Para sastrawan Aceh berdialog membahas status Hamzah Fansuri, Abdurrauf, dan Arraniry di Banda Aceh, Sabtu, 23 Februari 2013. Dialog yang berlangsung di The Stone Coffee ini mengetengahkan pembicara Dr Syarifuddin dan Hermansyah serta dipandu Teuku Kemal Fasya.
Acara itu dihadiri Wildan Abdullah, LK Ara, D Kemalawati, Nab Bahany AS, Musmarwan Abdullah, Adniel B, Edi Safawi, Yudi Andika, Sulaiman Tripa, Salman Yoga S, M Syukur, Nyakman Lamjame, Wahdani, Siti Aminah, Fira Al Haura, Iskandar Norman, Din Saja dan Zulfadli Kawom.
Thayeb Loh Angen, salah seorang panitia kegiatan itu, mengatakan dialog tersebut rencananya akan menghasilkan beberapa rekomendasi untuk disampaikan kepada pemerintah. Direncanakan, salah satu rekomendasi yang ingin dihasilkan dalam dialog yang akan berlanjut Minggu, 24 Februari 2014 itu adalah mendorong Banda Aceh sebagai Kota Sastra.
“Kami sedang merumuskan isi rekomendasi, tentu baru dapat disepakati setelah dialog pada hari kedua, Minggu,” kata aktivis kebudayaan di PuKAT (Pusat Kebudayaan Aceh Turki) ini.
Thayeb mengaku, dialog tersebut untuk membangkitkan kembali Aceh sebagai pusat sastra di Asia Tenggara. Ia bersyukur sekaligus menyayangkan banyak buku tentang karya dan riwayat Hamzah Fansuri ditulis oleh orang luar Aceh seperti Prof Abdul Hadi WM, Prof Syed Mohammad Naquib Al Attas dari Malaysia, Prof Bragisnki dari Rusia, dan lain-lain.
“Namun seharusnya kita orang Aceh lebih menghargai tokoh besar ini dari pada orang lain.” [RLS]
BANDA ACEH DIDORONG JADI KOTA SASTRA
- 5795 dibaca
Komentar
Tulis komentar baru