Oleh: ACEP ZAMZAM NOOR
Tatolah aku, kasihku
Dengan segenap cintamu. Jangan ragu
Gambarlah seekor naga mungil
Pada kedua belah payudaraku
RATNA Ayu Budhiarti seperti ikan duyung, berbaring di panggung, pinggulnya bergerak, menggelosor. Pundaknya terangkat, tangannya menggapai udara, kemudian terkulai ke haribaan dada. Suaranya mendesah, menghiba dan kemudian meraung dengan kaki bergerak-gerak, seperti menyepak. Wajahnya tengadah, matanya nanar, seperti memohon. Rambutnya sebahu, lurus dan halus. Tubuhnya sintal dan parasnya oriental, dengan gaun putih yang ketat ia menggeliat-geliat. Beberapa lembar kertas tergeletak di hadapannya. “Tatolah aku, kasihku,” desahnya berulang-ulang, seperti ikan duyung yang sedang kasmaran.
Para hadirin terdiam. Asda II tak bersuara. Kakandiknas menahan napas. Kabidsenibud berdebar-debar. Para tamu undangan, termasuk aparat kepolisian yang berderet di kursi paling depan semuanya membisu. Terpana. Ada keheningan di tengah suara kipas angin dan asap rokok yang bergulung. Ayu, begitu penyair muda rupawan itu biasa dipanggil, menjadi pusat perhatian. Hikmat Gumelar tidak mengedipkan mata. Edi Purnawadi menggeleng-gelengkan kepala. Adi Wicaksono ternganga, mungkin karena terkena panah asmara. Begitu pula Soni Farid Maulana yang nampak berbahagia, terus saja tertawa-tawa.
“Tatolah jiwaku yang lapar dan dahaga ini….” dengan suara yang agak digumamkan Ayu mengakhiri pertunjukannya, tanpa senyum. Ia menggeliat, bangkit, berdiri dan dengan penuh percaya diri meninggalkan panggung tanpa basa-basi, diiringi tepuk tangan dan suit-suit para penonton yang masih penasaran. “Tamara lewat, Tamara lewat….” beberapa penonton berteriak dari belakang. Lalu terdengar suara tawa. Nizar Kobani dan Asmansyah yang menjadi MC menenangkan hadirin. “Kita harus bersyukur kepada Tuhan karena gadis secantik Ayu memilih jadi penyair, bukan foto model,” begitu komentar Asman penuh perasaan.
Ratna Ayu Budhiarti bersama Anas Banana dan Doni Muhammad Nur sore itu menjadi bintang tamu pada pagelaran sastra “Persetubuhan Kabut”, yang merupakan bagian dari acara peluncuran dua kumpulan puisi Persetubuhan Batin (Angkasa, 2002) karya Deddy Koral dan Matdon serta Anak Kabut (Paragraf, 2002) karya Soni Farid Maulana di Gedung Kesenian Tasikmalaya, beberapa waktu yang lalu. Sebelum para penyair yang bukunya diluncurkan tampil, tiga seniman (penyair dan deklamator) muda diminta untuk membantu membacakan puisi-puisi karya mereka.
Anas Banana membuka acara dengan membacakan puisi-puisi Deddy Koral, lalu Ayu membacakan puisi-puisi Soni Farid Maulana dan Doni Muhammad Nur membawakan karya-karya Matdon. Para seniman muda ini tampil penuh semangat, habis-habisan, dan nampak seperti bersaing satu sama lain laiknya dalam sebuah lomba. Dengan logat Madura yang kental serta tubuh yang tambun dan berminyak, Anas mencoba masuk ke dalam puisi-puisi Deddy Koral. Anas menggambarkan perjalanan batin Deddy yang bekas anak jalanan ini bukan hanya dengan suara dan raut muka, tapi juga dengan seluruh tubuhnya. Ia duduk, bangkit, bergerak dan kemudian duduk lagi. Tangannya kadang menebas, kakinya kadang menendang, dan kepalanya berputar-putar seperti berzikir. Ia berusaha menggambarkan pertobatan Deddy dengan sangat khusyuk. Berdoa sambil meneteskan airmata. Kepalanya terus berputar-putar seperti seorang dukun yang lagi kesurupan.
Doni Muhammad Nur aksinya lain lagi, adik kandung Soni Farid Maulana ini seperti tak mau kalah dengan Anas dan Ayu. Ia membawakan puisi-puisi Matdon tidak dengan meringis, menyepak atau menendang, juga tidak dengan berbaring. Seperti seorang atlet ia berlari-lari keliling panggung sambil melepas pakaiannya satu persatu, untung tidak sampai telanjang. Lalu menelentangkan tubuhnya di atas kursi, mengangkat kaki ke atas dan membiarkan kepalanya menjuntai ke bawah. Doni tidak tampil sendirian, ia dibantu Deden, Ihin, Lendra, Bubun dan Jabo yang mengiringinya dengan musik. Sementara Linda dan Budi Gunawan menjadi penata riasnya. Tiga minggu lebih Doni menyiapkan adegan-adegan berbahaya itu. Tiap pagi dan sore ia berolah tubuh dengan menjuntaikan kepala. Malam berteriak-teriak melatih ketebalan suara. Siang menggenjot stamina dengan lari keliling Dadaha. Ia memang tak bermaksud sekedar membacakan puisi, tapi ingin menteaterkan puisi. Maka wajar jika banyak hadirin yang tidak mengerti apa yang dimaksud Doni, termasuk Matdon sendiri.
Ada benang merah yang menghubungkan puisi-puisi Deddy Koral, Matdon dan Soni Farid Maulana. Ada kepedulian yang sama pada masalah-masalah sosial, meski dengan kadar yang berbeda-beda. Deddy Koral yang puisi-puisinya sangat empiris menggambarkan dirinya sebagai bagian dari masalah sosial negeri ini. Sedikit berbeda dengan karyanya terdahulu yang meradang dan menerjang, pada karya terbarunya Deddy nampak lebih kontemplatif. Secara jujur ia mengakui kesalahan-kesalahan yang pernah diperbuatnya. Bahkan menyusun daftar dosa-dosanya di masa lalu sebagai khasanah yang bisa diambil hikmah oleh siapa saja. Puisi-puisinya seperti menjadi pengakuan dosa. “Surat Untuk Sobat”, “Para Pendosa”, “Di Antara Karya-karya Besar-Mu” dan beberapa puisi yang lain terasa sangat religius. Sangat pasrah.
Puisi-puisi Matdon menembak langsung ke sasaran. Seperti namanya yang singkat dan to the point, tanpa basa-basi ia menonjok walikota, menyikut Tommy Soeharto, menjewer pegawai negeri dan meledek anggota DPR. Berbagai persoalan negeri ini terekam dalam puisi-puisinya yang rata-rata pendek, telanjang dan nyaris tanpa metafor. Matdon adalah juga seorang wartawan, maka wajar jika puisi-puisinya seperti berita, lugas dan mudah dipahami. Puisi-puisinya seperti sastra lisan yang mungkin lebih enak didengar ketimbang dibaca langsung teksnya. Dalam beberapa puisi Matdon mencoba menertawakan berbagai kenyataan yang ditemuinya, seperti tentang anggota DPR misalnya: senin ada kunjungan kerja/selasa musyawarah komisi, rabu studi banding/kamis menebar janji/hari jumat dan sabtu kalian di mana? Penggambaran karikatural seperti ini terdapat pula dalam beberapa puisi lain seperti “Sajak Pegawai Negeri”, “Hiburan Politik 4”, “Sajak Walikota”, “Opera Kering” dan “Pertemuan Di Sebuah Kafe” yang ditulis tahun 2000-an. Sementara puisi-puisi yang ditulis tahun 1980-an temanya lebih subyektif meskipun pengucapannya tetap lugas.
Jika Deddy Koral dan Matdon lebih mementingkan apa yang akan diungkapkan ketimbang bagaimana cara mengungkapkannya, maka Soni Farid Maulana yang punya jam terbang lebih tinggi kelihatannya bisa menyeimbangkan kedua hal tersebut. Ada keseimbangan antara bentuk dan isi dalam puisi-puisi Soni. Ya, kita semua sudah sangat mengenal puisi-puisi Soni, baik frase-frasenya, diksi-diksinya maupun idiom-idiomnya yang khas. Membicarakan penyair “super” produktif di sini bisa kurang bermanfaat karena sudah terlalu sering diulas orang. Jangan-jangan malah mengundang terjadinya penjenuhan.
Tapi satu hal yang yang mungkin perlu digarisbawahi dari pagelaran sastra yang diselenggarakan oleh Sanggar Sastra Tasik (SST) ini, adalah bagaimana Ratna Ayu Budhiarti menafsirkan puisi-puisi Soni. Ayu nampaknya sudah lama mengenal Soni, paling tidak lewat karya-karyanya. Belakangan Ayu bisa mengenal Soni secara pribadi, meski perkenalan ini hanya lewat telepon dan e-mail. Kedekatan Ayu dan Soni tak perlu dicurigai macam-macam, sebab urusannya hanyalah proses kreatif dalam penulisan puisi. Jika pun ada perasaan kagum di antara keduanya itu pun tetap dalam koridor kreativitas, yakni sebagai sesama penyair. Jadi wajar-wajar saja.
“Instrumentalia” adalah puisi pertama yang dibacakan Ayu. Puisi suasana ini sudah cukup lama ditulis Soni, bercerita tentang sepasang kekasih yang menolak kematian. Ayu mengucapkannya dengan suara lirih dan jernih, dengan penekanan pada kalimat-kalimat tertentu. Matanya menerawang, tangannya bergerak pelan. Puisi ini diselesaikan tanpa banyak kejutan, tapi mengalir tenang. Nampaknya Ayu sangat memahami apa yang digambarkan Soni dalam puisi ini, sebuah ketenangan yang sublim. Sebuah kontemplasi. Hadirin masih tenang-tenang saja, Eriyandi Budiman pun tenang di samping istrinya.
Ayu kemudian membelakangi penonton, mengucapkan judul puisi yang akan dibacakannya. Lalu berbalik lagi, melangkah dan bersimpuh di atas bidang hitam. Dengan tenang dan intonasi yang terjaga ia mengalirkan bait-bait puisi itu lewat mulutnya yang mungil. Nampaknya Ayu cukup serius memasuki puisi yang ditulis Soni tentang sebuah malam musim dingin, dengan salju di ranting-ranting. Suaranya yang lirih tiba-tiba menggeletar, seperti gelombang udara yang terganggu cuaca. Dengan mengguncang-guncangkan dadanya sendiri, Ayu mencoba menggambarkan kesepian seorang suami setia yang jauh dari istrinya. Napas panjang kemudian ia hembuskan dan tubuhnya kembali ditegakkan. Hadirin mulai terhenyak, emosi mulai terpancing. Enung Sudrajat nampak gelisah. Saeful Badar memerah wajahnya.
Tiba-tiba Ayu membaringkan tubuhnya yang semampai itu. Seperti ikan duyung ia menggelosor, meliuk-liukkan pinggul dan kakinya. ”Sekali lagi aku minta padamu, tatolah kedua payudaraku dengan gambar naga…” desahnya menggoda, dengan tangan kanan dirapatkan ke dada. Ayu benar-benar menjelma sebagai aku-lirik yang liar. Aku-lirik yang berontak pada tatanan-tatanan yang ada. “Tatolah aku, kasihku. Jangan ragu walau ayah dan ibuku tak setuju. Dulu, ya dulu, tato memang simbol napi. Tapi sekarang lain maknanya. Tato sumber keindahan, semacam aksesoris, semacam tanda…” suara Ayu terdengar menghiba dengan tangan kanan yang terus menekan ke dada kirinya.
Soni Farid Maulana nampak sangat bahagia di tengah para penonton yang juga ceria. Puisi panjangnya yang berjudul “Tato” telah ditafsirkan dengan sangat bagus oleh seorang wanita. Tentu kita tidak bisa membayangkan jika Soni sendiri yang membacakannya sore itu, sebab kita semua tahu bahwa Soni Farid Maulana tidak mempunyai payudara.
(2002)
Tulis komentar baru