SATU
SENGATAN sinar matahari di wajah dan sekujur badannya menyadarkan Pendekar 212 Wiro Sableng. Perlahan-lahan dia buka kedua matanya tapi serta merta dipicingkan kembali, tak tahan oleh silaunya cahaya matahari. Sambil melindungi matanya dengan tangan kiri Wiro mencoba bangkit dan duduk di tanah.
“Ampun, sekujur tubuhku sakit bukan main. Tulangtulang serasa copot. Kepalaku mendenyut tak karuan. Apa yang terjadi dengan diriku…?” Wiro buka kembali sepasang matanya. Lalu memandang berkeliling. Dia dapatkan dirinya berada di satu kawasan berbatu-batu di kaki sebuah bukit kecil. Pakaiannya kotor bahkan ada robekanrobekan di beberapa tempat. Lengan serta kakinya lecet. Ketika dia meraba kening sebelah kiri ternyata kening itu benjut cukup besar. Di depan sana dia melihat beberapa pohon besar bertumbangan. Semak belukar berserabutan dan bertebaran di mana-mana.
“Kaki bukit batu… Pohon-pohon tumbang… Sunyi. Di mana ini… Bagaimana aku bisa berada di tempat ini?” Wiro kembali memandang berkeliling. Dia coba mengingat-ingat sambil menggaruk kepala. Seperti diceritakan dalam episode terdahulu, “Rahasia Perkawinan Wiro”, sebelum dinikahkan oleh Lamahila, si nenek juru nikah itu telah memberi minuman yang disebut Embun Murni kepada Wiro. Akibat meneguk minuman aneh itu Wiro menjadi seperti hilang kesadarannya dan mau melakukan apa yang dikatakan si nenek. Bahkan dia tidak sadar kalau telah melakukan upacara pernikahan dengan Hantu Santet Laknat yang berubah ke ujud aslinya, berupa seorang dara cantik jelita bernama Luhrembulan.
“Edan!” Wiro tepuk keningnya sendiri. “Otakku tak bisa bekerja! Jangan-jangan otakku sudah tak ada lagi dalam batok kepala!” Wiro jitak-jitak keningnya sendiri hingga mengeluarkan suara tuk… tuk… tuk. Pendekar ini lalu menyeringai sendiri. “Ah…! Dari bunyinya jelas otakku masih ada dalam kepala. Tapi mengapa aku tak bisa berpikir, tak bisa mengingat-ingat! Agaknya aku harus menenangkan diri, atur jalan nafas dan peredaran darah!
Jangan-jangan telah terjadi sesuatu dengan diriku!” Wiro ingat pada senjatanya. Dia susupkan tangan ke balik pakaian. Dia merasa lega. Ternyata Kapak Maut Naga Geni 212 masih terselip di pinggangnya. Lalu batu sakti hitam pasangan kapak juga ada di dekat senjata itu.
Untuk sesaat Wiro genggam hulu kapak sakti bermata dua itu. Hawa sejuk memasuki tangannya, perlahan-lahan mengalir ke dalam tubuh. Di dalam aliran darah hawa sejuk itu berubah menjadi hangat. Bilamana perasaan dan pikirannya menjadi tenang, Wiro rubah duduknya jadi bersila. Dua tangan diletakkan di atas paha, mata dipejamkan. Begitu dirasakannya ada ketenangan dalam dirinya, sang pendekar mulai mengerahkan hawa sakti serta mengatur pernafasan dan aliran darah dalam tubuhnya. Tak selang berapa lama didahului dengan menghirup udara segar lewat hidung, kemudian perlahan-lahan menghembuskannya lewat mulut, Wiro buka sepasang matanya.
“Hemmm… Syukur otakku tidak sableng benaran. Kini aku ingat apa yang terjadi. Aku berada di puncak bukit ketika tiba-tiba badai datang mengamuk. Mungkin aku dihantam badai celaka itu, terlempar ke bawah bukit ini.
Sebelum terlempar aku ingat betul. Ada satu suara memanggil namaku. Siapa dia…? Luh… Luhrembulan! Astaga…! Bukankah gadis cantik penjelmaan Hantu Santet Laknat itu yang memanggil aku sebagai suaminya? Katanya aku dan dia telah dinikahkan oleh Lamahila. Ya Tuhan! Bagaimana semua itu bisa terjadi?!”
Pendekar 212 Wiro Sableng serta merta bangkit berdiri.
Dia memandang ke puncak bukit. “Luhrembulan… Apakah dia masih ada di atas bukit itu? Jangan-jangan badai telah mencelakainya. Apakah aku harus menyelidik naik ke atas bukit? Tapi kalau aku memang sudah jadi suaminya, bisabisa aku… Gila! Aku tak mau cari penyakit. Lebih baik segera aku angkat kaki saja dari tempat ini!” Wiro layangkan lagi pandangan ke arah puncak bukit lalu tanpa menunggu lebih lama dia segera balikkan badan untuk melangkah pergi. Tapi belum sempat langkah dibuat tibatiba dari balik serumpunan semak belukar melesat dua sosok tubuh. Lalu dari atas sebatang pohon miring, laksana seekor burung besar melayang turun seorang berpakaian serba hitam. Dari sepasang matanya menyambar dua larik kobaran api.
Murid Eyang Sinto Gendeng tersurut satu langkah. Dia cepat memasang kuda-kuda. Dua kaki tegak merenggang seperti dipantek ke tanah. Dua tangan disilang di depan dada. Saat itu dia dapatkan dirinya telah dikurung oleh tiga orang. Ternyata tidak cuma tiga! Orang ke empat muncul dari balik tumbangan pohon besar. Dia melangkah sambil menggoyang sebuah rebana yang ada kerincingannya di tangan kiri. Mukanya yang kempot keriputan cengar-cengir. Barisan giginya tonggos berserabutan ke depan. Setiap langkah yang dibuatnya seperti orang menari mengikuti suara kerincingan yang sesekali diseling tabuhan rebana. Di punggungnya tersisip sebuah payung terbuat dari rangkaian daun-daun kering. Lalu di sebelah bawah kelihatan celananya yang di bagian belakang selalu didodorkan ke bawah hingga pantatnya yang hitam kasap tersingkap ke mana-mana!
“Pelawak Sinting palsu! Jahanam ini dulu yang hampir mencelakaiku di sarangnya Hantu Muka Dua…” membatin Wiro. “Kabarnya sejak didamprat saudara kembarnya Si Pelawak Sinting asli, dia telah berubah baik. Sekarang dia muncul di sini! Apa membawa niat baik atau niat jahat! Apa dia muncul bersama yang lain-lain ini?”
Wiro melirik ke samping kiri. Di situ tegak sosok berjubah hitam berwajah dan bertubuh jerangkong. Makhluk ini bukan lain adalah Sang Junjungan, guru Hantu Santet Laknat. Sebelumnya Wiro memang tidak pernah melihat makhluk ini hingga tidak mengetahui siapa dia adanya.
Orang ke tiga berdiri berdampingan dengan orang ke empat. Yang di sebelah kanan ternyata adalah Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Otaknya yang terletak di atas kepala tampak mendenyut keras, mukanya mengelam pertanda orang tua berkepandaian tinggi ini tengah berusaha menindih hawa amarah yang saat itu menggelegak di dadanya. Dua matanya memandang garang tak berkesip ke arah Pendekar 212. Sebaliknya Wiro balas memandang dengan hidung dan mulut dipencongkan. Dalam hati dia berkata. “Bangsat tua yang otaknya di luar kepala ini yang telah mencelakai diriku. Kalau tidak ditolong Hantu Santet Laknat, tendangan beracunnya pasti membuat aku saat ini sudah berada di alam roh! Sialan betul!”
Di sebelah Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab tegak seorang kakek berpakaian serba ungu. Dialah Lawungu, kakek yang pernah disantet oleh Hantu Santet Laknat. Berkat sebuah sendok sakti terbuat dari emas bernama Sendok Pemasung Nasib kakek yang hampir meregang nyawa ini berhasil ditolong dan disembuhkan.
Tidak beda dengan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, kakek satu ini juga memandang penuh geram pada Wiro.
Seperti dituturkan dalam episode “Badai Fitnah Latanahsilam”, demi menolong Pendekar 212 Wiro Sableng, Hantu Santet Laknat mengikat Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab dengan ular jejadian yang sebenarnya adalah tali yang terbuat dari akar gantung pohon besar. Ilmu hitam si nenek ternyata berhasil membuat Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab tidak berdaya. Hantu Santet Laknat kemudian melarikan Wiro, membawanya ke sebuah gubuk di satu bukit di mana dia memberikan pengobatan pada sang pendekar hingga sembuh.
Begitu juga Lawungu. Ketika dia muncul dan hendak menolong Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, Naga Kuning dan Setan Ngompol bersama Betina Bercula yang juga muncul tak terduga di tempat itu segera bertindak. Kakek satu ini berhasil mereka lumpuhkan dengan jalan menotok. Setelah itu baik Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab maupun Lawungu dipermainkan habis-habisan oleh ketiga orang itu. Lawungu dikencingi mulutnya oleh Setan Ngompol sedang Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab pakaiannya sebelah bawah perut disusupi berbagai binatang seperti kalajengking, kodok, semut rangrang, kadal, cacing dan sebagainya.
Bagaimana kini dua kakek sakti itu bisa membebaskan diri lain tidak adalah berkat pertolongan Si Pelawak Sinting palsu yang kebetulan lewat di tempat itu. Semula Si Pelawak Sinting yang otaknya agak miring angin-anginan ini tidak mau menolong kedua orang itu. Namun setelah dibujuk-bujuk akhirnya dia mau juga melepaskan ikatan di tubuh Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab lalu memusnahkan totokan yang membuat kaku tegak Lawungu. Malah kemudian karena ingin tahu apa yang hendak dilakukan dua kakek itu, Si Pelawak Sinting palsu mengikuti perjalanan keduanya.
“Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab dan Lawungu jelas tidak bersahabat denganku! Sebelumnya mereka hendak menggantungku. Nyawaku pasti amblas kalau tidak ditolong Hantu Santet Laknat. Si muka jerangkong ini melihat gerak-geriknya dia juga tidak berada di pihakku. Entah si Pelawak Sinting brengsek itu…” Begitu Wiro membatin. Dia memutuskan berdiam diri. Menunggu apa yang hendak diperbuat orang-orang yang telah mengurungnya itu. Ternyata Wiro tidak menunggu lama. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab membuka mulut pertama kali. Suaranya keras lantang dan bergetar.
***
DUA
PEMUDA asing seribu laknat seribu keparat! Akhirnya kutemui juga kau! Kali ini jangan harap bisa lolos dari tanganku!”
“Orang tua! Percuma otakmu berada di luar kepala. Kau pasti masih saja menuduhku sebagai perusak dan penganiaya dua cucumu!”
“Hal itu sudah jelas!” ikut bicara Lawungu. “Sebelum sahabatku ini membunuhmu lekas kau memberitahu di mana beradanya nenek jahat bernama Hantu Santet Laknat itu!”
Seperti diketahui, Lawungu membekal dendam kesumat sangat besar terhadap si nenek karena Hantu Santet Laknatlah yang telah menyantet tubuhnya hingga hampir menemui ajal dalam keadaan membusuk. Sebenarnya diam-diam Lawungu dan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab juga tengah mencari Setan Ngompol dan Naga Kuning yang beberapa waktu lalu telah mengerjainya. Tapi karena ada rasa takut terhadap Naga Kuning, maka Lawungu tidak menanyakan tentang kedua orang itu pada Wiro.
Wiro melirik ke arah orang bermuka tengkorak berbadan jerangkong yang dipanggil dengan sebutan Sang Junjungan. Orang ini tegak tak bergerak. Rambut putih di batok kepalanya kelihatan aneh. Di dalam sepasang matanya yang bolong kelihatan cahaya merah seperti ada kobaran api di dalam kepalanya. “Agaknya si makhluk jerangkong ini tidak datang bersama Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab dan kakek jubah ungu itu,” Wiro menduga dalam hati.
Tiba-tiba ada suara kerincingan disusul suara rebana ditabuh. “Na… na… na… Ni… ni… ni!” Di sebelah sana si Pelawak Sinting mulai menyanyi sambil menari. Pantatnya tersingkap ogel-ogelan kian kemari!
“Jahanam sinting! Berhenti menabuh rebana! Tutup mulut dan berhenti menari! Aku tidak membawamu kemari! Kau yang mengikuti perjalanan kami berdua. Jadi harap kau tahu diri! Jangan mengacau urusan orang lain! Kalau tidak bisa berdiam diri lindang hapus dari sini!” Yang membentak penuh marah adalah Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab.
Dibentak seperti itu Si Pelawak Sinting tampak kaget. Mukanya yang keriput sampai pucat sesaat. Lalu dia geleng-geleng kepala. “Nasibku buruk amat! Karena hati gembira aku menari dan menyanyi.
Tapi orang menganggap aku mengacau! Aku diusir pergi! Mungkin suaraku tidak bagus! Tarianku buruk!”
“Pelawak Sinting! Jangan kau mengomel tak karuan di sini!” Lawungu ikut membentak.
Si Pelawak Sinting letakkan rebananya di atas kepala. Lalu di atas rebana ini diletakkannya gagang daun payung. Walau melangkah sambil goleng-golengkan kepala tapi rebana dan payung itu tidak jatuh. Sembari berjalan ke arah satu pohon besar kakek ini menjawabi bentakan Lawungu dengan gerutuan.
“Terima kasih! Aku tidak mengomel. Hanya saja apa kau tidak bisa mengingat budi orang? Kalau aku tidak menemukan kalian berdua, kalau bukan aku yang menolong kalian akan mati membusuk di tengah rimba belantara! Tidak kalian usirpun aku memang ingin pergi!
Orang sinting macamku mana cocok di satu tempat dengan orang-orang hebat seperti kalian!” Si Pelawak Sinting songgengkan pantatnya lalu teruskan langkahnya. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab marah bukan main. Lawungu hendak mengejar kakek itu tapi Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab cepat memberi isyarat dan berkata.
“Biarkan saja orang gila itu pergi! Kita tidak membutuhkannya lagi! Urusan kita adalah dengan pemuda jahanam ini!”
“Na… na… na! Ni… ni… ni! Terima kasih! Begitulah sifat manusia. Ketika membutuhkan, mengemis bahkan menjilat pantat orangpun mau! Hik… hik! Tapi kalau sudah terlepas dari kesulitan, uhhh… Sombongnya minta ampun. Hik… hik… hik!” Sambil melangkah ke arah pohon besar di depannya Si Pelawak Sinting palsu terus nyerocos. “Orang bijak berkata bahwa orang tua-tua itu menjadi pegangan hati dan perasaannya, menjadi cermin otak dan jalan pikirannya, menjadi panutan sikap dan tindakannya. Tapi kalian berdua semakin tua semakin lupa diri. Tidak heran kalau berkat dan perlindungan para Dewa tidak sampai atas diri kalian! Musibah berkepanjangan. Tidak heran makhluk yang namanya Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab kini tidak punya kemampuan lagi untuk jadi tempat bertanya dan tempat mencari jawab! Na… na… na! Ni… ni… ni! Hik… hik!”
Wajah Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab menjadi merah padam mendengar kata-kata Si Pelawak Sinting palsu itu. Wiro sendiri sempat tercengang tapi sekaligus membatin.
“Jangan-jangan apa yang dikatakan kakek sinting itu benar adanya. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab telah kehilangan kepandaiannya dalam mengetahui banyak hal. Karena sikap dan perbuatannya telah banyak menyimpang. Tidak lagi mendapat restu Yang Kuasa!”
Otak di atas kepala Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab mendenyut keras seperti hendak meledak keluar. “Tua bangka jahanam ini harus kupatahkan batang lehernya sekarang juga!” katanya penuh geram.
“Sabar wahai kerabatku! Jangan sampai terpancing! Manusia tak berguna itu bisa kita urus kemudian. Yang penting pemuda ini dulu!” Kembali Lawungu memberi ingat sahabatnya itu.
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab terpaksa tekan amarahnya yang meluap. Dia dan Lawungu berpaling kembali menghadapi Pendekar 212 Wiro Sableng. Akan halnya Si Pelawak Sinting ternyata kakek ini tidak benarbenar pergi. Begitu dia kelindungan di balik pohon, dengan satu lompatan enteng dia melesat ke atas pohon lalu duduk di salah satu cabang. Luar biasanya walau dia membuat lompatan cukup tinggi, rebana dan payung di atas kepalanya tidak bergerak seolah menempel erat. Kerincingan yang ada di sekeliling rebana juga tidak mengeluarkan suara sedikitpun!
“Pemuda asing! Apa kau mendadak jadi bisu! Tidak mau menjawab pertanyaanku! Di mana beradanya Hantu Santet Laknat! Kami tahu dia yang membawamu setelah mencelakai sahabatku ini!” Lawungu kembali membuka mulut.
“Dia memang membawaku. Dia mengobati luka dalam akibat tendangan beracun kakek yang otaknya di luar kepala ini! Setelah menolong diriku dia pergi begitu saja. Di mana dia kini berada aku tidak tahu!”
“Hemmm…” Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab keluarkan suara bergumam. “Setelah menerima budi orang kau unjukkan sikap baik, sengaja melindungi dirinya. Tidak mau memberitahu di mana dia berada! Makin jelas bagiku kalau kau memang terlibat cinta dengan nenek jahat buruk itu!”
Wiro jadi kesal. Dalam hati dia membatin. “Tua bangka berotak geblek! Kalau kau melihat ujud asli Hantu Santet Laknat, rasanya aku berani bertaruh mencungkil mataku sendiri. Kau pasti terpikat habis-habisan padanya!” Wiro pandangi otak si kakek yang bertengger berdenyut di atas kepalanya. Murid Sinto Gendeng lalu meneruskan ucapannya.
“Aku memang tidak tahu di mana nenek itu berada! Bukan karena ingin melindunginya. Tapi karena aku orang tolol tidak tahu apa-apa! Sebaliknya kau orang pintar! Percuma kau bernama Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab kalau tidak mampu mengetahui di mana Hantu Santet Laknat berada. Mungkin benar ucapan Si Pelawak Sinting tadi. Kau telah kehilangan kepandaianmu karena kelewat sombong! Mulai hari ini biar kuganti namamu menjadi Hantu Sejuta Tolol Sejuta Dungu!”
Mendidihlah amarah Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab mendengar ejekan Pendekar 212. Apalagi Lawungu ikut membakar.
“Sahabatku! Orang tak mau memberi keterangan. Apalagi yang ditunggu. Kita habisi dia sekarang juga!”
“Kau benar Lawungu! Tanganku memang sudah gatal ingin menghajarnya! Dia tidak layak berada lebih lama di bumi Latanahsilam ini! Tempatnya adalah alam kematian! Rohnya akan tergantung sengsara antara langit dan bumi! Aku lebih puas jika aku sendiri yang menghabisinya!”
Begitu selesai berucap Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab langsung menerjang.
Sebenarnya melihat Wiro dalam keadaan hidup merupakan satu tanda tanya besar bagi kakek sakti yang otaknya ada di luar batok kepala ini. Sebelumnya dalam satu perkelahian dia berhasil menghantam dada Pendekar 212 dengan Tendangan Hantu Racun Tujuh. Selama ini tidak ada satu orangpun yang selamat dari tendangan itu. Kalaupun mampu bertahan maka dalam waktu dua hari akhirnya akan menemui ajal. Kalau Wiro masih hidup berarti memang ada seorang berkepandaian tinggi yang telah menolongnya. Tetapi sulit dipercaya kalau Hantu Santet Laknat yang menolong pemuda ini. Walau tadi dia menuduh Wiro mempunyai hubungan asmara dengan Hantu Santet Laknat namun setahu Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab si nenek sejak lama berseteru hebat dengan Wiro dan kawan-kawannya.
Sosok Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab melesat di udara. Kakek sakti ini siap melancarkan pukulan yang disebut Menara Mayat Meminta Nyawa. Ini merupakan salah satu serangan sangat berbahaya.
Jelas si kakek memang ingin membunuh Wiro. Sang pendekar tentu saja tidak tinggal diam. Sebelumnya dia mempunyai rasa hormat dan kagum terhadap orang tua ini. Ternyata sifat dan sikap serta bicara Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab jauh berbeda dengan apa yang diduganya. Karenanya Wiropun tidak sungkan-sungkan lagi. Begitu dirinya diserang dia segera siapkan pukulan Sinar Matahari di tangan kanan sedang tangan kiri digerakkan untuk melancarkan pukulan Benteng Topan Melanda Samudera. Tiba-tiba dari arah kiri menggelegar satu bentakan. Suara bentakan ini seolah datang dari liang jurang batu yang dalam hingga untuk beberapa lamanya menggema di seantero tempat.
“Tahan serangan!”
Menyusul berkelebat satu bayangan hitam, membuat gerakan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab tertahan. Sosoknya sesaat seperti mengapung di udara lalu terdorong ke samping.
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab terkejut besar. Terlebih ketika dia melihat yang barusan memapaki serangan mautnya terhadap Pendekar 212 Wiro Sableng adalah si jubah hitam muka tengkorak tubuh jerangkong.
“Makhluk salah ujud! Tempatmu seharusnya di neraka! Jadi kalau kau sesat datang kemari jangan berani mencampuri urusan orang!” Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab membentak marah. “Setahuku bukankah kau adalah guru Hantu Santet Laknat. Kita memang tidak berada di satu pihak. Tapi adalah aneh kau membela pemuda asing yang menjadi musuh muridmu itu! Malah bukankah kau yang selama ini memberi perintah pada Hantu Santet Laknat untuk menghabisi pemuda asing ini bersama teman-temannya?! Jangan memaksa diriku untuk ikut menghabisi dirimu saat ini juga!”
Makhluk muka tengkorak yang dipanggil dengan sebutan Sang Junjungan tertawa bergelak.
“Otak anehmu rupanya tahu banyak. Kau tentunya makhluk paling pintar di bumi Negeri Latanahsilam ini. Tapi mengapa tadi pemuda itu menyebutmu sebagai Hantu Sejuta Tolol Sejuta Dungu! Ha… ha… ha…! Orang tua berotak aneh! Kau dengar baik-baik. Langit di atas bumi Latanahsilam ini boleh tetap sama. Samudera yang mengelilingi negeri ini juga tetap sama. Tapi ujud hubungan manusia bisa berubah!”
“Apa maksudmu?” tanya Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab.
“Sahabatku! Kau tidak perlu bicara berpanjang lebar pada makhluk yang kesasar datang dari liang kubur ini! Kau bunuh pemuda asing itu! Aku biar menghabisi jahanam sesat bermuka tengkorak bertubuh jerangkong ini!” Yang bicara adalah Lawungu.
Ketika Sang Junjungan memapasi serangan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, Pendekar 212 sebenarnya juga merasa heran. Semula dia menduga makhluk muka tengkorak itu menghalangi serangan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab karena dia tidak ingin kedahuluan. Karena pasti dia juga membekal maksud untuk membunuh dirinya. Namun mendengar ucapan si muka tengkorak tadi, hati sang pendekar jadi bertanya-tanya.
Setuju akan ucapan Lawungu maka Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab segera menyerbu. Dari tangan kanannya yang dihantamkan ke arah Wiro menderu keluar satu gulungan sinar putih sebesar batang kelapa. Dalam jarak beberapa langkah dari Wiro tiba-tiba sinar ini memecah menjadi tujuh! Inilah kedahsyatan ilmu pukulan yang disebut Menara Mayat Meminta Nyawa!
Di bagian lain Lawungu sudah menghantam pula ke arah si muka tengkorak. Dua tangannya dipukulkan ke depan. Dua larik sinar ungu berkiblat dari ujung-ujung lengan jubahnya! Si muka tengkorak berseru keras ketika merasakan tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki laksana dihimpit dua dinding batu!
“Pukulan Bumi Langit Menghimpit Roh!” teriak si muka tengkorak mengenali pukulan yang dilepaskan Lawungu.
***
TIGA
SETELAH berteriak makhluk muka tengkorak tubuh jerangkong yang dikenal dengan panggilan Sang Junjungan itu angkat dua tangannya di depan dada, lalu ditepiskan ke kiri dan ke kanan. Bersamaan dengan itu dia goyangkan kepalanya. Dari sepasang matanya yang hanya merupakan bolongan melesat keluar dua larik lidah api. Lalu dari dua tangannya yang tadi dipukulkan menyilang menderu satu gelombang angin yang dahsyatnya bukan alang kepalang!
Wusss! Wusss!
Bummm!
Sang Junjungan terpental dua tombak.
Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede terbeliak kaget ketika melihat apa yang terjadi dengan sosok Sang Junjungan. Akibat pukulan Bumi Langit Menghimpit Roh yang dilancarkan Lawungu, tubuh makhluk muka tengkorak badan jerangkong itu ciut gepeng laksana habis digencet dua batu besar! Walau masih berdiri tapi tingginya hanya tinggal selutut. Dari tubuh gepeng itu mengepul asap kelabu. Dari mata, telinga, liang hidung dan mulutnya mengucur cairan putih.
“Aneh, apakah makhluk ini memiliki darah berwarna putih…” pikir Wiro. Dia terus memperhatikan.
Tubuh gepeng Sang Junjungan berdiri dengan lutut goyah, terhuyung limbung. Jubah hitamnya menjela-jela di tanah dan kelihatan hangus robek di beberapa bagian, menyembulkan sosok tubuhnya yang hanya merupakan tulang belulang putih. Sang Junjungan gerak-gerakkan kepalanya berulang kali. Dua tangannya digeliatkan ke samping. Lalu sepasang kakinya yang tinggal pendek dihentak-hentakkan ke tanah. Rambut putihnya berjingkrak tegak seperti kawat. Tiba-tiba, rrrttttt!
Seperti sebuah benda kenyal terbuat dari karet, tubuh Sang Junjungan membal ke atas, berubah panjang, kembali ke bentuknya semula!
Di bagian lain kakek berjubah ungu Lawungu terduduk di tanah. Mukanya yang penuh keriput kelihatan merah kelam dan mengepulkan asap seperti udang baru direbus. Bahu dan dadanya tersentak-sentak. Dari mulutnya mengucur darah merah. Jubah ungunya tak karuan rupa, hangus dan cabik-cabik di sana-sini. Matanya terbelalak memandang ke arah Sang Junjungan.
“Seumur hidup baru kali ini pukulan Bumi Langit Menghimpit Roh yang kulepaskan tidak sanggup memusnahkan lawan! Seharusnya dia sudah hancur ludes berkeping-keping.” Lawungu batuk-batuk beberapa kali.
Dari mulutnya menyembur darah kental. “Aku terluka di dalam…” si kakek menyadari apa yang terjadi dengan dirinya. Dua tangannya cepat ditekapkan ke dada untuk mengalirkan tenaga dalam.
Dengan susah payah Lawungu coba bangkit berdiri. Mukanya semakin mengelam merah ketika di depan sana makhluk muka tengkorak keluarkan suara tertawa mengekeh. Tiba-tiba dari atas pohon terdengar suara rebana ditabuh, disusul gema suara kerincingan. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab melirik ke atas pohon besar.
Ternyata Si Pelawak Sinting palsu berada di atas pohon itu, duduk berjuntai di salah satu cabang sambil memukul rebana dan menggoyang kerincingannya. Ketika tahu Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab melirik ke arahnya, kakek geblek ini julurkan lidahnya! Sang Junjungan kembali tertawa mengekeh. Lalu dia hentikan tawanya dan memandang dengan dua bolongan merah yang merupakan mata di kepala tengkoraknya.
“Sudah lama aku mendengar kehebatan pukulan sakti Bumi Langit Menghimpit Roh! Ternyata hanya ilmu kosong tak ada apa-apanya! Lawungu, apa kau masih punya daya menghadapiku barang dua tiga jurus lagi?!”
Rahang Lawungu sampai menggembung dan keluarkan suara bergemeretak saking marahnya mendengar ejekan orang. Kakek ini jadi kalap.
“Makhluk sesat keparat! Aku mengadu nyawa denganmu! Tempatmu di pusaran neraka! Aku akan kembalikan kau ke sana!”
Wuuuttt!
Tubuh Lawungu berkelebat. Sosoknya berubah menjadi bayang-bayang ungu. Dibarengi suara menggemuruh bayang-bayang ungu itu kemudian menebar menjadi lima, melabrak ke arah Sang Junjungan. Inilah serangan yang disebut Badai Lima Penjuru. Sosok Sang Junjungan seolah dihantam badai yang datang dari lima penjuru, semuanya melabrak dari arah depan!
Makhluk muka tengkorak keluarkan teriakan keras. Lalu melompat setinggi dua tombak. Sambil menghindari serangan Badai Lima Penjuru orang ini pukulkan dua tangannya ke depan. Belasan larikan sinar biru menggelegar di udara, bergulung membuntal membentuk dua jaring besar yang kemudian menukik menerpa ke arah Lawungu.
“Api Iblis Penjaring Roh!” seru Lawungu kaget. Dia yang sudah tahu kehebatan jaring api biru ini segera jatuhkan diri ke tanah lalu berguling menjauh. Jaring pertama jatuh di atas sebuak semak belukar. Semak belukar ini langsung tenggelam dan musnah dalam kobaran api. Jaring kedua mendarat di atas sebuah batu besar. Batu ini bergemeretak keras, hancur lebur dalam kepingan berwarna merah menyala!
Lawungu usap mukanya yang pucat. Tengkuknya keluarkan keringat dingin. Nyalinya bukan saja ciut akibat serangan ganas dua buah jaring api biru tadi, tapi dia juga jadi terperangah karena serangan Badai Lima Penjuru yang dilancarkannya hanya menghantam udara kosong lalu menyambar beberapa pohon besar hingga bertumbangan.
Dalam hati Lawungu membatin. “Kalau aku terus melayani makhluk ini dalam pertempuran jarak jauh, cepat atau lambat aku pasti akan kena dicelakainya. Tak ada jalan lain. Aku harus mengeluarkan ilmu Menyatu Jazad Dengan Alam. Tubuhnya harus aku pantek ke pohon atau ke batu. Tapi bagaimana caranya aku bisa merangsak mendekatinya!”
Sementara itu di bagian yang lain Pendekar 212 Wiro Sableng tengah menghadapi serbuan serangan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Tubuh si kakek telah berubah menjadi bayang-bayang putih. Tendangan dan pukulannya mendera ganas. Wiro yang sebelumnya pernah berkelahi melawan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab dan hampir menemui ajal akibat tendangan Hantu Racun Tujuh berlaku sangat hati-hati.
Dalam lima jurus pertama Wiro keluarkan jurus-jurus Ilmu Silat Orang Gila yang didapatnya dari Tua Gila. Walau dia bisa mengimbangi namun ada rasa khawatir lawan akan berhasil menjebol pertahanannya. Maka murid Sinto Gendeng menghantam dengan pukulan Benteng Topan Melanda Samudera, disusul dengan terjangan Segulung Ombak Menerpa Karang. Selagi lawan dibikin sibuk Wiro lanjutkan gerakannya dengan jurus-jurus hebat dari ilmu silat yang bersumber pada Kitab Putih Wasiat Dewa.
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab tersentak kaget ketika merasakan gelombang serangan lawan mengeluarkan hawa aneh yang membuat tubuhnya tertekan ke belakang sementara kuda-kuda sepasang kakinya menjadi berat, membuat dia sulit bergerak cepat walau memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Karenanya tidak menunggu lebih lama kakek ini segera keluarkan ilmu andalannya yaitu Memeluk Bumi Menghantam Matahari.
Tangan kiri Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab mendadak berubah menjadi panjang. Meluncur seperti ular besar, melibat ke bagian belakang Wiro. Bersamaan dengan itu tangan kanannya datang menggebuk dari depan. Pendekar 212 keluarkan seruan tertahan ketika tibatiba merasa lehernya kena dicekal lalu ditarik ke depan. Di saat yang sama dari depan datang melabrak jotosan tangan kanan lawan yang mempunyai daya berat atau bobot sebesar lima puluh kati!
Wiro cepat bentengi dirinya dengan jurus Membuka Jendela Memanah Matahari. Dua tangannya menghantam ke kiri dan ke kanan.
Bukk! Bukkk!
Dua lengan saling beradu. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab hampir tidak percaya ketika merasa dua kakinya terangkat dari tanah sampai satu jengkal. Tangan kanannya yang dipakai menjotos seperti dihantam pentungan besi. Sambil menahan sakit kakek ini terpaksa melompat mundur. Wiro yang menyangka berhasil mendesak lawan dengan cepat kirimkan serangan susulan dalam jurus Kepala Naga Menyusup Awan. Tangan kanannya laksana kilat menyusup ke atas, mencari sasaran di dagu si kakek. Tetapi justru saat itu Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab telah menunggu dengan ilmu yang bisa membuat lawan menjadi kaku dan gagu tanpa menyentuh. Tangan kanannya diletakkan di otak di atas kepalanya. Lalu tangan kiri dipukulkan di depan.
“Pukulan Membuhul Urat Mengikat Otot! Wiro! Cepat menghindar!” Tiba-tiba ada orang berteriak.
Pendekar 212 serta merta ingat. Dengan ilmu itulah dulu dia pernah dilumpuhkan oleh Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Ketika dia dibawa lari diselamatkan Hantu Santet Laknat dia hanya mampu memusnahkan kelumpuhan pada jalan suaranya tapi dia sama sekali tidak sanggup membebaskan tubuhnya dari kekakuan.
“Benar-benar goblok kalau aku sampai dua kali kena dikerjai kakek sialan ini!” pikir Wiro. Tapi entah mengapa dua kakinya mendadak seperti hilang rasa. Otaknya masih bekerja menyuruhnya segera melompat tapi saat itu Wiro merasa seolah dia tidak punya kaki lagi!
“Celaka!” keluh murid Sinto Gendeng. “Kakek sialan ini pasti punya ilmu aneh! Aku tak bisa menggerakkan kaki! Aku tak bisa melompat selamatkan diri!”
Sesaat lagi angin pukulan yang melumpuhkan itu akan menyentuh muka dan tubuh Pendekar 212 mendadak ada suara siutan keras. Sebuah benda ungu melayang di udara, memapas antara Wiro dan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Lalu terdengar suara orang berteriak.
“Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab! Tahan serangan!”
Kakek berjubah putih yang otaknya di atas kepala itu tersentak kaget Dia cepat menarik pulang tangannya ketika menyadari apa dan siapa yang melayang di hadapannya itu. Namun terlambat! Angin pukulan Membuhul Urat Mengikat Otot telah lebih dulu menerpa sosok yang melayang di depan Wiro. Begitu terkena sosok ini langsung kaku dan, buukkk! Jatuh bergedebuk keras di tanah!
“Lawungu!” teriak Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab lalu dengan cepat dia jatuhkan diri menubruk sosok Lawungu yang tergelimpang di tanah dalam keadaan kaku. Mulutnya terbuka tapi suaranya yang keluar hanya suara megapmegap.
Sang Junjungan tertawa mengekeh sambil rangkapkan tangan di depan dada. Dialah tadi yang telah melemparkan sosok Lawungu untuk dipakai sebagai tameng melindungi Pendekar 212 Wiro Sableng. Sebelumnya antara Lawungu dan Sang Junjungan kembali terjadi pertempuran hebat. Ternyata Lawungu tidak mampu menghadapi lawannya. Delapan jurus di muka dalam keadaan terdesak hebat, Sang Junjungan berhasil menggebuknya dengan beberapa pukulan. Ketika dia terhuyung hampir roboh, Sang Junjungan yang melihat bahaya besar mengancam Wiro segera sambar tubuh Lawungu lalu dilemparkannya ke arah Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab yang tengah melepas pukulan Membuhul Urat Mengikat Otot, Akibatnya tak ampun lagi serangan yang melumpuhkan itu menghantam kawan sendiri!
Suara tawa Sang Junjungan membuat Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab seperti dipanggang. Darahnya mendidih. Otak di dalam selubung bening di atas kepalanya mendenyut keras dan mengepulkan asap!
Perlahan-lahan dilepaskannya sosok Lawungu yang tadi dirangkulnya. Kepalanya diangkat.
Sepasang matanya membeliak memandangi makhluk muka tengkorak. Tibatiba tokoh utama rimba persilatan Latanahsilam ini kebutkan lengan jubahnya kiri kanan. Didahului suara menderu dan sambaran sinar putih, sepuluh benda berbentuk paku hitam melesat ke arah makhluk muka tengkorak. Karena masih asyik tertawa ketika menyadari kalau dirinya dibokong orang, sepuluh paku hitam itu telah berada dekat sekali di depan kepala dan tubuhnya!
“Kurang ajar! Pembokong curang!” teriak Sang Junjungan. Dia cepat bergerak namun masih kalah cepat dengan datangnya sambaran sepuluh paku.
Tiba-tiba dari samping berkiblat satu sinar putih menyilaukan. Lalu di antara suara seperti tawon mengamuk terdengar suara berdentringan. Delapan paku hitam patah bermentalan. Dua lainnya terlempar entah ke mana. Sekilas Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab masih sempat melihat sosok senjata kapak bermata dua sebelum lenyap ke balik pakaian Pendekar 212 Wiro Sableng. Dari atas pohon kembali terdengar tabuhan rebana dan suara nyaring kerincingan si Pelawak Sinting. Kekeh panjang Sang Junjungan yang tadi sempat terhenti sewaktu diserang senjata rahasia yang dilepaskan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, kini kembali meledak. Di atas pohon Si Pelawak Sinting menimpali dengan tabuhan rebana dan goyangan kerincingan.
Walau darahnya mendidih, amarahnya menggelegak, namun Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab masih bisa menggunakan jalan pikiran sehat. Dalam keadaan seperti itu tidak ada gunanya dia melanjutkan pertempuran melawan dua musuh yang ternyata memiliki kepandaian tinggi itu. Dengan cepat dia angkat tubuh Lawungu lalu dipanggul di bahu kanan. Setelah lemparkan pandangan menyorot pada Sang Junjungan dan Wiro, kakek ini segera berkelebat pergi dari tempat itu. Sang Junjungan hentikan tawanya, mengusap muka tengkoraknya dengan telapak tangan yang hanya merupakan tulang belulang putih lalu berpaling ke arah Wiro.
“Anak muda! Lekas datang ke hadapanku!” Tiba-tiba Sang Junjungan berkata dengan suara lantang keras.
“Ah, makhluk salah kaprah ini pasti marah padaku! Aku lupa menghaturkan terima kasih. Padahal dia tadi sudah menyelamatkan diriku dari serangan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab!” Sambil garuk-garuk kepala Wiro melangkah ke hadapan Sang Junjungan. Hatinya agak bimbang dan juga kecut. Seumur hidup baru sekali ini dia melihat makhluk bermuka tengkorak dan bertubuh jerangkong yang bukan saja memiliki kepandaian tinggi tapi juga bisa bicara! Sekaligus angker menyeramkan!
“Orang tua…” Wiro menegur.
“Tunggu dulu!” Sang Junjungan memotong. “Bagaimana kau bisa tahu aku ini orang tua! Padahal mukaku tidak berkulit tidak berdaging! Mukaku berbentuk tengkorak terdiri dari tulang! Dan gigi-gigiku masih utuh semua!” Wiro garuk-garuk kepalanya tak bisa menjawab.
Sang Junjungan tertawa mengekeh. Wiro merasa kuduknya dingin. Suara makhluk itu ketika bicara apalagi sewaktu tertawa terdengar aneh, seperti keluar dari jurang batu yang dalam. “Celaka betul makhluk satu ini. Aku tak tahu apa dia lawan atau teman.”
“Makhluk muka tengkorak…”
“Wahai! Itu lebih tepat! Teruskan ucapanmu! Apa yang hendak kau ucapkan!” Sang Junjungan berkata.
“Tadi kau telah menyelamatkan diriku dari serangan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Aku mengucapkan terima kasih padamu.”
Sang Junjungan mendongak ke langit lalu kembali tertawa mengekeh.
“Tapi ada satu hal yang jadi pertanyaan bagiku!” Wiro berkata. “Antara kita tidak saling kenal sebelumnya. Mengapa kau menolongku?”
“Anak muda! Kau bernasib untung! Ketahuilah, sebelumnya justru aku telah memerintahkan seseorang untuk membunuhmu!”
Wiro terkejut “Lalu… lalu mengapa sekarang kau malah menyelamatkan diriku?” tanya murid Sinto Gendeng.
“Hal itu harus dan wajib kulakukan. Karena kau adalah menantuku!”
Kaget Wiro bukan olah-olah. Dia sampai tersurut dua langkah. Matanya memandang membelalak, mulut ternganga.
“Apa… apa maksudmu?” tanya Wiro dengan suara bergetar.
“Dengar baik-baik anak muda. Belum lama ini aku menyirap kabar bahwa kau telah melangsungkan pernikahan di Bukit Batu Kawin dengan Hantu Santet Laknat yang konon telah berubah ujud menjadi seorang gadis cantik jelita bernama Luhrembulan…”
“Aku tidak pernah…”
“Bicaraku belum habis!” menukas Sang Junjungan.
“Hantu Santet Laknat adalah muridku. Lebih dari itu dia telah kuanggap sebagai anak! Kalau kau kawin dengan dia bukankah berarti kau adalah menantuku? Yang juga bisa kuanggap sebagai anak pula?!”
“Celaka… celaka!” keluh Wiro berulang-ulang. Air mukanya tampak pucat. Ketika makhluk muka tengkorak melangkah mendekatinya, mau tak mau Wiro bertindak mundur.
“Anak muda, lekas kau berlutut di hadapanku. Aku mertuamu! Kau harus menaruh hormat dan patuh pada diriku! Ha… ha… ha!”
Wiro garuk kepalanya habis-habisan. Rasa takut membuat saat itu dia jadi kepingin kencing.
Makhluk di hadapannya itu memiliki kesaktian luar biasa. Jika dia menolak berlutut makhluk itu pasti akan marah besar. Tapi jika dia mematuhi berlutut buntutnya bisa jadi panjang.
“Sialan betul! Aku tidak tahu makhluk ini apa lelaki apa perempuan. Atau banci! Aku harus mencari akal…” pikir murid Sinto Gendeng. Dia lalu melangkah mendekati makhluk muka tengkorak dengan tubuh membungkukbungkuk, seolah siap untuk berlutut di hadapan ‘sang mertua’.
Melihat sikap Wiro, Sang Junjungan dongakkan kepala tengkoraknya lalu tertawa panjang mengekeh. Saat itulah Wiro tiba-tiba membalikkan badannya lalu melompat ke balik pohon besar. Dari sini dia melesat ke belakang semak belukar lalu ambil langkah seribu, lari sekencang yang bisa dilakukannya.
“Menantu kurang ajar! Menantu tidak tahu diri! Mengapa kau berani lari?!” teriak Sang Junjungan marah sekali.
Di atas pohon besar tiba-tiba terdengar suara rebana ditabuh diseling suara kerincingan.
“Sang Junjungan! Jangankan dia anak manusia! Aku saja yang buruk ini kalau jadi menantumu pasti tidak bisa nyaman melihat tampangmu! Mana ada di negeri ini orang yang mau jadi menantu makhluk salah ujud sepertimu! Ha… ha… ha!”
“Monyet sinting di atas pohon! Siapa sudi mengambilmu jadi menantu! Berpakaian saja tidak keruan! Pantat hitam gosongmu kau tebar ke mana-mana! Coba kau makan dulu bekas tanganku ini!” Sang Junjungan gerakkan tangan kanannya.
Di atas pohon Si Pelawak Sinting tertawa gelak-gelak. Goyang dan tabuh rebananya lalu melompat lenyap, tepat ketika pukulan tangan kosong yang dilepaskan Sang Junjungan sampai dan menghantam cobang pohon tempatnya tadi duduk berjuntai. Cabang pohon itu hancur berkeping-keping!
***
EMPAT
OMBAK besar bergulung dahsyat dan memecah di teluk Labuntusamudera di kawasan selatan Negeri Latanahsilam. Seorang berpakaian serba kuning berlari kencang, berkelebat ke arah timur teluk tak lama setelah sang surya memunculkan diri siap menerangi jagat raya. Ketika segulung ombak luar biasa besarnya menderu di arah teluk, sosok berpakaian kuning itu yang ternyata adalah seorang nenek bermuka kuning hentikan larinya. Tiga buah sunting di atas kepalanya bergoyang-goyang. Nenek ini yang bukan lain adalah Hantu Selaksa Angin alias Hantu Selaksa Kentut alias Luhkentut diam sejenak. Dua matanya berkilat-kilat besar menatap ke arah laut. Didahului suara teriakan nyaring dia melompat setinggi dua tombak. Begitu dua kakinya menginjak pasir dia kembali lari. Kali ini bukan menyusuri teluk tapi malah ke arah laut, menyongsong datangnya gelombang ombak besar.
Byuuurrrrr! Ombak setinggi rumah itu bergulung lalu menimbun sosok berpakaian kuning dan akhirnya memecah di pasir hitam Teluk Labuntusamudera.
Butt… prett! Nenek berpakaian kuning pancarkan angin keras dari bagian bawah tubuhnya lalu tertawa gelak-gelak. Sekujur tubuhnya mulai dari atas kepala sampai ke kaki dan juga seluruh pakaian kuningnya basah kuyup. Dia baringkan tubuhnya di atas pasir. Dua kakinya dinaikkan ke atas dan ditendang-tendangkan. Kembali dari bagian bawah tubuhnya keluar suara butt prett-butt prett.
Beberapa kali ombak kecil datang mengguyur tubuhnya. Puas berbasah-basah Hantu Selaksa Angin bangkit berdiri lalu setengah berlari menuju pertengahan teluk. Di satu tempat yang kelindungan di balik kerapatan pohon-pohon kelapa dan semak belukar nenek ini menemukan sebuah goa batu. Tanpa ragu-ragu dia segera masuk ke dalam goa tersebut.
Bagian dalam goa berbentuk segi empat dengan atap batu menyerupai kerucut. Udara di tempat ini terasa sejuk. Hantu Selaksa Angin melangkah ke sudut kanan goa di mana terdapat hamparan tikar jerami kering. Perlahanlahan si nenek mendudukkan dirinya di atas tikar jerami itu. Dia menatap sejurus ke langit-langit goa yang berbentuk kerucut lalu dari mulutnya meluncur ucapan.
“Wahai guruku, Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Ujud, aku muridmu datang menghadap…”
Suara si nenek menggema perlahan di dalam goa batu itu. Dia menunggu tak bergerak sambil sepasang matanya yang kuning menatap terus ke langit-langit goa. “Tak ada jawaban, jangan-jangan dia tak ada di sini… Atau mungkin dia marah karena sejak pergi dulu aku tak pernah mengunjunginya di tempat ini.” Hantu Selaksa Angin membatin. Setelah menunggu sesaat lagi dia kembali mengulang. “Guru, apakah kau ada di dalam goa? Aku muridmu datang menghadap.”
Tiba-tiba di ujung kerucut langit-langit goa kelihatan satu bintik kecil memancarkan cahaya putih terang. Lalu terdengar suara halus menggema di dalam goa.
“Hantu Selaksa Angin muridku. Aku gembira kau akhirnya muncul. Tadinya aku merasa kecewa karena setelah belasan tahun baru sekali ini kau kembali ke goa. Sejak kau meninggalkan goa belasan tahun silam aku menyirap kabar di luar sana telah terjadi banyak hal. Aku berharap rakhmat akan menjadi bagian penghuni Negeri Latanahsilam. Tetapi justru malapetaka dan bencana terjadi di mana-mana, maksiat dan dosa berkubang di hampir setiap penjuru negeri. Muridku, harap kau ceritakan padaku apa yang telah kau alami dan lakukan selama ini. Bagaimana dengan penyakit dirimu, apakah kau berhasil mendapat kesembuhan? Yang paling penting apakah selama ini kau telah mampu mengetahui siapa dirimu adanya?”
“Wahai Guru, aku gembira kau telah menyirap apa yang terjadi di luaran sana. Hingga aku tidak perlu menutur berpanjang lebar. Mengenai perihal penyakitku, aku berhasil menemukan seorang pemuda asing dan dua kawannya. Konon mereka datang dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang. Pemuda inilah yang telah memberitahu obat yang harus kumakan agar penyakit kentutku lenyap. Belasan tahun aku kentut terus-terusan tanpa bisa ditahan. Gara-gara ubi yang menjadi makanan satu-satunya selama aku berada di goa ini…”
Di langit-langit goa kembali ada kelihatan bintik yang memancarkan sinar terang tadi. Lalu menyusul suara menggema dari makhluk yang dipanggil guru oleh si nenek.
“Jadi penyakit kentutmu benar-benar telah lenyap wahai muridku?”
“Lenyap habis seluruhnya memang tidak. Masih ada tertinggal sedikit. Tapi justru aku sengaja tak mau menghilangkannya. Karena terdengarnya indah bagus. Begitu kata pemuda yang menolongku itu…”
Gema tawa sang guru yang dipanggil dengan nama Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Ujud mememuhi goa. Bintik terang kembali bercahaya.
“Muridku, dulu kentutmu panjang dan berulang-ulang. Aku ingin mendengar bagaimana bunyinya sekarang setelah diobati oleh pemuda asing itu…”
“Kalau guru memang mau mendengar, akan kulakukan. Mohon maafmu Guru. Terus terang sejak tadi sebenarnya aku memang sudah tidak tahan mau kentut!” kata Hantu Selaksa Angin pula sambil menekap mulutnya menahan ketawa. Lalu butt prett! Dia pancarkan kentutnya. Karena berada di dalam ruangan batu maka kentut itu menggema beralun-alun!
Kembali sang guru yang tidak kelihatan rupa ataupun ujudnya itu tertawa gelak-gelak. “Muridku, obat apa yang telah diberikan pemuda itu hingga kau mendapatkan kesembuhan seperti sekarang ini?”
“Dia meyuruh saya makan kibul ayam sebanyak tujuh puluh tujuh buah…”
“Kibul ayam. Benda apa itu, bagaimana ujudnya?” bertanya Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Ujud.
“Itu Guru… Bagian lancip yang menempel di pantat ayam…” menerangkan Hantu Selaksa Angin.
“Aha…!” Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Ujud berseru lalu tertawa gelak-gelak (Mengenai riwayat kibul ayam ini harap baca episode sebelumnya berjudul “Hantu Langit Terjungkir”).
“Muridku, jika kau sudah puas dengan kentutmu yang indah itu, berarti kau telah mencapai kesembuhan. Apakah kau telah menghaturkan terima kasihmu pada pemuda dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu?”
“Aku memang merencanakan untuk mencarinya dan menyampaikan rasa terima kasihku. Namun sebelum hal itu kesampaian kuketahui dia ternyata seorang jahanam besar…”
“Jahanam besar bagaimana maksudmu, muridku?”
“Dia menimbulkan bencana busuk dan keji di manamana!”
“Bencana busuk keji yang bagaimana?”
“Dia ternyata seorang pemuda hidung belang. Dia telah merusak kehormatan seorang gadis baik-baik bernama Luhjelita. Kemudian merusak kehormatan dua orang cucu Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Kabarnya dia juga berselingkuh dengan Peri Angsa Putih. Lalu diketahui pula dia juga yang telah menghamili Peri Bunda!”
Sang Datuk yang tidak kelihatan ujudnya terdengar mendesah dan tarik nafas dalam. “Muridku, kalau benar pemuda itu telah menebar kekejian di mana-mana sungguh sangat disayangkan. Namun antara kau dengan dirinya ada hutang piutang yang harus dilunasi. Dalam membalas budi seseorang kau tidak boleh melihat siapa dia adanya. Dia pernah menolong dirimu, berarti kau harus berusaha membalas budinya…”
“Aku telah melakukan banyak hal untuknya. Juga menolong dua temannya…”
“Kalau itu kau rasakan pantas dan sudah cukup memang tak perlu kau berbuat terlalu banyak. Tapi mengenai kekejian yang dikabarkan telah dilakukannya, kurasa harus kau selidiki kebenarannya. Tidak baik menuduh seseorang busuk, jahat dan keji kalau tidak ada saksi jujur dan bukti nyata…”
“Mengenai kemesuman yang dilakukan pemuda itu terhadap dua cucu Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, tokoh itu sendiri yang bicara memberi kesaksian…”
“Muridku, Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab memang adalah satu tokoh besar dan sangat dihormati di Negeri Latanahsilam. Bukan saja karena ilmu silat dan kesaktiannya yang tinggi, tapi juga karena dengan kemampuannya melihat ke masa depan dan masa silam, membaca segala sesuatu yang bersifat gaib. Namun belakangan ini rasa-rasanya dia telah banyak melakukan penyimpangan-penyimpangan.
Dia terlalu banyak mendekatkan diri dalam urusan dunia dan kepentingan diri sendiri. Akibatnya lama kelamaan dia kehilangan kemampuan untuk melihat ke dalam alam gaib. Aku meragukan kemampuannya. Apakah dia memang masih bisa diandalkan sebagai tokoh tempat bertanya dan mencari jawab. Sebagai contoh, dia hanya menurutkan kata hati, kemarahan dan dendam kesumat atas musibah yang menimpa dua cucunya. Tapi apakah dia pernah menyelidik? Aku menyirap kabar dua cucunya itu mempunyai kelainan yang menjijikan… Jadi muridku, dalam segala suatu perkara, penyelidikan adalah sangat penting. Jangan hanya percaya pada apa yang kita dengar saja. Jangan hanya percaya pada berita yang disampaikan orang dari mulut ke mulut…”
“Nasihatmu akan aku perhatikan Datuk…”
“Sekarang ada hal lain yang lebih penting dari penyakit kentutmu itu. Yaitu mengenai penyakit yang menyangkut ingatanmu pada masa silam. Apakah kau sudah mendapatkan kesembuhan? Apakah kau sudah mengetahui siapa dirimu sebenarnya serta riwayat atau asal usul dirimu?”
Karena Hantu Selaksa Angin alias Hantu selaksa Kentut tidak segera menjawab, sang Datuk yang tidak kelihatan orangnya dan hanya terdengar suaranya berkata. “Sekedar mengingatkanmu wahai muridku. Seperti yang aku pernah ceritakan padamu, kau kutemukan tergeletak pingsan di atas lumpur hitam di antara batu-batu besar yang bertebaran di muara sungai Lahulupanjang. Mungkin kau salah satu korban yang dihanyutkan banjir besar yang sebelumnya terjadi di kawasan utara. Perutmu gembung sampai ke dada. Aku memerlukan tujuh hari tujuh malam untuk mengeluarkan air kotor yang ada dalam perut dan rongga dadamu. Ketika hari ke dua belas kau siuman ternyata kau tidak ingat siapa dirimu, tak ingat apa yang telah terjadi dengan dirimu. Juga tidak ingat asal usulmu. Kemudian kuketahui ada satu luka besar di belakang kepalamu. Mungkin ini akibat benturan dengan benda keras. Aku rasa, benturan inilah yang telah mempengaruhi daya ingatanmu…”
Mendengar penjelasan sang Guru, Hantu Selaksa Angin pegang dan usap-usap bagian belakang kepalanya. Dia merasakan ada bagian kepala yang agak menonjol. Cidera luka yang telah sembuh dan meninggalkan bekas. Sang Datuk teruskan ucapannya.
“Namun… muridku, aku juga menaruh dugaan.
Hilangnya daya ingatmu mungkin juga disebabkan oleh satu penderitaan sangat berat yang bersarang mulai dari hati sampai ke pikiranmu. Kemudian, ketika kau siuman kau mempunyai satu sifat aneh. Yakni suka akan warna dan benda apa saja yang berwarna kuning. Itu sebabnya kau membuat sendiri jubah berwarna kuning. Mengecat wajahmu dengan jelaga kuning. Memakai sunting dan subang serta kalung dan gelang warna kuning. Selama bertahun-tahun aku memberi pelajaran ilmu silat dan kesaktian padamu di dalam goa ini, aku berusaha menyembuhkan kesadaranmu. Tetapi tidak berhasil. Mungkin selama kau berada di luar sana ada sesuatu yang mampu membuat kau mengingat-ingat siapa dirimu sebenarnya?”
Si nenek terdiam sejurus. Lalu gelengkan kepala.
“Aku yakin selama belasan tahun di luaran kau bertemu banyak orang. Apakah tidak satupun di antara mereka yang menimbulkan rasa ingat dalam dirimu…?”
“Aku tidak bisa memastikan wahai Guru. Hanya saja…”
Hantu Selaksa Kentut mendongak ke langit-langit ruangan, memperhatikan bintik terang yang ada di ujung kerucut pertanda gurunya masih berada di tempat itu. “Hanya saja satu kali aku memang pernah bertemu beberapa kali dengan seorang kakek aneh. Dia berjalan dan mempergunakan dua tangannya sebagai kaki. Kakek ini dijuluki Hantu Langit Terjungkir. Satu kali dia pernah menyebutkan ‘asap’. Samar-samar aku ingat dulu ada seseorang yang sangat suka pada ikan asap atau ikan pindang itu. Tapi aku lupa siapa orangnya. Aku berusaha menyelidik, meneliti wajah kakek itu. Walau aku berhasil melihat jelas-jelas wajahnya tapi kesadaranku tetap saja tidak muncul. Daya ingatku tidak datang. Aku tidak bisa mengetahui siapa dia sebenarnya.”
“Aku bisa membantu. Menurut kabar yang aku sirap nama sebenarnya dari kakek berjuluk Hantu Langit Terjungkir itu adalah Lasedayu. Dia pernah mendekam selama puluhan tahun di Lembah Seribu Kabut. Apakah nama dan penjelasanku ini bisa menimbulkan satu daya ingat dalam benakmu wahai muridku?”
Nenek wajah kuning berusaha keras mengerahkan daya ingatnya. Matanya dipejamkan. Namun sampai keringat memercik di keningnya dia tak mampu mengingat.
“Maafkan diriku Guru. Aku tidak tahu siapa adanya orang bernama Lasedayu itu.”
“Kalau begitu aku sarankan padamu agar kau mencari kakek berjuluk Hantu Langit Terjungkir itu. Ikuti ke mana dia pergi sampai kau mendapatkan satu petunjuk mengenai dirinya.”
“Hal itu akan aku lakukan Guru…”
“Selain itu kau juga harus berusaha mencari Hantu Raja Obat. Siapa tahu dia bisa menyembuhkan penyakitmu.”
“Baik Guru. Petunjukmu akan aku laksanakan. Maaf Guru, aku mau kentut dulu…”
Butt… prett!
Sang Guru yang dipanggil dengan sebutan Datuk Tanpa Bentuk Tanda Ujud tertawa panjang. “Muridku, belum lama berselang beberapa kali aku mendapat petunjuk dari alam gaib. Suatu senja ketika aku berada di tempat ini, tiba-tiba ada satu cahaya terang menggantung di depan goa.
Hidungku membaui sesuatu yang sangat harum. Aku berusaha mendekati cahaya itu agar bisa melihat lebih jelas. Namun seperti ada satu kekuatan yang membuat aku tidak bisa mendekati cahaya itu. Kemudian kudengar satu suara gaib berkata padaku. ‘Wahai anak manusia, ketahuilah, akan terjadi satu peristiwa besar di bumi Negeri Latanahsilam ini. Karena itulah, sebelum hari kejadian, lakukan sesuatu. Carilah Allah. Dialah Tuhanmu Seru Sekalian Alam, Maha Besar dan Maha Pengasih Maha Penyayang, Penguasa Tunggal Jagat Raya, Pencipta Langit dan Bumi serta Makhluk yang ada di antaranya termasuk dirimu.’ Muridku, apakah kau mendengar kata-kataku?”
“Aku mendengar wahai Datuk,” jawab nenek muka kuning.
“Aku tidak mengerti ucapan gaib itu. Aku berusaha membuka mulut hendak bertanya tapi mulutku terkatup, lidahku seperti terkancing. Kemudian cahaya terang benderang yang ada di depan goa lenyap. Begitu juga bau harum semerbak. Saat itu mendadak aku bisa membuka mulut dan bertanya. ‘Suara dari alam gaib! Siapakah kau adanya?!’ Di kejauhan terdengar jawaban. Tapi ucapannya hanya pengulangan dari kata-kata yang kudengar sebelumnya. Aneh, apa kiranya yang akan terjadi di Negeri Latanahsilam ini. Lalu siapa yang dimaksudkan dengan Allah oleh suara gaib itu. Siapa pula Tuhan. Bagaimana aku harus mencari? Setahuku bukankah para Dewa yang menjadi junjungan dan pelindung kita semua di negeri ini?”
“Tunggu dulu!” Hantu Selaksa Angin berkata. “Aku ingat, aku pernah mendengar. Orang-orang dari negeri seribu dua ratus mendatang itu. Kalau aku tidak salah mereka pernah menyebut nama itu. Tuhan… Gusti Allah…”
“Kalau benar begitu wahai muridku, ada satu tugas baru lagi bagimu. Selidikilah melalui orang-orang itu siapa adanya Tuhan dan Gusti Allah itu. Tapi yang lebih penting saat ini bagimu ialah mendahului mencari kesadaran atau dirimu sendiri…”
“Aku mengerti Datuk…”
“Aku telah memberi banyak ilmu kepandaian padamu. Pergunakan semua itu di jalan yang baik. Jika kau tidak ada pertanyaan atau ingin mengatakan sesuatu, aku akan segera meninggalkan tempat ini.”
“Datuk Guruku, sebelum kita berpisah, aku mohon, sudilah Datuk memperlihatkan bentuk diri dan ujud Datuk padaku… Selama belasan tahun kita bersama, banyak pelajaran dan budi baik yang aku terima darimu. Tapi tidak barang sekalipun aku pernah melihat jazad darimu.”
Bintik terang di langit-langit goa yang berbentuk kerucut kelihatan bersinar menyilaukan. Lalu terdengar suara sang Datuk. “Muridku, saat ini aku belum bisa memperlihatkan diri. Dan aku tidak bisa berjanji kapan aku bisa terlihat oleh mata insani sepertimu. Harap kau tidak kecewa. Suatu kali kita pasti akan bertatap ujud. Selamat tinggal muridku. Datanglah ke goa ini jika kau menemukan sesuatu…”
“Terima kasih Datuk,” kata Hantu Selaksa Angin lalu membungkuk sampai keningnya hampir menyentuh lantai goa. Karena duduk dalam sikap menungging si nenek tidak bisa menahan kentutnya. Akibatnya butt prett! Kentutnya memancar. Di langit-langit goa bintik terang lenyap, pertanda Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Ujud tak ada lagi di tempat itu.
***
LIMA
SEBELUM mengikuti apa yang akan dilakukan Hantu Selaksa Angin alias Hantu Selaksa Kentut setelah dia meninggalkan goa di teluk Labuntusamudera itu, kita kembali pada Luhcinta dan Luhsantini. Seperti dikisahkan dalam episode sebelumnya, “Rahasia Perkawinan Wiro”, kedua orang itu meninggalkan Bukit Batu Kawin setelah menyaksikan upacara pernikahan Pendekar 212 Wiro Sableng dengan Hantu Santet Laknat yang berubah menjelma menjadi seorang gadis cantik bernama Luhrembulan. Karena datang terlambat Luhsantini dan Luhrembulan tidak mengetahui siapa sebenarnya Luhrembulan itu.
Luhcinta yang masih berada dalam keadaan pingsan akibat tidak tahan melihat upacara pernikahan Wiro dengan Luhrembulan, oleh Luhsantini dilarikan ke goa di mana mereka sebelumnya berada. Luhsantini membaringkan Luhcinta di lantai goa lalu setelah memeriksa keadaan gadis itu, istri Hantu Bara Kaliatus ini cepat-cepat mengerahkan tenaga dalamnya ke tubuh Luhcinta melalui pergelangan tangan dan dada. Karena pingsannya Luhcinta bukan akibat cidera atau luka dalam maka sesaat kemudian gadis ini sadarkan diri.
Begitu siuman, belum lagi dia membuka mata dari mulutnya keluar desahan halus. “Wiro… Wiro. Kau tahu perasaanku terhadapmu. Sampai hati kau…” Ingatan Luhcinta semakin pulih. Dia berusaha menahan isak lalu membuka matanya. Pandangannya membentur wajah Luhsantini.
“Kau…” desis Luhcinta karena tidak mengira kalau ada orang lain di tempat itu. Mungkin malu karena telah ketelepasan bicara, Luhcinta balikkan dirinya menghadap ke dinding goa.
Luhsantini diam memperhatikan. Dalam hati dia berkata. “Dugaanku ternyata benar. Gadis ini memang mencintai pemuda asing bernama Wiro itu… Apa yang harus aku lakukan untuk menolongnya? Pernikahan Wiro dengan gadis tak dikenal itu tak mungkin dibatalkan.
Berarti Luhcinta akan kehilangan orang yang dicintainya selama-lamanya…”
“Luhsantini…” tiba-tiba terdengar suara Luhcinta.
“Aku di sini Luhcinta. Ada apa? Ada sesuatu yang bisa kulakukan untukmu…?”
“Aku tahu, aku ingat. Kau pasti yang membawaku dari bukit itu ke sini… Aku berterima kasih padamu, Luhsantini.”
“Benar, kau tak usah khawatir. Kau tidak cidera atau mengalami luka apa-apa…”
“Aku tahu. Walau tak ada cidera atau luka yang terlihat di mata namun… Ada luka yang tak mungkin terlihat oleh mata lain. Hanya aku yang bisa merasakannya wahai Luhsantini.”
Luhsantini jadi terdiam haru mendengar kata-kata Luhcinta itu. Dipegangnya bahu si gadis.
“Luhsantini…”
“Yaa…?”
“Apakah benar apa yang kita saksikan di Bukit Batu Kawin itu?” tanya Luhcinta. Air mata yang tak terbendung mulai mengalir jatuh ke pipinya yang pucat. Luhsantini tak kuasa menjawab. Sementara itu tanpa setahu kedua orang itu di luar goa seseorang menyelinap dan mencuri dengar semua pembicaraan Luhsantini dan Luhcinta. Dari pakaian hitam serta mukanya yang tertutup lapisan tanah liat berjelaga hitam sudah dapat diterka orang ini adalah Si Penolong Budiman, manusia aneh berkepandaian tinggi.
“Kau masih ada di sampingku Luhsantini?”
“Ya, aku masih di sini. Di dalam goa ini bersamamu. Aku tidak akan meninggalkanmu…”
“Kau baik sekali. Aku sangat berterima kasih. Tetapi mengapa kau tidak menjawab pertanyaanku tadi?”
Luhsantini gigit bibirnya. Matanya jadi ikut berkaca-kaca karena dia bisa merasakan keperihan hati Luhcinta kehilangan orang yang dikasihinya. “Kau harus tabah, Luhcinta…”
“Aku cukup tabah Luhsantini. Sejak kecil kesengsaraan hidup telah mendera diriku. Laksana hantaman palu godam di besi panas, membuat diriku menjadi seorang yang sanggup kukuh dalam ketabahan. Tetapi, mengapa kejadian dan perubahan yang satu ini begitu tiba-tiba? Begitu berat hingga bahuku tak sanggup memikulnya? Aku masih belum bisa menemukan ayahku dan kini aku kehilangan seorang calon ayah.” Luhcinta seka air mata yang berderai jatuh di pipinya.
Di luar goa, Si Penolong Budiman sesaat tampak termenung. “Tidak kusangka dia sangat mencintai pemuda itu. Ah…” Orang ini menarik nafas dalam lalu gelenggelengkan kepalanya.
“Ketabahan tidak mengajarkan kita untuk berputus asa wahai Luhcinta…” terdengar suara Luhsantini.
“Aku tidak putus asa. Tapi cobaan ini datangnya begitu bertubi-tubi…”
“Luhcinta, jangan sampai kehilangan pemuda itu kau seolah menemui jalan buntu dalam hidupmu.
Seolah kau sampai di satu jalan di mana pada ujung jalan menghadang sebuah jurang batu yang dalam dan gelap. Aku sendiri mengalami nasib yang jauh lebih parah dari keadaanmu. Aku kehilangan suami dan juga kehilangan seorang anak darah dagingku sendiri. Kau jauh masih beruntung. Masa depan masih terbuka lebar di hadapanmu…”
“Aku menyangsikan wahai Luhsantini, apakah aku masih punya masa depan. Dari kehancuran masa silam apa yang bisa diambil sebagai pegangan masa depan. Dan sekarang aku mengalami nasib seperti ini…” Luhcinta kembali menyeka air matanya.
“Luhcinta, siapakah gadis yang beruntung mempersuamikan pemuda itu?”
Saat itu seperti terngiang kembali di telinga Luhcinta suara lantang Lamahila si juru nikah. “Wiro Sableng dan Luhrembulan. Kalian berdua telah aku nikahkan disaksikan langit dan bumi. Apa yang kalian ucapkan didengar oleh para Dewa dan semua roh yang tergantung antara langit dan bumi. Semoga kalian mendapat berkah. Saat ini kalian telah resmi menjadi suami istri.”
Luhcinta mendadak merasa sekujur tubuhnya menjadi dingin. Dia menggigil. Melihat ini Luhsantini berkata.
“Cuaca memang buruk akhir-akhir ini. Aku akan mencari kayu untuk menyalakan unggun. Biar goa ini menjadi hangat…”
“Tidak usah Luhsantini, aku masih bisa menahan gejolak cobaan ini. Pertanyaanku tadi… kau tahu siapa adanya gadis yang menjadi istri Wiro itu?”
“Aku tak pernah melihat gadis itu sebelumnya. Lamahila menyebut namanya Luhrembulan. Satu nama yang juga rasanya asing bagiku dan bagi semua orang di Negeri Latanahsilam ini…”
“Apapun keanehan yang terjadi rasanya tidak mungkin Wiro mengawini seorang yang tidak dikenalnya. Berarti Wiro sebelumnya memang telah lama mengenal Luhrembulan…”
“Sulit aku menduga wahai Luhcinta. Aku merasa seperti ada keanehan dalam semua kejadian ini…”
“Kejadian bagaimana maksudmu?”
“Entahlah, aku tidak bisa mengatakan tapi aku dapat merasakan,” jawab Luhsantini. Lalu sambil membelai rambut Luhcinta, Luhsantini berkata. “Maafkan kalau pertanyaanku ini menyinggung perasaanmu wahai Luhcinta. Namun aku ingin tahu, apakah selama ini pemuda itu mengetahui kalau kau mencintainya…?”
“Aku tak tahu. Aku tak bisa menduga,” jawab Luhcinta dengan mata basah menatap tak berkedip pada Luhsantini.
“Kau tak pernah mengatakan terus terang padanya dengan ucapan atau tanda isyarat bahwa kau mencintainya?”
Luhcinta tersenyum sedih. “Luhsantini, kita ini samasama perempuan. Mana mungkin perempuan berlancang diri terlebih dulu menyatakan cintanya terhadap seorang pemuda?”
“Aku mengerti…”
“Lagi pula sejak beberapa waktu belakangan ini aku banyak diselimuti rasa bingung.”
“Kau bingung? Apa yang membuatmu bingung?”
“Pertama, kenyataan bahwa begitu banyak gadis dan perempuan jatuh cinta terhadap pemuda itu…”
“Wahai! Bagaimana kau bisa berkata begitu. Apa kau punya bukti…?”
“Untuk melihat seorang jatuh cinta tidak perlu bukti segala. Dari sikap, cara bicara, bahkan cara memandang saja kita sudah bisa mengetahui bahwa seorang mencintai seorang lainnya.”
“Kalau kau tahu coba katakan siapa saja yang menurutmu telah jatuh cinta pada pemuda asing itu!”
“Misalnya saja Luhjelita. Lalu Luhtinti. Yang paling gila Si Hantu Santet Laknat. Kemudian Peri Angsa Putih. Dan terakhir sekali Peri Bunda, bahkan Peri Sesepuh!”
Luhsantini geleng-gelengkan kepala lalu sambil tersenyum. “Untung aku tidak termasuk dalam daftarmu…”
“Masih ada hal lain yang menimbulkan kebingungan dalam diriku,” melanjutkan Luhcinta.
“Apa?”
“Di seluruh Negeri Latanahsilam kini tersiar kabar kalau Wiro telah melakukan hubungan mesum dengan Luhjelita. Kemudian merusak kehormatan dua cucu Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Juga ada kemungkinan telah melakukan hubungan badan dengan Hantu Santet Laknat. Yang paling menghebohkan ialah tuduhan bahwa pemuda itu telah menghamili Peri Bunda!”
Di luar goa kembali Si Penolong Budiman menarik nafas dalam mendengar pembicaraan kedua orang itu. Namun sekali ini tarikan nafasnya agak keras hingga terdengar sampai ke dalam goa.
“Tunggu…” bisik Luhsantini. “Aku merasa ada seseorang di luar sana. Aku akan menyelidik…”
“Kita sama-sama menyelidik” kata Luhcinta lalu bangkit berdiri.
“Tak ada siapa-siapa!” kata Luhsantini sambil memandang sekitar goa. “Padahal tadi jelas sekali aku mendengar seperti ada suara orang menarik nafas…”
“Kita masuk saja. Mungkin hanya suara desau angin atau dedaunan yang saling bergesek,” kata Luhcinta. Dia memegang lengan Luhsantini. Kedua orang itu masuk kembali ke dalam goa.
Ke mana lenyapnya Si Penolong Budiman? Ketika menyadari kehadirannya sudah diketahui orang dengan cepat manusia berwajah tanah liat ini melesat ke satu pohon besar berdaun lebat. Dia mendekam bersembunyi di sana. Begitu Luhcinta dan Luhsantini masuk kembali ke dalam goa cepat-cepat dia melompat ke pohon yang lain lalu lenyap tak kelihatan lagi. Sepanjang larinya kembali ke telaga di mana dia meninggalkan Hantu Langit Terjungkir, hatinya terasa goncang. Batinnya berulang kali berkata.
“Gadis itu… Dia mencintai pemuda asing itu? Luhcinta, dia mencintai Wiro! Ah…!”
Kembali ke dalam goa. Luhcinta dan Luhsantini melanjutkan pembicaraan mereka. “Aku tidak menyalahkan begitu banyak gadis dan perempuan bahkan sampai ke bangsa Peri jatuh cinta terhadap pemuda asing itu. Selain kegagahan wajahnya serta ketinggian ilmunya, dia mudah bergaul dengan siapa saja. Tapi biar ada seribu orang mencintainya, apakah dia mencintai salah satu dari mereka?”
“Pertanyaanmu itu sudah terjawab Luhsantini. Wiro telah memilih Luhrembulan sebagai istrinya. Berarti gadis itulah yang dicintainya.”
Luhsantini menarik nafas panjang. Sambil gelengkan kepala dia berkata. “Seperti kataku tadi, ada keanehan di balik pernikahan pemuda asing dan gadis tak dikenal bernama Luhrembulan itu. Aku tidak tahu apa adanya. Biar nanti keadaan yang akan mengungkapnya sendiri. Lalu mengenai kebingunganmu karena tersiar kabar bahwa pemuda itu telah berbuat mesum di mana-mana, kalau memang itu benar sungguh sangat disayangkan. Aku tak tahu lagi mau bicara apa. Tapi Luhcinta, kalau boleh aku mengatakan, sebaiknya pembicaraan ini tidak usah kita perpanjang. Jangan kau sampai berlarut-larut tenggelam dalam perasaan hatimu sendiri.”
“Aku setuju,” jawab Luhcinta perlahan. Namun dalam hati gadis ini berkata. “Luhsantini, kau tidak tahu atau mungkin berpura-pura tidak tahu. Saat ini aku bukan saja tenggelam dalam perasaan, tapi telah tenggelam dalam kehancuran. Sejak lama aku berputus asa karena tidak kunjung dapat mengungkap rahasia kehidupan diriku, tidak dapat menemukan di mana dan siapa sebenarnya ayahku.
Dari kenyataan yang ada aku terlahir sebagai seorang anak dari dua kakak beradik. Perkawinan yang membawa malapetaka. Apakah aku ini masih pantas disebut manusia?”
“Luhcinta… apa yang ada dalam pikiran dan hatimu?” bertanya Luhsantini ketika dilihatnya sepasang mata Luhcinta tampak memandang sayu dan kosong. Ada sekelumit senyum menyeruak di bibir Luhcinta. Dulu bibir itu merah merekah memancarkan kesegaran yang memikat. Kini bibir itu tampak pucat seolah tak berdarah. Tapi hanya sesaat. Di lain ketika Luhsantini melihat sepasang mata gadis di hadapannya itu mengeluarkan kilatan aneh. Lalu terdengar Luhcinta berkata. “Luhsantini, aku ingin menyelidik. Harus! Aku ingin tahu siapa sebenarnya gadis bernama Luhrembulan itu!”
Luhsantini pandangi wajah Luhcinta seketika. Sebenarnya dia ingin menasihati agar Luhcinta tidak perlu melakukan hal itu. Namun khawatir perasaan dan jiwa si gadis akan semakin tertekan Luhsantini akhirnya berkata.
“Jika itu keinginanmu, sebaiknya kita datangi tempat kediaman si juru nikah Lamahila!”
“Tepat! Kita cari nenek itu sekarang juga!” kata Luhcinta. Kedua orang itu segera bangkit berdiri.
Namun sebelum sempat melangkah ke mulut goa tibatiba di luar sana terdengar suara tawa bergelak dahsyat sekali.
“Dua perempuan di dalam goa! Jangan kalian berani menyelidik persoalan menyangkut anak dan menantuku! Ini peringatan dariku! Dan ini contoh akibatnya kalau berani lancang melanggar!”
Di luar goa terdengar deru angin keras sekali. Menyusul berkiblatnya cahaya merah seperti ada lidah api membeset turun dari langit.
Wussss!
Bummmm!
Braaakkk!
Mulut goa batu hancur berkeping-keping. Kepingannya berpelantingan di udara, berubah menjadi bara-bara menyala. Di dalam goa Luhsantini dan Luhcinta cepat jatuhkan diri ke lantai batu. Lidah api menderu lewat di atas punggung mereka.
“Kurang ajar! Siapa berani main gila terhadap kita!”
teriak Luhsantini marah. Sambil lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi, perempuan berpakaian serba merah ini menerobos keluar. Tapi sampai di luar tidak kelihatan siapa-siapa. Hanya di kejauhan terdengar suara bergelak, menggema di seantero tempat lalu lenyap.
“Aneh, tak bisa kuduga siapa adanya manusia itu!” kata Luhsantini.
“Dia menyebut Luhrembulan dan Wiro sebagai anak dan menantunya! Siapa dia?!” kata Luhcinta pula sambil kepalkan tinju.
“Melihat pukulan yang dilancarkannya bukan mustahil dia adalah Hantu Bara Kaliatus…” ujar Luhsantini. “Tapi kau tahu, aku adalah bekas istrinya. Aku tak punya anak perempuan…”
“Mungkin tanpa setahumu, suamimu itu telah kawin dengan perempuan lain? Bukankah perpisahan kalian berdua cukup lama, seumur seorang gadis remaja?”
Luhsantini menatap wajah Luhcinta dalam-dalam.
Dipegangnya lengan gadis itu seraya berkata. “Aku tidak tahu Luhcinta, tak bisa aku menduga… Masakan selama ini tak pernah tersiar kabar kalau Hantu Bara Kaliatus punya istri lagi dan punya anak? Wiro sebagai menantunya? Wahai! Tak masuk di akalku!” Luhsantini terdiam beberapa saat. Lalu dia bertanya. “Bagaimana sekarang? Apa yang akan kita lakukan?”
“Walau ada orang mengancam, aku tetap akan menyelidik siapa adanya Luhrembulan. Aku akan mencari nenek juru nikah bernama Lamahila itu…” jawab Luhcinta penuh kepastian. Tekadnya teguh dan bulat sudah!
***
ENAM
KITA ikuti dulu ihwal kakek berjuluk Hantu Langit Terjungkir yang aslinya bernama Lasedayu, ayah kandung dari empat orang anak yang terlahir membawa tanda bunga dalam lingkaran pada lengan sebelah atas. Sebegitu jauh dia telah bertemu dengan dua orang yang memiliki tanda tersebut yakni Lakasipo alias Hantu Kaki Batu dan Latandai alias Hantu Bara Kaliatus.
Pagi itu Hantu Langit Terjungkir tegak bersandar di batang sebuah pohon tak jauh dari tepi telaga. Kaki ke atas kepala ke bawah, dua tangan dipergunakan sebagai kaki. Tangan kanannya yang cidera akibat hantaman tongkat tulang Sang Junjungan masih dibalut dengan segulung pelepah pisang. Begitu sosok berjubah hitam bermuka dilapisi tanah liat hitam muncul di hadapannya, dia segera menegur.
“Sahabat bermuka tanah liat, sejak pagi kau menghilang tanpa memberitahu ke mana kau pergi. Begitu kembali kulihat kau berubah sikap…”
“Kek, apa maksudmu?” tanya orang bermuka tanah liat yang di Negeri Latanahsilam dikenal dengan panggilan Si Penolong Budiman.
“Walau wajahmu tertutup tanah liat hitam, tetapi aku tahu kau sedang diselimuti rasa gundah yang amat sangat. Kau tengah tenggelam dalam rasa bingung. Bukankah begitu adanya?”
“Anu Kek… Bagaimana tanganmu yang patah?”
Hantu Langit Terjungkir tertawa mengekeh. Sambil pegang lengannya yang cidera dia berkata. “Tanganku sudah banyak kesembuhannya. Tapi jangan kau mengalihkan pembicaraan. Apa yang merisaukan hatimu? Katakan dari mana kau sejak pagi buta tadi?”
Karena didesak akhirnya Si Penolong Budiman bercerita juga. “Kau ingat ceritaku bahwa Luhsantini dan Luhcinta berada di sebuah goa tak jauh dari telaga ini?”
“Wahai! Aku memang sudah menduga kau pasti menyelinap ke sana. Di mana bunga mekar berada, ke situ biasanya kumbang melayang. Tentu banyak sekali yang kalian bicarakan…”
“Tidak Kek, aku memang ke sana tapi bukan untuk bercakap-cakap dengan mereka. Aku justru mencuri dengar pembicaraan dua perempuan itu…”
“Kau bangsa orang yang suka menguping rupanya.
Coba kau ceritakan apa saja yang kau dengar,” kata Hantu Langit Terjungkir pula. Lalu dia rebahkan tubuhnya di tanah.
Si Penolong Budiman menuturkan semua pembicaraan Luhsantini dan Luhcinta yang sempat didengarnya di dalam goa sebelum dia kemudian terpaksa meninggalkan tempat itu karena takut ketahuan.
“Pemuda asing itu. Namanya Wiro Sableng. Aku kenal dia. Dia pernah menyelamatkan nyawaku.
Tapi mengenai gadis bernama Luhrembulan sungguh tak pernah aku mengetahui siapa dirinya. Setahuku di Negeri Latanahsilam ini tidak ada gadis bernama seperti itu…” Si kakek menatap ke dalam mata Si Penolong Budiman.
“Sahabatku, aku merasakan dari nada bicara dan tekanan suaramu. Setiap kau menyebut nama Luhcinta, ada suatu getaran menguasai dirimu. Apakah kau mencintai gadis itu wahai sahabatku?”
“Kek, aku…”
Hantu Langit Terjungkir tertawa mengekeh. “Katakan saja terus terang…”
“Dia mencintai pemuda asing bernama Wiro Sableng itu!”
“Kalaupun memang begitu tapi sekarang apa artinya lagi? Bukankah si pemuda telah kawin dengan gadis bernama Luhrembulan? Kau punya kesempatan besar untuk mendapatkan Luhcinta… Kau harus cepat, jangan membuang-buang waktu!”
“Kau ini ada-ada saja Kek. Mukaku saja begini! Mana ada gadis yang mau padaku!” Si Penolong Budiman gelenggelengkan kepalanya. “Tidak mungkin Kek, tidak mungkin…”
“Maksudmu tidak mungkin dia mau denganmu? Ha…ha… ha! Aku tahu di balik lapisan tanah liat itu kau memiliki wajah tak kalah gagah dengan pemuda asing bernama Wiro Sableng itu. Sekarang tinggal terserah padamu. Apakah kau akan tetap menyembunyikan wajahmu di balik tanah liat?”
“Aku telah bersumpah tidak akan menanggalkan tanah liat ini sebelum apa yang tengah kuselidiki terungkap secara nyata!” Si Penolong Budiman lupa kalau dia pernah memperlihatkan wajah aslinya pada Luhcinta.
“Kerabatku,” kata Hantu Langit Terjungkir. “Jangan suka mudah bersumpah. Lagi pula urusan selidik menyelidik itu bisa diatur kemudian. Yang penting kau harus cepat-cepat berusaha mendapatkan Luhcinta. Jika kau malu, aku mau jadi perantara menemuinya. Mengatakan padanya bahwa kau mencintainya! Setuju?!”
“Jangan Kek! Aku harap jangan kau lakukan hal itu!”
“Aneh kau ini! Mau tapi malu. Suka tapi berpura-pura!”
“Aku tidak malu, aku tidak berpura-pura…”
“Lalu apa sebenarnya?! Jangan-jangan kau ini sebenarnya seorang perempuan adanya! Ha… ha… ha!”
“Aku tidak bisa mengatakan padamu Kek…”
“Kalau begitu katakan pada kami!” tiba-tiba ada suara menyeruak. Membuat kaget Hantu Langit Terjungkir dan Si Penolong Budiman. Jika ada dua orang mendatangi tempat itu tanpa mereka mendengar dan mengetahui lebih awal, itu sudah cukup menjadi pertanda bahwa mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi. Tak menunggu lama, dari balik sebuah batu besar hitam di tepi telaga berkelebat muncul dua sosok. Satu mengenakan jubah hijau pekat satunya lagi berjubah kuning gelap.
Hantu Langit Terjungkir goyangkan kepalanya agar bisa melihat jelas siapa yang datang. Si Penolong Budiman cepat bangkit berdiri dan memutar tubuh. Yang berjubah kuning gelap adalah seorang kakek berambut putih kelabu awut-awutan. Mata kanan sipit kecil sebaliknya mata kiri besar membeliak. Di pinggangnya kakek ini membekal sebilah senjata berbentuk clurit besar berwarna hitam legam.
Di sebelah kakek berjubah kuning gelap tegak berdiri seorang nenek yang penampilannya luar biasa aneh dan menggidikkan. Kulit muka, dada dan perutnya seperti terkelupas. Hidungnya nyaris gerumpung. Bola mata kanannya terbujur keluar, setengah tergantung di pipinya yang tidak berdaging. Nenek ini tidak mempunyai tangan kanan alias buntung. Tapi di atas keningnya menempel satu potongan tangan yang ternyata adalah kutungan tangan kanan sendiri! Seperti si kakek dia membekal sebilah clurit berwarna putih berkilauan.
Siapakah dua tua bangka aneh ini? Dalam rimba persilatan Latanahsilam mereka pernah dikenal dengan julukan Sepasang Hantu Bercinta. Si kakek bernama Lajahilio sedang si nenek bernama Luhjahilio. Selama puluhan tahun mereka mengelana, hidup bersama bermesraan tanpa nikah. Itu sebabnya mereka dijuluki Sepasang Hantu Bercinta.
Seperti banyak para tokoh di masa itu, sepasang kakek ini ternyata telah jatuh ke tangan Hantu Muka Dua dan dijadikan kaki tangan suruhannya. Akibatnya mereka bentrokan dengan berbagai pihak. Terakhir sekali mereka bertempur menghadapi Luhcinta. Walau Luhcinta banyak mengalah dan mengingatkan kedua orang itu agar kembali ke jalan yang benar namun mereka tidak mau perduli.
Terutama si nenek yang terus mendesak Luhcinta dengan serangan-serangan ganas. Akhirnya terpaksa Luhcinta menghajar nenek itu dengan pukulan sakti disebut Pukulan Kasih Mendorong Bumi.
Si nenek amblas ke dalam dinding batu. Ketika kakek kekasihnya menariknya keluar dari batu, dirinya menjadi cacat mengerikan, terutama di bagian wajah, dada dan perut. Kulit serta dagingnya terkelupas, menyembulkan tulang putih menggidikkan! Mata kanannya terbetot keluar! (Mengenai riwayat Lajahilio dan Luhjahilio harap baca dua episode sebelum ini berjudul “Rahasia Patung Menangis” dan “Rahasia Mawar Beracun”).
Saat itu Hantu Langit Terjungkir telah bangkit berdiri, dua tangan menginjak bumi, dua kaki naik ke atas. Dari balik celah-celah rambut putihnya dia perhatikan gerakgerik dua tamu tak diundang itu.
Si Penolong Budiman walau berdiri dengan sikap tenang sambil rangkapkan dua tangan di depan dada namun penuh waspada. Luhjahilio perhatikan Hantu Langit Terjungkir dengan wajah sinis sementara mata kanannya yang melotot keluar bergerak-gerak mengerikan. Mata kirinya melirik sekilas pada Si Penolong Budiman. Mulutnya dipencongkan lalu dia berkata.
“Hantu Langit Terjungkir, aku mengenali siapa dirimu. Kau bangsa manusia yang tidak pernah berdusta!”
“Terima kasih atas pujianmu itu! Siapa yang memuji biasanya membekal maksud tersembunyi!” menyahuti Hantu Langit Terjungkir.
Luhjahilio kembali sunggingkan wajah sinis. Jari-jari tangan kanannya yang menempel di atas keningnya kelihatan bergerak-gerak. Di sampingnya Lajahilio mendekat dan berbisik. “Aku tidak takut pada manusia yang hidup menyungsang itu. Tapi harap kau berhati-hati pada manusia yang mukanya dilapisi tanah liat hitam itu. Kalau aku tidak salah menduga, bukankah dia berjuluk Si Penolong Budiman? Ingat, dia yang dulu menghancurkan pedang kita dengan Ilmu Keppeng!” (Baca episode berjudul “Rahasia Patung Menangis”).
“Aku ingat!” jawab si nenek. “Tapi kau diam sajalah Lajahilio. Biar aku yang bicara. Biar aku yang mengatur! Kau harus bersiap-siap. Jika aku memberi isyarat kau langsung membokong Hantu Langit Terjungkir!” Memang antara dua kekasih yang hidup selama puluhan tahun itu si nenek memiliki ilmu silat dan kesaktian satu tingkat lebih tinggi.
Luhjahilio kemudian alihkan perhatiannya pada Hantu Langit Terjungkir. “Makhluk yang hidupnya menyungsang, kaki ke atas kepala ke bawah. Harap kau memberitahu di mana beradanya gadis bernama Luhcinta itu!”
Sementara Si Penolong Budiman terkejut mendengar pertanyaan si nenek, Hantu Langit Terjungkir keluarkan tawa mengekeh. Diam-diam Si Penolong Budiman khawatir kalau Hantu Langit Terjungkir memberitahu di mana beradanya Luhcinta. Maka dia memberi isyarat dengan kedipan mata. Namun dia tidak mengetahui apakah si kakek mengerti arti isyaratnya itu.
“Luhjahilio…” kata Hantu Langit Terjungkir. “Biasanya hanya seorang pemuda yang menanyakan di mana beradanya seorang gadis cantik. Tapi kau yang neneknenek buruk justru yang mengajukan pertanyaan… Aku mungkin masih bisa mengerti seandainya kekasihmu si Lajahilio itu yang bertanyakan Luhcinta! Ha… ha… ha!”
“Tua bangka keparat! Jangan kau berani menghina istriku!” hardik Lajahilio marah besar. Dia hendak menerjang tapi cepat dipegang oleh Luhjahilio.
“Istrimu katamu…?!” ujar Hantu Langit Terjungkir sambil sibakkan rambut putih yang menutupi wajahnya. Bola matanya berputar-putar memperhatikan Lajahilio lalu tertawa gelak-gelak. “Sejak kapan kau kawin dengan nenek itu? Siapa yang mengawinkan kalian? Ha… ha… ha! Kalian mau aku bicara tidak berdusta tapi kalian sendiri bicara tidak karuan!”
Lajahilio tak dapat lagi menahan amarahnya. Sekali terjang saja kaki kanannya menderu ke arah dada Hantu Langit Terjungkir. Ini bukan tendangan biasa. Sekali mengenai sasarannya dada Hantu Langit Terjungkir pasti akan hancur luluh!
“Lajahilio! Kau buas sekali! Jangan-jangan sudah lama kekasihmu si nenek buruk itu tidak mau bermesraan denganmu! Ha… ha… ha!”
Hantu Langit Terjungkir kerahkan hawa sakti yang didapatnya sewaktu berada di Lembah Seribu Kabut (Baca Episode berjudul “Rahasia Kincir Hantu”). Sekujur badannya mendadak sontak memancarkan sinar kebirubiruan disertai menebarnya hawa dingin. Tubuh si kakek berubah laksana kabut, melesat mumbul ke atas. Tendangan Lajahilio mendera udara kosong kemudian menghantam pohon besar tempat Hantu Langit Terjungkir tadi tegak bersandar.
Braakkk!
Pohon yang batangnya seukuran pemelukan manusia itu hancur berkeping-keping. Lalu dengan suara menggemuruh tumbang ke tanah!
Lajahilio menggembor keras lalu berteriak. “Hantu salah ujud! Aku mau lihat apa kau bisa lolos dari senjataku ini!” Lalu manusia berjubah kuning gelap ini gerakkan tangan kanannya ke pinggang di mana terselip senjatanya yang berbentuk sebuah clurit besar berwarna hitam legam. “Kekasihku, jangan turutkan amarahmu! Biarkan aku bicara dulu dengan kakek jahanam itu! Soal nyawanya kurasa bisa kita urus kemudian!”
Lajahilio banting kaki mendengar kata-kata si nenek. Dia berusaha menepiskan tangan kekasihnya itu, tapi si nenek mencekalnya dengan kencang. “Turuti kemauanku! Atau kau tidak ingin aku punya kesempatan untuk membalas dendam?!”
“Huh!” Lajahilio unjukkan tampang merengut. Masih penuh geram dia sisipkan senjatanya kembali ke pinggang.
Si nenek Luhjahilio berpaling pada Hantu Langit Terjungkir. “Sekarang harap kau memberitahu di mana beradanya gadis bernama Luhcinta itu! Jika kau berani macam-macam aku akan biarkan kekasihku mencincang tubuhmu mulai dari kaki sampai kepala!”
“Nenek sesat! Orang telah memindahkan tangan kananmu ke kening! Seharusnya itu sudah cukup menjadi pelajaran dan peringatan bagimu! Tapi rupanya kau memang tidak bisa dibuat sadar!”
“Keparat hidup menyungsang! Jangan banyak mulut di hadapanku! Tanganku sebenarnya sejak tadi sudah gatal untuk mempesiangi tubuhmu! Kau mau mengatakan di mana gadis bernama Luhcinta itu atau mampus sekarang juga?!” Tangan kiri si nenek bergerak ke pinggang di mana tergantung clurit putih berkilat.
Hantu Langit Terjungkir tidak takut ancaman orang. Sambil menyeringai dia berkata.
“Aku baru memberitahu kalau kau mau mengatakan mengapa kau mencari gadis itu?” tanya Hantu Langit Terjungkir pula.
“Kau bertanya aku akan menjawab!” kata si nenek pula. “Kau lihat keadaan mukaku! Kau lihat dada dan perutku. Putih hanya tinggal tulang belulang. Lihat hidungku! Lihat mata kananku yang terjulur keluar! Ini semua adalah akibat perbuatan gadis bernama Luhcinta itu! Dia memukulku hingga melesak masuk ke dalam dinding batu!”
“Wahai! Kau memang patut dikasihani! Tetapi mengapa gadis itu menghajarmu kalau tidak ada sebab musababnya?!”
“Tua bangka jahanam! Jangan kau memperpanjang pembicaraan dengan segala macam pertanyaan! Lekas katakan di mana Luhcinta berada!” Tangan kiri si nenek bergerak menggenggam gagang clurit besar yang memantulkan cahaya angker berkilauan terkena sinar matahari. Di sampingnya si kakek yang jadi kekasihnya tidak tinggal diam. Dia juga segera menghunus senjatanya.
***
TUJUH
TAHAN! Tunggu! Jangan mengeroyok aku dengan dua sabit besar itu! Setahuku dulu kalian memiliki senjata berbentuk pedang terbuat dari batu merah. Mana senjata itu sekarang?! Sudah kalian jual karena kehabisan biaya hidup?! Ha… ha… ha!”
Wuuttt!
Clurit putih di tangan kiri Luhjahilio berkelebat dan tahutahu bagian tajamnya sudah melingkar di leher Hantu Langit Terjungkir. Sekali renggut saja leher kakek ini pasti akan amblas putus.
Seperti diketahui, ilmu kepandaian Hantu Langit Terjungkir alias Lasedayu telah amblas dirampas Hantu Muka Dua. Peristiwanya terjadi ketika Hantu Muka Dua dengan mempergunakan sebuah sendok emas sakti yang didapatnya dari makhluk bernama Lamanyala, berhasil mencungkil pusar Lasedayu yakni bagian tubuh yang menjadi pusat segala kesaktiannya. Walau tidak memiliki ilmu kesaktian lagi, namun secara diam-diam di tempat kediamannya di Lembah Seribu Kabut, Lasedayu berhasil menghimpun kekuatan tenaga dalam dan ilmu baru yang cukup dapat diandalkan dan bukan sembarangan orang bisa menjajalnya. Itu sebabnya walau lehernya sudah dikalungi Luhjahilio dengan clurit besar, dia masih bisa cengar-cengir, malah julur-julurkan lidahnya. Lalu dia berkata. “Aku hidup sudah puluhan tahun. Sudah lebih dari cukup! Kalau kau memutuskan leherku saat ini, aku akan sangat berterima kasih, Luhjahilio. Lakukanlah!”
“Tua bangka gila! Kau benar-benar minta mati! Aku masih mau memberi kesempatan! Katakan di mana Luhcinta!”
“Wahai…! Kalau kau sangat mendesak baiklah akan aku katakan. Harap kau pasang telinga. Dengar baik-baik!”
“Kek, jangan kau beritahu!” teriak Si Penolong Budiman.
“Jangan campuri urusan orang!” bentak Lajahilio. Sekali berkelebat tahu-tahu ujung clurit hitamnya sudah mendekam di atas perut manusia bermuka tanah liat itu!
Sekali tangan itu bergerak, jebollah perut orang dan ususnya akan berhamburan keluar!
Si Penolong Budiman tampak tenang saja. Tapi diamdiam dia segera kerahkan tenaga dalam pada dua tangannya. Kalau perlu dia siap untuk sama-sama mati mengadu jiwa dengan Lajahilio.
“Tenang… Tenang semua!” Hantu Langit Terjungkir berkata. “Aku akan beritahu di mana gadis itu berada…”
“Katakan cepat! Dari tadi kau cuma berceloteh tak karuan!” bentak Luhjahilio.
“Gadis itu berada di tempat yang aku tidak tahu!” kata Hantu Langit Terjungkir pula lalu tertawa gelak-gelak.
“Keparat jahanam! Mampus kau!” teriak Luhjahilio.
Tangan kirinya yang memegang clurit putih siap disentakkan.
Di sebelah sana Lajahilio juga tidak berdiam diri. Tanpa banyak cerita dia siap menekankan ujung clurit hitamnya untuk merobek perut Si Penolong Budiman!
Namun dalam keadaan yang sangat menegangkan itu tidak terduga mendadak berkelebat satu bayangan kuning.
Butt! Prett!
Gerakan bayangan yang sangat sebat disertai bunyi suara kentut mau tak mau menyita perhatian Sepasang Hantu Bercinta yang siap menghabisi Hantu Langit Terjungkir dan Si Penolong Budiman. Ternyata tidak hanya kelebatan bayangan kuning dan suara kentut yang muncul. Di saat bersamaan dua larik sinar kuning berbentuk tombak menderu ke arah Luhjahilio dan Lajahilio!
“Tombak Kuning Pengantar Mayat!” teriak Luhjahilio dan Lajahilio hampir berbarengan. Tampang sepasang kakek nenek ini menjadi seputih kain kafan. Keduanya sama-sama jatuhkan diri menghindari sambaran sinar kuning sambil tetap meneruskan niat untuk menghabisi dua lawan mereka. Namun saat itu Hantu Langit Terjungkir dan Si Penolong Budiman sudah bergerak lebih dahulu!
Dua kaki Hantu Langit Terjungkir yang ada di udara tibatiba sekali melesat ke bawah. Dua tumitnya menghantam ke arah batok kepala Luhjahilio. Si nenek tahu betul kehebatan dua kaki lawan. Terlambat dia selamatkan diri batok kepalanya akan amblas dihantam dua tumit Hantu Langit Terjungkir. Selagi perhatiannya tersita pada serangan lawan, dia cepat rundukkan kepala sementara tangan kirinya bekerja, menarik clurit besar yang melingkar di leher Hantu Langit Terjungkir. Tapi sekali ini si nenek kalah cepat dengan gerakan tangan kanan lawan. Hantaman dua kaki yang dilancarkan Hantu Langit Terjungkir ke arah kepala Luhjahilio sebenarnya hanya tipuan belaka. Begitu perhatian lawan terbagi dan membuat gerakan mengelak, Hantu Langit Terjungkir cepat melesat mumbul ke atas untuk lepaskan leher dari kalungan clurit. Bersamaan dengan itu tangan kanannya dipukulkan.
Bukkkk!
Kraaakkk!
Luhjahilio terpental dua tombak, bergulingan di tanah sambil keluarkan suara raungan. Dari mulutnya menyembur darah kental. Clurit putihnya terlepas jatuh entah ke mana. Ketika dia bangkit terbungkuk-bungkuk sambil pegangi dadanya yang remuk dilabrak jotosan tangan kanan Hantu Langit Terjungkir, mata kanannya yang sebelumnya terbujur kini tak kelihatan lagi. Mata itu kini hanya tinggal lobang digenangi darah menggidikkan. Matanya yang satu bergerak liar kian kemari mencari cluritnya. Kemudian nenek ini keluarkan seruan tertahan ketika di sebelah sana dilihatnya kekasihnya tergeletak tak bergerak!
Walau lolos dari maut, namun Hantu Langit Terjungkir ternyata mengalami cidera cukup parah. Ketika tadi dia menghantam si nenek, dia pergunakan tangan kanannya. Kakek ini lupa kalau tangannya itu masih dibalut dan belum sembuh betul dari patah akibat hantaman tongkat tulang Sang Junjungan beberapa waktu lalu. Begitu dipergunakan menghantam dada lawan, tak ampun lengan yang patah itu ambruk kembali! Si kakek terguling di tanah, menggeliat-geliat menahan sakit. Si Penolong Budiman cepat menghampiri orang tua ini, mendukungnya dan membawanya ke tempat yang aman dekat sebuah batu besar di tepi telaga.
“Kek, kau tak apa-apa?”
“Sial betul nasibku! Mengapa aku begitu tolol pergunakan tangan kanan memukul lawan! Tangan ini pasti sudah patah lagi! Celaka betul!”
“Aku akan menolongmu. Mari kulihat dulu lenganmu,”
kata Si Penolong Budiman sambil hendak membuka pelepah pisang yang membalut lengan si kakek.
“Jangan pikirkan diriku. Awasi dulu sepasang kakek nenek sesat itu! Mereka tidak segan-segan membokong kita secara curang!”
“Tak usah khawatir Kek. Si nenek cidera berat akibat pukulanmu! Kekasihnya kakek satu itu agaknya tak akan sadar dalam waktu satu minggu!”
Apa yang terjadi dengan Lajahilio seperti yang disaksikan oleh si nenek kekasihnya?
Ketika tadi sinar kuning berbentuk tombak menghantam ke arahnya mau tak mau perhatian Lajahilio jadi terbagi. Dia merasa masih punya kesempatan untuk menambus perut Si Penolong Budiman. Karena itu sambil jatuhkan diri ke samping dia betot celuritnya demikian rupa. Namun manusia muka tanah liat telah lebih dulu bergerak. Tangan kiri memukul lengan Lajahilio hingga dirinya terpental ke samping. Bersamaan dengan itu tangan kanannya didorongkan ke depan. Gerakannya perlahan saja. Dari tangan kanan itu menyembur keluar selarik sinar hitam yang merebak berbentuk kipas. Dalam larikan sinar hitam berkilauan sinar-sinar terang aneh seperti bunga api.
“Pukulan Menebar Budi!” teriak Lajahilio. Kakek ini serta merta menyingkir selamatkan diri. Tapi terlambat. Larikan sinar hitam keburu menyapu tubuhnya mulai dari dada sampai ke lutut!
Wuuuusss!
Lajahilio menjerit keras. Tubuhnya mencelat sampai tiga tombak lalu terkapar di tanah tak berkutik lagi. Pakaiannya mulai dari dada sampai ke lutut tampak hangus mengepulkan asap hitam!
Pukulan yang barusan dilepaskan si muka tanah liat memang pukulan yang disebut Pukulan Menebar Budi. Pukulan hebat inilah yang membuat dia menjadi terkenal di Negeri Latanahsilam dan sangat ditakuti lawan. Pukulan Menebar Budi tersebut berjumlah tujuh yakni Pukulan Menebar Budi Hari Pertama sampai Pukulan Menebar Budi Hari ke Tujuh. Yang tadi dilepaskannya untuk menghantam Lajahilio adalah Pukulan Menebar Budi Hari Pertama.
Akibatnya seperti disaksikan sendiri. Kalau sampai dia menghantam dengan Pukulan Menebar Budi Hari ke Dua, saat itu nyawa si kakek sudah tidak tertolong lagi. Rupanya manusia muka tanah liat ini masih mempunyai rasa belas kasihan hingga tidak mau menjatuhkan tangan terlalu keras. Tapi karena jarak mereka begitu dekat maka akibat yang menimpa Lajahilio sungguh parah walau orang ini tidak sampai meregang nyawa.
“Jahanam! Kau membunuh kekasihku!” teriak Luhjahilio. Terhuyung-huyung nenek yang juga mengalami cidera parah ini jatuhkan diri ke atas tubuh Lajahilio lalu menggerung keras. Di antara suara gerungan itu tiba-tiba terdengar suara tawa mengikik disusul suara butt prett!
“Luhjahilio nenek sesat! Kau dan kekasihmu samasama tak tahu diri! Masih untung orang tidak membunuh kekasihmu itu! Kau sendiri, apa peringatanku masih kurang jelas? Aku sudah memindahkan tangan kananmu ke jidat! Tapi kau masih saja menjalani hidup jahat dan sesat! Apa tanganmu yang satu lagi mau aku pindahkan ke selangkangan?! Hik… hik… hik…!”
Mata kanan Luhjahilio kucurkan darah. Mata kirinya bergerak berputar memandang ke arah sosok serba kuning yang tertawa cekikikan di hadapannya.
“Hantu Selaksa Angin! Aku menyatakan perang tujuh turunan denganmu! Kau akan rasakan pembalasanku!”
Nenek muka kuning songgengkan pantatnya lalu butt prett! Dia pancarkan kentutnya. “Tua bangka tolol! Anak saja kau tidak punya, apalagi cucu! Bagaimana kau bisa bicara tak karuan menyatakan perang tujuh turunan?! Hik… hik… hik! Bagusnya kau lekas angkat kaki dari tempat ini! Bawa kekasihmu itu selagi bisa diselamatkan!”
Luhjahilio meludah ke tanah. Ludahnya bercampur darah. Dengan matanya yang tinggal satu dia membeliak memandang ke arah Si Penolong Budiman.
“Makhluk muka tanah liat, nasibmu tak akan kalah sengsara dari nenek keparat itu! Lihat saja pembalasanku nanti!” Habis berkata begitu Luhjahilio lalu coba mengangkat tubuh kekasihnya. Maksudnya hendak didukung di pundak kirinya. Ternyata dia tidak mampu melakukan.
“Aku mau menolongmu mendukung kakek butut itu. Katakan saja kau mau bawa dia ke mana dan kau mau bayar aku dengan apa?! Hik… hik… hik!”
Mendengar ejekan Hantu Selaksa Angin itu Luhjahilio jadi mendidih amarahnya. Melupakan keadaan dirinya sendiri dia sambar clurit hitam milik Lajahilio yang tergeletak di tanah lalu menyerbu Hantu Selaksa Angin. Dalam satu gebrakan saja dia sudah kirimkan dua babatan dan satu bacokan.
Butt prett!
Hantu Selaksa Angin pancarkan kentutnya lalu cepat berkelebat. Ketika lengan jubah kirinya dikebutkan, selarik cahaya kuning berkiblat. Seperti tadi waktu menolong Hantu Langit Terjungkir dan makhluk muka tanah liat, nenek muka kuning itu kembali lepaskan pukulan Tombak Kuning Pengantar Mayat. Walau diserang dengan pukulan sakti itu, namun Luhjahilio tetap nekad, terus saja menerjang dengan clurit besar di tangan kiri. Hantu Selaksa Angin arahkan pukulan saktinya ke tangan kiri lawan.
Cahaya kuning berbentuk tombak kembali berkiblat di udara.
Traanggg!
Luhjahilio terpekik keras. Clurit hitamnya patah dua dan terlepas mental. Tangan kirinya bergetar keras dan ada rasa sakit seperti ditusuk puluhan jarum. Sadar dalam keadaan seperti itu dia tak bakalan dapat menghadapi lawan, Luhjahilio banting-banting kaki. Dengan tangan kirinya dia cekal leher berjubah kuning Lajahilio lalu seret si kakek meninggalkan tempat itu sambil keluarkan kutuk serapah.
“Nenek sesat! Kalau saja kau tahu diri akan kukembalikan tangan kananmu ke tempat semula!” kata nenek muka kuning mengantar kepergian Luhjahilio.
Mendengar ucapan itu Luhjahilio hentikan langkahnya dan berteriak.
“Aku tidak perlu belas kasihanmu nenek muka comberan! Kalau tiba saatnya aku akan pindahkan nyawamu ke pusaran neraka langit ke tujuh!”
Butt prett!
Hantu Selaksa Angin alias Hantu Selaksa Kentut jawab ucapan Luhjahilio dengan pancaran kentutnya lalu tertawa cekikikan. Tak lama setelah Luhjahilio meninggalkan tempat itu bersama kekasihnya, Hantu Selaksa Angin berpaling ke arah orang bermuka tanah liat yang tengah menolong Hantu Langit Terjungkir. Nenek muka kuning ini segera mendekati. Dia perhatikan sebentar keadaan si kakek lalu berkata. “Huh! Seperti anak kecil! Cuma sakit sedikit saja tapi mengerang tak putus-putus!”
Hantu Langit Terjungkir sibakkan rambut yang menutupi kepalanya. “Tua bangka tukang kentut! Kau rupanya! Kau tidak merasa bagaimana sakitnya karena bukan kau yang cidera!”
Si kakek tempelkan belakang tangan kirinya ke bibir lalu preettt! Dia tirukan suara kentut si nenek. Hantu Selaksa Angin tertawa cekikikan. “Kau masih pandai menirukan kentutku! Padahal suara dan irama kentutku sudah berbeda dari dulu! Hik… hik… hik! Makhluk yang hidupnya aneh kaki ke atas kepala ke bawah, dulu kau pernah mengancam diriku. Mau membuat aku jadi ikan asap atau ikan pindang. Apa kau masih mau melakukannya?!” (Baca episode berjudul “Hantu Santet Laknat”).
“Nenek muka kuning! Aku sedang menderita sakit. Kau bicara yang bukan-bukan! Lama-lama aku jadi muak melihat dirimu! Lekas kau pergi dari sini!”
“Tua bangka tak tahu diri!”
“Nenek sialan, apa maksudmu?!”
“Rupanya kau masih suka melihat wajah gadis cantik daripada wajah nenek sepertiku ini! Itu sebabnya kau suruh aku pergi!”
“Nek,” Si Penolong Budiman menengahi pembicaraan.
“Orang tua ini sedang kesakitan. Aku tengah berusaha menolongnya. Harap kau jangan mengajaknya bicara dulu…”
“Manusia muka tanah liat! Lagakmu seperti tabib ahli saja! Apa kau punya kemampuan menolong tukang ikan pindang itu?!”
“Nenek muka kuning itu ingin kubuat jadi ikan pepes rupanya!” kata Hantu Langit Terjungkir pula.
“Dulu kau suka ikan asap ikan pindang. Sekarang kau suka ikan pepes. Nanti kau suka ikan apa lagi? Hik… hik…hik! Dengar, jika aku bisa menolong tanganmu yang patah apa kau mau menjawab beberapa pertanyaanku?”
“Memangnya kau tabib atau dukun? Puah!” Hantu Langit Terjungkir pencongkan mulutnya.
“Aku memang bukan tabib, juga bukan dukun. Apalagi dukun beranak! Hik… hik… hik! Tapi sekali lihat saja aku sudah tahu tanganmu yang patah itu sudah mulai membusuk! Tak ada harapan untuk disembuhkan!”
Hantu Langit Terjungkir jadi terdiam. Dia melirik pada Si Penolong Budiman. Manusia muka tanah liat ini berkata. “Jangan dengarkan ucapannya Kek. Dia menakut-nakuti dirimu. Aku pasti bisa menolongmu…”
“Aku hanya memberitahu!” kata Hantu Selaksa Angin.
“Kalau tangan kananmu sampai busuk dan kelak kau cuma punya satu tangan, apakah kau masih bisa berjalan dengan mempergunakan hanya satu tangan? Tua bangka tolol! Kelak kau berjalan dengan tangan kiri. Makan dengan tangan kiri! Lalu cebok dengan tangan kiri juga! Hik… hik… hik! Perlu apa berlama-lama melihat orang tolol! Kalau bukan guruku yang menyuruh mencarimu, mana sudi aku melihat tampangmu yang lebih jorok dari pengemis ini!” Setelah berkata begitu si nenek segera bergerak hendak tinggalkan tempat itu.
Hantu Langit Terjungkir kembali melirik pada Si Penolong Budiman. Akhirnya kakek ini berseru. “Nenek muka kuning! Tunggu dulu! Aku bersedia menjawab pertanyaanmu. Tapi aku ingin agar kau mengobati tanganku lebih dulu!”
“Kalau aku mengobatimu lebih dulu, apa nanti kau akan memenuhi janji menjawab pertanyaanku?”
“Nek, kakek sahabatku ini bukan orang berhati culas. Kalau setelah kau obati ternyata dia ingkar, biar aku mematahkan tangannya yang satu lagi!” kata Si Penolong Budiman pula.
Butt prett!
Yang berbunyi bukanlah kentut si nenek muka kuning, tapi suara mulut dan tangan Hantu Langit Terjungkir sengaja meniru suara kentut si nenek.
Hantu Selaksa Angin tertawa cekikikan. “Baik, aku akan tolong kakek sahabatmu ini. Tua bangka jelek, ayo ulurkan tangan kananmu!”
Masih dalam keadaan berbaring Hantu Langit Terjungkir ulurkan tangannya yang cidera. Si nenek perhatikan tangan itu sesaat. “Hemmm… apa kataku. Tanganmu sudah busuk. Malah kulihat sudah mulai ada belatungnya kecil-kecil!”
Hantu Langit Terjungkir jadi kaget. Dia buka matanya lebar-lebar memperhatikan. Tapi dia tidak melihat apa-apa. Apalagi belatung seperti yang dikatakan si nenek. Hantu Selaksa Angin tertawa cekikikan. “Kau mana bisa melihat belatungnya. Matamu hanya bisa melihat gadis cantik. Bukan begitu? Hik… hik… hik!”
“Kau mau menolongku atau mau bersenda gurau?!” Hantu Langit Terjungkir jadi jengkel.
“Walah, sudah tua bangka kau masih cepat marah. Sudah, kalau kau tak sabaran sekarang juga akan kuobati tanganmu!” Si nenek buang sisa-sisa pelepah pisang yang masih menempel di tangan kanan Hantu Langit Terjungkir. Caranya melakukan hal itu seenaknya saja hingga si kakek menjerit-jerit kesakitan.
Butt prett!
“Jangan cengeng!” bentak si nenek muka kuning setelah kentut lebih dulu. Dengan tangan kirinya dia usap tangan kanan Hantu Langit Terjungkir yang patah sementara mulutnya berkomat-kamit Masih dengan tangan kirinya dia cekal tangan itu di bagian siku. Lalu dipelintirnya kuat-kuat!
Klek!
Tangan kanan Hantu Langit Terjungkir tanggal di bagian siku! Si kakek menjerit setinggi langit. Saking sakitnya dia hendak berguling-guling di tanah. Tapi si nenek cepat injak dadanya. “Diam kau! Jangan ribut jangan berani bergerak!”
bentak si nenek.
“Uh… uh… uh…” Hantu Langit Terjungkir terpaksa menahan rasa sakitnya walau muka dan badannya sampai mandi keringat. Hantu Selaksa Angin kemudian melangkah mendekati sebatang pohon. Potongan tangan Hantu Langit Terjungkir ditempelkannya di pohon itu. Lalu, krakkk! Dia mematahkan cabang pohon yang besar dan panjangnya kira-kira sama dengan tangan si kakek. Potongan cabang pohon itu lalu enak saja disambungkannya ke tangan kanan Hantu Langit Terjungkir.
“Untuk sementara kau pakai dulu cabang pohon itu sebagai pengganti tanganmu yang patah!” kata si nenek sambil menyeringai.
Si Penolong Budiman tersentak kaget. Hantu Langit Terjungkir sendiri membeliak besar.
“Kau menipuku!” teriak Hantu Langit Terjungkir marah.
***
DELAPAN
NENEK muka kuning pancarkan kentutnya. Butt prett!
Lalu unjukkan wajah cemberut. “Siapa yang menipumu kakek buruk?!”
“Tadi kau mengatakan akan mengobati tanganku yang patah. Ternyata tanganku kau tanggalkan, kau tempel di pohon. Lalu kau ambil patahan cabang pohon dan kau tempelkan di tanganku!”
“Walah, memang begitu caraku menolongmu!” jawab Hantu Selaksa Angin.
“Aku lebih suka kau kembalikan tanganku! Siapa sudi punya tangan batang kayu seperti ini!” ujar Hantu Langit Terjungkir sementara Si Penolong Budiman tertegak tak tahu mau berbuat atau bicara apa.
“Ck… ck… ck… Kau benar-benar bangsa manusia yang tidak tahu ditolong orang. Aku telah pergunakan ilmu Menahan Darah Memindah Jazad untuk menolongmu. Itu bukan ilmu sembarangan. Aku menghabiskan waktu belasan tahun untuk mewarisinya. Tanganmu yang patah sengaja aku tempel di pohon. Sementara kau tidak punya tangan, bukankah ada baiknya kuganti dulu dengan batang kayu? Nanti kalau tanganmu yang di pohon sudah bertaut kembali tulangnya baru kukembalikan ke tempatnya semula! Paling lama kau hanya menunggu beberapa hari sampai tanganmu sembuh! Nanti aku pasti akan memasangkannya ke tanganmu itu kembali!”
“Cara pengobatanmu tidak masuk akal! Kau menipuku…!” teriak Hantu Langit Terjungkir.
“Itulah kalau hidup cuma tahu ikan asap, hanya tahu ikan pindang! Sekarang kau juga tahu ikan pepes! Ditolong orang malah menuduh menipu! Coba kau perhatikan! Apa tanganmu yang kusambung dengan cabang pohon itu terasa sakit?”
“Memang tidak! Tapi aku tidak sudi punya tangan batang kayu seperti ini!”
“Sombongnya manusia satu ini!” mengomel si nenek.
“Selama puluhan tahun kau hidup kaki ke atas kepala ke bawah. Apa kau pernah berkata tidak sudi hidup menyungsang seperti itu?!”
Mendengar ucapan si nenek, Hantu Langit Terjungkir jadi terdiam.
“Nek, bagaimana kalau selama di pohon terjadi apaapa dengan tangan kakek sahabatku itu?” Si Penolong Budiman bertanya.
“Apa maksudmu manusia muka tanah liat?”
“Mungkin saja potongan tangan itu dipagut dan dimakan ular. Atau dimakan musang…”
“Kalau kau memikir sampai di situ mudah saja jawabnya! Suruh kakek yang punya tangan itu berjaga-jaga siang malam di bawah pohon sampai tangannya sembuh! Kalau nanti tangannya masih saja dijadikan santapan binatang hutan, mungkin itu sudah nasibnya! Hik… hik…hik! Bukankah tugasku hanya menolongnya? Bukan menjadi pengawal tangan buntungnya? Kalau kau merasa sahabatnya kau harus membantunya!”
Butt prett! Si nenek kentut dulu lalu meneruskan ucapannya. “Sekarang sesuai perjanjian kau harus menjawab beberapa pertanyaanku.”
“Aku tidak akan menjawab apapun!” Hantu Langit Terjungkir berkata setengah berteriak.
Si nenek tampak jengkel. Matanya yang kuning memandang tajam pada Hantu Langit Terjungkir. “Aku sudah menduga kau akan ingkar janji. Tapi tak jadi apa! Aku akan pergi, tapi tanganmu kubawa serta!”
Lalu dengan mulut berkomat-kamit si nenek hendak tanggalkan tangan kanan Hantu Langit Terjungkir yang menempel di batang pohon.
“Kek, sebaiknya kau menjawab saja apa yang hendak ditanyakannya. Kurasa tak ada susahnya. Daripada urusan menjadi panjang tak karuan…” Si Penolong Budiman memberi nasihat.
“Aku…! Wahai! Sialan! Sudah! Baik aku akan jawab. Apa yang mau kau tanyakan!” Hantu Langit Terjungkir akhirnya mengalah juga.
Hantu Selaksa Angin tatap wajah si kakek beberapa saat baru berkata. “Kau dikenal dengan nama Hantu Langit Terjungkir. Waktu lahir kau pasti punya nama. Aku ingin tahu siapa namamu sebenarnya.”
“Kau menanyakan namaku segala! Apa juga perlu hari dan bulan lahirku? Rupanya kau mau meramal menujumi diriku atau bagaimana?”
“Jangan banyak bicara yang tak karuan. Jawab saja pertanyaanku. Siapa namamu kakek buruk?”
Hantu Langit Terjungkir pandangi nenek muka kuning itu mulai dari sunting yang menancap di kepalanya, turun ke lehernya yang penuh dengan untaian kalung sampai ke kaki. Semuanya serba kuning. Dalam benak dan hati si kakek berbagai pertanyaan muncul. Sambil melangkah seputar si nenek Hantu Langit Terjungkir membatin.
“Nenek aneh serba kuning ini. Siapa dia sebenarnya? Aku yakin dia sengaja memoles wajahnya dengan semacam cat kuning. Aku akan menjawab pertanyaannya tapi nanti aku akan balas bertanya…”
“Kalau kau memang ingin tahu, nama asliku Lasedayu.”
“Lasedayu… Lasedayu…” Si nenek ketuk-ketuk keningnya sendiri dengan ujung jari telunjuk. “Hemmm…Aku tak tahu apa aku pernah mendengar nama itu sebelumnya. Namamu buruk seperti tampangmu! Aku tidak kenal nama itu!”
“Lebih bagus kau tidak kenal siapa diriku!” menyahuti si kakek.
“Aku memang tidak ingin. Kalau saja guruku tidak menyuruh…”
“Siapa gurumu?” bertanya Si Penolong Budiman.
“Aku tidak punya kewajiban menjawab pertanyaanmu muka hitam!”
“Kau tak mau menjawab tak jadi apa,” kata Si Penolong Budiman tenang.
“Sudah tua bangka begini apakah kau punya istri, Lasedayu?” Si nenek ajukan pertanyaan kedua.
“Kalau aku tak punya istri apa kau mau jadi istriku?!” tanya Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir.
Butt prett! Si nenek pancarkan kentutnya. Setelah tertawa cekikikan dia berkata. “Jawab saja pertanyaanku!”
“Aku tak punya istri!”
“Maksudmu kau tidak pernah kawin? Tak pernah punya anak?!”
“Nenek muka kuning! Aku tidak suka semua pertanyaanmu. Kau tengah menyelidiki diriku atau bagaimana?”
“Jangan-jangan kau kaki tangan Hantu Muka Dua.” Si Penolong Budiman menimpali.
“Aku bukan kaki tangan Hantu Muka Dua! Soal menyelidiki aku memang sedang menyelidiki dirimu!”
“Untuk apa?!” sentak Hantu Langit Terjungkir.
“Aku tidak tahu!” jawab si nenek.
“Tua bangka sakit! Otakmu pasti tidak waras!” kata Hantu Langit Terjungkir pula.
“Aku memang bisa bertindak tidak waras. Misalnya, tanganmu yang di pohon itu kubuat remuk hingga kau tidak punya tangan kanan lagi seumur-umur. Bagaimana, mau kita coba? Mau kubuktikan kalau diriku bisa tidak waras?!”
Ketika si kakek tidak menjawab, Hantu Selaksa Angin tertawa gelak-gelak. “Kakek buruk. Kau belum menjawab pertanyaanku. Apa kau pernah kawin? Kalau pernah siapa nama istrimu. Lalu apa kau pernah punya anak?”
“Nenek muka kuning, kau harus jawab pertanyaanku dulu. Apa perlu kau menyelidiki diriku?”
“Sudah kukatakan tadi. Guruku yang menyuruh!”
“Siapa gurumu?!”
“Aku tidak tahu!”
“Betul-betul gila! Kau disuruh gurumu tapi kau tidak tahu siapa gurumu!”
“Aku tidak dusta! Karena aku memang tidak pernah melihat ujudnya!”
“Kau punya guru, tapi tidak tahu ujudnya! Gurumu angin atau sebangsa kentut yang keluar dari pantatmu itu?!”
“Jangan kau berani menghina guruku. Tua bangka bermulut tak karuan. Kau yang gila, bukan aku! Aku tak mau lagi bicara denganmu!”
“Bagus, sekarang aku yang bicara! Aku yang bertanya! Siapa namamu sebenarnya?”
“Aku tidak tahu!”
“Apa kau pernah punya suami?”
“Hik… hik! Jika aku tak punya suami apa kau mau jadi lakiku? Hik… hik!”
“Sialan betul!” maki Hantu Langit Terjungkir.
Sebaliknya si nenek banting-banting kaki lalu tanpa banyak bicara lagi putar tubuhnya. Setelah pancarkan kentutnya satu kali diapun tinggalkan tempat itu.
“Syukur nenek sinting itu sudah pergi!” kata Hantu Langit Terjungkir lega. Tetapi sebenarnya si nenek tidak pergi. Setelah menghilang dari pandangan mata kedua orang itu diam-diam dia menyelinap kembali, melompat ke atas sebatang pohon berdaun lebat di seberang telaga. Dari sini dia mengawasi Hantu Langit Terjungkir dan Si Penolong Budiman sambil kerahkan kesaktiannya untuk mendengar apa yang dibicarakan kedua orang itu.
“Nenek muka kuning itu benar-benar aneh…” kata Hantu Langit Terjungkir. “Apa maksudnya menyelidiki diriku. Katanya disuruh gurunya. Tapi dia tidak tahu mau memberitahu siapa gurunya.”
“Kau tidak bisa mengenali atau menduga siapa dia adanya, Kek?” tanya Si Penolong Budiman. Hantu Langit Terjungkir gelengkan kepala.
“Aku menduga dia tengah menyelidiki dirimu dan masa silammu Kek.”
“Bisa saja. Tapi untuk apa?”
“Kuncinya ada pada gurunya. Sayangnya dia tidak mau memberitahu siapa gurunya! Katanya dia tak pernah melihat ujud sang guru. Apa memang bisa begitu?”
“Sebaiknya kita tidak membicarakan nenek sinting itu!” kata Hantu Langit Terjungkir pula. Tiba-tiba dia ingat dan berseru. “Wahai! Celaka diriku!”
“Ada apa Kek?”
“Tanganku yang menempel di pohon! Kalau tulangnya yang patah bertaut kembali, bagaimana aku menyambungkannya ke tubuhku?!” Wajah si kakek jadi pucat.
“Berarti dalam waktu beberapa hari di muka nenek itu akan datang kembali mencarimu Kek.”
“Kalau dia datang, kalau tidak…!”
Di atas pohon di seberang telaga Hantu Selaksa Angin senyum-senyum mendengar percakapan kedua orang itu.
“Lasedayu… Lasedayu…” katanya berulang kali dalam hati.
“Ah, aku tidak kenal nama itu. Aku tidak ingat lagi…” Si nenek pukul-pukul kepalanya sendiri.
***
PAGI hari ke empat ketika Hantu Langit Terjungkir bangun, seperti hari-hari sebelumnya yang pertama sekali diperhatikannya adalah pohon di mana tangan kanannya yang patah ditempelkan oleh Hantu Selaksa Angin. Sekali ini begitu dia memandang ke pohon langsung dia tersentak kaget dan melompat bangun sambil berseru memanggil Si Penolong Budiman.
Manusia muka tanah liat ini serta merta terbangun pula. “Ada apa Kek?”
“Tanganku! Lihat ke pohon sana! Tanganku tak ada lagi di pohon itu! Pasti sudah dibawa lari binatang hutan! Celaka diriku! Apa kataku! Nenek muka kuning jahanam itu benar-benar telah menipuku! Celaka diriku! Celaka! Akan kucari nenek keparat itu. Kalau bertemu biar dua tangannya kutanggalkan dari tubuhnya! Biar dia rasa!”
Hantu Langit Terjungkir pukul-pukul keningnya sendiri dengan tangan kanan.
Si Penolong Budiman dapat merasakan kemarahan si kakek. “Nenek sinting itu memang perlu diberi pelajaran!” katanya. Dia perhatikan si kakek yang terus memukuli kepalanya sendiri. Tiba-tiba manusia bermuka tanah liat ini berseru keras. “Kek!”
“Ada apa?!” tanya Hantu Langit Terjungkir kesal.
“Tangan kananmu Kek! Kau memukuli kepalamu dengan tangan kanan! Lihat tanganmu!”
“Astaga!” Si kakek baru sadar dan perhatikan tangan kanannya dengan mendelik besar. Ternyata tangannya yang sebelumnya diganti dengan cabang pohon kini telah berubah dengan tangannya yang sebenarnya. Berpaling ke samping kiri dia melihat cabang pohon yang tadinya dipakai pengganti tangan kanannya tergeletak di tanah. Si kakek usap-usap tangan kanannya berulang kali. Diangkat ke atas, diturunkan ke bawah. Direntangkan ke samping seolah-olah tak percaya!
“Nenek itu! Wahai! Aku telah berburuk sangka! Ternyata dia tidak menipuku. Ternyata dia benar-benar menolongku! Tanganku yang patah dan telah sembuh disambungkannya kembali!”
Hantu Langit Terjungkir memandang pada Si Penolong Budiman dengan sepasang mata berkaca-kaca. “Dosa besar aku padanya, wahai kerabatku! Nenek muka kuning itu menyembuhkan tanganku yang patah. Menyembuhkannya kembali! Aku tidak tahu kapan dia melakukan. Pasti malam tadi!”
“Kek, kalau dia melakukan secara diam-diam berarti dia menolongmu tanpa menginginkan balas jasa. Berarti hatinya polos. Tapi mungkin juga…” Si Penolong Budiman tidak meneruskan ucapannya. Tapi justru malah tersenyum.
“Tapi apa muka tanah liat? Kau tidak meneruskan ucapanmu. Kau tersenyum seperti ada yang lucu…”
“Kek, dia menolongmu secara diam-diam mungkin karena dia malu…”
“Malu? Aku tak mengerti…”
“Setahuku, jika seorang perempuan malu-malu terhadap seorang lelaki berarti dia menyimpan satu perasaan tertentu…”
“Perasaan tertentu apa maksudmu?” tanya Hantu Langit Terjungkir pula.
“Maafkan aku Kek. Mungkin nenek itu suka padamu,” jawab Si Penolong Budiman.
Hantu Langit Terjungkir berteriak. “Gila kau! Aku dan dia sudah tua bangka begini masih mau bersuka-sukaan! Gila!”
Si Penolong Budiman tertawa lebar. “Yang namanya cinta itu Kek, kalau datang tidak memilih waktu, tempat dan usia!”
“Kau gila!” Hantu Langit Terjungkir tertawa gelak-gelak.
Tiba-tiba tawanya berhenti. Dia pandangi muka yang tertutup tanah liat kering itu. Mulutnya terbuka tapi tak ada suara yang keluar.
“Kau hendak mengatakan apa Kek? Ada suatu perasaan yang tiba-tiba mengendap di lubuk hatimu?”
“Aku tidak tahu! Tapi nenek itu ternyata seorang yang baik sekali. Kalau saja aku bisa menemuinya lagi. Aku akan mengucapkan terima kasih padanya…”
“Hanya mengucapkan terima kasih saja Kek?”
“Lalu apa lagi?!”
“Bagaimana kalau terbukti dia memang menyukai dirimu. Apakah kau mau padanya. Maksudku mau kawin dengannya?”
Wajah Hantu Langit Terjungkir menjadi merah. Namun sambil senyum-senyum dia berkata. “Nenek itu, mana mungkin dia suka padaku. Aku terus-terusan dikatakannya kakek buruk. Lagipula keadaanku yang selalu kaki di atas kepala di bawah begini…”
“Justru mungkin karena keadaanmu inilah yang menimbulkan rasa kasihan dalam dirinya padamu. Rasa kasihan berganti dengan rasa suka…”
Si kakek garuk-garuk pipinya yang tidak gatal. “Aku… Hemmm… Kalau dia memang punya hati terhadapku, rasanya tak ada salahnya aku membalas dengan perasaan yang serupa…”
“Kau mau kawin dengan Hantu Selaksa Angin itu Kek?”
“Yaaa… Aku mau apalagi nenek satu itu memang aneh, tapi rasa-rasanya aku cocok dengan dirinya. Selama puluhan tahun, sejak aku kehilangan istri dan anakanakku, aku hidup sengsara sebatang kara. Mungkin para Dewa menakdirkan sudah saatnya hidupku harus berubah…”
“Kalau begitu sehabis mandi di telaga kita cari saja nenek itu. Sekalian kita mencari Lakasipo dan Hantu Bara Kaliatus yang menurutmu kau yakin adalah sebagai dua dari empat anakmu yang lenyap itu…”
“Cari nenek itu dulu! Dua anakku bisa menyusul kemudian!” kata Hantu Langit Terjungkir seraya kedipkan matanya lalu tertawa gelak-gelak.
Di seberang telaga, di atas pohon berdaun rimbun Hantu Selaksa Angin dengan kesaktiannya walaupun agak sayup-sayup masih dapat mendengar semua percakapan Hantu Langit Terjungkir dan Si Penolong Budiman.
Wajahnya yang kuning tampak berseri-seri. Senyum tak henti-hentinya menyeruak di mulutnya. Berulang kali dia mengusapi wajahnya. Lalu dalam hati dia berkata. “Kakek satu itu sebenarnya tak buruk-buruk amat Walau keadaannya seperti itu tapi hatinya pasti baik. Katanya dia mau kawin dengan aku! Hik… hik… hik! Bagaimana ini! Aku harus memberitahu Sang Datuk. Aku harus menemui Guru! Hik… hik… hik! Ada orang yang mau mengawini aku! Wahai bagaimana rasanya kawin! Apakah dulu aku pernah kawin…?! Aku tak ingat lagi! Hik… hik… hik.” Tanpa mengeluarkan suara dan goyangan pada pohon, nenek muka kuning ini berkelebat turun dan lenyap di arah timur telaga.
***
SEMBILAN
HUJAN turun dengan lebat membuat malam menghitam pekat. Sesekali halilintar menyambar menerangi jagat. Lalu suara guntur menggelegar seperti hendak menjungkirbalikkan bumi. Di bawah hujan lebat itu dua bayangan berkelebat ke arah selatan. Ketika sekali lagi kilat menyabung dan keadaan terang benderang sesaat, kelihatanlah bahwa dua bayangan itu adalah dua sosok perempuan berwajah cantik. Mereka bukan lain adalah Luhcinta dan Luhsantini yang tengah dalam perjalanan menuju tempat kediaman Lamahila.
Luhsantini yang mengetahui letak rumah juru nikah terkenal di Negeri Latanahsilam itu berlari di sebelah depan. Sebenarnya mereka bisa saja berhenti mencari tempat berteduh. Namun karena sudah terlanjur diguyur hujan keduanya terus saja melanjutkan perjalanan. Selain itu Luhcinta mendesak terus agar bisa menemui Lamahila secepatnya.
Lamahila memiliki beberapa rumah namun dia lebih sering berada di rumah yang terletak di sebuah bukit kecil di selatan, tak jauh dari kawasan pantai. Karena bukit itu tidak terlalu banyak ditumbuhi pepohonan maka dari jauh bangunan kediaman sang juru nikah telah terlihat menghitam dalam kegelapan malam dan curahan air hujan.
Bangunan itu cukup besar, berhalaman luas. Kedua orang yang mendatangi langsung menuju pintu depan.
“Tak ada nyala dian atau obor di dalam rumah. Janganjangan nenek itu tak ada di sini…” kata Luhcinta.
“Kita masuk saja. Setahuku Lamahila memang suka bergelap-gelap,” jawab Luhsantini. Dia melangkah ke depan pintu yang terbuat dari papan tebal. Sambil mengetuk keras Luhsantini berteriak.
“Nenek Lamahila! Nenek Lamahila! Kau ada di rumah?!”
Sampai berulang kali pintu diketuk dan diteriaki namun tak ada jawaban, Luhsantini hendak mengetuk untuk kesekian kalinya. Saat itulah dia menyadari kalau pintu papan itu ternyata tidak dikunci.
“Kawasan ini memang aman. Tapi adalah aneh kalau si nenek tidak mengunci rumahnya. Ini di luar kebiasaannya…” kata Luhsantini. Lalu dengan tangan kirinya dia mendorong. Daun pintu terbuka mengeluarkan suara berkereketan. Lewat celah pintu kedua orang itu memandang ke dalam.
“Gelap… Agaknya nenek itu memang tidak ada di sini,”
Luhsantini berkata setengah berbisik. Dia mendorong lagi daun pintu lebih lebar.
“Nenek Lamahila! Kau ada di dalam?!” Luhsantini memanggil. Tetap tak ada jawaban. Tiba-tiba kilat menyambar dan guntur menggelegar membuat dua perempuan ini sama-sama terkejut.
“Kalau nenek itu memang tidak ada di rumah, apa yang akan kita lakukan?” tanya Luhsantini.
“Kita menumpang berteduh saja. Menunggu sampai pagi. Siapa tahu nenek itu kemudian muncul,” jawab Luhcinta.
Luhsantini membuka pintu lebih lebar. Ketika dia hendak melangkah masuk mendadak ada suara berkelik disusul suara mendesir. Luhcinta yang mendengar lebih dulu dengan cepat menarik tangan Luhsantini. Kedua orang itu jatuh saling tindih di lantai serambi rumah kayu. Dua benda hitam berdesing di atas mereka.
“Apa-apaan kau ini?!” tanya Luhsantini. Luhcinta menjawab dengan acungan jari telunjuk tangan kanannya.
Sambil menunjuk dia goyangkan kepala ke kiri. Berubahlah paras Luhsantini. Pada tiang serambi rumah besar tampak menancap dua buah pisau berbentuk aneh. Gagangnya masih bergetar bergoyang-goyang.
“Ada orang memasang peralatan rahasia di dalam rumah. Diarahkan ke pintu. Jika pintu dibuka peralatan itu akan bekerja, melesatkan senjata pembunuh. Siapa yang berada di depan pintu dan terlambat menyelamatkan diri akan ditambus pisau-pisau itu!”
“Manusia pengecut! Akan kuhajar habis-habisan orang yang memasang peralatan rahasia itu!” kata Luhsantini geram seraya beringsut menjauhi pintu. “Tapi apa maunya Lamahila memasang peralatan pembunuh itu?!”
“Bukan dia yang memasang. Orang lain,” jawab Luhcinta. “Saat ini aku mengawatirkan, jangan-jangan Lamahila sendiri berada dalam bahaya. Bagaimana kalau kita masuk menjebol atap?”
“Setuju!” jawab Luhsantini.
Di bawah hujan yang masih mengucur lebat dua perempuan itu bergerak ke samping rumah. Mereka mendapatkan bagian tanah yang agak tinggi. Dari sini keduanya lalu melompat setinggi dua tombak. Naik ke atas wuwungan atau atap yang terbuat dari jerami.
“Kau siap?” tanya Luhsantini. Tangan kanannya diangkat ke samping kepala. Begitu Luhcinta mengangguk Luhsantini hantamkan tangan kanannya ke bawah. Serangkum angin dahsyat menderu membobolkan atap rumah. Sebuah lobang besar terkuak. Tanpa menunggu lebih lama dua orang ini terjun ke bawah. Di lain saat mereka telah berada di dalam rumah kayu. Sesaat mereka sengaja tegak tak bergerak untuk membiasakan mata dengan kegelapan.
“Rumah ini kosong…” bisik Luhcinta.
“Kita periksa dulu. Kau di sebelah depan, aku di bagian belakang.” Luhsantini bergerak lebih dulu. Tiba-tiba dia hampir terpekik dan serta merta hentikan langkah lalu menghindar ke samping.
“Ada apa?” tanya Luhcinta.
“Aku menginjak sesuatu. Sepertinya tubuh manusia…”
Luhsantini memperhatikan ke lantai. Luhcinta mengikuti pandangan kerabatnya itu. Keduanya langsung berubah pucat ketika melihat apa yang tergeletak di lantai. Sosok si juru nikah Lamahila. Tergeletak tertelentang di lantai. Dua buah pisau seperti yang tadi hampir mencelakai dua perempuan itu menancap di kening dan lehernya. Muka serta dada nenek sang juru nikah ini bersimbah darah mengerikan. Dalam keadaan begitu rupa, tiba-tiba di luar sana terdengar suara tawa aneh, seolah keluar dari liang jurang yang dalam.
“Dua perempuan tolol! Aku sudah melarang kalian untuk menyelidik perihal anak dan menantuku! Kalian mengabaikan! Kini kalian muncul di tempat ini, membunuh nenek juru nikah bernama Lamahila itu!”
“Siapa kau?!” teriak Luhsantini.
“Kami tidak membunuh! Nenek ini sudah jadi mayat pada saat kami masuk ke dalam rumah!” berteriak Luhcinta.
Kembali di luar sana menggema suara tawa. “Jangan berdusta! Aku melihat sendiri kalian berdua melemparkan masing-masing sebilah pisau ke arah Lamahila. Satu menancap di kening. Satu menembus lehernya! Kalian masih hendak berdusta?!”
“Tuduhan busuk dan keji!” teriak Luhcinta.
“Kau berani bicara tak berani ujukkan muka!”
“Biarlah aku jadi orang pengecut! Kalian berdua memang orang-orang gagah berani. Berarti kalian juga harus berani mempertanggungjawabkan pembunuhan atas diri Lamahila! Aku akan segera menyebar kabar ke suluruh Negeri Latanahsilam! Ha… ha… ha!”
“Jahanam kurang ajar! Makhluk di luar sana sengaja menjebak dan memfitnah kita!” kata Luhsantini.
“Suaranya datang dari samping rumah sebelah kanan!” bisik Luhcinta. Dia memberi isyarat pada Luhsantini. “Kau terus layani dia bicara. Aku akan naik ke atas atap dan menghantamnya dari sana!” Begitu habis bicara Luhcinta melesat ke atas atap rumah lewat bagian yang jebol. Di dalam rumah Luhsantini kembali berteriak. “Makhluk pengecut! Walau kau tidak berani unjukkan muka tapi dari suaramu aku sudah bisa menduga siapa kau adanya!”
“Hebat! Dugaan tidak ada artinya dibanding dengan kenyataan yang akan aku sebar luaskan di Negeri Latanahsilam. Dua perempuan bernama Luhcinta dan Luhsantini membunuh Lamahila. Marah besar karena nenek itu telah menikahkan pemuda asing bernama Wiro dengan seorang gadis! Ha… ha… ha! Cemburu dan keputus-asaan memang bisa merubah seseorang menjadi pembunuh tanpa perasaan! Ha… ha… ha!”
Sementara di dalam rumah Luhsantini terus berusaha melayani ucapan-ucapan orang di luar sana, di atas atap Luhcinta sudah mengetahui di mana kira-kira beradanya orang yang bicara dengan suara menggema aneh itu. Tak menunggu lebih lama dia lepaskan satu pukulan bertenaga dalam tinggi ke balik serumpun semak belukar. Dia sengaja melepaskan pukulan yang disebut Tangan Dewa Merajam Bumi. Dengan pukulan ini lawan bukan saja bisa cidera berat tapi serta merta menjadi lumpuh dan tak bisa melarikan diri lagi. Semak belukar rambas bertaburan. Di dalam gelap terdengar suara orang mengeluh.
“Kena!” teriak Luhcinta. Dinding di samping kanan rumah Lamahila jebol. Sosok Luhsantini melesat keluar.
Perempuan ini rupanya tak sabar untuk keluar dari rumah lewat atap. Dia langsung menghantam jebol dinding bangunan lalu menerobos keluar.
“Luhcinta! Di sebelah sini! Aku melihat ada sosok melarikan diri di sebelah sini!” teriak Luhsantini seraya menghambur ke arah kegelapan. Dari atas atap, masih di bawah hujan lebat Luhcinta melayang turun sambil kembali menghantam ke arah yang ditunjukkan Luhsantini.
Luhsantini sendiri telah mendahului pula dengan satu pukulan ganas. Dua pukulan sakti melanda bukit kecil itu. Tiba-tiba dari arah yang menjadi sasaran hantaman dua perempuan itu berkiblat dua jalur lidah api! Menyambar ke arah Luhsantini dan Luhcinta. Karena datangnya lidah api ini lebih cepat dari pukulan tangan kosong yang mereka lepaskan, baik Luhcinta maupun Luhsantini terpaksa menyingkir selamatkan diri. Ketika mereka hendak mengejar kembali mereka tidak menemukan siapa-siapa. Luhcinta usap mukanya yang basah oleh air hujan.
“Bisa kau menduga siapa orang yang melarikan diri itu?” tanya Luhcinta.
“Suaranya sama dengan suara orang yang mengancam dan menghancurkan goa beberapa waktu lalu… Kita harus bertindak cepat sebelum tersiar fitnah di Negeri Latanahsilam bahwa kita telah membunuh Lamahila.”
“Kita tidak berbuat, mengapa harus takut?!” ujar Luhcinta pula.
“Aku ingat sesuatu,” kata Luhsantini. “Lamahila punya seorang pembantu. Namanya Laduliu. Dia pasti tahu apa yang berlangsung di Bukit Batu Kawin. Dia pasti tahu siapa adanya Luhrembulan!”
“Kau tahu tempat kediaman orang itu?” tanya Luhcinta.
“Ikuti aku! Tempatnya cukup jauh. Mungkin menjelang dinihari kita baru sampai di sana.”
“Kita harus bertindak cepat Luhsantini, Aku khawatir pembantu bernama Ladului itu tengah terancam pula nyawanya!”
Dalam gelapnya malam dan lebatnya hujan, dua perempuan itu berkelebat lenyap meninggalkan bukit kecil. Apa yang diduga Luhcinta ternyata memang betul. Ketika bersama Luhsantini dia sampai ke tempat kediaman Ladului di kaki timur Bukit Batu Kawin, orang itu mereka temui dalam keadaan tak bernyawa lagi. Laduliu menemui ajal dengan cara sama seperti dialami Lamahila. Dua buah pisau menancap di leher dan dada tepat jantungnya!
“Kejam sekali! Aku bersumpah mencari sampai dapat siapa pembunuh keji itu!” kata Luhcinta sambil kepalkan jari-jari tangannya.
Luhsantini melangkah ke pintu. Namun dia berpaling kembali, memperhatikan mayat Laduliu.
“Ada apa Luhsantini?” tanya Luhcinta.
“Tunggu dulu. Mayat ini. Aku mau memeriksa sekali lagi…” jawab Luhsantini. Lalu perempuan ini berbalik dan jongkok di samping mayat Laduliu. Sepasang matanya memperhatikan lekat-lekat wajah dan sosok mayat. “Ini bukan Laduliu!” kata Luhsantini sesaat kemudian. “Aku ingat betul. Pembantu Lamahila bernama Laduliu itu bertubuh agak kurus, sudah tua. Yang mati ini bertubuh agak gemuk dan masih muda…”
Paras Luhcinta berubah. Seberkas harapan muncul dalam hatinya. “Berarti… Jangan-jangan si pembunuh telah kesalahan tangan. Salah sasaran. Dia menemui orang ini di dalam rumah, mengiranya Laduliu lalu membunuhnya…”
“Jalan pikiranmu sama denganku!” kata Luhsantini.
“Berarti kita masih ada kesempatan. Mencari Laduliu!”
Luhcinta pegang tangan kerabatnya itu lalu menariknya.
“Kita harus bertindak cepat…” katanya. Kedua perempuan itu segera tinggalkan tempat tersebut.
***
SEPULUH
HANTU Selaksa Angin lari sekencang yang bisa dilakukannya. Saking cepatnya dia berlalu hanya kelebatan warna kuning jubahnya saja yang kelihatan. Setelah mendengar percakapan Hantu Langit Terjungkir dengan Si Penolong Budiman nenek ini dengan perasaan hati penuh gembira meninggalkan telaga, lari menuju kawasan pantai selatan di mana terletak Teluk Labuntusamudera. Di teluk ini terdapat sebuah goa. Seperti diceritakan sebelumnya di dalam goa inilah si nenek selalu menemui gurunya, suatu makhluk tanpa ujud bernama Sang Datuk yang hanya dikenal lewat suaranya saja.
“Lasedayu! Lasedayu! Aku mau kawin! aku mau kawin dengan kakek itu! Hik… hik… hik…! Bagaimana rasanya kawin! Apa aku pernah kawin sebelumnya? Aku tak ingat Tapi hik… hik! Pantatku rasanya jadi gatal!”
Ketika matahari mulai condong ke barat, sepasang telinga Hantu Selaksa Angin mulai mendengar deru ombak di kejauhan. Hatinya gembira. Debur ombak yang terdengar pertanda dia sudah dekat ke tempat tujuan. Agar lebih cepat sampai di goa, Hantu Selaksa Angin sengaja menempuh jalan setapak, memintas langsung tanpa harus berputar mengikuti teluk.
Selagi berlari kencang dengan perasaan penuh suka cita tiba-tiba si nenek kerenyitkan kening. Di jalan setapak yang lurus dia melihat satu pemandangan aneh. Di depan sana ada seorang kakek mengenakan jubah coklat gelap, berkepala agak botak. Kumis, janggut dan alis putih. Kakek ini duduk menjelepok seenaknya di tengah jalan. Sepasang matanya terpejam-pejam. Tangan kirinya memegang sebatang pipa berwarna kuning yang asyik disedotnya sampai pipinya terkempot-kempot. Asap tembakau yang menebar bau harum aneh mengepul dari ujung pipa kuning. Ketika Hantu Selaksa Angin sampai di hadapan si kakek, karena jalan setapak itu kecil dan sempit dengan sendirinya dia tidak bisa terus lewat dan terpaksa berhenti. Berdiri sedekat itu Hantu Selaksa Angin jadi berdebar dadanya. Pipa kuning si kakek tak dikenal ternyata terbuat dari emas murni! Hati si nenek jadi tergerak. Seperti diketahui nenek satu ini sangat suka pada setiap benda berwarna kuning, apalagi yang terbuat dari emas. Sampai saat itu di lehernya masih tergantung kalung sendok emas sakti yang pernah dirampasnya dari tangan Lakasipo sewaktu hendak diserahkan pada Hantu Langit Terjungkir.
“Pipa dari emas. Wahai bagusnya! Siapa gerangan adanya kakek beralis putih ini?” membatin Hantu Selaksa Angin. Diam-diam hatinya mulai tergoda ingin memiliki pipa emas itu. Namun begitu dia ingat Lasedayu yang ingin mengawininya itu, si nenek serta merta menegur.
“Makhluk tolol! Mengapa melintang di tengah jalan! Aku mau lewat! Harap beri jalan!”
Kakek beralis putih yang duduk di jalan setapak sedot pipanya dalam-dalam sampai dua pipinya menjadi kempot lalu hembuskan asap tembakau dari mulut dan hidungnya. Bau harum aneh tembakau menebar ke mana-mana. Perlahan-lahan si kakek buka dua matanya. Dua mata ini tidak segera memandang ke arah si nenek, tapi mendongak dulu ke arah langit. Lalu dari mulutnya yang ompong keluar suara tawa berderai, lama dan panjang. Dia tertawa seperti dibarengi satu perasaan mendalam hingga dari sudut-sudut matanya meleleh air mata.
“Tujuh hari tujuh malam menunggu! Ternyata tidak siasia!
Akhirnya orang yang aku tunggu datang juga!” Ucapan itu keluar dari mulut kakek berjubah coklat tua.
“Kakek tolol! Tujuh hari tujuh malam kau menunggu! Menunggu siapa?! Ayo lekas menyingkir atau mau kuinjak kepalamu yang botak!”
Si kakek yang duduk di tanah cabut pipanya dari sela bibir, memutar bola matanya menatap ke arah si nenek sambil hembuskan lagi asap tembakau dari mulutnya. Lalu dalam keadaan masih duduk dia bungkukkan badan memberi hormat.
“Tujuh hari tujuh malam menunggu. Siapa lagi kalau bukan menunggu dirimu wahai nenek agung berwajah kuning! Nenek tercantik di kawasan Negeri Latanahsilam! Hatiku senang, hatiku puas! Jerih payahku menunggu saat ini telah terbayar! Aku mengucapkan selamat datang dan selamat bertemu denganmu wahai Hantu Selaksa Angin alias Hantu Selaksa Kentut!”
Butt prett!
Si nenek pancarkan kentutnya. Setelah pandangi si kakek dengan sepasang matanya yang kuning, dia berkata.
“Baru sekali bertemu kau sudah memuji! Pujianmu membuat aku curiga! Siapa kau adanya kakek alis putih! Mengapa berani menghadang jalanku! Apa keperluanmu sengaja menunggu aku di tempat ini sampai tujuh hari tujuh malam!”
Si kakek alis putih kembali membungkuk.
“Aku yang rendah bukan orang terkenal seperti dirimu. Hingga kalaupun kusebutkan siapa diriku kau pasti tidak tahu…”
“Kau tak perlu bicara panjang lebar. Katakan saja siapa namamu apa keperluanmu! Kalau kau terlalu banyak bicara akan kusumpal mulutmu dengan kentutku!”
“Maafkan diriku wahai Hantu Selaksa Angin. Orang hebat sepertimu tentu banyak kepentingan, banyak urusan. Aku harus tahu diri, tak boleh mengganggu terlalu lama. Wahai, jika kau ingin tahu namaku, panggil saja diriku yang rendah ini Hantu Berpipa Emas!”
“Hantu Berpipa Emas! Tak pernah aku dengar nama itu sebelumnya!” kata si nenek sambil cibirkan mulut.
“Itulah! Sudah kukatakan tadi, aku bukan orang terkenal seperti dirimu…”
Dalam hati si nenek berkata. “Kau bisa saja bukan orang terkenal. Tapi aku dapat mengukur. Kau memiliki ilmu kepandaian tinggi di balik sikapmu yang penuh hormat dan pandai bicara!”
“Kau sudah menyebut siapa dirimu! Sekarang katakan apa keperluanmu menghadang diriku di tengah jalan begini rupa!”
“Maafkan diriku! Aku bukan menghadangmu wahai Hantu Selaksa Angin. Aku menunggumu di sini. Tujuh hari tujuh malam penuh sabar. Aku menunggumu karena hendak menyerahkan satu barang sangat berguna!”
“Barang apa?!” tanya si nenek.
Hantu Berpipa Emas cabut pipanya dari mulut lalu mengetuk-ngetukkan pipa ini ke pahanya hingga tembakau yang menyala jatuh ke tanah. Ujung pipa ditiup-tiupnya beberapa kali sampai bersih, lalu badan pipa emas itu disekanya dengan ujung jubahnya hingga berkilat-kilat. Setelah membersihkan, pipa itu diangsurkannya ke arah si nenek.
“Pipa emas ini. Benda inilah yang akan kuserahkan padamu! Harap kau sudi menerima dengan hati gembira karena aku menyerahkan dengan hati ikhlas!”
Walau setengah tak percaya bakal mendapat rezeki besar seperti itu si nenek sambil tersenyum ulurkan tangannya hendak mengambil pipa. Namun sebelum sempat jari tangannya menyentuh pipa emas itu si kakek alis putih tiba-tiba menarik pipa.
“Kurang ajar! Kau mempermainkan aku!” bentak si nenek gusar.
“Harap maafkan diriku yang rendah wahai Hantu Selaksa Angin,” kata si kakek alis putih sambil membungkuk. “Siapa berani mempermainkanmu. Aku hanya ingin mengatakan sesuatu terlebih dulu sebelum menyerahkan pipa emas ini padamu…”
“Mengatakan apa?!” sentak Hantu Selaksa Angin jadi tak sabaran.
“Maksudku begini… Pipa ini jelas-jelas dan pasti akan kuserahkan padamu. Tapi sebagai gantinya aku minta sesuatu darimu. Pasti kau tidak keberatan dan setuju saja…”
“Kau minta ganti sesuatu? Sesuatu apa?” tanya si nenek.
“Aku tahu, di balik dada pakaianmu tergantung sebuah sendok emas. Kalungmu sudah begitu banyak. Sendok buruk yang satu itu tentu tak ada harganya bagimu. Ini terimalah pipa emasku. Berikan padaku sendok emas itu…”
Hantu Selaksa Angin tak segera menjawab. Tangan kirinya meraba ke dada di mana tergantung sendok emas yang disebut Sendok Pemasung Nasib. Kebimbangan terlihat di wajahnya yang kuning. Melihat ini Hantu Berpipa Emas segera membuka mulut.
“Apa yang kau bimbangkan. Sendok butut yang ada padamu walau terbuat dari emas tak ada artinya dengan pipa ini. Pipa emas ini belasan kali lebih berat dari sendok itu. Jika kau gantung di lehermu, kau akan kelihatan lebih gagah dan agung! Apa kau tidak suka pada pipa emas ini?”
“Aku suka, tapi sendok yang kau minta tak bisa kuberikan!”
“Wahai, mengapa begitu?”
“Sendok itu sudah kujanjikan pada seseorang yang pernah menolongku!”
Hantu Berpipa Emas kembali perdengarkan tawa berderai sampai air matanya membasahi sudut-sudut matanya.
“Janji masa sekarang setipis kabut di pagi hari. Begitu mentari muncul kabutpun hilang! Janji masa sekarang sulit dipertahankan, apalagi kalau kita memiliki kepentingan dan pilihan lebih utama. Aku tahu, bukankah sendok emas itu hendak kau berikan pada seorang pemuda asing bernama Wiro Sableng?!”
Terkejut si nenek mendengar kata-kata Hantu Berpipa Emas itu. “Bagaimana kau bisa tahu?!”
“Tak ada gunanya sendok itu kau berikan pada pemuda asing itu wahai Nenek Selaksa Angin. Lagipula pemuda itu entah berada di mana sekarang. Mungkin juga sudah menemui ajal karena banyak pihak yang ingin merenggut nyawanya! Bukankah dia yang selama ini dikabarkan berbuat mesum di mana-mana?!”
Kebimbangan semakin nampak di wajah si nenek. Si alis putih kembali mengipas. “Sendok itu selama ini hanya bisa kau jadikan sebagai hiasan tak berguna. Tapi kalau kau memiliki pipa ini, lihat apa yang bakal dapat kau lakukan!” Habis berkata begitu si kakek kerahkan tenaga dalamnya lalu hantamkan pipa kuning ke arah sebuah batu besar yang terletak sekitar tiga tombak di sebelah sana.
Wusss!
Selarik sinar kuning berkiblat.
Byaaarr!
Batu besar di sebelah sana mengeluarkan suara seperti hancur tapi tetap terlihat utuh tak bergerak. Namun ketika si kakek meniup ke depan, batu besar itu berubah menjadi debu dan beterbangan ke udara!
Sementara Hantu Selaksa Angin terkejut dan terbelalak, Hantu Berpipa Emas tergelak-gelak sampai kucurkan air mata.
“Hantu Selaksa Angin, harap maafkan diriku yang rendah. Jangan anggap aku sengaja membanggakan ilmu kepandaian padamu. Aku hanya sekedar ingin memperlihatkan bahwa pipa emas ini jauh lebih berharga daripada sendok butut itu!”
Si nenek tak dapat lagi menahan dorongan hatinya. Segera saja dia tanggalkan Sendok Pemasung Nasib dan menyerahkannya pada si kakek. Padahal sendok sakti ini adalah satu-satunya benda yang bisa mengembalikan kesaktian Hantu Langit Terjungkir serta membuatnya bisa berdiri secara wajar kaki di bawah kepala di atas. Pada ujung sendok emas itu masih melekat pusar Hantu Langit Terjungkir yang dulu dicungkil oleh Hantu Muka Dua. Pusar itu kini seperti telah membatu, kotor tertutup debu tebal. Begitu sendok diangsurkan ke arahnya, Hantu. Berpipa Emas langsung menyambar. Lalu sambil membungkuk dia mengucapkan terima kasih berulang kali.
“Aku sudah memberikan sendok yang kau minta! Sekarang lekas serahkan pipa emas itu!” kata si nenek seraya ulurkan tangannya, siap untuk mengambil.
“Wahai! Aku sampai terlupa!” kata si kakek. Perlahanlahan dia bangkit berdiri. Astaga! Ternyata kakek ini memiliki tubuh jangkung luar biasa. Sosoknya sampai satu setengah kali tinggi si nenek hingga Hantu Selaksa Angin terpaksa memandang mendongak padanya.
“Hantu Selaksa Angin, aku siap menyerahkan benda yang kau minta!” berucap si kakek. Lalu dia ulurkan tangannya yang memegang pipa emas. Hanya sesaat lagi si nenek akan menyentuh pipa itu, tiba-tiba Hantu Berpipa Emas gerakkan tangan kanannya. Cahaya kuning berkelebat. Ujung pipa menyambar ke kepala Hantu Selaksa Angin.
Praakkk!
***
SEBELAS
HANTU Selaksa Angin menjerit keras. Tubuhnya mencelat sampai dua tombak, tergeletak di jalan setapak. Ketika dia mencoba bangkit kelihatan luka besar menguak di keningnya. Mukanya yang kuning bersimbah darah. Baru saja nenek ini mampu berlutut di tanah, Hantu Berpipa Emas sudah melompat ke hadapannya dan tertawa bergelak.
“Nenek tolol! Ilmumu boleh setinggi langit tapi otakmu ternyata sedangkal kubangan! Ha… ha… ha!”
“Kau menipuku! Keparat jahanam! Kau menipuku! Kau menyerangku secara pengecut! Kau bakal merasakan pembalasanku!”
“Kau tak akan punya kesempatan membalas dendam nenek tolol! Karena aku akan menghabisi riwayatmu saat ini juga!”
Sekujur tubuh Hantu Selaksa Angin bergetar dilanda hawa amarah. Dua tangannya dinaikkan ke dada, jari-jari yang terkepal dibuka. Dua larik sinar kuning yang kemudian berubah menjadi putih memancar pada dua tangan si nenek. Bau harumnya setanggi menyambar hidung. Bersamaan dengan itu udara terasa sangat dingin.
“Ha… ha… ha! Kau hendak keluarkan Pukulan Salju Putih Latinggimeru! Aku mau lihat sampai di mana kehebatan ilmu kesaktian itu. Tapi harap kau terima dulu hadiah dariku!” Kakek alis putih tertawa bergelak. Lalu wuuutt! Kaki kanannya menderu ke dada orang. Kalau tadi darah mengucur keluar dari luka di kening si nenek maka kini darah menyembur dari mulutnya akibat tendangan jarak dekat itu. Untuk kedua kalinya Hantu Selaksa Angin terkapar di tanah, menggeliat-geliat keluarkan erangan panjang dan megap-megap sulit bernafas.
“Nenek tolol, mana kentutmu! Aku mau dengar kentutmu yang butt preett itu!” ejek Hantu Berpipa Emas. Tangan kanan memegang pipa emas, tangan kiri memegang Sendok Pemasung Nasib.
Dalam keadaan setengah sekarat Hantu Selaksa Angin melapat aji kesaktian untuk merubah dirinya menjadi kepompong. Namun Hantu Berpipa Emas tidak memberi kesempatan. Dengan pipa emas di tangan kanannya kembali dia menghantam kepala si nenek. Yang jadi sasaran kali ini adalah bagian belakang kepala di atas telinga kanan di mana ada cacat bekas luka lama. Untuk kesekian kalinya Hantu Selaksa Angin terpental. Terkapar di tanah. Dua sunting yang menancap di kepalanya hancur. Rambutnya yang kuning berubah menjadi merah oleh kucuran darah dari luka besar hantaman pipa emas.
“Aku tak ingin mati… Aku tak mau mati! Aku akan kawin! Lasedayu… Guru… Aku harus menemui Guru…” kata-kata itu keluar dari mulut si nenek. Dia kumpulkan seluruh sisa tenaga yang ada dan berusaha bangkit berdiri.
“Sudah mau mampus masih sempat-sempatnya mengigau!” kata Hantu Berpipa Emas lalu tertawa gelakgelak.
Dia sisipkan pipa emasnya ke pinggang. Lalu pindahkan Sendok Pemasung Nasib ke tangan kanan. Begitu Hantu Selaksa Angin mencoba berdiri, Hantu Berpipa Emas tusukkan sendok emas ke tenggorokan si nenek!
Pada saat itulah tiba-tiba menggelegar satu suitan keras. Disusul berkiblatanya sinar putih menyilaukan. Hawa panas tiba-tiba menghampar laksana matahari terik berada satu jengkal di atas kepala. Serentak dengan itu suara aneh seperti seribu tawon mengamuk terdengar menyakitkan telinga.
Craaassss!
Hantu Berpipa Emas keluarkan jeritan setinggi langit. Tubuhnya terlempar dua tombak lalu bergulingan di tanah. Darah membersit ke mana-mana. Di udara tampak melayang dua buah benda. Yang pertama adalah potongan tangan kanan Hantu Berpipa Emas. Benda kedua adalah sendok emas yang tadi hendak dicucukkan kakek itu ke leher Hantu Selaksa Angin!
Satu bayangan putih berkelebat ke udara, dengan cepat menyambar sendok emas. Lalu dengan gerakan jungkir balik dua kali berturut-turut bayangan putih itu melayang turun ke tanah. Tepat di samping Hantu Selaksa Angin yang saat itu megap-megap berusaha keras mencoba berdiri. Tapi roboh kembali. Sebelum tubuhnya jatuh ke tanah, bayangan putih tadi cepat merangkul pinggangnya.
“Nek, bertahanlah! Aku akan menolongmu!”
Hantu Selaksa Angin masih bisa membuka matanya untuk melihat siapa yang menolong dirinya. “Kau…” katanya perlahan lalu butt prett. Sehabis pancarkan kentutnya si nenek langsung pingsan. Orang yang menolongnya cepat melakukan totokan pada beberapa jalan darah si nenek. Darah yang mengucur dari kepala dan meleleh dari mulut Hantu Selaksa Angin serta merta berhenti. Sambil memanggul sosok si nenek, si penolong memutar tubuh ke arah Hantu Berpipa Emas yang saat itu jatuh berlutut di tanah sambil pegangi tangan kanannya yang buntung dan masih terus mengucurkan darah. Dalam menahan sakit, matanya berkilat-kilat memandang ke arah orang yang tadi menyerang dan membabat putus tangan kanannya.
“Kapak bermata dua…” desis Hantu Berpipa Emas.
“Pasti dia pemuda asing yang dikatakan Hantu Muka Dua…” Hantu Berpipa Emas kumpulkan seluruh kekuatannya. Dia sanggup berdiri namun sekujur tubuhnya saat itu terasa seperti dipanggang.
Ujung tangannya yang buntung hangus kehitaman.
“Aku keracunan. Kapak bermata dua itu pasti mengandung racun jahat! Celaka!” Hantu Berpipa Emas menggembor keras lalu balikkan tubuhnya. Terhuyunghuyung kakek ini lari sekencang yang bisa dilakukannya. Pendekar 212 Wiro Sableng menyeringai. Dia putar Kapak Naga Geni 212 di tangan kanannya lalu meniup. Darah Hantu Berpipa Emas yang tadi masih menempel di mata kapak serta merta sirna.
“Sebentar lagi sore akan memasuki senja. Ke-mana harus kubawa nenek tukang kentut ini!” Wiro memandang berkeliling sambil berpikir-pikir.
Tiba-tiba secara aneh, seolah mengetahui apa yang dipikirkan Wiro, si nenek buka matanya sedikit. Dari mulutnya keluar suara perlahan. “Berjalan ter… terus ke arah kiri. Di balik seder… sederetan pohon kelapa yang tumbuh rapat. Ada satu goa. Bawa aku masuk ke sana… Aku mau kawin! Aku harus bertemu Guru memberitahu!”
“Nek, kau mengigau atau bagaimana?!” tanya Wiro.
Namun si nenek hanya menjawab dengan kentut satu kali lalu pingsan kembali!
“Tua bangka geblek! Sudah mau mati masih juga bisa kentut!” kata murid Sinto Gendeng dalam hati. Dia masukkan senjatanya ke balik baju putih, simpan Sendok Pemasung Nasib di balik pinggang. Lalu seperti yang dikatakan si nenek dia segera berlari cepat ke arah kiri. Tak lama berlari Wiro temukan goa yang dikatakan si nenek. Tanpa ragu-ragu dia segera masuk. Di dalam goa yang sejuk itu Wiro bujurkan sosok Hantu Selaksa Angin di atas lantai.
Baru saja sosok si nenek terbaring tiba-tiba di atas langit-langit goa yang berbentuk kerucut kelihatan satu cahaya putih berkilat. Bersamaan dengan itu entah dari mana datangnya, di atas lantai goa jatuh dua buah benda. Ketika diperhatikan ternyata daun pisang yang dilipat-lipat.
“Aneh, tak ada orang lain di goa ini. Satu-satunya jalan masuk adalah pintu goa sebelah sana. Bagaimana dua bungkus daun pisang itu bisa berada di dalam goa? Siapa yang melemparkan? Jangan-jangan goa ini goa siluman! Jangan-jangan si nenek tadi hanya mengigau menyuruh aku membawanya ke tempat ini!”
Baru saja murid Sinto Gendeng berkata dalam hati seperti itu, mendadak cahaya aneh di langit-langit goa menyala lebih terang. Lalu berkumandang satu suara halus.
“Anak muda berbudi baik. Lekas kau ambil dan bungkus daun pisang di atas lantai…”
Wiro tersentak kaget. Dia memandang seputar ruangan. Berpaling ke mulut goa. Dia tak melihat siapa-siapa.
“Anak muda, lekas lakukan apa yang aku katakan!”
“Siapa kau?!” Wiro bertanya sambil kembali memandang berkeliling.
“Siapa diriku nanti ada yang bakal menerangkan. Sekarang lekas lakukan apa yang aku katakan. Dalam bungkusan daun pisang sebelah kanan ada sejenis bubuk putih. Masukkan bubuk itu ke dalam mulut Hantu Selaksa Angin. Buat agar dia bisa menelan seluruh bubuk. Kalau sudah, ambil bungkusan daun pisang kedua. Tebarkan bubuk hitam dalam bungkusan itu ke semua luka yang ada di dada dan kepala Hantu Selaksa Angin. Aku berterima kasih padamu wahai anak muda!”
“Sunyi, yang bicara tadi itu apa sudah meninggalkan goa ini atau bagaimana?” pikir Wiro sambil garuk-garuk kepala. Dia ingat pada ucapan makhluk tanpa ujud tadi. Wiro segera mengambil bungkusan daun pisang di lantai sebelah kanan. Begitu dibukanya bungkusan itu memang berisi bubuk putih. Dengan cepat bubuk itu dimasukkannya ke dalam mulut si nenek. Lalu dengan satu totokan perlahan, lidah si nenek yang tadinya kelu bergerak demikian rupa hingga seluruh bubuk yang ada dalam mulutnya masuk ke dalam tenggorokan.
Wiro mengambil bungkusan daun pisang kedua. Di dalam bungkusan daun pisang ini ditemuinya bubuk hitam. Sesuai ucapan makhluk tanpa ujud tadi murid Sinto Gendeng tebarkan bubuk itu pada kening, kepala bagian belakang serta dada Hantu Selaksa Angin yang cidera berat akibat keganasan kakek bernama Hantu Berpipa Emas yang kini telah melarikan diri. Dengan ujung jubah kuning yang dikenakan si nenek Wiro bersihkan noda-noda darah di muka dan kepala Hantu Selaksa Angin. Sambil menunggu apa yang bakal terjadi dengan si nenek, Pendekar 212 perhatikan seputar ruangan goa berbentuk empat persegi itu. Beberapa kali dia mendongak memperhatikan langit-langit goa berbentuk kerucut. Pada ujung kerucut dia melihat satu titik putih, bersinar seperti permata.
“Goa aneh. Udara di sini terasa sejuk. Apakah ini tempat kediaman nenek tukang kentut ini? Sombong amat dia punya goa sebagus ini!” kata Wiro dalam hati. Tiba-tiba dilihatnya sosok si nenek menggeliat. Lalu ada suara erangan halus. Wiro membungkuk dan tepuk-tepuk pipi kanan Hantu Selaksa Angin.
“Nek, sadar Nek. Nek…!”
Namun nenek itu tidak segera siuman. Wiro garuk kepalanya. “Mungkin harus kubantu dengan tenaga dalam dan kapak sakti.” Wiro segera keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212. Cahaya kapak memantul ke dinding dan atap goa. Ketika bertemu dengan titik putih di langit-langit goa, titik putih memancarkan cahaya terang, menyambar ke arah kapak. Begitu menyentuh mata kapak, cahaya terang itu berpijar terang dan memecah menjadi empat lalu setiap pecahan melesat ke arah empat sudut atap goa. Saat itu juga tempat itu menjadi terang benderang.
“Apa yang terjadi?!” ujar Wiro terheran-heran seraya pandangi empat titik bercahaya terang di empat sudut atas goa. Saat itu tiba-tiba menggema satu suara yang sulit diduga oleh Wiro dari arah mana datangnya karena suara itu seolah datang dari empat sudut goa.
“Anak muda, sinar jati diriku mampu bersatu dengan cahaya sakti senjatamu! Itu satu pertanda kita saling berjodoh!”
Murid Sinto Gendeng tersentak kaget. “Yang bicara ini lelaki atau perempuan?” pikir Wiro.
“Makhluk tanpa ujud itu menyebut-nyebut soal jodoh. Jangan-jangan dia minta kawin dengan aku! Celaka!”
“Orang yang barusan bicara! Siapa kau? Apakah aku bisa melihat dirimu?!”
“Anak muda, teruskan dulu usahamu menolong muridku. Nanti kita bicara lagi,” jawab suara yang orangnya tidak kelihatan itu.
“Aneh… benar-benar aneh,” membatin Wiro. Lalu dia letakkan dua tangannya di atas mata kapak. Perlahanlahan dia mulai kerahkan tenaga dalam dari perut, naik ke dada lalu disalurkan pada dua tangannya. Begitu tenaga dalam memasuki kapak dan mengalir ke dalam dada si nenek, sosok Hantu Selaksa Angin tersentak keras. Dari mulutnya keluar suara erangan panjang. Lalu begitu suara erangan lenyap, dari bagian bawah tubuh si nenek memancarkan kentut. Kali ini tidak seperti biasanya, kentut si nenek panjang bertalu-talu seolah-olah tidak ada putus-putusnya dan menebar bau busuk sekali.
“Sialan! Bisa tanggal hidungku!” maki Wiro. Dia segera ambil kapaknya, menghambur keluar goa dan meludahludah berulang kali sambil gosok-gosok hidungnya. Tak selang berapa lama di dalam goa terdengar suara dari orang tanpa ujud tadi.
“Anak muda, kau telah menyembuhkan muridku! Aku berterima kasih padamu. Sekarang masuklah kembali ke dalam goa!”
Sambil menekap hidungnya karena khawatir tempat itu masih dipenuhi bau kentut busuk, Wiro masuk ke dalam goa. Begitu masuk dilihatnya nenek muka kuning telah duduk di lantai, bersandar ke dinding, memandang ke arahnya. Si nenek tersenyum padanya. Tapi ketika melihat Wiro menekap hidungnya dia langsung bertanya.
“Mengapa kau masuk sambil memencet hidung! Memangnya aku atau tempat ini bau?”
“Tadi memang bau Nek. Kentutmu membuncah tempat ini! Hidungku seperti disambar petir!”
“Kentutku tak pernah bau! Saat ini aku tidak mencium bau apa-apa! Jangan kau mengada-ada…!”
“Tadi Nek, waktu aku menolongmu. Mungkin sekarang baunya sudah hilang!” kata Wiro pula lalu lepaskan jarinya yang dipakai memencet hidung. “Benar Nek, sekarang bau kentut busuknya sudah hilang!” Hantu Selaksa Angin tertawa cekikikan.
“Nek, tadi ada orang bicara di tempat ini. Ada suara tapi orangnya tidak kelihatan…”
“Tunggu!” si nenek memotong. “Tadi kau bilang menolongku. Menolong apa?”
Belum sempat Wiro menerangkan tiba-tiba suara tanpa ujud memenuhi seantero goa.
“Muridku Hantu Selaksa Angin, pemuda itu telah menyelamatkan jiwamu. Dia membawamu ke tempat ini dalam keadaan sekarat bersimbah darah… Apa yang terjadi dengan dirimu sebelumnya?”
Hantu Selaksa Angin tampak kaget “Guru aku…” Si nenek perhatikan pakaiannya. Dua tangannya, lalu mengusap muka dan meraba rambutnya. Lalu ditariknya belasan kalung yang bergelantungan di lehernya. Matanya memperhatikan gelang-gelang kuning di kedua tangannya. Kemudian satu-satunya sunting kuning yang masih melekat di kepalanya dicabutnya. Dia memandang berkeliling lalu menatap ke langit-langit goa. “Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Ujud! Apa yang terjadi dengan diriku…?!”
“Wahai, apa maksud pertanyaanmu itu, muridku?”
“Jubah kuning ini, sunting kuning, gelang kuning, kalung-kalung kuning. Kulit tanganku. Bahkan rambutku! Semua berwarna kuning! Mengapa aku berdandan seperti ini?! Apa yang terjadi dengan diriku!”
“Muridku, sesuatu agaknya telah terjadi dengan dirimu. Suaramupun kini terdengar berubah! Wahai para Dewa jika ini benar-benar terjadi aku bersimpuh di hadapanmu menghaturkan rasa terima kasih atas rakhmatmu…”
“Guru…”
“Muridku, selama ini kau menyebut dirimu Hantu Selaksa Angin, terkadang Hantu Selaksa Kentut. Kau juga acap kali memakai nama Luhkentut! Jika rakhmat penyembuhan dari para Dewa telah menjadi bagianmu, aku bertanya sekarang. Apakah kau ingat siapa namamu sebenarnya?”
“Namaku sebenarnya?” ujar Hantu Selaksa Angin. “Kau bergurau Guru. Masakan aku tidak ingat namaku sendiri. Aku Luhpingitan…”
“Muridku! Dewa telah memberikan kesembuhan padamu! Ingatanmu telah pulih kembali! Wahai! Bagaimana keajaiban ini bisa terjadi?! Muridku, aku akan mengajukan beberapa pertanyaan lagi. Aku ingin membuktikan bahwa kesembuhan benar-benar telah kau alami!”
“Aku tidak mengeri Guru…” ujar si nenek. Dia berpaling pada Wiro dan bertanya. “Kau mengerti?” Murid Sinto Gendeng menggaruk lalu gelengkan kepala.
“Muridku, aku pernah menuturkan padamu perihal riwayat pertama kali aku menemui dirimu. Aku akan mengulanginya kembali. Kau kutemukan pertama kali tergeletak pingsan di muara sungai Lahulupanjang. Menurut kabar yang aku sirap pada masa itu, di sebelah utara telah terjadi malapetaka air bah besar. Mungkin sekali kau salah satu korban yang dihanyutkan banjir tetapi selamat tak sampai menemui ajal. Apakah kini penuturanku itu bisa mengingatkanmu pada apa yang sebenarnya telah kau alami puluhan tahun silam?”
Sepasang mata kuning Hantu Selaksa Angin terbuka lebar, memancarkan sinar aneh. Dia menatap ke langitlangit kamar, memandang seputar ruangan lalu memperhatikan ke arah mulut goa. Tiba-tiba nenek ini mulai terisak-isak. Suara isakannya berubah menjadi tangisan dan berlanjut menjadi ratapan panjang yang menyayat hati.
“Nek, kenapa kau menangis…?” tanya Wiro heran.
“Muridku… Kau menangis, kau meratap sedih. Berarti pikiranmu mengingat sesuatu yang terjadi di masa silam. Katakan padaku muridku. Hentikan tangismu. Ceritakan padaku riwayat masa silam darimu wahai Luhpingitan…”
“Guru…” Hantu Selaksa Angin meraba ke bagian belakang kepalanya, di dekat telinga sebelah kanan. “Guru, aku ingat, bukankah kau pernah mengatakan, ketika kau menemui diriku di muara sungai, pada bagian belakang kepalaku ini ada satu luka besar akibat benturan benda keras. Mungkin kepalaku menghantam batu besar sewaktu dihanyutkan banjir. Siang tadi aku berkelahi melawan seorang mengaku bernama Hantu Berpipa Emas. Dia hendak merampas sebuah sendok emas…” Si nenek ingat.
Dia segera tanggalkan semua kalung yang menggelantung di lehernya. Lalu menjerit “Sendok itu! Sendok emas sakti itu hilang!” Si nenek langsung hendak menggerung.
Wiro cepat keluarkan Sendok Pemasung Nasib yang ada dalam saku bajunya dan menyerahkannya pada si nenek. “Sendok yang kau cari itu kebetulan berhasil kurebut kembali dari Hantu Berpipa Emas…” Wiro letakkan sendok emas itu di pangkuan si nenek.
Luhpingitan lepaskan nafas lega.
***
DUABELAS
MURIDKU, barang milikmu yang hilang ternyata diselamatkan pemuda itu. Lagi-lagi kau berhutang budi besar padanya. Sekarang teruskan ceritamu…” kata sang guru yang ada suara tapi tidak menunjukkan ujud itu.
“Hantu Berpipa Emas menghantam kepalaku sampai dua kali dengan pipanya. Satu kali di kening, satu lagi di bagian belakang kepala. Tepat di bagian yang dulu pernah cidera akibat benturan keras! Guru, mungkin hantaman kakek jahat itu tepat di tempat dulu aku kehilangan ingatan, secara tak sengaja membuat ingatanku kini kembali pulih!”
“Benar muridku. Tapi itu adalah sebab belaka. Yang Kuasa justru yang menyembuhkan dirimu. Teruskan ceritamu, Luhpingitan.”
“Seingatku waktu itu memang terjadi bencana banjir besar di kawasan tempat kediamanku. Penduduk setempat tidak berdaya melawan keganasan alam. Aku dan empat anakku dihanyutkan banjir…” Sampai di sini si nenek kembali tak dapat menahan tangis.
“Tabahkan hatimu wahai muridku! Kuatkan jiwamu! Teruskan kisahmu…”
“Datuk… Guru… Aku dan empat anakku dihanyutkan banjir besar. Kami terpisah bercerai berai. Sampai saat ini aku tidak tahu apakah keempat anakku, semuanya lakilaki, selamat dari malapetaka…” Sampai di sini Luhpingitan tak dapat lagi menahan tangisnya. Pendekar 212 Wiro Sableng hanya bisa diam termangu mendengar penuturan si nenek.
Sang guru yang tak berwujud menunggu sampai tangis muridnya mereda. “Luhpingitan, kau bercerita tentang empat anakmu. Apakah kau ingat nama-nama mereka?”
“Waktu itu mereka masih kecil-kecil. Aku dan suamiku masih belum sempat memberi mereka nama…”
“Kau dan suamimu! Wahai, kau menyebut suamimu. Apakah kau ingat siapa nama suamimu?”
“Tentu aku masih ingat Guru. Namanya Lasedayu!” Wiro tersentak kaget.
Si nenek kerenyitkan kening. “Kau kenal pada Lasedayu?”
“Nek, aku pernah bertemu beberapa kali dengan kakek itu. Dia yang selama ini dikenal dengan nama Hantu Langit Terjungkir! Dia pernah menuturkan riwayat malangnya padaku! Sendok emas yang ada di pangkuanmu itu justru pernah aku minta untuk menolong dirinya!”
Luhpingitan terpekik. “Lasedayu! Dia! Wahai para Dewa! Dialah yang menyatakan bersedia mengawini diriku. Dia…dia suamiku! Aku bertemu dengannya belum lama ini. Aku malah sempat mempermainkannya! Betapa kurang ajarnya diriku ini! Aku harus segera ke telaga itu! Aku harus segera menemuinya…”
Si nenek hentikan ucapannya lalu menutup mulut menahan tawa. “Guru, sebenarnya kedatanganku ke sini adalah untuk memberitahu padamu bahwa kakek bernama Hantu Langit Terjungkir alias Lasedayu itu mau mengawini diriku. Ternyata dia adalah suamiku sendiri! Dia tak perlu mengawini diriku! Karena aku adalah istrinya! Pantas dia menyebut ikan asap, ikan pindang! Dia memang suka sekali makanan itu!” Si nenek bangkit berdiri. “Guru, aku minta diri. Wiro kuharap kau mau menyertaiku ke telaga di mana suamiku berada. Kita sama-sama menyerahkan sendok emas sakti ini untuk menyembuhkan dirinya…”
“Muridku,” tiba-tiba sang Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Ujud keluarkan suara kembali. “Aku gembira kau telah mengalami kesembuhan. Kegembiraanku malah bertambah karena kau tahu siapa dan di mana beradanya suamimu yang bernama Lasedayu itu. Sewaktu kau pingsan tadi aku telah berkata pada pemuda asing ini yang ternyata adalah seorang baik-baik. Aku berkata padanya bahwa dia berjodoh dengan diriku…”
Sampai di situ Wiro cepat dekati Luhpingitan dan berbisik. “Nek, gurumu ini laki-laki atau perempuan?”
“Aku sendiri tidak tahu! Mengapa kau bertanya…?”
“Aku khawatir dia mau minta kawin dengan aku!” jawab Wiro.
“Gila kau! Betapa lancangnya mulutmu!” kata si nenek sambil delikkan mata.
Saat itu goa dipenuhi suara tawa Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Ujud. “Anak muda, bicara soal jodoh bukan berarti selalu menyangkut perkawinan. Ketika aku melihat kapak bermata dua yang kau pergunakan untuk menolong Luhpingitan, aku segera maklum kalau inti ilmu kepandaian dan kesaktian yang kumiliki sebenarnya bersumber sama dengan senjata yang kau punyai itu. Aku tak bisa menjelaskan dan bagimu mungkin tak masuk akal. Tapi melihat bagaimana titik putih di ujung kerucut bersatu dengan cahaya senjatamu lalu memecah menjadi empat, itulah satu pertanda bahwa nenek moyang kita berasal dari rumpun yang sama…”
“Aku tidak mengerti…” kata Wiro sambil garuk-garuk kepala.
“Kau tak perlu mengerti,” jawab makhluk tanpa ujud.
“Aku sudah mewariskan banyak ilmu kepandaianku pada Luhpingitan. Aku bermaksud meneruskannya padamu wahai anak muda. Kau akan menerima semua ilmuku dari Luhpingitan…”
“Aku tak berani menerima. Aku tidak punya maksud…” Si nenek muka kuning tertawa cekikikan.
“Wiro, kau mendengar apa ucapan guruku. Ucapan itu berarti perintah bagiku. Saat ini aku ingin segera menemui suamiku. Setelah itu semua ilmu kepandaian yang ada padaku akan kuajarkan padamu…”
“Maafkan aku Nek. Bukan aku menolak atau bermaksud sombong. Tapi betul-betul aku tidak berani menerima kebaikan hatimu itu…”
“Anak muda, saat ini kau menolak, kami tak bisa memaksa. Tapi di lain waktu jika hatimu terbuka jangan segan-segan memberitahu muridku bahwa kau bersedia menerima semua pelajaran ilmu kesaktian darinya. Saat ini biarlah aku berikan satu ilmu kepandaian yang mungkin ada gunanya bagi dirimu kelak di kemudian hari. Menataplah ke langit-langit goa. Pusatkan perhatianmu pada titik cahaya yang ada di ujung kerucut…”
“Datuk, aku tidak berani…”
Ucap Wiro terputus karena tiba-tiba Luhpingitan mencekal kepalanya dari belakang lalu didongakkan ke atas hingga kepala Wiro terpentang dan matanya memandang ke arah titik yang memancarkan cahaya terang di atas goa. Saat itu juga terdengar suara berdesir. Titik bercahaya itu melesat ke arah mulut Wiro yang agak terbuka.
Hekkk!
Wiro keluarkan suara tercekik ketika ada hawa sejuk aneh meluncur masuk ke dalam mulutnya, melewati tenggorokan terus masuk ke dalam tubuhnya. Bersamaan dengan itu empat cahaya terang yang ada di empat sudut langit-langit goa menderu ke arah kepala Wiro. Kembali murid Sinto Gendeng merasakan ada hawa sejuk menjalari tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki.
“Anak muda bernama Wiro, kau kini menguasai ilmu yang disebut Empat Penjuru Angin Menebar Suara. Dengan ilmu itu kau bisa bicara dan suaramu terdengar di empat penjuru hingga orang yang berniat jahat terhadapmu akan bingung dan ketakutan sendiri…”
“Guru… Datuk… Aku…”
Sang Datuk keluarkan suara tertawa lalu berkata. “Jika kau tempelkan jari telunjuk dan ibu jari tangan kananmu lalu kau bicara, maka suaramu akan terdengar di empat penjuru.”
“Datuk, aku… Aku ingat. Hantu Tangan Empat juga memiliki ilmu seperti yang kau berikan padaku ini. Empat Penjuru Angin Menebar Suara. Apakah…?”
“Tak perlu heran. Hantu Tangan Empat pernah menjadi muridku puluhan tahun silam. Tapi karena orangnya bersifat angin-anginan aku hanya memberikan satusatunya ilmu itu padanya. Sekarang aku harus pergi. Selamat tinggal anak muda. Jika ada kesempatan, di lain waktu kita akan bertemu lagi. Muridku Luhpingitan, aku segera meninggalkan goa ini. Ingat, kau punya kewajiban untuk mengajarkan semua kesaktianmu pada pemuda itu…”
“Akan aku lakukan Datuk,” kata Luhpingitan pula.
Wiro merasa ada angin menyambar di hadapannya. Lalu di atas sana cahaya putih benderang di atas langit-langit yang berbentuk kerucut sirna tanpa bekas.
“Guru sudah pergi. Sekarang saatnya kita meninggalkan goa ini,” kata Luhpingitan pula. Lalu tanpa malu-malu nenek ini pegang lengan Wiro dan menariknya keluar goa. Di luar ternyata sang surya mulai menggelincir memasuki titik tenggelamnya.
Sambil berlari mengikuti si nenek Wiro berkata. “Nek, aku gembira kau mengalami kesembuhan dan bisa mengingat masa silammu kembali. Tapi aku melihat satu kelainan pada dirimu.”
Hantu Selaksa Angin hentikan larinya. “Kelainan apa maksudmu, Wiro?”
“Sejak kau keluarkan kentut yang baunya gila-gilaan itu, kuperhatikan kau tidak kentut-kentut lagi!”
“Eh, apa iya?” si nenek jadi bertanya sambil usap-usap pantatnya.
“Aku tidak dusta. Aku mengira mungkin kau tidak mau berlaku kurang ajar di hadapan gurumu,” kata Wiro pula.
“Memang, seharusnya aku sudah kentut beberapa kali hah? Kalau aku tidak kentut-kentut bisa jadi penyakit kentutku sudah sembuh keseluruhan. Biar kucoba dulu!” Si nenek lalu angkat sedikit jubah kuningnya lalu songgengkan pantatnya. Sampai matanya mendelik dan keningnya keringatan tetap saja kentutnya tidak mau keluar. Si nenek keluarkan suara mengedan.
“Sudah Nek, jangan dipaksa!” kata Wiro. “Nanti yang keluar bukan angin tapi induknya alias kecepirit!”
Tapi Hantu Selaksa Angin masih mau mencoba. Dia goyang-goyangkan pantatnya yang disonggengkan. Kentutnya tak mau juga keluar.
“Sudah Nek, ayo kita lanjutkan perjalanan. Jangan dipaksa kentut kalau memang tidak bisa!”
Si nenek tidak perduli. Dan kembali goyang-goyangkan pantatnya. Saking kesalnya Wiro tepuk pantat Hantu Selaksa Angin dengan tangan kirinya.
Butt prett!
Si nenek langsung pancarkan kentutnya. Lalu dia tertawa cekikikan melihat Wiro melompat jauhkan diri.
TAMAT
Tulis komentar baru