Oleh : Hardi
Rosihan Anwar pada tanggal 21 Januari 1986, sehari sebelum F. Rahardi membacakan sajaknya yang dilarang itu, menulis di salah satu koran ibu kota. Bunyinya begini …” Kabarnya besok di TIM ada lagi penyair yang membacakan sajak-sajaknya. Dapat disaksikan asal bayar karcis masuk Rp 2.000, ujar seorang warga ibukota kepada temannya. “Kayak Rendra saja yang pungut bayaran untuk mendengarkan sajaknya. Siapa dia itu? balas temannya. Namanya tak ingat aku. Memang, aku bukan sponsornya, toh? Tetapi tidak begitu beken. “Sajak-sajak apa yang mau dibacakannya?” Katanya sajak sang Koruptor. “Menarik juga itu, kok menulis sajak tentang koruptor”. Bukan itu saja, malahan dia menulis sampai belasan halaman tentang sang Koruptor, “gregetan dia barangkali terhadap korupsi di negeri ini sampai berpencaran sajak tentang koruptor”.
Tetapi kan bagus, kalau masih ada penyair bersajak tentang sang koruptor. Tanda dia punya hati nurani sosial. Bayangkan, kalau dia sudah masa bodoh dan bersikap tak peduli, bukankah koruptor semakin merajalela?” Itu betul. Biarpun tidak banyak pengaruhnya terhadap keadaan, namun sajak-sajak tentang korupsi itu perlu kita hargakan. Biarpun koruptor gede berkeliaran dan tidak diapa-apakan, toh perlu dicatat adanya sajak-sajak protes yang mengecam koruptor dan kurupsi … dst”.
Pena Rosehan tadi sangat menarik, untuk ditelaah dalam kaitan situasi serta suasana kesenian kontemporer kita. Kasus F. Rahardi misalnya. Disaat Rendra bangun kembali, setelah delapan tahun tak bisa tampil di TIM, dan tinta di koran-koran Indonesia belum kering mengenai citra kebebasan di Indonesia, mendadak seorang penyair yang tidak diperhitungkan, tidak terkenal, jarang masuk koran, bukan tokoh idola, kena segel pementasannya oleh yang berwajib, di mana sajak-sajak yang dibacakan bertemakan tentang koruptor.
Seorang anggota DPR RI, ketua dept. PENBIDMASMED DPP GOLKAR yaitu Anang Adenansi di salah satu koran ibukota tanggal 25 Jan 1986, dengan kritis menyatakan bahwa ia sangat menyesalkan pelarangan yang dikeluarkan oleh pihak yang berwajib, terhadap pementasan penyair F. Rahardi, ia, sudah membaca empat lusin sajak F. Rahardi, dan ia tak melihat di dalam sajak penyair tersebut, ada hal-hal yang merongrong pemerintah. Diakui, bahasanya memang tidak lazim di telinga awam, tetapi itu kan bahasa penyair. Menurut Anang, penyair di dalam kumpulan sajaknya menempatkan dirinya sebagai sang koruptor, karena itu, sajak-sajak itu disebut kumpulan catatan harian sang koruptor.
Lebih jauh Anang Adenansi menjelaskan bahwa, pelarangan tadi bisa menimbulkan anggapan yang bukan-bukan. Padahal pemerintah sendiri saat ini secara gigih berusaha memberantas korupsi. Menurut Anang, untuk mewujudkan pemerintah yang bersih dan berwibawa bukan semata-mata tugas pemerintah saja, tetapi juga diperlukan partisipasi masyarakat. Disitu pentingnya kritik sosial dikembangkan.
Bahkan Anang tidak yakin larangan itu adalah merupakan kebijaksanaan dari pemerintah, mungkin larangan tersebut hanya ide dari sementara aparat, karena hanya lewat telepon.
***
Kesenian, sesungguhnya bukan kacang goreng. Kesenian adalah luapan rasa terdalam yang diwujudkan melalui falsafi keindahan sehingga menjadi suatu bentuk. Jadi untuk tahu kesenian, khususnya seni modern, sesungguhnya perlu belajar atau adanya sikap menerima, atau adanya suatu apresiasi dari seseorang terhadap karya seni. Kesenian bukan okol, ia lebih dekat dengan akal serta rasa, penalarannya harus disertai kepekaan, batin. Bila tidak, seseorang yang interesnya pada bidang politik, akan menilai bahwasanya kesenian tadi politis.
Seorang pedagang yang bermukim di Glodog misalnya, bila tak melengkapi dirinya dengan persyaratan di atas, ia akan menilai suatu kesenian tadi menjadi obyek dagang. Bisa laku atau tidak. Demikian pula pada seseorang yang bidangnya ilmu jiwa, maka sebuah sajak bisa berarti banyak bagi telaah kejiwaan. Maka juga tak mengherankan pula bahwa seorang yang bertugas di jalur keamanan, akan menilai pula dari bidangnya. Meresahkan masyarakat apa tidak.
Untuk itu saya kira, perlunya sejarah kesenian modern di Indonesia dibukukan. Sebab dalam kurun 40 tahun kemerdekaan kita, kita belum punya satu buku tentang sejarah kesenian kita baik yang tradisional ataupun yang modern. Kelangkaan bahan serta apresiasi inilah yang merupakan faktor munculnya larangan-larangan secara mendadak. Walaupun hak melarang itu dimiliki oleh aparat keamanan, tetapi saya kira lebih bijak, bilamana secara kelembagaan, mereka menghubungi lembaga yang tahu tentang kesenian dimintai pendapat sehingga dialog bisa terjadi.
Barangkali bisa kita ingat, bahwasannya Taman Ismail Marzuki itu, keberadaannya di bawah tanggungjawab Gubernur DKI Jaya, baik subsidi ataupun orang-orang yang didudukkan adalah kepercayaan gubernur dalam hal kesenian. Sehingga setiap ada kejadian yang kurang enak maka daerah selalu memonitor. Bahkan bukan saja daerah tetapi dunia internasional. Maka tak mengherankan bahwa TIM sepertinya barometer dari keadaan yang menyangkut kebebasan berpendapat, sehingga begitu Rendra bisa pentas, begitu pula opini secara nasional serta internasional terjadi.
Kembali kemasalah penyair F. Rahardi. Penyair kita satu ini menurut pengakuannya ia mengidentifikasikan dirinya dengan punakawan. Punakawan seringkali bermain menjadi sesuatu. Bisa menjadi raksasa, bisa menjadi dewa dan lain-lain. Maka kali ini Rahardi menjadi koruptor, setelah setahun yang lewat ia menjadi WTS. Untuk mendukung itu ia memiliki persepsi tentang TUHAN. Dengan latar belakang seorang kristen katolik ia tampaknya bebas bercanda dengan Tuhan. Lihat saja seorang Romo Mangun, Brouwer, Rendra sebelum masuk Islam, bagaimana ia melakonkan seorang pelacur sipilis Maria Zaitun, lantas pastur muda yang diperkosa jemaatnya dan lain-lainnya, Rahardi demikian pula. Ia gemas menatap panorama korupsi. Ia mengadu kepada TuhanNya, dengan menjadikan ia seorang koruptor sendiri. Dan ia ramu dengan bahasa seniman.
Hampir semua sajak Rahardi selalu diakhiri dengan kejutan yang manis, dan ini suatu penemuan yang orisinal, lepas dari pro atau kontra dari segi kesenian. Barangkali inilah yang diperlukan untuk membuka dialog. Bagaimana tanggapan pater Dick Hartoko, Romo Mangunwidjaya, Darmanto YT dan lain-lain, yang jelas menguasai dalam bidangnya.
Apakah sajak begini yang diramalkan sebagai sajak yang bisa bikin resah masyarakat? dimana sajak tersebut dibacakan oleh penyairnya pada tanggal 11 Nopember 1985 di Graha Bhakti Budaya, dan sambutan penonton gerrrrrrr? Dan bukankah lucu, kalau sajak begini dilarang? ***
Komentar
Tulis komentar baru