Maman S Mahayana*
Judul: Jendela-Jendela, Penulis: Fira Basuki, Penerbit: Grasindo, Jakarta, Cetakan I, Juli 2001, Tebal: 151 halaman
Setelah Ayu Utami (Saman, 1998), Oka Rusmini (Tarian Bumi, 2000), dan Dewi Lestari (Dee) (Supernova, 2001), kini muncul satu lagi novelis wanita, Fira Basuki, lewat novelnya, Jendela-Jendela; sebuah karya yang penuh pengharapan. Ia hadir dengan gaya yang berani dan menjanjikan. Oleh karena itu, rasanya sungguh pantas jika ia dijejerkan dalam deretan nama-nama itu. Pasalnya bukan sekadar keberaniannya mengungkapkan hubungan perselingkuhan –yang “dirumuskan” Nh. Dini dalam satu kata: tandas– melainkan juga lantaran cara bertuturnya yang cerdas dan terkesan sangat bersahaja. Membaca novel ini, kita laksana sedang melaju di jalan tol dengan aneka macam bunga berlarian di kanan-kirinya. Kadang, kita tergoda oleh keharumannya. Tetapi kemudian mendadak saja sadar, bahwa kita telah sampai terminal.
Pengalamannya sebagai wartawan dan wawasan yang diperolehnya di antropologi UI, Pittsburg State University dan Wichita State University, boleh jadi yang membuatnya pandai bertutur mengalir. Bahasanya jernih dan renyah. Maka, ketika ia berkisah tentang ketersiksaan hidup di rumah susun, keterlepasan kendali kala bercinta, kegamangan saat sadar akan kenikmatan dosa perselingkuhannya, dan kerinduannya berdekatan dengan Tuhan, ia seperti sedang mengungkapkan semua kegelisahan begitu saja. Tanpa pretensi. Demikian juga deskripsinya tentang Pittsburg (hlm. 22-5), Tibet (hlm. 91-2), atau bahkan Ranggawarsita (hlm. 93-7), sepertinya ia sedang mendongeng. Pantaslah jika Arswendo Atmowiloto menyebutnya sebagai pencerita yang mempesona dan pengobrol yang lancar.
“Itulah … daya tariknya,” begitu komentar Sapardi Djoko Damono.
Secara tematis, novel ini tidaklah menampilkan sesuatu yang baru. Kisah tentang berbagai problem yang biasa dihadapi pasangan suami-istri muda. Pada awalnya, kita dihadapkan pada perbedaan kultur: suami (Jigme) yang Tibet dan istri (June) yang Jawa. Meski perbedaan itu saja menyimpan potensi konflik, ternyata itu sekadar siasat. Sebab, cinta keduanya berhasil menembus batas ras dan ideologi. Dalam hal ini, Fira agaknya sengaja tak mengangkat perbedaan itu sebagai konflik klise. Ia menariknya ke problem hakikat manusia, tanpa ada sekat ras, agama, ideologi, etnis, atau apapun. Dengan begitu, ia leluasa mengungkapkan berbagai segi karakter manusia dari suku bangsa manapun.
Begitulah, Fira membuka jendelanya lewat manusia multikultural. Dari sana ia menarik masa lalu tokoh aku (June), seolah-olah sebagai sosok wanita mandiri. Menjadi mahasiswa di Pittsburg dan berkekasih dengan Aji, pemuda Indonesia yang digambarkan sebagai tokoh “Arjuna” mengasyikkan atau durjana menakutkan. June akhirnya pindah ke Wichita State University. Di sinilah ia jumpa Jigme yang kemudian memupuk hubungan sampai ke perkawinan dan tinggal di rumah susun di Singapura. Dan ketika pasangan itu sedang membangun kehidupan, muncul tokoh Dean yang lalu memanfaatkan kesepian June. Inilah jendela kedua yang menarik June ke problem masa lalu dan masa kini.
Ternyata June tak sendirian. Ada sesama kaumnya yang juga berhadapan dengan problem status kewanitaannya. Kunti, wanita India yang terbelenggu penganiayaan suami, Ayano-san, wanita Jepang, yang tak bahagia dengan suaminya, Miss Ray yang menyendiri dan Saskia yang obsesif terhadap lelaki bule. Dan June berada dalam kisaran problem itu. Sebuah persoalan gender yang makin mendapat perhatian serius dari berbagai kalangan.
***
Sebagai sebuah novel yang ditulis wanita tentang dunianya, novel ini jelas ikut memperkaya tema-tema sejenis dengan style yang tidak lagi mencari bentuk. Meskipun percintaan antarbangsa merupakan tema klasik, seperti yang digarap Abdul Muis (Salah Asuhan, 1928) dan Nh Dini (Pada Sebuah Kapal, 1973), Fira Basuki menempatkannya justru dalam konteks problem masyarakat metropolis, sekaligus juga sebagai potret tarik-menarik kultur tradisional-modern. Dan itu terjadi pada tokoh suami-istri, Jigme-June, yang tidak dapat meninggalkan tradisi leluhur dan kenyataan kehidupan global masa kini.
Dalam konteks tarik-menarik tradisi dan modernisasi itulah, novel ini sungguh menyimpan potensi konflik yang dahsyat. Latar belakang kultur dan sikap religius Jigme, misalnya, mengapa mesti “menyerah” pada June yang diposisikan dalam lingkaran Jawa, Islam, dan rasionalitas modern. “Aku masih wanita Jawa … dan Allah tidak pernah salah.” (hlm. 122). Belum lagi latar belakang pendidikan dan pengaruh orang tua yang juga tergolong modern. Dengan begitu, karakter June sesungguhnya begitu kompleks. Maka penyerahan Jigme mestinya melewati sebuah proses konflik ideologis yang panjang. Atau, setidak-tidaknya, June sendiri mengalami konflik serupa yang mungkin lebih rumit lagi.
Di tengah konflik itu, terjadi perselingkuhan June-Dean, sahabat Jigme yang juga Tibet. Dilihat dari perspektif kultur dan ideologi Tibet, pengkhianatan June pada suami dan Dean pada sahabat, akan sangat menarik jika diungkap secara mendalam. Dengan begitu, ia bakal lebih problematik dan kompleks dalam kerangka konflik kultural antar-bangsa. Novel semacam inilah yang dalam kesusastraan dunia sering menjadi monumen.
Satu hal yang cukup mengganggu menyangkut latar peristiwa tragedi Mei dan reformasi yang menumbangkan rezim Soeharto. Sebagai catatan sejarah, novel ini melihat duduk soalnya dari kacamata orang yang lama tinggal di luar negeri. Sayangnya, Fira terkesan tak mau memasuki wilayah itu. Akibatnya, ketika jendela terbuka dan tragedi bangsa ini terhampar di depan mata, Fira justru menutupnya kembali. “Aku tidak mau berkomentar politik, …” (hlm. 98). Dengan begitu, peristiwa itu tampak seperti tempelan belaka, meski secara simbolik ia menganalogikannya dengan kisah Jayengbaya. Jika saja pengarang punya keberanian untuk membongkar persoalan itu, bukan tidak mungkin novel ini bakal menjadi potret zamannya.
***
Hadirnya novel ini, bagaimanapun juga, niscaya tidak sekadar menyemarakkan tema sejenis, tetapi juga makin meramaikan persaingan di antara para novelis wanita. Jika Fira –termasuk Ayu Utami dan Dewi Lestari– tidak lagi menghasilkan karya berikutnya, maka namanya tetap akan berada di bawah bayang-bayang Nh Dini atau Titis Basino. Nah, kita tunggu saja pembuktian kepiawaiannya dalam karya-karya berikutnya.
*) Maman S. Mahayana, Pengajar FSUI, Depok
Komentar
Tulis komentar baru