Maman S Mahayana*
Dalam sosiologi dikenal adanya hubungan tarik-menarik antara individu—masyarakat. Dalam hubungan itu, setiap individu diklaim mustahil dapat hidup tanpa melakukan interaksi dengan individu atau kelompok individu lainnya. Sekelompok individu inilah yang disebut masyarakat, termasuk di dalamnya kelompok individu dalam lingkungan rumah tangga. Ketika interaksi antar-individu dalam hubungan dengan lingkaran kelompok individu (sosial) terjadi, diperlukan adanya aturan main yang disepakati bersama untuk menjaga tertib sosial. Maka, dari sana lahirlah norma, adat-istiadat, tatakrama, etika, sistem kepercayaan, dan berbagai konvensi sosial lainnya. Secara etik, secara moral, individu terikat oleh segala konvensi sosial itu.
Mengingat setiap individu terikat oleh berbagai konvensi yang berlaku sebagai kesepakatan sosial itu, maka tingkah laku dan berbagai tindakan individu, termasuk pola pikir dan sistem nilai dan kepercayaannya, sangat ditentukan oleh masyarakat. Dengan demikian, masyarakat dengan berbagai norma, adat-istiadat, kebudayaan, agama, atau bahkan juga dengan sistem nilai dan kepercayaannya itu, tidak dapat diabaikan dalam pembentukan karakter individu. Dalam hal ini, karakter, norma, dan secara keseluruhan kebudayaan dalam komunitas itulah yang membentuk individu. Maka, yang membentuk individu sesungguhnya masyarakat. Akibatnya, setiap individu tidak dapat begitu saja meninggalkan apa pun yang berlaku dalam masyarakat.
Meskipun begitu, kadangkala ada individu yang kuat, kharismatik, dan nyeleneh. Pemimpin adat, kepala suku, atau tokoh masyarakat yang berpengaruh, sering ikut menentukan perubahan norma sosial atau adat istiadat masyarakat. Dengan demikian, di antara tarik-menarik individu—masyarakat, pengaruh-mempengaruhi itu terjadi karena individu sebagai anggota masyarakat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan yang berlaku dan yang membentuknya. Pernyataan: manusia sebagai makhluk sosial sebenarnya untuk menunjukkan melekatnya kehidupan individu dalam interaksi sosial. Di situlah individu memainkan peran sosialnya.
Sastrawan sebagai individu, sebagai anggota masyarakat, juga berada dalam posisi individu—masyarakat. Jadi, dalam lingkaran sosiologi, sastrawan tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh lingkungan alam, budaya, dan masyarakatnya. Ia lahir dan tumbuh sebagai anggota masyarakat. Ia berbuat, bertindak, berperi laku, berinteraksi, dan menjalankan segala aktivitasnya dalam kehidupan, dalam sebuah lingkaran yang bernama masyarakat. Dan ia menjalankan peranan kesastrawanannya dengan mempertimbangkan berbagai konvensi sosial.
Sementara itu, di dalam masyarakat, ada pula sejumlah individu yang membentuk kelompok, organisasi, atau komunitas. Dasar pembentukannya sangat mungkin lantaran adanya kesamaan cita-cita, harapan, pandangan, ideologi, atau bahkan juga kepercayaan. Kelompok-kelompok profesi juga lazim membentuk sebuah perhimpunan atau organisasi. Sifatnya bisa terbuka, bisa juga tertutup –inklusif atau eksklusif. Wilayah dan lingkup persoalan yang melatarbelakangi atau harapan yang melatardepaninya, bisa sangat khas, bisa juga universal; bisa begitu khusus lantaran kesamaan pengalaman atau hobi, tetapi bisa juga sangat umum mengatasi ikatan sosial lainnya. Segalanya sangat bergantung pada masalah yang melatarbelakangi atau harapan yang melatardepaninya.
Dalam konteks sosiologi, hubungan sastrawan dalam sebuah komunitas pada dasarnya hampir sama dengan individu dalam hubungannya dengan masyarakat. Hanya, dalam komunitas, individu sastrawan cenderung lebih terbuka, inklusif dan bersikap lebih bebas bergerak dalam memainkan peran kreatifnya, meski tidak jarang ada tokoh yang berpengaruh dalam komunitas itu yang kemudian menanamkan pengaruhnya untuk berbagai kepentingan. Bagi kesuburan dan peningkatan kreativitas dalam sebuah komunitas, kuatnya pengaruh tokoh, bisa berdampak pada terbentuknya kerajaan kecil dalam komunitas itu atau bahkan cenderung bakal menciptakan para epigon, meskipun di sana, seolah-olah kreativitas sangat dihargai.
***
Sastrawan sebagai individu profesional,[1] kadangkala merasa sangat berkepentingan untuk membentuk sebuah organisasi, perhimpunan, kelompok, atau komunitas. Tujuannya tentu saja untuk pengembangan karier setiap anggotanya. Fungsi dan peranan komunitas itu lebih sebagai pengayom dan fasilitator. Ia harus dapat mengakomodasi segenap kepentingan anggotanya. Mengingat peranan dan fungsinya itu pula, maka sifat komunitas itu ada yang resmi dengan berbagai anggaran dasar dan aturan main yang disepakati bersama, ada juga yang tidak resmi, tanpa label nama atau ikatan apa pun, tetapi merasa mempunyai gagasan, semangat dan cita-cita yang sama. Gagasan, kegelisahan atau semangat untuk membangun sesuatu itulah yang menjadi salah satu alat perekat membentuk atau masuk dalam sebuah kelompok, komunitas, atau mengklaim diri –atau dimasukkan ke dalam kelompok tertentu oleh orang lain—sebagai bagian dari komunitas itu. Pelabelannya bisa diambil dari nama orang, institusi, lembaga, atau nama lain. Tidak jarang pula pelabelan itu justru datang bukan dari individu yang “dimasukkan” ke dalam kelompok itu, melainkan dari individu di luar itu. Itulah yang terjadi dalam perjalanan kesusastraan Indonesia.[2]
***
Geliat sastra lahir dari pribadi kreatif. Ia mungkin saja menjadi sekadar gerak-riak. Sangat boleh jadi pula menjelma gelombang ombak yang memukau. Segalanya bergantung pada kegelisahan kreatif seorang individu sastrawan. Kreativitas bagi sastrawan sesungguhnya merupakan ruh yang memungkinkannya melakukan tindak mencipta, berkarya, dan membuat perubahan. “Kreativitas harus menjadi tanda perubahan mentalitas yang sangat berarti dalam diri makhluk manusia,” begitulah Nietzsche menekankan pentingnya kreativitas bagi manusia. Itulah sebabnya, Nietzsche beranggapan, bahwa “Para pencipta adalah kaum yang lebih tinggi.” Mengingat kesusastraan –dan kesenian umumnya—tidak dapat terlepas dari soal kreativitas, jadilah ia serta-merta menyatu dengan proses kreatif penciptaan. Tanpa itu, ia akan menjadi tukang, pembebek, atau masuk dalam barisan para epigon; pembebek, kelompok penjiplak yang malas memanfaatkan otaknya.
Penciptaan karya sastra adalah urusan individu. Kemandirian seorang sastrawan adalah modal utama. Dengan begitu, independensi mutlak menjadi dasar sosok pribadinya. Hanya dengan itu, ia dapat menggenggam gelombang yang kapan saja dapat dipancarkan ke segala arah atau cukup untuk dirinya sendiri. Maka, celakalah seorang sastrawan yang begitu amat bergantung pada pihak lain. Ketergantungan akan membawa seorang sastrawan pada musibah besar keterkungkungan kreatif. Ia terbelenggu oleh ketidakbebasan. Itulah penjara pikiran yang sangat berbahaya bagi kebebasan berkreasi. Bukankah kebebasan merupakan fitrah manusia yang akan menjadikannya sebagai manusia yang bermartabat. Dalam bahasa eksistensialisme, “Realitas manusia adalah bebas, pada dasarnya dan sepenuhnya bebas!”
***
Komunitas sastra adalah sekelompok sastrawan yang lantaran peranan profesinya sangat menekankan kebebasan berkreasi, maka setiap anggotanya mestinya independen, bebas merdeka, dan tidak bergantung pada cengkeraman sang big boss atau apa pun. Bahkan, sebagai individu bebas yang hanya dipersatukan oleh kesamaan sentimen, harapan, dan ideologi, kekaguman yang berlebihan atau pendewaan pada tokoh tertentu dalam komunitasnya akan mendatangkan bahaya, yaitu terjadinya pengerangkengan kreativitas. Mereka –anggota komunitas itu—sekadar sekumpulan pribadi pada dasarnya bebas sebebas-bebasnya. Hanya ia dipersatukan oleh kegelisahan yang sama mengenai persoalan kesusastraan persekitaran.
Tidak jarang pula mereka mempunyai pandangan dan harapan tertentu dalam menyikapi masa depan kesusastraan bangsanya. Mereka berkumpul dan berinteraksi dengan kesadaran adanya kesamaan kegelisahan, harapan, dan pandangan. Mereka niscaya sangat menyadari pentingnya mengusung kebebasan berkreasi. Jika di dalamnya ada simpang-siur ide, gagasan, perbalahan pendapat, pertentangan ideologi atau perselingkuhan kreatif, tentu saja semuanya sah. Itulah salah satu konsekuensi diberlakukannya kebebasan berpendapat dan kebebasan berkreasi dalam sebuah komunitas. Oleh karena itu, biarkanlah perbedaan itu tetap mekar. Suburkan pula perbalahan dalam kerangka olah pikir. Silakan perbedaan itu menjadi bebuahan karya yang kaya gagasan, memancarkan dan menyemarakkan pergulatan pemikiran, melimpahkan model yang beraneka ragam dan menjelmakan rangkaian peristiwa kemanusiaan yang bermartabat, luhur dan berbudaya.
***
Dalam sejarahnya, telah banyak berbagai komunitas yang merekruit dan ikut “membesarkan” (sejumlah) tokoh, meski semuanya sangat bergantung pada kreativitas tokoh itu sendiri. Lahirnya sejumlah tokoh itu tidaklah berarti bahwa individu tokoh yang bersangkutan sangat bergantung pada keberadaan komunitas. Juga tidak ada satu pun komunitas yang membesarkan ketokohan seseorang, tanpa kreativitas tokoh itu sendiri. Peran komunitas sekadar meneriakkan sensasi, membangun citra dan menghebohkan atau bahkan menciptakan mitos tentang ketokohan seseorang.
Komunitas sekadar wadah. Ia tidak melahirkan kreativitas, karena kreativitas datangnya dari individu-individu itu. Bahwa dari sebuah komunitas muncul seorang tokoh, duduk perkaranya sangat mungkin lantaran dalam komunitas itu, bermukim pribadi lain yang berkualitas dan kharismatik. Boleh jadi juga di sana berkecamuk perbalahan pemikiran. Atau, boleh jadi pula dalam komunitas itu telah tercipta kondisi yang memungkinkan setiap pribadi bebas berpendapat, bebas menyampaikan gagasan, dan bebas bertengkar argument: bebas mengumbar kreativitasnya. Jadi, sesungguhnya, faktor utama yang membesarkan individu atau anggota komunitas itu adalah dirinya sendiri melalui kekayaan kreativitas individu yang bersangkutan. Jadi, karya itulah yang sebenarnya paling penting dalam membesarkan nama dan reputasi sastrawan.
Jika ada anggota komunitas sastra yang taklid pada big boss-nya, menempatkan sosoknya sebagai dewa, dan haram hukumnya melakukan kritik pada karya-karya sang big-boss, maka komunitas sastra itu tidak hanya melanggar kebebasan berkreasi dan hak kemanusiaan, melainkan juga berbahaya, karena bakal menciptakan kondisi yang tidak sehat bagi pengembangbiakkan kreativitas. Komunitas model ini hanya akan melahirkan para epigon, pembebek, medioker, dan para pegawai sastra. Komunitas seperti ini lebih tepat menjadi organisasi politik.
Kenanglah sebuah komunitas di Riau yang bernama Rusydiah Klab (1895); sebuah kelompok diskusi yang syarat keanggotaannya ditentukan semata-mata oleh buah kreativitas. Siapa pun boleh menjadi anggota komunitas itu asalkan telah menghasilkan paling sedikit sebuah karya (buku). Tanpa karya, seseorang tak berhak menjadi anggota Rusydiah Klab. Oleh karena itu, karya-karya anggotanya itulah yang mempertemukan komunitas ini dalam sebuah diskusi, dalam lalu lintas pemikiran. Adanya syarat keanggotaan itu menunjukkan bahwa komunitas ini dibangun atas semangat keilmuan. Adanya tradisi diskusi yang diselenggarakan setiap minggu, menunjukkan bahwa komunitas ini mengusung kebebasan berpendapat. Penyair Gurindam Dua Belas—Raja Ali Haji, Perintis Novel Modern dan jurnalis Melayu—Syed Syeikh Al-Hadi, dan Pujangga Sunda yang awal—Hassan Mustapa, tercatat pernah menjadi anggota komunitas ini.
Kolompok perkawanan Kwee Tek Hoay, awal tahun 1900-an, konon juga berhasil membangun tradisi berdiskusi di kalangan para penulis peranakan Tionghoa. Dari sana tumbuh semangat untuk terus berkarya dan menciptakan karya yang lebih baik lagi. Bahkan, menurut Kwee Tek Hoay, jauh sebelumnya, di Bogor pernah pula terbentuk komunitas para nyonya Tionghoa yang biasa mendendangkan pantun dalam sebuah pesta keluarga Tionghoa.
Dalam kesusastraan Sunda, pembentukan komunitas model itu, juga bukanlah hal yang baru. Pada tahun tahun 1930-an ketika majalah Parahiangan begitu berpengaruh, lewat prakarsa M.A. Salmun, dibentuklah komunitas sastrawan Sunda yang benama “Angkatan Parahiangan.” Pada awal tahun 1958, Rukasah S.W., juga melakukan hal yang sama dengan membentuk komunitas peneliti sastra Sunda, bernama Badan Pangulik Budaya Kiwari dengan Achdiat Karta Mihardja sebagai Ketuanya. Tercatat sejumlah anggotanya, antara lain, Ajip Rosidi, Ayatrohaedi, Dodong Djiwapradja, Ramadhan KH, Toto S. Bachtiar, Utuy Tatang Sontani.
***
Begitulah, sebuah komunitas terbentuk seringkali dipicu oleh adanya kesadaran yang sama dalam memandang problem yang melatarbelakanginya dan harapan yang melatardepaninya. Terbentuknya komunitas itu, boleh jadi juga didasari oleh hasrat besar memancarkan kreativitas, dan bukan sekadar membentuk kumpulan orang yang segagasan, sekegelisahan dan sepengharapan. Di sana ada sesuatu yang hendak disumbangkan, keinginan untuk memberi kontribusi bagi kemajuan, desakan kuat untuk melakukan perubahan. Jadi, ada peristiwa kultural di belakangnya dan di depannya, terbentang harapan-harapan perubahan. Itulah hakikat dan peran sebuah komunitas.
Cermatilah langkah yang digerakkan Gelanggang Seniman Merdeka, 19 November 1946. Semangat untuk menguak (: menolak) Takdir (: Pujangga Baru) dan menawarkan perubahan, dimanifestasikan melalui “Surat Kepercayaan Gelanggang”. Mereka berhasil mengusung sebuah nama. Atas nama itu pula mereka melakukan gerakan. Jadilah ia sebuah angkatan yang bernama “Angkatan 45”. Dalam konteks kultural, kembali, nama itu bukan sekadar label. Ia menjadi identitas, kepribadian, dan sekaligus gerakan kultural.
Di negara tetangga kita, Malaysia, sekelompok sastrawan yang waktu itu bermukim di Singapura, juga memproklamasikan komunitas yang bernama Sastrawan Asas 50. [3] Komunitas inilah yang lalu melempangkan jalan bagi begitu banyak perubahan. Bahkan, lebih dari itu, slogan yang diusungnya, “Sastra untuk Masyarakat” telah menggiring sastra menjadi alat perjuangan. Sastrawan sungguh telah memainkan peran sosialnya secara signifikan. Sastrawan dan pers, bahu-membahu membangun sebuah kebudayaan bangsa. Dengan fondasi kebudayaan, Malaysia membangun negaranya.
Di berbagai negara mana pun, kelahiran dan peranan sebuah komunitas, sering kali menjadi pioner dan sekaligus sebagai agen perubahan. Tak sedikit pula yang pengaruhnya justru mengubah paradigma, pola berpikir, dan membuka berbagai kemungkinan yang lebih luas bagi kemajuan kebudayaan dan kemanusiaan. Periksa saja tindak yang dilakukan kelompok Opojaz dan Golongan Linguistik Moskow yang menyebut diri kaum Formalis Rusia tahun 1914. Lewat peranan kedua komunitas inilah konsep tentang sastra berikut metode kritiknya, yang tadinya sangat subjektif, dirombak—dibangun menjadi lebih objektif. Ketika pada tahun 1926, sebuah komunitas di Praha lewat tokoh pentingnya, Roman Jakobson, meneruskan dan merumuskan kembali gagasan kaum Formalis Rusia itu, sastra berikut perangkat analisisnya secara meyakinkan menjelma menjadi sebuah paradigma baru. Sastra menjadi sebuah artefak penuh makna dan kritik sastra mempunyai harga ilmiah. Pengaruhnya pun merambah disiplin ilmu lain dan bergentayangan ke belahan benua lain. Itulah peran penting sebuah komunitas!
Dalam kesusastraan Jepang yang mempunyai sejarah panjang tentang peran komunitas sastra, eksperimentasi, pembelotan pada tradisi, dan gerakan pembaharuan, justru datang dari sastrawan yang punya atau yang tergabung dalam komunitas. Di sana, komunitas memainkan peran sebagai bengkel penggodokan. Proses belajar dan pematangan terjadi dalam komunitas, meski tentu saja karier kesastrawanannya sangat ditentukan oleh kreativitas sastrawan yang bersangkutan. Sebut saja, misalnya, Mori Ogai, Tayama Katai, Natsume Shoseki, Mishima Yukio atau Yasunari Kawabata. Mereka sengaja bergabung atau membentuk komunitas dengan kesadaran membangun sebuah genre, aliran, atau berbagai aktivitas olah pikir untuk mematangkan profesi dan sekaligus memantapkan peranan kesastrawanannya. Untuk mencapai tujuan itulah, mereka lalu menerbitkan jurnal, majalah, atau buku-buku antologi karya anggota komunitas itu.
***
Bagaimanakah dengan keberadaan dan peran komunitas-komunitas kita?
Penelitian yang dilakukan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) tahun 1998[4] tentang keberadaan komunitas-komunitas sastra di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi, menunjukkan betapa kesusastraan Indonesia sungguh tidak terpencil dari masyarakatnya, sebagaimana pernah begitu gencar didengungkan banyak pengamat sastra. Di keempat wilayah itu, telah terbentuk poros-poros sastra –dan budaya—yang niscaya telah ikut menyemarakkan konstelasi kesusastraan di Jakarta dan sekitarnya. Secara keseluruhan, menurut penelitian itu, tercatat di Jakarta ada 20 komunitas, Bogor lima, Tangerang 18, dan Bekasi tiga komunitas. Bahwa ke-46 komunitas sastra itu sampai tahun 1998, masih menjalankan aktivitasnya, tentu saja itu merupakan kekayaan yang dapat melahirkan sastrawan penting Indonesia di masa depan.
Jika di keempat wilayah itu, tercatat ada 46 komunitas, maka dapat dibayangkan, berapa banyak komunitas yang ada di Indonesia. Poros-poros gerakan sastra Indonesia di Lampung, Pekanbaru, Medan, Aceh, Jambi, Padang, dan entah kota mana lagi di Sumatera; lalu di Yogyakarta, Surabaya, Bandung, dan pasti masih dapat kita deretkan lebih panjang lagi, merupakan wilayah pemasok sastrawan yang kiprahnya secara nasional, tidak dapat diragukan lagi. Persoalannya tinggal, bagaimana setiap komunitas itu dapat bersinergi dan membentangkan jaringan komunikasi antar-komunitas itu.
Bagaimana pula hubungan komunitas itu dengan dewan kesenian? Salah satu hal penting yang mestinya menjadi ciri utama sebuah komunitas adalah sifatnya yang independen. Kemandirian adalah hal yang penting dan mutlak menyatu dengan gerak langkah komunitas yang bersangkutan. Oleh karena itu, ada atau tidak ada hubungan dengan dewan kesenian, tidaklah menjadi soal benar. Meski demikian, mengingat komunitas tidak mendapat suntikan dana dari pemerintah daerah, maka dewan kesenian seyogianya membantu dan memasilitasi berbagai kepentingan komunitas-komunitas yang keberadaannya sekadar mengandalkan modal semangat, dan bukan membantu komunitas yang sudah mapan. Dewan kesenian mestinya mempunyai kesadaran ikut menyemarakkan perkembangan sastra melalui komunitas-komunitas itu. Semakin banyak komunitas sastra bermunculan, semakin baik bagi kehidupan kesusastraan itu sendiri. Oleh karena itu, keberadaan setiap komunitas mesti dimaknai sebagai aset penting. Dari komunitas itulah lahir sejumlah sastrawan dengan kualitas yang bermacam-macam dan kegelisahan yang juga bermacam-macam. Maka, biarkanlah komunitas-komunitas itu lahir dan bertumbuh membawa semangatnya sendiri. Biarkan pula perbedaan itu tetap mekar sebagai kekayaan.
Jika saja segenap komunitas itu membentangkan jaringan antarkomunitas, dan masing-masing bersinergi mengusung kreativitas yang berkualitas, karya-karya agung yang monumental sangat mungkin akan lahir, justru dari komunitas-komunitas itu. Sebaliknya, jika ada komunitas yang tak lagi berkarya dan ia sekadar mengusung papan nama, maka patutlah kita berdoa sambil berharap: “Kembalilah ke jalan yang benar!”
***
Bagaimanakah dengan persoalan ideologi dalam komunitas sastra? Bagaimana pula peranan komunitas dalam menempatkan dirinya sebagai basis estetika penciptaan? Sastra pada hakikatnya bersifat ideologis, dan di dalam ideologi itu tersimpan estetika, atau sebaliknya. Artinya, karya sastra lahir dari sebuah permenungan ide-ide dan ide atau gagasan itu, coba dikemas dalam bungkusan sastra. Maka, di sana, dalam karya sastra itu, ada pula pesan estetiknya. Dengan begitu, dalam karya sastra mendekam ideologi pengarangnya. Mengingat sastra bukan sekadar tumpahan ide-ide, tetapi juga hasrat mencipta estetika, maka ideologi yang ditawarkan pengarang menyangkut juga persoalan semangat estetik. Di sinilah kompromi dan negosiasi antara ideologi dan estetika, seyogianya dapat berjalin kelindan dalam bangunan yang bernama karya sastra. Tanpa kompromi dan negosiasi, karya sastra akan terjerembab menjadi karya propaganda atau pamflet belaka jika terlalu kencang menyuarakan ideologinya atau karya hiburan jika semangat estetiknya sekadar sebagai alat hiburan.
Untuk melihat bagaimana komunitas sastra memainkan peranannya sebagai basis estetika penciptaan, eloklah kita mencermati tiga komunitas –sebagai contoh kasus—yang tampaknya ikut mewarnai peta kesusastraan Indonesia. Ketiga komunitas itu adalah Komunitas Sastra Indonesia (KSI),[5] Komunitas Utan Kayu (KUK) dengan Goenawan Mohamad sebagai ikonnya, Forum Lingkar Pena (FLP) dengan Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia –sekadar menyebut dua nama—sebagai pionernya.
KSI sejauh ini mengusung semangat pluralitas keindonesiaan sebagai dasar ideologi berkeseniannya.[6] Kesan itu tampak terutama tidak hanya dari latar belakang ideologi dan kultur para anggotanya yang pluralis, tetapi juga dari sifat komunitas itu yang inklusif. Maka, siapa pun, dengan agama apa pun, berasal dari etnik mana pun, dengan profesi apa pun, bisa masuk menjadi anggota komunitas ini.
Sementara itu, mencermati serangkaian kegiatan yang pernah dilakukan KSI, tampak bahwa KSI coba mengangkat posisi sastra(wan) yang termarjinalkan dalam arus besar (mainstream) sastra Indonesia. Sastra subkultur, sastra peranakan Tionghoa, sastra buruh, dan sastra yang kerap dianggap sebelah mata –oleh sastrawan mapan atau oleh kaum akademisi—adalah wilayah yang coba ditempatkan secara proporsional. Pemetaan yang dilakukan KSI atas komunitas di Jabotabek (1998), peluncuran buku sastra buruh dan serangkaian kegiatan yang bekerja sama dengan kelompok penulis Hsin Hua dalam peluncuran dan diskusi buku karya sastra peranakan Tionghoa, bahkan penerjemahan sastra Cina, merupakan langkah penting dalam melengkapi peta sastra Indonesia.
Kiprah KSI yang terkesan perlahan, namun dengan tetap menjaga konsistensi perjuangannya, kini makin menunjukkan kontribusi penting dalam memberi penyadaran, betapa sastrawan dari golongan mana pun, dengan kiprah yang sebesar apa pun, tetap harus mendapat tempat. Dengan pluralitas keindonesiaan sebagai landasan ideologi perjuangannya, KSI sebagai sebuah komunitas, berada paling awal dalam menempatkan sastra Indonesia –dan secara keseluruhan kebudayaan Indonesia— dalam semangat merayakan pluralitas dan keberbedaan. Dalam konteks studi budaya (cultural studies) KSI menegaskan posisi sastra Indonesia –dalam hubungan dengan heterogenitas kultur etnik— dalam wilayah multikultural.
Kesusastraan Indonesia, –sejak kelahirannya— memang sastra multikultur. Ia lahir lewat rahim sastrawan yang tidak dapat begitu saja meninggalkan ibu-budayanya. Dengan demikian, jika kini KSI coba meluaskan jaringannya ke wilayah komunitas di seluruh Indonesia, ia akan menjadi sebuah wadah yang diharapkan dapat mengembalikan sastra dan kebudayaan Indonesia ke jalan yang benar! Bagaimanapun, Indonesia adalah Jawa, Bali, Sunda, Minang, Aceh, Dayak, Melayu, Batak, dan sederet panjang kultur etnik, termasuk di dalamnya kultur yang bersumber dari proses akulturasi—inkulturasi dengan kebudayaan India, Cina, Arab, Parsi, Eropa, juga —Hindu, Buddha, Islam, Kristen. Itulah Indonesia yang sejak awal sampai ke perkembangannya kini, semarak dengan perbedaan. Itulah salah satu kekayaan kultur Indonesia.
Meskipun demikian, sebagai sebuah komunitas yang bergerak memberi penyadaran atas pluralitas keindonesiaan, serangkaian kegiatan yang pernah dilakukan KSI selama ini, terkesan tetap berada dalam posisi marjinal, insidental, dan fragmentaris. Oleh karena itu, perlu langkah-langkah spektakuler. Kongres KSI sekarang, salah satunya. Langkah lain, seperti pemberian penghargaan KSI –pernah dilakukan atas kumpulan puisi Toto S Radik beberapa tahun lalu—patut dilanjutkan dengan wilayah yang luas.[7] Di sinilah, komunitas yang diandaikan sebagai basis estetika penciptaan akan menjadi semacam mainstream, paling tidak bagi segenap anggota KSI sendiri. Jadi, komunitas bukanlah yang menentukan model estetika yang hendak ditawarkannya. Komunitas bukanlah wadah yang akan digunakan untuk menentukan model estetik. Komunitas hanya wadah tempat berhimpun sejumlah sastrawan. Basis estetika penciptaan ditentukan oleh sastrawannya sendiri. Tetapi ketika wadah itu memberi penghargaan atas karya seseorang, maka kesan yang kemudian muncul adalah bahwa komunitas itu seolah-olah mengusung atau menawarkan model estetika. Komunitas pada akhirnya dipandang seolah-olah sebagai basis estetetika penciptaan. Sebaliknya, jika komunitas –belum apa-apa—sudah menentukan model estetikanya sendiri, maka ia telah menjerumuskan sastrawannya ke dalam kerangkeng estetika tertentu. Ia memasung kebebasan kreatif sastrawannya.[8]
Dalam usaha mengukuhkan keberadaan dan peranan KSI dalam ikut mewarnai perjalanan sastra Indonesia, patutlah dipikirkan penyelenggaraan kegiatan yang bersifat legitimatif yang mencakupi wilayah yang luas. Langkah ini tidak hanya akan member kontribusi penting bagi perjalanan kesusastraan Indonesia sendiri, tetapi juga dapat dimaknai sebagai usaha meneguhkan peran KSI secara nasional. Maka, di masa mendatang, KSI patut pula mempertimbangkan pelaksanaan serangkaian kegiatan spektakuler dan reputasional.[9]
Itulah beberapa kontribusi penting KSI dalam memainkan peranannya dalam perkembangan sastra Indonesia. Bukankah mengangkat posisi sastra yang selama ini dipandang marjinal, perlu dilakukan dalam sebuah kegiatan yang spektakuker agar posisi tawar dan pengaruhnya jauh lebih kokoh dan luas. Jika beberapa pandangan itu coba dijalankan, bukan mustahil, KSI akan menjadi sebuah wadah yang sangat diperhitungkan keberadaan dan peranan yang dimainkannya.
***
Komunitas lain yang juga penting dalam konstelasi sastra Indonesia mutakhir adalah Komunitas Utan Kayu (KUK) dengan Gunawan Mohamad sebagai ikonnya. KUK terkesan tampil sebagai komunitas elitis. Nirwan Dewanto dan Sitok Srengenge adalah dua nama yang secara langsung ikut memainkan peranan penting di sana. KUK membangun jaringannya tidak hanya dalam lingkup dalam negeri, tetapi juga luar negeri. Melalui jaringan itu pula, sastrawan yang terlibat aktif dalam KUK kerap mendapat undangan ke luar negeri. Bahwa yang dikirim ke luar negeri adalah para aktivis KUK atau yang diundang ke Teater Utan Kayu (TUK) sastrawan yang boleh jadi dipandang sejalan dengan semangat KUK, tentu saja itu merupakan tindakan yang sangat wajar. Bagaimanapun, hubungan perkawanan, klik, ikut menentukan. Jadi, tak perlu kecewa jika tidak diundang KUK atau KUK tidak merekomendasikan sastrawan di luar lingkaran klik-nya untuk menghadiri salah satu acara di luar negeri. Dalam hal ini, KUK mempunyai kriteria sendiri dalam coba memainkan peranannya dalam kesusastraan Indonesia.
Sebagai sebuah komunitas, KUK tentu saja mengusung ideologinya sendiri, sama halnya juga dengan komunitas lain. Ia juga tentu punya argumen dan kriteria sendiri dalam menentukan model ideal estetika yang ditawarkannya. Salah satu alat untuk mencermati kodel estetika yang ditawarkan komunitas itu, tentu saja dapat kita cermati dari sejumlah karya yang dimuat Jurnal Kalam, dan Koran Tempo. Dalam meluaskan jaringan dan sekaligus hendak mengukuhkan model estetikanya, lewat berbagai kegiatan yang diselenggarakan Tetaer Utan Kayu (TUK) dan Koran Tempo, komunitas ini –seolah-olah—hendak menempatkan diri sebagai lembaga elitis, eksklusif, dengan reputasi internasional. Melalui Koran Tempo pula komunitas ini coba menempatkan diri sebagai sebuah embaga yang dapat mengukuhkan kesastrawanan seseorang melalui klaim-klaimnya yang bersifat legitimatif.[10] Di luar itu, adanya sejumlah acara yang diselenggarakan di TUK, tentu tidak dapat diabaikan kontribusinya meski dengan segala kesan elitisnya.
***
Satu lagi komunitas yang juga memberi kontribusi penting bagi perkembangan kesusastraan Indonesia adalah Forum Lingkar Pena (FLP).[11]
Sebagai sebuah komunitas dengan jumlah anggota yang besar, penyebaran yang luas, dan militansi sebagian besar anggotanya, FLP menjadi komunitas yang sangat potensial mewarnai peta kesusastraan, bahkan juga kebudayaan Indonesia. Persoalannya kini, bagaimana gerakan FLP tidak sekadar berhasil memproduksi (calon) penulis dalam jumlah massal dengan penyebarannya yang menjangkau wilayah yang begitu luas, tetapi juga menghasilkan karya-karya yang berpengaruh justru karena kualitasnya, bahkan jika mungkin, membangun sebuah mainstream dalam konstelasi sastra Indonesia.[12]
Dalam peta komunitas sastra di Tanah Air, FLP memang berada di jalurnya sendiri. Berbeda dengan komunitas lain, seperti KUK atau KSI, FLP tampil tanpa dapat menghindari dari citra Islaminya yang kental, meskipun sesungguhnya keanggotaan FLP bersifat terbuka—inklusif. Dalam soal keanggotaan, FLP menerima keanggotaannya tidak dibatasi oleh faktor usia, agama atau apa pun.[13] Keanggotaan yang sangat populis ini telah menceburkan FLP menjadi sebuah komunitas massal. Bahkan, anggotanya secara resmi dikenai iuran Rp 2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah) sebulan, menunjukkan bahwa komunitas ini punya citra dan gengsi positif dalam pandangan kaum remaja,[14] bahkan juga masyarakat pada umumnya. Jadi, ketika masyarakat masih terperangkap pada pandangan bahwa dunia sastra dan kehidupan sastrawannya adalah dunia yang penuh kebebasan, urakan, eksentrik, dan berbagai pandangan buruk lainnya, FLP menampilkan diri dengan citra yang sebaliknya. Di sinilah keteladanan menjadi penting dalam membangun citra sebuah organisasi atau komunitas.[15]
Semangat FLP –sebagaimana yang dinyatakan dalam visinya,[16] juga sebenarnya sederhana saja, yaitu membangun masyarakat membaca dan menulis. Dalam hal itulah, sesungguhnya FLP punya visi yang substansinya sama dengan komunitas sastra lainnya yang bertebaran di Tanah Air, yaitu menciptakan manusia penulis. Bukankah ketertinggalan bangsa ini dari bangsa lain –terutama Eropa, dan lebih khusus lagi, bangsa di kawasan Asia Tenggara, lantaran budaya baca dan budaya tulis belum melekat dalam pandangan masyarakat. Tambahan lagi dengan derasnya penyebaran virus budaya populer lewat tayangan-tayangan sinetron dan opera sabun di televisi, makin mengakrabkan masyarakat dengan budaya mendengar dan melihat dan menjauhkannya dari budaya membaca dan menulis. Jadi, gerakan FLP sesungguhnya bersinergi dengan gerakan yang dilakukan majalah Horison melalui berbagai programnya serta komunitas sastra lainnya yang bermunculan di berbagai daerah di Indonesia.
Dalam masa satu dasawarsa ini, jelas bahwa FLP telah berhasil melakukan massalisasi kegiatan bersastra yang mencakupi wilayahnya yang begitu luas. Selain itu, citra eksklusif yang pada awalnya melekat pada FLP, lambat-laun sudah mulai cair. Masyarakat sastra juga –langsung atau tidak—mulai memperhitungan kontribusi yang telah diperlihatkan FLP. Demikian juga, sejumlah buku telah diterbitkan dan sejumlah penulis potensial telah dilahirkan. Pertanyaannya sejauh mana kualitas karya yang telah dilahirkannya?
Pandangan apriori beberapa komunitas sastra terhadap karya-karya yang telah dihasilkan FLP –sejauh pengamatan—belumlah proporsional. Anggapan bahwa karya-karya yang dihasilkan FLP sebagai masuk kategori sastra populer sangat mungkin didasarkan pada (1) stigma awal yang masih melekat, (2) belum mencermati secara lebih komprehensif, (3) tampilan cover yang memang mengesankan sebagai ciri sastra populer. Oleh karena itu, menilai kontribusi FLP –sejak kelahirannya tahun 1997—dalam peta kesusastraan Indonesia dan menempatkannya dalam komunitas sastra, tidak dapat dilakukan secara subjektif. Kita perlu masuk ke dalamnya dan coba menguak lebih jauh apa yang telah dilakukan FLP selama ini.
Bagi saya, gerakan FLP sangat fenomenal. Ia telah berhasil meyakinkan sejumlah komunitas yang selama ini dimarjinalkan. Dalam konteks itu, jelas bahwa FLP telah memainkan peranan yang penting, tidak sekadar memberi penyadaran –terutama kepada para remaja—tentang pentingnya berekspresi melalui kegiatan bersastra, tetapi juga mendorong berlahirannya penulis-penulis potensial.[17] Bahwa karya-karya FLP dipandang masih berkualitas sastra populer atau sekadar menghasilkan karya yang sarat dengan dakwah agama, pandangan ini pun perlu segera direvisi.[18]
***
Demikianlah perbincangan mengenai komunitas sebagai basis estetika penciptaan sesungguhnya merupakan sebuah pengandaian. Bagaimanapun juga, basis estetika penciptaan itu tidak lain adalah individu sastrawannya sendiri. Komunitas hanyalah wadah yang tugas utamanya coba memfasilitasi segala yang memungkinkan tumbuhnya kreativitas. Meskipun demikian, komunitas dapat juga digunakan atau dimanfaatkan sebagai alat legitimasi untuk coba menawarkan model estetika atau juga meneguhkan posisi dan peran kesastrawanan seseorang.
Boleh jadi demikian! ***
MSM/mklh-KSI/19—21 Januari 2008
* Makalah Kongres Komunitas Sastra Indonesia, “Komunitas Sastra sebagai Basis Estetika Penciptaan” diselenggarakan Komunitas Sastra Indonesia di Kudus, 20 Januari 2008.
* Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Komentar
Tulis komentar baru