Gerimis yang turun seperti jarum-jarum logam pada senja itu gagal mengirimkan harum tanah dan hawa sejuk ke ruang sebuah paviliun di pinggang bukit itu. Jaket dan sweater memang tetap melekat di badan, tapi panas di kepala sangat sukar ditahan. Entah sudah berapa kali gelas-gelas dituang kopi panas. Entah sudah berapa puluh puntung rokok menggunung dalam asbak. Ruang itu tetap saja dibungkus asap. Ribuan kata pun meluncur dari belasan mulut. Kata-kata itu menjelma ular kalimat yang saling mendesak, saling menindih, saling menghantam, dan saling memagut.
Saudara tahu, belasan warga desa kami mati gara-gara sumur dan sawahnya tercemar limbah pabrik saudara! Apa pun alasannya, pabrik jeans itu harus ditutup jika saudara tidak becus mengelola limbahnya. Jangan paksa kami meminum air wenternya!!” Jajak menggebrak meja.
Laki-laki botak dan tambun yang disebut “saudara” itu kaget. Urat-urat di wajahnya seperti mungkret. Tangannya cepat-cepat meraih gelas dan meminumnya.
“Pakai sopan santun, Bung!” hardik lelaki bertubuh gempal yang duduk di sebelah laki-laki botak. “Bos kami tidak seburuk yang bung sangka!”
Hardikan itu tidak menyurutkan amarah Jajak. “Apa yang masih tersisa dari manusia berhati batu macam bos kamu! Apa?!”
“Sekali lagi saya ingatkan. Bung jangan merasa diri sendiri paling benar. Soal produksi jeans, bos kami sudah mengantongi izin,” gertak si Gempal.
“Tapi soal limbah?”
“Itu sudah include, Bung… include…!”
Orang-orang yang duduk di samping dan belakang Jajak saling memandang. Si Gempal memainkan asap rokoknya menjadi bulatan-bulatan seperti donat. Donat-donat asap itu menari-menari di depan wajah Jajak.
“Kami tak peduli itu sudah include atau kentut! Pokoknya, pabrik itu harus ditutup.”
“Jangan anarki, Bung! Di belakang kami, ribuan mulut buruh menganga!”
“Jangan mengatasnamakan nasib pekerja yang sesungguhnya kalian peras!”
“Mustahil kami menutup pabrik kami!” Si Gempal meraih bir, langsung menenggaknya.
“Kami akan mengerahkan demonstrasi yang lebih besar lagi!” Jajak berdiri, diikuti yang lain, lalu ramai-ramai meninggalkan ruangan itu. Lelaki botak dan Si Kekar tersenyum. Sinis.
Di luar gerimis putih masih menaburkan jarum-jarum logam. Di dalam rongga masih terasa pukulan berdentam-dentam.
Mobil ambulan menyimak tirai hujan, menyibak kerumunan orang-orang desa. Sirene meraung-raung mempertajam garis-garis kepanikan yang tergurat di wajah warga desa. Dari dalam mobil, Jajak dibantu tiga laki-laki mengusung tubuh membeku, membiru. Belum sampai di halaman rumah, mayat laki-laki itu langsung dipeluk seorang perempuan paruh baya dan tiga perempuan muda. Kata-kata mereka tenggelam dalam raung tangis. Jajak beringsut dari kerumunan orang itu ketika posisinya digantikan seorang laki-laki. Ia membatalkan niatnya untuk menenangkan perempuan paruh baya itu. Membiarkan bendungan kesedihan jebol, jauh lebih baik daripada mengumbar kata-kata yang tidak perlu, pikirnya. Ia berjalan menuju pojok rumah dan duduk di deretan kursi pelayat.
“Siapa yang akan menyusul Kang Marno. Cepat atau lambat limbah pabrik itu kan menggulung riwayat kita. Kita telah dibunuh surat keputusan yang dikeluarkan pemerintah… ” ujar seorang laki-laki yang mendekati Jajak.
Jajak hanya memandang laki-laki itu. Lalu tersenyum kecil. Pahit. Ia mencoba mengusir kepahitan itu dengan asap tembakau yang diisapnya kuat-kuat lalu diembuskannya. Ia merasakan impitan di dadanya sedikit melonggar. Namun, ketika ia mengedarkan pandangan, menyapu ruang sekitar hingga menanap jauh, dadanya mendadak kembali sesak. Pabrik jeans itu masih mengepulkan asap, masih membanjiri sungai dengan limbah wenter biru-menghitam. Aliran sungai keruh itu terasa berbalik menuju ke nadinya. Arusnya terasa sangat kuat, hingga wenter biru-hitam itu memenuhi seluruh rongga dalam tubuhnya. Sesak dadanya makin menghebat. Jantungnya terasa penuh air limbah. Juga rongga kepalanya, hingga ia merasakan otaknya terapung-apung di atas genangan limbah biru-hitam.
“Dokter hanya bilang, kamu kecapekan. Besok kamu boleh pulang,” ujar Mutia, istri Jajak sambil merapatkan selimut Jajak.
Jajak tak merasakan lagi panas tubuhnya. Kepalanya yang semula dirasakan berat kini terasa ringan. Lambungnya juga tidak merasa mual. Selang infus juga telah dilepas dari tangannya.
“Setelah Kang Marno, siapa lagi yang dibunuh air wenter itu?” ujar Jajak lirih.
Mutia terdiam, namun perasaannya bergolak. Ia merasa tidak perlu mencukil serpihan ingatan dari kepalanya. Ia tidak ingin suaminya kembali terguncang. Ia mencoba menekan seluruh perasaannya untuk bercerita bahwa sesudah kematian Kang Marno, korban yang jatuh jauh lebih banyak. Wajah-wajah korban itu kini terbayang di matanya: Khalil, Anwar, Idrus, Afandi, Yati, Marjuki, Hanif, Nirmala, Rodat, Seruni, dan entah siapa lagi. Wajah-wajah itu membiru, tapi di balik bola mata mereka tampak kobaran api. Mereka muncul silih berganti di layar ingatan Mutia. Mereka seperti mengucapkan kata-kata dengan tangan terkepal.
“Aku mendengar jeritan mereka…,” ujar Jajak tiba-tiba.
Mutia terenyak. Bagaimana mungkin suaminya membaca pikirannya? “Kamu mendengarnya? Kamu melihatnya?”
Jajak tersenyum. Pahit. Matanya memandang langit-langit kamar rumah sakit. “Aku melihat mereka di sana. Ya, mereka berjalan di balik gumpalan awan hitam sambil memegang perut mereka yang meletus. Darah mereka biru-menghitam…. Dan, tangan itu, ya tangan itu gemetar memegang usus mereka yang terburai….”
Mutia terguncang. Galau. Ia langsung meraba kening suami. Tapi ia tak merasakan kening itu panas.
“Aku sehat Mutia… Sehat….”
“Sebaiknya besok kamu tidak jadi pulang….” Mutia menghapus matanya yang basah.
“Kenapa, Mutia… Kenapa?”
“Kamu belum sehat….”
“Kamu khawatir aku gila?” Jajak tersenyum. Jari-jarinya meremas jari-jari Mutia. Air mata mengalir di parit-parit pipi Mutia.
Parit-parit itu terus mengalirkan wenter biru hitam ke sungai. Bangkai-bangkai ikan mengambang di genangan sungai yang dikencingi pabrik itu. Gemericik air hitam itu menjadi orkes sunyi bagi iring-iringan pelayat yang menuju makam di ujung desa. Kaki-kaki mereka menghajar daun-daun kering yang berguguran di kompleks makam itu. Sebelum mayat dimasukkan ke liang lahat, tampak seorang laki-laki paruh baya berpidato. Gayanya khas pejabat Orde Baru.
“Selaku daripada lurah, saya harapken daripada sodara-sodara sekalian jangan salah paham. Meninggalnya daripada Bapak Engkos ini bukan karena daripada limbah pabrik itu. Bukan. Tapi, karena e..e… daripada penyakit perut… Ya…ya disentri….”
Orang-orang menatap lurah itu dengan mata nanar.
“Perlu daripada sodara-sodara ketahui, soal limbah pabrik itu sudah kami bicaraken guna mencari daripada penyelesaiannya. Kami mengharapken daripada sodara-sodara sedikit sabar. Semoga, dalam lima anem hari nanti sudah ada kabar….”
Pak Lurah berpidato makin bergairah. Kata-katanya berbuncah-buncah. Tapi orang-orang tetap saja resah. Satu per satu para pelayat meninggalkan kerumunan. Beberapa orang tanpa dikomando memasukkan jenazah itu ke liang lahat. Pak Modin segera melantunkan doa-doa panjang. Pacul-pacul menghajar tanah merah, menimbun liang lahat.
Iring-iringan pelayat bergerak menuju pabrik. Mereka menyatu dengan kaum perempuan yang memancangkan amarah di ujung galah. Mereka berjalan berderap-derap. Merangsek ke gerbang pabrik. Serombongan satpam mencoba menghadang mereka. Terjadi dorong-mendorong. Rombongan satpam itu terpental. Para pengunjuk rasa terus merangsek ke depan. Pintu gerbang itu menjadi sasaran pukulan massa. Galah, kayu, lonjoran besi menghajar pintu logam itu. Berdentang-dentang. Menghajar gendang telinga.
Kerumunan pengunjuk rasa itu tersibak, memberi jalan puluhan orang yang menghantamkan gelondongan kayu ke pintu gerbang. Seperti dam jebol, pintu gerbang itu sia-sia menahan arus massa yang deras bergelombang. Satuan polisi mencoba menghadang dengan tembakan ke udara. Tapi nyali para pengunjuk rasa itu tidak seinci pun surut. Mereka terus bergerak. Terus merangsek. Para polisi menghalau mereka dengan pentungan. Kepala-kepala para pengunjuk rasa bocor. Ada yang terkapar. Ada yang terinjak. Massa makin kalap. Mereka balik menyerang polisi. Beberapa polisi berlumuran darah. Beberapa orang pengunjuk rasa roboh terkena timah panas.
Gerimis menghamburkan jarum logam. Menikami bumi. Menikam kicau burung-burung. Menikam cuaca yang murung.
Jajak membuka matanya. Ia merasa asing di ruangan itu. Asing juga menjumpai beberapa laki-laki yang duduk mengepung dirinya. Hanya ada satu yang ia kenal. Laki-laki berbadan gempal, yang seingatnya pernah ia jumpai dalam pertemuan antara warga dan pemilik pabrik jeans beberapa bulan yang lalu.
“Sorry… kedatangan kami mengejutkan Bung.” Suara si Gempal dengan tawa berderai. Membahana.
Jajak terdiam. Menganggap semua itu tak lebih dari lelucon basi.
“Untuk apa kalian harus menculik saya? Untuk apa kalian meneror istri saya, keluarga saya?” Jajak meradang.
“Ahhh… itu kan tak lebih dari kejutan manis. Siapa tahu, Bung jadi terkesan. Semua itu kan hanya bumbu agar kisah perjuangan Bung terasa lebih sedap dikenang….” ujar si Gempal masih dengan tawa yang berderai.
Jajak menggebrak meja. Hingga tawa itu terhenti mendadak.
“Aku sangat bangga. Bung ini sangat heroik. Tapi sudahlah… Tak ada gunanya… Kisah-kisah kepahlawanan itu sudah lama mengabu dalam asbak,” si Gempal mendekati Jajak sambil menawarkan rokok. Jajak menolak.
“Siapa Anda? Dan Anda tak punya hak bicara seperti itu. Posisi kita berbeda!”
“Dulu aku juga seperti kamu, Bung. Bahkan lebih heroik! Kakiku yang pincang ini telah kuserahkan untuk perjuangan. Kepalaku yang jadi langganan vertigo ini entah sudah berapa kali disengat listrik dalam interogasi yang menyakitkan. Tapi yang aku dapatkan? Apa? Hanya penderitaan. Hanya kemiskinan. Dan rakyat yang aku bela itu? Puah….”
“Kalau Anda capek miskin, jangan ajak orang lain jadi seperti Anda! Sia-sia Anda meracuni saya!”
“Aku bukan sejenis pengecut yang menyimpan kejahatan untuk melumpuhkan musuhnya. Apalagi, aku tak pernah menganggap Bung ini musuh. Tak pernah itu!”
Jajak mencoba menerka-nerka ke mana arah pembicaraan si Gempal itu.
“Aku hanya mengajak Bung untuk berpikir realistis!”
“Realistis atau kompromis?” sergah Jajak.
“Terserah kau lah… Tapi begini Bung. Sekarang suasana sudah berubah. Konstelasi sudah berubah. Apa yang dulu kita anggap musuh, sekarang sudah tidak jelas. Jadi lucu kan, kalau kita masih berpikir hitam-putih… Bung lihat sendiri. Banyak orang yang dulu jadi legenda kini telah mencair jadi orang biasa. Kepala mereka yang semula berisi kalimat-kalimat gagah kini berganti kartu kredit. Bung lihat sendiri, berapa puluh pejuang kini hanya jadi kelangenan kekuasaan dan uang….”
Jajak memandang ke arah jendela. Gerimis masih menaburkan jarum-jarum logam.
“Aku hanya minta satu hal dari Bung. Hentikan demonstrasi itu sebelum makin banyak korban jatuh… Okay?”
Jajak membuang muka. Kembali menatap gerimis jarum logam yang memahat kaca jendela.
Si Gempal mendekati laki-laki botak. Mereka bicara dengan bahasa isyarat. Si Botak mengeluarkan selembar kertas.
“Ini untuk Bung. Terserah Anda mau mengisi berapa. Mau enam digit, delapan digit, sepuluh digit, dua belas, lima belas, dua puluh digit… Terserah. Yang penting tidak ada lagi demonstrasi. Capek Bung… Capek….”
“Anda pikir kepalaku ini hanya berisi lumpur? Maaf, aku masih bisa hidup dengan jalan yang tidak menjijikkan ini,” Jajak membuang cek.
“Bung pikir ini semacam prostitusi? Bukan Bung. Bukan. Ini deal profesional. Ini biasa dalam perjuangan.”
“Atau Bung menghendaki tawaran lain. Pom bensin? Mall? Atau jadi staf ahli perusahaan? Bisa… bisa… kalau cara itu lebih elegan. Nanti setelah kaya, Bung tinggal bikin memoar perjuangan. Sedikit didramatisasi, tak masalah. Yang penting, legenda Bung ini tetap terawat. Simpel kan?!”
Jajak merasakan dadanya sesak. Jatungnya terasa diremas-remas. Wajahnya terasa diguyur bergalon-galon ludah. Ia meronta. Menjerit sekeras-kerasnya. Ia mengamuk. Menerjang orang- orang itu. Si Gempal menyarangkan pukulan tepat ke ulu hatinya. Jajak jatuh berderak. Roboh. Yang lain menendang kepalanya. Yang lain menghajar kakinya dengan lonjoran besi. Yang lain menginjak-injak dadanya, menendang-nendang kepalanya. Darah muncrat dari mulutnya.
Gerimis jarum logam masih menikami bumi dan menjelma tirai raksasa yang ditembus iring-iringan pelayat. Mereka menyemut menuju makam.
Dengan kruk, Jajak berjalan terseok- seok di atas jalanan yang becek. Sampai di makam, Jajak duduk menerawang pohon randu alas sambil menatap daun-daun berguguran. Di langit ia menatap puluhan orang dengan perut meletus berjalan di antara gumpalan awan hitam. Tangan mereka gemetar memegang usus mereka yang terburai. Wajah-wajah mereka yang semula membiru kini berubah merah terbakar. Mata mereka nanar memandang pabrik jeans yang terus mengencingi sungai dengan limbah hitam.
Jogjakarta, Februari 2004
Tulis komentar baru