, kali ini Jauhari sudah berutang besar kepadanya. Seratus dua puluh ribu gulden masihlah terlalu murah untuk membayar itu semua, apalagi untuk membuatnya melupakan kejadian tadi. Tetapi sebotol wiski barangkali akan lebih ampuh daripada sekoper uang, bukan? Setidaknya untuk kasus satu ini, harapnya. Seutas senyum tipis mengkhianati ekspresinya yang datar, seiring kakinya berhenti di depan pintu mobil dan jemarinya merogoh kunci dari dalam saku dada sebelah kanan.

   Ia membungkuk masuk, menduduki jok kemudi dan menggapai botol perak berbentuk pipih dari dalam laci dasbor. Rayuan siluman pun mendesis merdu dan manis. Marilah bersulang. Sekadar dua atau tiga reguk, dan segalanya akan baik-baik saja. Namun kala ia membuka tutup botol, sesuatu yang bersemayam di belantara batinnya sekejap menembakkan sepanah pertanyaan yang paling lancang. Sekarang inikah waktu yang paling tepat untuk mulai berhenti minum?

 

* * S E K I A N * *


[1] Di lautan besi, terisak kidung agung tiada hingga ….

[2] Kemudian kematian dan kesunyian. Bangkit menyerupai dinding hitam ….

[3] … Sesekali nun jauh di ujung sana, tampak api menari-nari (ke sana kemari).

[123] Dikutip dari penggalan sajak Sur l’océan couleur de fer karya Paul-Jean Toulet, dan lagu dengan judul yang sama oleh Alcest. 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler