Mariam adalah seorang gadis jelita yang dikenal sebagai “kembang desa”. Di antara rerimbunan ladang jagung dan sawah, ia tumbuh menjadi gadis yang lincah dan selalu tersenyum cerah. Bagi keluarganya yang sederhana, Mariam adalah harapan yang ingin mereka kirimkan ke kota agar bisa memperbaiki nasib.
Ketika datang tawaran kerja di kota dari seorang kenalan, harapan keluarga Mariam seakan menemukan jalan. Janji untuk bekerja sebagai asisten rumah tangga di kota besar cukup bagi mereka. Apalagi, kenalan tersebut datang dari desa yang sama, menyebut-nyebut bahwa ia hanya ingin menolong “kembang desa” agar bisa berkembang di tengah kemegahan kota.
Namun, kota besar ternyata tidak seramah yang Mariam bayangkan. Sesampainya di sana, ia diantar ke sebuah rumah yang sama sekali tidak mirip tempat tinggal keluarga. Alih-alih sebagai asisten rumah tangga, Mariam malah disuruh bekerja di sebuah tempat hiburan malam.
Awalnya, ia hanya diminta “menemani” tamu-tamu untuk duduk dan mendengar celotehan yang kadang melecehkan. Ia tak berani melawan, apalagi ketika mendengar bahwa pekerjaannya adalah “demi masa depan keluarga”. Dari sana, lingkaran hidup Mariam mulai meluncur ke dunia yang tak pernah ia bayangkan.
Di sela pekerjaan yang semakin membuatnya cemas, ia kerap mendengar bahwa wanita-wanita seperti dirinya kini dianggap “pekerja”. Ya, ada istilah baru: “pekerja seks komersial”, atau PSK.
Kata-kata itu datang sebagai label, seolah menjadi pembenaran bagi mereka yang menganggapnya hanya sebagai bagian dari denyut kehidupan “dunia malam”. Di sisi lain, istilah “kupu-kupu malam” bahkan terdengar puitis, seperti mengisyaratkan keindahan di balik kesepian.
“Ini bukan pekerjaan!” Mariam pernah berteriak di dalam hati, tetapi suaranya hilang ditelan dentuman musik dan lampu remang-remang yang berputar seperti berusaha menyamarkan keputusasaan yang semakin dalam.
Setiap hari ia berharap, seseorang akan datang untuk menyelamatkannya. Namun, kenyataan berbicara lain. Bukannya pertolongan, yang datang hanyalah patroli razia yang menangkap wanita-wanita penghibur seperti dirinya.
Namun, mereka yang terjaring malah dianggap sebagai “korban”. Di mata hukum, mereka bukan pelaku, melainkan korban prostitusi yang harus “dibina”. Tapi, setelah “dibina” dan dilepas, jalan pulang justru semakin kabur, dan mereka kembali lagi ke jalan yang sama.
“Kalau saja hidup ini tak seburuk ini,” Mariam bergumam pada dirinya suatu malam. Di seberang meja, ada wanita-wanita lain dengan cerita yang serupa.
Mereka, para jelita yang datang dari pelosok negeri, dibawa dengan iming-iming pekerjaan dan impian yang seolah menjanjikan. Mereka duduk di sana, terperangkap, tampil cantik-gemulai dalam kekosongan yang tak bisa mereka lawan.
---
Suatu malam, seorang aktivis datang untuk memberi “pencerahan” tentang hak-hak perempuan. Ia berbicara panjang lebar tentang perlindungan, tentang “kebebasan memilih pekerjaan” yang mereka miliki. Mariam mendengar dengan skeptis, karena semua yang ia dengar hanya mempermanis ketidakberdayaannya.
Aktivis itu pergi, meninggalkan kartu nama yang bertuliskan nomor hotline. “Jika kamu butuh bantuan, hubungi kami kapan saja,” katanya, meninggalkan secercah harapan. Namun, Mariam tahu, meski ia menghubungi nomor itu, pilihan yang tersedia tak akan benar-benar mengeluarkannya dari dunia remang-remang dan berlndir ini.
Pada suatu malam yang lain, Mariam bertemu dengan seorang gadis baru. Dia tiba dari desa, wajahnya mengingatkan Mariam pada dirinya sendiri beberapa tahun yang lalu—lincah, penuh harapan. Melihat gadis itu, Mariam ingin memperingatkan bahaya di depannya, tetapi ia sendiri tak mampu menyuarakan kebenaran yang bisa membebaskannya.
Di malam lain yang senyap, Mariam menatap jalan raya di depan gedung tempatnya menjadi korban eksplotasi. Ia melihat bayang-bayang dirinya yang dulu, berjalan dengan langkah pasti, menantang hidup dengan penuh keberanian.
Kini, Mariam adalah salah satu dari para jelita yang terperangkap—jelita yang menjadi simbol bagi masyarakat, tapi juga menjadi korban dari cerita yang terus diulang, tak kunjung berubah.
Komentar
Tulis komentar baru