Pembaca sastra cenderung lebih bisa berempati kepada publik luas. Pembaca sastra juga lebih cenderung berderma. Data menunjukkan, mereka yang membaca sastra cenderung lebih ingin terlibat dalam kegiatan sosial dibanding yang tak membaca sastra (65,7 persen versus 48,5 persen). Mereka yang membaca sastra lebih cenderung ingin berderma untuk lingkungannya (86.5 persen versus 67.7 persen).
Kurikulum sekolah sebaiknya lebih banyak mendorong siswa membaca sastra. Anak anak diajak membaca sastra sejak usia dini. Tapi sayangnya, jumlah pembaca sastra di seluruh Indonesia hanya 6,2 persen saja. Demikian kesimpulan survei mutakhir LSI Denny JA, Desember 2017.
Survei dilakukan untuk 1200 responden. Populasi adalah publik dewasa (di atas 17 tahun), yang dipilih berdasarkan metode multi stage random sampling. Eksplorasi responden melalui wawancara tatap muka. Survei dikerjakan di seluruh wilayah, 34 provinsi, dari Aceh hingga Papua, dari Sabang hingga Marauke. Margin of error riset sebesar plus minus 2,8 persen.
Temuan LSI ini sejalan dengan riset yang dilakukan banyak lembaga internasional. New School of New York City misalnya di tahun 2013 menghasilkan kesimpulan sejenis. Mereka yang membaca sasta cenderung lebih bisa berempati merasakan pikiran dan perasaan orang lain.
Tapi di Indonesia, secara nasional, dari Aceh sampai Papua, pembaca sastra hanya 6,2 persen saja. Bahkan hanya 46,8 persen dari yang membaca itu yang ingat judul buku dan nama pengarangnya.
Tingkat pendidikan sangat menentukan pernah atau tak pernah membaca sastra. Yang pendidikan tertingginya mahasiswa sampai SD, klaim pernah membaca sastra berbeda signifikan dari angka 21, 1 persen hingga 2 persen saja.
Variabel lain yang signifikan adalah tingkat pendapatan. Mereka yang penghasilannya di atas 2 juta rupiah sebulan, 8,2 persen membaca sastra. Yang penghasilannya di atas 1 juta per bulan, 7 persen membaca sastra. Tapi yang penghasilannya hanya di bawah 1 juta sebulan, hanya 3,3 persen yang membaca sastra. Lebih besar penghasilan seseorang, cenderung ia lebih leluasa untuk membaca sastra.
Di luar variabel pendidikan dan penghasilan, variabel lain tidak signifikan menentukan apakah warga membaca sastra. Tidak variabel gender (laki, perempuan), agama, etnik. Tidak pula variabel teritori/ pulau (Sumatera hingga Papua).
Bagaimana cara menggalakan warga membaca sastra? LSI Denny JA menyimpulkan, tak lain dan tak bukan, yang paling efektif melalui kurikulum sekolah. Saatnya dibangkitkan gerakan literasi nasional. Dalam gerakan itu murid diberi semangat dan tugas untuk membaca sastra.
Komentar
Tulis komentar baru