F. Rahardi
Duduk bersandar pada kursinya yang empuk, F. Rahardi penyair kelahiran Ambarawa, 10 Juni 1950 ketika ditemui di Markasnya Jl. Gunung Sahari, Jakarta, sedang sibuk mempersiapkan naskah untuk penerbitan dua bulan mendatang. Dialah yang membuat ‘geger’ dunia kepenyairan, karena ulahnya mendatangkan WTS dari lokasi Tanah Abang untuk membacakan karya-karyanya yang tergabung dalam Antologi ‘Sumpah WTS’ di Jakarta baru-baru ini.
Namun Dewan Kesenian Jakarta tidak memperkenankan Rahardi membawa ‘Sumpah WTS’ itu ke tempat pembacaan.
Antologi yang berisi 40 buah sajak itu, sebenarnya dipersiapkan untuk Puisi 1983 di Jakarta. Ia diminta bikin ‘Sumpah’, tetapi lain dari sumpah yang umum. Karena penyelenggaraannya waktu itu bertepatan dengan Sumpah Pemuda. Dasar Rahardi yang punya jiwa humoris yang tinggi, ia bikin sumpahnya WTS.
Oleh karena itu, ketika Rahardi dikecam sebagai epigonismenya Sutardji Coulzum Bachri, atau dinilai oleh Yassin bagus, ia diam saja. “Tapi umumnya publik sastra terjebak”, kata Rahardi. “Karena apa yang dikatakan oleh ‘orang top’ sering dianggap benar saja, ungkapnya menambahkan.
Bapak dari tiga anak ini punya masa lalu yang unik. Dalam usia dua puluh, pernah jadi Kepala Sekolah SD di Kendal. Tapi ia kurang menyukainya, lalu pindah ke Jakarta. Mulai menulis tahun 1972 dan sajaknya dimuat di majalah Semangat, kemudian menyusul di Basis, Horizon, Femina, harian Sinar Harapan, Kompas, dll. Tahun 1977 mulai memasuki kantor Trubus, majalah pertanian itu.
Tema sajak yang paling ia sukai adalah apa yang diakrabi. Ia menulis tentang pertanian, peternakan, perkebunan. Karena ia pernah menulis untuk majalah “Humor” maka mungkin pengaruh inilah yang membuat sajak-sajaknya bernada humoritas.
“Jika sesuatu yang serius membuat orang cepat bosan. Bisa jadi slogan atau semacam renungan yang berkepanjangan. Jadi unsur estetika itu diolah sedemikian dengan bumbu humoris yang tidak murahan”, ucap Rahardi.
Sebagai orang yang tinggal di Daerah Khusus Ibukota, Rahardi menganggap bahwa orang yang tinggal di luar DKI adalah orang daerah. Sehingga sebutan untuk penyair daerah tampaknya menjadi sebutan yang lumrah dan wajar. Begitu pula majalah/surat kabar pun berpredikat daerah. Yang serba daerah memang asyik dibicarakan dari ibukota, daerah khusus.
“Kalau media daerah bagaimana mutunya?”
“Pusat dan daerah mutu itu sama. Coba lihat di Horizon itu, tidak semua sajak/cerpen bagus. Bahkan saya melihat di koran/majalah hiburan itu baik-baik. Mungkin dampaknya lebih luas daripada yang di Horizon”.
Ditanya mengenai penulis pesanan, ia menjawab semua tulisan sebenarnya pesanan, hanya tidak diucapkan secara langsung. Ia contohkan Kompas, Horizon, dll, juga mengandung pesan khusus seperti apa yang diinginkan oleh media bersangkutan. “Ini terjadi dimana-mana”.
Pengarang pesanan menurut Rahardi adalah sah. Karena ia menganggap pesanan itu belum tentu jelek. Leonardo da Vinci misalnya, karyanya dipesan gereja tetapi toh mutunya tetap bagus.
Memang kalau terjebak pada pesan-pesan khusus bisa jadi slogan dan komersialisme. Itulah yang harus dimengerti”, kata Rahardi yang tidak mau membeli sepedamotor atau mobil. Ia lebih senang naik bis kemana pun atau jalan kaki. Itulah prinsip hidupnya di Jakarta. (Andrik Purwasito)
Sumber : Dokumentasi Sastra HB. Jassin/Yogyakarta: Minggu Pagi, Minggu, 23 September 1984
Komentar
Tulis komentar baru