Oleh: Abdul Hadi W. M.
Dalam sejarah sastra Indonesia, kesadaran akan pentingnya individualitas, pengucapan dir, dikatakan bermula pada abad ke-20 dengan munculnya Pujangga Baru dan Chairil Anwar. Tetapi anggapan tersebut baru separuh benar, sebab tiga abad sebelumnya Hamzah Fansuri dan murid-muridnya di Sumatra telah memulainya. Begitu pula gagasan tentang kemerdekaan penyair dalam merombak bahasa demi pengucapan estetik, yang disebut licensia poetica, secara kreatif dan luar biasa telah diterapkan dalam penulisan olehpenyair-penyair sufi Sumatra abad le-16 M.
Kecuali itu karya penyair abad ke-16 M itu membuka babakan baru dalam sejarah kepenyairan. Mereka menjadikan puisi bukan sekadar sarana pengajaran moral, melainkan juga sevagai sara pencerahan kalbu. Di tangan Hamzah Fansuri puisi berperan pula sebagai hasil perenungan penyair terhadap pengalaman spiritual yang dialami dan dihayati secara individual. Pengalaman spiritual tersebut dicapai melalui upaya intelektual dan olah batin secara berdisiplin, yaitu melalui jalan tasawuf atau ilmu suluk. Karena itu tidak mengherankan apabila banyak kritikus, seperti al-Attas, Brakel dan Braginsky, memandang Hamzah Fansuri sebagai Bapak Bahasa dan Sastra Melayu, seorang perintis jalan yang dengan karya-karyanya berhasil membawa sastra Melayu ke dalam babakan baru dengan sifatnya yang universal dan kosmopolitan.
Teeuw (1994) malahan tidak tanggung-tanggung menyebut Hamzah Fansuri sebagai Pemula Puisi Indonesia dalam arti sebenarnya. Pembaharuan sufi dari Barus itu tiga abad mendahului pembaharuan Pujangga Baru dan Chairil Anwar. Di antara pembaharuan yang dilakukan oleh Syekh Barus itu ialah sebagai berikut:
a. Kalau penyair-penyair sebelumnya malu-malu membubuhkan namanya dalam karyanya, Hamzah Fansuri tidak segan-segan membubuhkan nama pribadi dan gelar atau takhallusnya dalam setiap akhir karangannya, yaitu bait penutup ikat-ikatan sajaknya. Munculnya Hamzah Fansuri membuat zaman Sahibul Hikayat menjadi masa silam.
b. Hamzah Fansuri memperkenalkan bentuk puisi baru, yaitu Syair, yang kemudian sangat popular. Dari perkataan ‘syair’ itulah perkataan ‘penyair’ berasal, begitu pula istilah-istilah sastra lain seperti sajak, bait dan lain-lain, berasal dari karangan-karangan Hamzah Fansuri. Sebagai bentuk puisi empat (4) baris dengan skema rima AAAA, syair tidak ada dalam kesusastraan Arab dan Persia, dan juga tidak dalam kesusastraan Nusantara sebelumnya. Namun demikian Hamzah dapat mencipta bentuk puisi tersebut disebabkan pengetahuannya yang dalam mengenai puitika Arab dan Persia, serta puitika Melayu yang hidup dalam tradisi sastra lisan.
c. Hamzah Fansuri sangat kreatif menggunakan bahasa, atau dengan menggunakan istilah Chairil Anwar ‘sangat destruktif’ terhadap bahasa Melayu. Melalui kreativitas sang penyair maka lahirlah bahasa Melayu Baru yang sangat berbeda dari bahasa Melayu lama serta lebih kaya dan bertenaga.Kata-kata dan ungkapan Arab, malahan petikan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis yang sangat bermakna, sengaja dimasukkan dengan bebasnya ke dalam baris sajak-sajaknya. Tidak kurang terdapat 800 kata-kata Arab lepas dijumpai dalam 32 ikat-ikatan syairnya, belum termasuk puluhan ungkapan dan potongan ayat-ayat al-Qur’an yang sangat dalam dan luas maknanya.
Petikan atau potongan ayat-ayat al-Qur`an itu juga berfungsi sebagai unsur estetik dan sekaligus pelita yang menerangi makna keseluruhan sajak. Lagi pula bagi seorang sufi puisi tidak lain ialah tafsir spiritual dan estetis terhadap ayat-ayat al-Qur`an tertentu.
Saya ingin mengutip pernyataan Teeuw: “Mungkin pada penglihatan pertama pembaca menganggap pemakaian kata-kata Arab berlebih-lebihan dan mengganggu. Pembaca yang terbiasa menganggap puisi dapat dinikmati hanya dengan perasaan semata-mata, tanpa perlu berpikir, akan kecewa membaca puisi Hamzah Fansuri. Puisi Hamzah Fansuri memerlukan pengetahuan yang luas di bidang bahasa dan kebudayaan Arab Persia, termasuk pengetahuan tentang Islam dan tasawufnya. Kekayaan daya pikir dan luasnya pengetuan yang diperlukan untuk membaca puisi Hamzah Fansuri bukanlah tanda kelemahan atau kegagalan puisi Hamzah Fansuri. Puisi Hamzah Fansuri juga kaya dengan unsur puitik: diksi puisinya khas, ungkapan-ungkapannya kaya dan orisinal, begitu juga tamsil dan imagerinya. Juga ada kreativitas bunyi…”
Pendek kata, menurut Teeuw, Hamzah Fansuri menciptakan karya yang benar-benar bercorak individual dan modern, serta sangat kreatif terhadap bahasa dan intens dalam berekspresi.Bagaimana Hamzah Fansuri membubuhkan namanya dalam bait-bait penutup ikat-ikatan syairnya, dengan bahasa yang kreatif dan intens, dapat diperhatikan melalui contoh berikut:
Hamzah miskin hina dan karam
Bermain mata dengan Rabb al-`Alam
Selamnya sangat terlalu dalam
Seperti mayat sudah tertanam
Hamzah sesat di dalam hutan
Pergi uzlat berbulan-bulan
Akan kiblatnya picik dan jawadan
Itulah lambat mendapat Tuhan
Hamzah miskin orang `uryani
Seperti Ismail jadi qurbani
Bukannya `Ajami lagi Arabi
Nentiasa wasil dengan Yang Baqi
Hamzah Fansuri di dalam Mekkah
Mencari Tuhan di Bayt al-Ka`bah
Di Barus ke Quds terlalu payah
Akhirnya dijumpa di dalam rumah
Hamzah `uzlat di dalam tubuh
Romanya habis sekalian luruh
Zahir dan batin menjadi suluh
Olehnya itu tiada bermusuh
Dengan cara itu pulalah penyair mengungkapkan pengalaman spiritual di jalan tasawuf, dan sekaligus menerangkan gagasan Sufi tentang diri universal. Yaitu gagasan tentang hakekat spiritual kemanusiaan. Di sini manusia dilihat pertama-tama sebagai makhluq spiritual, pribadi yang memiiliki potensi berhubungan dengan Yang Transenden secara penuh, bukan semata-mata sebagai mahluq jasmani dan kejiwaan.
Salah satu ikat-ikatan syair Hamzah Fansuri yang indah dan mengungkapkan gagasan tentang pencarian diri melalui penerbangan jiwa ke puncak kehidupan ialah ikat-ikatan yang bermula dengan “Tayr al-`uryan” (Burung Fakir). Dalam sajak itu Hamzah memakai tamsil burung sebagaimana digunakan Fariduddin `Attar dalam Mantiq al-Tayr (Percakapan Burung) yang masyhur itu. Tamsil burung dipakai untuk menggambarkan jiwa atau roh manusia yang senantiasa gelisah disebabkan kerinduannya yang mendalam kepada Yang Satu, asal segala sesuatu. Tayr al-`uryan, arti harafiahnya burung telanjang, yaitu jiwa seorang faqir yang telah bebas dari beban kepentingan diri dan jiwanya damai mutmaina) karena kerinduannya kepada Yang Satu telah terpenuhi.
Demikianlah Hamzah Fansuri menulis:
Tayr al-`uryan unggas sultani
Bangsanya nur al-rahmani
Tasbihnya Allah subhani
Gila dan mabok akan rabbani
Unggas itu terlalu pingai
Warnanya terlalu bisai
Rumahnya tiada berbidai
Duduknya da’im di balik tirai
Awalnya itu bernama ruhi
Millatnya terlalu safi
Mushafnya besar surahnya Kufi
Tubuhnya itu terlalu suci
`Arasy Allah akan pangkalannya
Habib Allah akan taulannya
Bayt Allah akan sangkarannya
Menghadap Tuhan dengan sopannya
Sufinya bukannya kain
Fi`l Mekkah da’im bermain
Ilmunya zahir dan batin
Menyembah Allah terlalu rajin
Kitab Allah dipersandangnya
Ghayb Allah akan tandangnya
Alam Lahut akan kandangnya
Pada da’irah Hu tempat pandangnya
Zikir Allah kiri kanannya
Fikir Allah rupa badannya
Syurbat Tauhid akan minumannya
Da’im bertemu dengan Tuhannya
(Catatan: Nur al-rahmani = Cahaya Allah yang maha pengasih; Subhani = Maha Terpuji Aku, yaitu Tuhan, berasal dari ucapan syatahat Bayaid al-Bhistami; pingai = cemerlang keemasan, sebutan untuk burung simbolis Simurgh atau `Anqa, yaitu Phoenix, sebagai lambing hakikat ketuhanan dan hakikat diri yang sejati; bisai = elok, anggun; bidai = tirai penutup pintu dari rotan; da’im = selalu, senantiasa; ruhi = bersifat kerohanian; millat = madzab atau aliran keagamaan; musyaf = buku, musyaf; habib Allah = kekasih Tuhan; bayt Allah = rumah Tuhan; F al-Mekkah = di negeri Mekkah; `Alam lahut = alam ketuhanan, istilah dalam kosmologi sufi, di bawah alam ini berturut-turut ke bawah ialah alam jabarut (alam roh), alam malakut (alam batin) dan alam nasut (alam jasmani); da’irah Hu = Lingkaran Dia, merujuk pada posisi melingkar para sufi ketika berzikir mmengelilingi guru kerohanian, yang merupakan lambing dari pusat kehidupan rohani; syurbat tauhid = minuman tauhid, maksudnya salat, zikir dan wirid; sha’im = puasa; qa’im = menegakkan salat, maksudnya salat tahajjud pada waktu malam; naïf itsbat = meniadakan dan mengiyakan, merujuk pada kalimah La ilaha (nafi) ill Allah (itsbat); `isyqi = cinta ilahi; washil = hampir, menyatu, maksudnya menyatu dalam lautan hakikat wujud).
Sajak yang telah dikutip ini sangat halus dan indah, serta sangat dalam maknanya. Tidak mungkin ia ditulis oleh seorang penyajak yang hanya mengetahui tasawuf, tetapi tidak memiliki bakat puitik yang besar. Hamzah Fansuri ialah sufi besar Asia Tenggara, sekaligus penyair besar. Bukan hanya penyair-penyair Melayu Klasik berhutang budi kepadanya, tetapi juga penyair-penyair Indonesia modern, khususnya Sanusi Pane dan Amir Hamzah. Apabila kita baca kembali sajak-sajak Sanusi Pane dan kemudian membandingkannya dengan sajak-sajak Hamzah Fansuri, akan tampak pola persajakan kedua penyair tidak jauh berbeda, begitu pula cita rasa estetisnya. Kita kutip dua bait sajak Sanusi Pane “Dibawa Gelombang” yang mistikal itu:
Alun membawa bidukku pelahan
Dalam kesunyian malam waktu
Tidak berpawang tidak berkawan
Entah kemana aku tak tahu
Jauh di atas bintang kemilau
Seperti sudah berabad-abad
Dengan damai mereka meninjau
Kehidupan bumi yang kecil amat
Bandingkan dengan dua bait sajak Hamzah Fansuri
Jika hendak engkau menjeling sawang
Ingat-ingat akan ujung karang
Jabat kemudi jangan kau mamang
Supaya betul ke bandar datang
Anak mu`allim tahu akan jalan
Da’im berlayar di laut nyaman
Markabmu itu tiada berpapan
Olehnya itu tiada berlawan
Tetapi pengaruh Hamzah Fansuri lebih ketara pada Amir Hamzah. Pengaruh tersebut tidak terbatas pada aspek puitik dan pola persajakan, tetapi juga dalam hal wawasan estetik dan gambaran dunia (weltanschauung) yang disajikan. Pertautan jiwa Amir Hamzah dengan pendahulunya itu nampak dalam sajaknya “Berdiri Aku”. Namun tidak mungkin kita dapat memahami pertautan tersebut tanpa memahami gambaran atau pandangan dunia penulis Melayu secara keseluruhan, darimana wawasan estetik mereka diturunkan.
Estetika sebagai teori seni atau pandangan tentang keindahan seni, bukan hal baru bagi para penulis Nusantara. Sebelum agama Islam datang, penulis-penulis Jawa dan Melayu menerapkan estetika India yang didasarkan pada teori Bharata, Ananda Wardhana, Abinawa Gupta dan lain-lain, yang dikenal sebagai Teori Rasa atau Rasa-dhwani (sugesti rasa). Menurut teori Rasa, salah satu tujuan seni ialah membawa penikmatnya mencapai pengalaman unio-mystica atau meluluhkan rasa dengan kesadaran semesta.
Setelah agama Islam datang maka yang mempengaruhi wawasan seni penulis Melayu ialah teori Arab dan Persia, khususnya strukturalisme Abdul Qahir al-Jurjani (abad ke-12 M) dan pandangan para sastrawan dan estetikus sufi seperti Imam al-Ghazali, Ibn `Arabi, `Attar, Jalaluddin Rumi, `Iraqi, Mahmud al-Shabistari dan lain-lain. Mereka memandang karya sastra sebagai bangunan struktural yang kompleks dari pengalaman kejiwaan dan spiritual yang diungkapkan melalui bahasa figuratif (majaz) dan simbolik (tamsil). Imaginasi (takhyil) dan pengalaman spiritual sangat menentukan mutu karya yang dihasilkan seorang penyair.
Dalam sistem estetika Melayu ini karya seni dipandang terutama sebagai sarana transendensi, yaitu tangga naik menuju hakekat tertinggi. Penulis menyajikan obyek-obyek visual dalam karyanya sebagai image dan simbol untuk membawa pembaca mencapai pengalaman transendental `isyq (cinta ilahi), yang bentuk-bentuknya antara lain ialah fana` (persatuan mistik) dan ma`rifat. Di samping itu karya sastra juga berfungsi sebagai ikhtiar penyucian diri, selain memupuk kesadaran sosial dan kemanusiaan berdasar pemahaman terhadap Tauhid.
Mengenai gambaran dunia para penulis Melayu melihat alam semesta sebagai kitab agung yang sangat indah, sebuah karya sastra agung. Sang Khalik menjelmakan dunia ini dari Perbendaharaan Ilmu-Nya yang tersembunyi (kanz makhfiy) didorong oleh Cinta. Menurut mereka lagi, dunia ditulis dengan kalam Tuhan pada Lembaran Terpelihara (lawh al-mahfudz), (Braginsky 1993). Sebagaimana dunia, pribadi manusia juga merupakan sebuah kitab agung, sebuah karya sastra. Pada manusia keseluruhan hikmah alam semesta direkam dengan diringkas. Hikmah-hikmah tersebut hadir sebagai ayat-ayat-Nya, yaitu tanda-tanda-Nya yang menakjubkan. Karena itu mengenal hakekat diri sangat penting bagi manusia (baca Kimia Kebahagiaan karangan Imam al-Ghazali).
Sesuai dengan gambaran tersebut karya sastra mesti dibentuk menyerupai pribadi manusia, yang secara struktural merupakan kesatuan bangunan kejiwaan yang kompleks. Ungkapan zahir atau bentuk luar (surah) karya sastra, sebagaimana tubuh beserta gerak dan isyarat yang disampaikan anggota-anggotanya, hendaknya diusahakan dapat memberi sugesti atau isyarat tentang kehadiran rahasia Tuhan dan keberadaan gaib-Nya di antara ciptaan-ciptaan-Nya.
Demikianlah gejala-gejala alam, peristiwa-peristiwa sosial dan sejarah, keindahan obyek yang berbagai-bagai di dunia, merupakan manifestasi dari Cinta Tuhan dan Pengetahuan-Nya yang tersembunyi itu. Semua itu dihadirkan secara estetik untuk memberi efek tertentu kepada jiwa.
Cara meresapi dan memahami hakekat penciptaan, selain dengan jalan akal dan inderawi, ialah melalui peresapan kalbu atau pemahaman intuitif (`isyq). Perkataan seperti berahi, rindu, mabuk, takjub, lena, leka, gharib, asyik, karib tamasya dan lain-lain, yang banyak dijumpai dalam puisi-puisi Melayu klasik, termasuk Amir Hamzah, merujuk pada keadaan rohani di atas.
Di antara sajak Amir Hamzah yang mewakili pandangan dunia dan estetika seperti ialah “Berdiri Aku”:
Berdiri aku di senja senyap
Camar melayang menepis buih
Melayah bakau mengurai puncak
Berjulang datang ubur terkembang
Angin pulang menyejuk bumi
Nenepuk teluk mmengempas emas
Lari ke gunung memuncak sunyi
Berayun-ayun di atas alas
Benang raja mencelup ujung
Naik marak menyerak sorak
Elang leka sayap tergulung
Dimabuk warna berarak-arak
Dalam rupa maha sempurna
Rindu sendu mengharu kalbu
Ingin datang merasa sentosa
Mencecap rindu bertentu tuju
(dalam Buah Rindu)
Menurut Ibn Sina dan al-Jurjani, image-image dalam puisi di dalam keseluruhan bangunannya, dicipta untuk memberi efek kejiwaan dan moral tertentu kepada pembacanya, bukan semata-mata efek inderawi atau sosial. Penyair-penyair sufi lebih jauh menggunakan image dalam puisi dengan maksud memberi efek kerohanian, khususnya kerinduan kepada Tuhan. Hal seperti itulah yang dijumpai dalam sajak Amir Hamzah.
Gerakan-gerakan alam yang disajikan Amir Hamzah juga sangat kuat dalam memberi sugesti akan kehadiran Yang Satu melalui keindahan yang berbagai-bagai di alam ciptaan.
Perhatikan ungkapan-ungkapan seperti ‘mengurai puncak’, ‘berjulang datang’, ‘mengempas emas’, ‘memuncak sunyi’ ‘sayap tergulung’ dan lain-lain, yang menggambarkan serangkaian keadaan dan pengalaman rohani penyair ketika menyaksikan keindahan alam pada waktu senja hari. Semua bentuk keindahan zahir itu dapat dijadikan sarana transendensi apabila kita dapat meresapinya dengan kalbu. Efek kerohanian tertinggi yang dikehendaki penyair melalui sajaknya, ada pada bait terakhir.
Pendek kata melalui sajak tersebut Amir Hamzah memberikan pencerahan (enlightenment) kepada pembacanya sebagaimana penyair-penyair Melayu sebelumnya. Inilah antara lain sumbangan penting penulis Melayu Klasik kepada kita di dunia modern. Mereka memberikan kepada kita gambaran dunia dan cita rasa estetik, yang selain masih merupakan bagian dari sistem kerohanian masyarakat Melayu, disadari atau tidak, juga penting dihayati pembaca modern yang sehari-harinya sering berhadapan dengan masalah kekosongan spiritual dan ketiadaan makna hidup.
Jakarta 2 Juli 1998
Komentar
Tulis komentar baru