Lagi-lagi F. Rahardi kena sensor. Empat dari sepuluh puisi yang rencananya akan dibacakan di Karya Graha Mahasiswa IKIP Semarang, Sabtu malam lalu (31), dilarang dibacakan oleh yang berwajib. Akhirnya F. Rahardi hanya membacakan 6 puisinya secara ala kadarnya. Kenapa penyair mbeling ini menyamakan penyair dengan tukang becak dan puisi tak ubahnya dengan kentut?
Untuk memahami puisi F. Rahardi memang tidak diperlukan persiapan yang khusus. Siapapun, asal mengerti bahasa Indonesia pasti akan mudah memahami sebagian besar puisinya yang sangat gampang dicerna.
Seperti misalnya dalam sajak Pelajaran Biologi (yang menurut saya merupakan bagian yang paling bagus ketika dibacakan di IKIP) terdapat kata-kata yang betul-betul ‘sehari-hari’: Anak-anak/ tikus termasuk binatang menyusui/ alias mamalia/ jadi tikus tidak bertelur/ tapi melahirkan anak/ sekali lahir anak-anaknya dapat mencapai 22 ekor/ masa buntingnya 18-24 hari.
Bahasa keseharian itu rupanya telah menjadi pilihan F. Rahardi karena menurutnya dia tidak ingin menyusahkan orang lain.
“Menjadi penyair itu sudah berat dan susah. Kenapa masih harus menyusahkan orang lain dengan menampilkan puisi yang sulit,” katanya dalam diskusi. Maka di tangan F. Rahardi puisi bisa menjadi apa saja.
Ia bisa menjadi desah, umpatan, ekspresi kesedihan, kebingungan atau mungkin dagelan. Simak saja : sekarang coba sebutkan/ perbedaan tikus berdasi/ dan tikus yang tidak berdasi/ Anak-anak/ pertanyaan ini/ tidak perlu dijawab sekarang/ sebab untuk PR.
Seenaknya
Seharusnya acara pembacaan puisi tersebut yang menurut penyairnya sendiri merupakan salah satu upaya untuk memasyarakatkan puisi, bisa menjadi lebih bermakna. Sayangnya F. Rahardi menjawab nyaris semua pertanyaan dalam dialog sesuai pementasan dengan gaya yang jenaka dan ‘seenak’nya. Padahal beberapa saat sebelumnya dia menyebutkan bahwa syarat mutlak untuk menjadi penyair itu adalah harus bisa berfikir dewasa.
Sehingga acara dialog yang sebenarnya tepat untuk mendiskusikan tema-tema sosial dalam sajak-sajak F. Rahardi menjadi macet. Eka Budianta, penyair yang rencananya akan menjembatani acara dialog tersebut juga tidak bisa berbuat banyak.
Tapi paling tidak menurut Eka Budianta, kehadiran F. Rahadi semakin memperkaya kasanah kesenian Indonesia, khususnya bidang puisi. Dengan mengumpamakan puisi dengan pohon, Eka meminta agar penonton (masyarakat) memberi kebebasan setiap pohon hadir sesuai dengan hakekatnya. “Kan tidak mungkin kita memaksa pohon pisang menjadi pohon durian atau sebaliknya,” katanya.
F. Rahardi juga menimpali bahwa penonton (Semarang) ternyata datang dengan konsep yang berbeda tentang acara pembacaan puisinya.
“Kalau frame-nya keliru, ya jangan salahkan saya. Sebab saya ini pembaca sajak yang baik lho. Saya membacanya tidak pernah salah dan tidak plegak-pleguk,” katanya secara jenaka.
Konsisten
Terlepas dari acara pembacaan puisinya, kalau dicermati puisi-puisi F. Rahardi cukup menarik untuk dibicarakan, Dia termasuk penyair yang produktif, terutama pada awal-awal masa kepenyairannya. Sampai saat ini sudah ada empat buku kumpulan puisinya yang telah diterbitkan, yaitu : Catatan Harian Sang Koruptor, Soempah WTS, Silsilah Garong, dan Tuyul. Dua buku yang terakhir ini bertahun 1980.
Ratusan puisi yang dihasilkannya mempunyai warna yang khas: keluar dari kaidah penulisan puisi pada umumnya, sarkastis dan penuh humor. Isinyapun bisa dikelompokkan menjadi dua kelompok besar. Pertama tentang tema-tema sosial (kontekstual) dan kedua tentang keyakinan (ketuhanan) yang juga disampaikan dengan gaya mbeling. Bahkan puisi-puisi terbarunyapun yang berangka penciptaan 1991 dan 1992 juga mengangkat persoalan dan bentuk yang sama.
Dari sudut ini saja F. Rahardi mempunyai kelebihan dibanding penyair pada umumnya yang gampang goyah dalam soal penggarapan tema maupun pilihan bentuk. Bahkan Sutardji Calzoum Bachri yang dibaptis sebagai presiden penyair Indonesia karena keunikan dan kesegaran puisi-puisinya, akhir-akhir ini mencoba keluar dari bentuk puisinya yang lama.
Tapi, sebaiknya F. Rahardi memperhatikan juga pertanyaan yang ditujukan kepadanya dalam acara di IKIP tersebut. Yaitu apakah dia tidak ingin serius dalam hal penciptaan puisi, sehingga meskipun terasa main-main, puisinya akan semakin bernas dan berarti? Itu yang bisa menjelaskan tentu F. Rahardi sendiri. Siapa tahu akan ada acara rutin semacam itu. (Beno Siang Pamungkas)
Sumber : Wawasan – Kamis, 5 November 1992
Komentar
Tulis komentar baru