Pada zaman dahulu kala, di negeri yang bernama Lubuk Suli dalam kawasan Manjunto (Palimbang) jauh di Kerinci Hilir, tinggalah dua orang bersaudara yang bernama Rajo Tuo dan Panglimo Mudo. Rajo Tuo dikarunia seorang anak laki-laki yang bergelar Bagindo Alam. Anaknya masih kecil dan butuh kasih sayang.
Suatu hari, adiknya Panglimo Mudo berkata kepada kakaknya “Wahai Kakakku Rajo Tuo, izinkan adinda merantau ke Tanah Pilih, untuk mengadu nasib dan merubah peruntungan” ujar adiknya dengan tenang.
“Wahai adikku Panglimo Mudo, kalau engkau ingin pergi, peganglah petunjuk Hyang Widhi elok-elok, jangan kau campur adukan antara yang Haq dengan yang Bathil, dan kembalilah bila engkau telah punya cukup ilmu dan pengalaman. Baek-baeklah dinegeri orang!” pesan Rajo Tuo Kepada adiknya.
“Wahai Kakakku yang kucinta, do’akanlah adikmu ini agar diberi kekuasaan untuk berbuat baik oleh Tuhan Yang Maha Kuasa..” ujar Panglimo Mudo.
Singkat cerita, berangkatlah Panglimo Mudo dengan bekal ala kadarnya ke Tanah Pilih. Waktu itu, banyak orang Kerinci Hilir yang merantau mengadu nasib ke Tanah Pilih. Imam Mudo berangkat dengan berjalan kaki, melewati hutan, bukit dan lembah yang curam dan cadas, namun berkat kesaktian yang dimilikinya, ia dapat berhasil sampai di Tanah Pilih (Jambi) dengan selamat.
Dua Tahun di Tanah Pilih/Jambi, Panglimo Mudo berkenalan dengan seorang anak Raja asal Muara Tembesi yang bergelar Putri Taman Bungo Indah. Sejak pandangan pertama, kedua insan ini saling jatuh hati dan saling menyayangi. Akhirnya, mereka direstui oleh keluarga Putri Taman Bungo Indah untuk menikah dan diberi “arah”[1] di dekat Tanah Tumbuh, yaitu sebuah hutan yang belum digarap.
Panglimo Mudo dan Putri Susun Bungo sangat bahagia tinggal disana, apalagi setelah kelahiran anak mereka yang laki-laki. Anak laki-laki tersebut diberi nama Rajo Bujang, karena hutan tempat mereka tinggal memiliki kejanggalan, yaitu semua tanaman tak mau berbuah diatasnya, yang akhirnya hutan tersebut hingga sekarang diberi nama “Rimbo Bujang”.
Anak laki-laki tersebut tumbuh menjadi remaja yang baik, taat beragama, dan memiliki ilmu kebathinan yang sakti, namun ia tidak memiliki ilmu untuk memikat hati para gadis, karena sudah namanya Rajo Bujang. Ia punya kekuatan yang besar, sedikit bicara banyak bekerja itu prinsipnya.
Suatu hari, Putri Taman Indah mandi berlimau disungai, tiba-tiba ia hilang secara ghaib, yang membuat Panglimo Mudo dan Rajo Bujang sangat bersedih hati.
Akhirnya, Panglimo Mudo dan Rajo Bujang kembali ke Lubuk Suli kerumah kakaknya Rajo tuo di Manjunto. Mereka hidup bahagia, karena Rajo Bujang tumbuh dan besar bersama kakak sepupunya Bagindo Alam.
Suatu masa, disaat mereka telah tumbuh jadi dewasa, orang tua mereka “Mukso” / Hilang secara ghaib. Tinggalah mereka dua beradik dirumah yang megah dan sepi itu.
Sesuai dengan adat istiadat ditanah Kerinci zaman itu, apabila datang hari baik bulan baik, saudari yang perempuan datang bersilaturrahim kerumah sanak famili dan keluarga yang laki-laki seraya membawa “Jamba” (nasi dan gulai). Namun tiada seorang “Anak Batino”/saudari perempuan yang menjenguk Bagindo Alam dan Rajo Bujang. Setiap hari baik tiba, air mata mereka tumpah menyaksikan fenomena yang berlaku.
“Dik Rajo Bujang, alangkah sedihnya bagi kita yang tidak memiliki dusanak perempuan, semua orang bahagia dikunjungi “Sanak Batino”[2]-nya pada hari baik bulan baik, sementara kita..?” Bagindo Alam berurai air mata bersama adiknya.
“Bagaimana kalau kita mengembara, untuk mencari sanak batino di negeri orang kak..?” tanya Rajo Bujang kepada kakaknya dengan air mata yang bercucuran.
“Iya dik, marilah kita merantau kenegeri orang untuk menumpang Sanak Batino pada orang lain...” jawab kakaknya.
Dengan keyakinan yang mantap, dua kakak beradik berangkat menyusuri lembah dan hutan menuju ke utara arah Kerinci Hulu. Perjalanan mereka di kawal oleh sahabat Rajo Bujang, yaitu harimau Kunyit yang mempunyai ujung ekor bewarna putih. Banyak hal ditemui diperjalanan dan kampung lain, namun mereka berdua bukanlah orang biasa, mereka berdua adalah pendekar nan sakti.
Sampai di negeri Talang Jauh (negeri Siulak sekarang) hari hujan lebat, mereka mencari tempat berteduh, yaitu sebuah rumah di dekat Lubuk Sawo Anggah. Kebetulan saat itu hujan turun cukup lebat. Dengan tubuh kuyup, kedua anak muda sakti mandraguna tersebut menaiki tangga orang dusun tersebut yang dekat dengan sebuah Lubuk Sawo Anggah (Luhah Jagung Indah Desa Bandar Sedap Kecamatan Siulak Sekarang-Pen).
Ketika menaiki tangga rumah itu, penghuninya tiga bersaudari cukup kaget, karena rumah terasa bergoyang bagaikan gempa bumi. Ketiga bersaudari tersebut adalah Puti Susun Negeri yang tua, yang nomor dua Puti Jatuh Buterai, dan yang terakhir Puti Silayang Mirat.
Dalam Mantera Kerinci untuk memanggil arwah orang tersebut dapat dilirik :
“Assalamu’alaikum ya ahlul bait..!” ujar Bagindo Alam seraya mengetok pintu.
“Wa’alaikummussalam warahmatullahi wabarakatuh...!” jawab tiga bersaudari tersebut seraya membuka pintu. Mereka terkejut melihat dua orang asing yang gagah perkasa berdiri didepan pintu.
“Maaf kisanak, kisanak berdua ini mau mencari siapa ya..? dan dari mana..?” tanya Puti Susun Negeri.
“Kami Cuma mau numpang berteduh dik, kami orang rantau dari Lubuk Suli..!” jawab Bagindo Alam dengan suara bergetar karena kedinginan.
“Oh, kalau begitu mari masuk Bang..!” jawab Susun Negeri mempersilahkan keduanya masuk.
Sesampai didalam rumah, Puti tiga bersaudari tersebut menyiapkan minuman “Ayie Kawo Pait”[3] dan pisang rebus sebagai cemilanya.
“Maaf Bang, abang berdua ini jauh-jauh dari Lubuk Suli datang ke tanah Talang Jauh dalam rangka apa ya..?” tanya Puti Jatuh Butirai setelah mereka berbincang-bincang untuk saling berkenalan.
“Kami datang dari Lubuk Suli untuk mencari Sanak Batino dinegeri Sulak, karena kami berdua tidak memiliki Sanak Batino didusun kami..!” jawab Bagindo Alam dengan wajah sedih. Sedangkan Rajo Bujang lebih banyak terdiam.
“Hidup kita ternyata sama Bang, kami bertiga tidak memiliki “Sanak Bajantan”[4] kalau begitu marilah kita saling mengikat saudara..!” jawab Puti Susun Negeri dengan berbinar.
Akhirnya diundanglah Depati Ninik Mamak kala itu untuk mengikrarkan ikatan saudara angkat antara mereka berlima di rumah gedang Jagung Jindah (Rumah Gedang Luhah Jagung Jindah)
Selama tinggal di Sulak, Bagindo Alam lebih banyak berkebun jagung di Guguk Tinggi bersama kawan-kawan lainnya seperti si Demong Sakti, Jagung Jakso, Jindah Duo Kadudun, dll. Sementara si Rajo Bujang lebih banyak berkelana merantau mencari jati dirinya seraya menuntut ilmu kebathinan, namun ia tetap pulang ke dusun Jagung Indah.
Singkat cerita, Bagindo Alam lebih dikenal orang dengan sebutan Si Jagung Tuo daripada nama aslinya. Jagung Tuo sangat rajin bertanam jagung di Guguk rendah, pernah suatu waktu, jagungnya dimakan oleh segerombolan kerbau yang ternyata milik seorang pemuda asal Minang Kabau bernama Sutan Kalimbuk (Baca uraian kisah ini dalam buku Legenda Sutan Kalimbuk). Namun kerugiannya mau dibayar oleh Sutan Kalimbuk karena memang Jagung Tuo memiliki kharismatik dan wibawa yang tinggi dimata orang-orang kala itu serta adiknya Rajo Bujang yang punya karomah dan kesaktian.
Suatu hari, Jagung Tuo sedang berteduh dari terik mentari di bawah pohon beringin di atas Guguk Tinggi seraya memainkan suling dan gong. Suaranya yang bertale-tale terdengar sampai dirumah Gedang Susun Bungo di Ujung Tanjung Malako Kecik (Koto Beringin).
Hati Puti Susun Bungo bergetar seakan-akan terpanggil oleh suara tersebut. Ia lalu datang ke Guguk tinggi dan melihat seorang taruna yang sedang asyik Mansyuknya memainkan suling.
“Wahai orang jauh... suaramu mendayu-dayu bagaikan sebuah panggilan kepadaku, siapakah gerangan Abang ini...? dan darimana asalmu..?” tanya Puti susun Bungo takzim.
“Wahai Bunga Indah bersusun indah, hamba bernama Jagung Tuo, asal dari Lubuk Suli tinggal di Jagung Indah. Kalau boleh Abang bertanya, Adik yang manis ini siapa pula namanya..?” sahut Jagung Tuo lembut.
“Wahai Abang Jagung Tuo, Adik bernama Puti Susun Bungo, tinggal di negeri Ujung Tanjung Malako Kecik dibawah naungan Tuanku Depati Sungai Langit dan depati Marajo..!” Jawab Puti Susun Bungo tersipu malu.
“Dek Susun Bungo, boleh nggak ntar malam Abang bertandang ketempat Adek..?” tanya Jagung Tuo setelah sekian lama mereka bercerita.
“Silahkan Bang, Adek sangat senang jika Abang datang berkunjung..!” jawab Puti Susun Bungo berlalu untuk pulang.
Sudah menjadi suratan tangan, takdir Allah tak bisa dielakkan, akhirnya Jagung Tuo menikah dengan Puti Susun Bungo, dan tinggal dirumah Gedang Basusun di Koto Beringin. Sementara Rajo Bujang saat itu baru pulang dari tempat Harimau Kunyit di Gunung Merapi Kerinci yaitu di Saung Tujuh.
Dua tahun menikah, Jagung Tuo mendapat seorang anak yang diberi gelar Salih Kunin Kcik. Akhirnya sudahlah nasib dan suratan, Puti Susun Bungo hilang secara ghaib ketika mandi balimau. Cukup pilu dan sedih hati Jagung Tuo, anaknya yang kecil diasuh oleh neneknya di rumah Gedang Basusun di Koto Beringin.
Jagung Tuo kembali pulang ke dusun Jagung Indah, yaitu pulang kembali kerumah Sanak Batino. Akhirnya Jagung Tuo, Rajo Bujang, Puti Susun Negeri, Puti Jatuh Butirai dan Puti Silayang Mirat memilih Mukso/Ghaib dengan mandi balimau di Lubuk Sawo Anggah dan menyelam ke Lubuk Bangka Kutenggan, disanalah terakhir orang-orang melihat mereka.
Setelah mereka ghaib, disana dibangun makam mereka hingga saat sekarang ini masih dapat kita ziarahi di Luhah Jagung Desa Bandar Sedap Kecamatan Siulak Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi.
Dalam Mantera Menyeru Roh Ninik Moyang disebutkan :
Berkat Kayo Ninik Jagung Tuo iyo serto Ninik Rajo Bujang Panglimo Sakti, io burasal dari Lubuk Suli, dimunepat kulurah jagung rajo indah. Berkat Ninekku Salih Kunin Susun Negeri iyo Munyusun Negeri Gedang, Berkat Ninekku Salih Kunin Jatuh Butirai iyo Jatuh Butirai tujuh, Berkat Ninekku Salih Kunin Silayang Mirat, Mirat Hari katiko tengah hari, mirat sareto limau mangkuk limau, mandi dilubuk sawo anggah, ilang dilubuk bangka kutenggan, situ ninekku ilang limo buradik, duo jantan tigo dibutino.
Soal Kebenarannya Wallahualam Bishawab
Komentar
Tulis komentar baru