Skip to Content

Dimana Demokrasi kampus?

Foto Eko Prastiawan Adi Saputra

Dewasa ini, politik sudah menjadi kebutuhan yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari bukan hanya untuk kalangan atas (pemerintah), tetapi juga untuk semua kalangan. Kita tahu gedung Twin Tower itu tidak akan berdiri megah kalau tidak ada peran politik disana, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat tidak akan bertahan sampai saat ini, bahkan perekonomian akan tersendat tanpa adanya campur tangan politik. 

Sebagai lembaga miniatur negara, Kampus (yang dalam hal ini adalah Mahasiswa) dituntut untuk ikut andil dalam ranah politik. Seperti yang kita tahu baru-baru (20/04) ini telah dilakukan Pemilu Raya Mahasiswa (Purwa) Dewan Eksekutif Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) 2017 yang dilaksanakan serentak semua Fakultas dan bersamaan dengan pelaksanaan Pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta yang berakhir dengan terpilihnya Anies Baswedan-Sandiaga Uno sebagai gubernur dan wakil gubernur Jakarta.

Tidak banyak Mahasiswa yang tau mengenai Purwa yang dilaksanakan Komisi Pemilihan Umum Raya Mahasiswa (Kopurwa) dalam memilih Ketua dan Wakil Dema-U (Dewan Eksekutif Mahasiswa Universitas) ini, karena pelaksanaannya sendiri dilakukan secara mendadak dan bahkan sosialisasinya pun tidak merata dilakukan. 

Dilansir dari laman resmi salah satu media pers UINSA (Fakultas Dakwah, araaita.com, 24 April 2017), mengenai jadwal penyelenggaraan Purwa sendiri hanya berselang satu hari. Menurut pemberitaan itu, Kebijakan tersebut sangat disayangkan karena tidak mencerminkan demokrasi dan seakan-akan mendiskreditkan partai mahasiswa lain untuk maju dan mendaftar di Purwa 2017. Hasilnya, sempat terjadi bentrok pada 17 April 2017 lalu. 

Adanya kebijakan dari Kopurwa mengenai pelaksanaan yang dilaksanakan secara mendadak dan beberapa kebijakan lainnya, kemudian memunculkan banyak opini dan komentar dikalangan sivitas akademika UINSA bahwa pemilu kali ini diciderai oleh politik yang hanya ingin menang-menangan dan mengabaikan esensi dari demokrasi itu sendiri.

Sebagai Mahasiswa baru, Ghozali yang juga selaku koordinator angkatan 2016 sempat mengancam akan menjadi golongan putih (golput) dalam Purwa ini. Alhasil, menurut data yang diperoleh dari Surya 16 data yang masuk ke Kopurwa hanya sekitar 25% dari total Mahasiswa UINSA. Itu pun data yang masuk sudah dimanipulasi sedemikian rupa oleh Kopurwa dengan membuat pemilih (Mahasiswa) merasa tidak berguna. Kopurwa mengutus Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) masing-masing Program Studi (Prodi) menjadi perwakilan angkatan 2016. 

Kebijakan dengan tidak melibatkannya Mahasiswa angkatan 2016 dinilai sudah sangat menciderai demokrasi kampus oleh beberapa media pers di lingkungan UINSA sendiri. Bagaimana tidak, sebagai tombak estafet bangsa, angakatan 2016 disuguhi dengan situasi politik yang hanya ingin memenangkan pasangan calon (Paslon) dari pihak tertentu.

Berdasarkan data yang diperoleh dari berbagai sumber,  Purwa 2017 di ikuti 2 partai mahasiswa. Yaitu Partai Revolusi Mahasiswa (PRM) yang mengusung Paslon Hozain Zainullah dari fakultas Ushuludin dan Mahmud Qudlori dari Fakultas Dakwah dan Partai Republik Mahasiswa (PAREM) yang mengusung Paslon Robet mahasiswa asal gersik dan Mesterfan asal Bangkalan Madura.

Sebagai wadah yang diutus Kopurwa dalam hal Purwa ini, HMJ memaksimalkan alasan-alasan palsu untuk mendapatkan apa yang dituntut Kopurwa darinya. Seperti di Ushuluddin sendiri. Satu hari sebelum pemilihan diadakan acara pengumpulan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) dengan alasan pendataan ulang anggota HMJ. Kebijakan seperti ini membuat penulis merenung kemudian memunculkan Pertanyaan, dari semester 1 dulu mereka kemana, dan kenapa baru semester 2 atau pas hampir pelaksana Purwa ini baru di data?

Pada tanggal 24 April 2017 sempat ada isu bahwa rektorat akan menolak hasil Purwa ini. Namun nyatanya sampai dengan hari ini tidak ada kejelasan mengenai isu tersebut. Masalah ini ditanggapi panitia Kopurwa dengan kepala dingin. Ahmad Rofii sebagai salah satu panitia mengungkapkan jika rektorat ingin mengurus berita acara Purwa seharusnya sejak berita acara itu disetorkan. 

Banyak opini dan komentar dikalangan sivitas akademika UINSA yang negatif tentang Purwa ini, salah satunya mengenai pelaksanaannya yang secara mendadak dan beberapa kebijakan lainnya. Meskipun telah diadakan aksi penolakan oleh beberapa Mahasiswa yang merasa dirugikan untuk diadakan pemungutan suara ulang Purwa ini, Kopurwa sepertinya enggan menanggapi dan kemudian menetapkan Hozain Zainullah dan M. Mahmud Qudlory sebagai Ketua dan Wakil Ketua Dema Universitas (dikenal dengan sebutan Presiden Mahasiswa) yang baru.

Ketika situasi dan kondisi politik di kampus seperti ini, lalu bagaimana dengan situasi politik setelah diluar kampus? Kita tunggu saja apa yang ingin dikembangkan ketua Dema terpilih kedepan.

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler