Meskipun tidak aku sampaikan dahulu secara terbuka kepada keluarga selain kepada ibu dan ayahku, serta tidak aku buat status di media sosial kedekatanka pada Mas Arka kian menyebar luas. Teman-teman sekerjaku maupun teman-teman satu dinas di kabupaten maupun kecamatan lain juga telah mendengar. Bahkan berkembang menjadi subuah berita yang dilebih-lebihkan. Jadi gosip bahwa aku akan membangun rumah tangga setelah lebaran.
Semua gosip memang sempat membuat aku kelabakan. Namun dengan penjelasan dan kuberikan kebenaran informasi akhirnya redam dengan sendirinya.
Ramadhan dapat kulalui dengan tenang. Sesuai dengan janjiku dengan Mas Arka kami harus menahan diri selama Ramadhan. Dan alhamdulillah semua akhirnya dapat aku lalui dengan sebaik-baiknya.
Sebagai wanita, keinginan untuk dihargai dan mendapat perhatian adalah hal yang biasa. Idul Fitri tahun ini bagiku merupakan monen yang penting untuk memulai langkah dengan Mas Arka. Busana dengan segala aksesorisnya kupilih tentu agar memenuhi daya tarik. Ya, itu manusiawi. Meski aku tahu bahwa busana juga merupakan kelengkapan muamalah yang harus memenuhi syarat syariat.
Aku memilih kelengkapan busana idul fitri dari jilbabku dulu dengan warna merah muda. Karena dari warna inilah pertama kali Mas Arka merasa terpesona denganku. Demikian pula beberapa anggota keluargaku melihatku sangat anggun dengan mukena merah muda dari Pak Mulya yang aku kenakan. Entah kenapa warna itu akhirnya aku sukai. Padahal sebelumnya aku lebih menyukai warna hijau.
Dari jilbab merah muda itulah kemudian aku carikan busana yang sesuai. Demikian pula beberapa aksesoris seperti bros dan lain sebagainya aku sesuaikan.
Hari raya tiba. Malam harinya aku telah lebih dulu kirim ucapan selamat idul fitri pada Mas Arka. Dengan cepat Mas Arka juga menjawab. Di samping itu ia juga menuliskan pesan bahwa bisa ketemu langsung baru seminggu setelah lebaran karena Mas Arka pas ada kegiatan reuni keluarga dan reuni limatahunan dengan teman-teman SMP.
“Mas, kalau kita ketemu hari kesembilan lebaran gimana kira-kira. Kan pas Hari Minggu,” pesan WatsApp ku pada Mas Arka pada hari keenam Bulan Syawal.
Dengan penuh kegalauan aku menunggu jawaban dari Mas Arka. Kutunggu dua hari pesan itu masih belum masuk juga. Aku coba WatsApp Call beberapa kali sampai dengan hari ke delapan tidak juga dihubungi. Hatiku kian galau ndak menentu. Padahal Hari Senin aku sudah harus kembali aktif bekerja. Sementara mau tanya ke rumah pamannya, Pak Ardi, juga kurang enak.
Fikiranku kian ndak karuan. Tarik menarik antara khusnudzan dan su’udzan. Aku mulai sulit tidur sehingga badan terasa tidak enak. Anggota keluargaku juga mulai ikut merasakan melihat aku yang begitu gelisah lebih dari tiga hari.
“Wulan,” sapa ayahku malam kesepuluh bulan Syawal.
“Apa yah,” jawabku.
“Ini jam berapa, kok sejak tadi mandar-madir keluar masuk kamar,” lanjut ayahku.
Aku tidak menjawab, Kutatap jam dinding telah menunjukkan jam 01.30 WIB. Aku kembali masuk kamar dan mencoba untuk memejamkan mata. Tapi entah berapa lama tidak juga berhasil. Aku ingin keluar kamar lagi tapi aku tahan.
Qira’at jelang shubuh berkumandang dari masjid di lingkunganku yang biasanya memang diperdengarkan tigapuluh menit sebelum shubuh. Aku belum juga tidur. Aku merasa lemas. Dan tanpa sadar akhirnya adzan subuhpun malah tidak mendengar sama sekali.
Kutarik nafas dalam-dalam usai bangun tidur yang hampir membersamai terbit matahari. Dengan badan terasa lemas dan kurang bersemangat akupun segera sholat shubuh meskipun kesiangan.
“Lho,belum sholat to?” tanya ayah yang sedang minum kopi di dapur.
Aku hanya melempar pandang pada ayahku dari sudut mata dengan sambil berjalan cepat ke mushalla rumah. Ibuku yang mulai memasakpun mengikuti langkahku dengan pandangan mata.
“Ini doa po tidur?” tanya ayahku dari pintu mushalla.
“Masak hampir setengah jam,” lanjut ayahku.
Aku tidak menjawab dan langsung melepas mukena, terus menyusul ibu yang sedang memasak. Sementara ayah meneruskan minum kopi sambil sesekali melempar pandang ke arahku.
“Kenapa tadi malam kok seperti ndak tidur?” tanya ayah.
“Sakit perut yah.Berkali-kali ke belakang,” jawabku.
“Ini nanti dah masuk kerja to,” sahut ibuku
“Masuk bu,” jawabku
“Kalau lagi kurang enak badan ya pakai air hangat,” lanjut ibu.
“Ya, nanti malah tidur di kantor,” sahut ayah.
“Wulan,” seru ayah sambil meletakkan gelas kopi
“Ambilkan sarapan ayah sekalian ya. Trus kamu juga,” lanjut ayah sambil menatapku serius.
Tanpa menjawab dan hanya menatap ayah dari sudut mata, aku menyiapkan makan pagi. Aku hidangkan di dekat kopi yang tinggal sepetiga gelas.
“Kamu sekalian sarapan bersama ayah di sini ya,” tegas ayah dengan raut muka yang mulai ramah.
“Ya yah. Sebentar. Tak ambil nasi....,” jawabku.
Sambil memulai makan aku tatap wajah ayahku beberapa kali dari sudut mata. Hatiku berdebar sehingga rasanya makanku juga kurang selera. Entah apa yang mau dikatakan ayah di hadapanku.
“Wulan,” sapa ayah mulai pembicaraan.
“Sebenarnya ada apa beberapa hari ini kok kelihatan gelisah. Ibumu juga sampek sulit tidur,” lanjut ayah.
Aku diam sambil tertunduk. Sendok di tanganku terhenti dan aku mulai kebingungan menyampaikan. Ayahku yang juga belum selesai makan juga menghentikan sendoknya. Sementara ibuku masih meneruskan memasak sambil mendengarkan dari kejauhan.
“Gini lho, kalau kamu ndak segera ngomong, akibatnya juga ibumu kurang istirahat. Akhirnya semua akan terganggu,” sambung ayah.
Aku menarik nafas sambil meletakkan sendok dan segera meraih air minum. Ayahku menatapku dengan serius juga sambil mengentikan makan paginya.. Aku menatap ayahku dari sudut mata dan kuselingi menoleh ke ibuku.
“Nanti pa sekarang yah njawabnya?” tanyaku pada ayah.
“Masuk kerja kan masih satu jam lagi. Kan ndak usah cerita panjang kan ndak apa-apa,” sambung ayah.
“Sebetulnya tidak begitu berat yah,” jawabku
“Apa itu?” tanya ayah kemudian.
“Em...gini. Mas Arka kemenakan Pak Ardi kan janjian ketemu setelah hari ketujuh Syawal. Mulai tanggal 6 Syawal aku WA dan Calling tidak bisa,” lanjutku menegaskan.
“Kalau sudah hari aktif seperti ini kan akhirnya agak kesulitan menjadwal lagi,” jelasku kemudian.
Ayah masih diam sambil menatap dan mendengarkan cerita singkatku. Ibu yang sudah selesai memasak berjalan menghampiri kami dan berdiri di belakang ayah dengan diam pula.
“Gini aja lho,” sahut ibu.
“Sementara harus bersabar. Kita tidak tahu persis kenapa seperti itu. Bisa jadi hpnya hilang, hpnya rusak.Atau lainnya,” lanjut ibu.
“Kalau difikir berat ya bisa berat, kalau dianggap ringan juga akan ringan. Husnudzan ajalah dulu, dari pada merepotkan semua,” sahut ayahku.
“Anggap ringan aja sementara, dan sekarang segera persiapan berangkat,” lanjut ayah menegaskan sambil menatapku serius.
Hatiku sedikit lega dengan masukan dan saran dari kedua orangtuaku. Singkat, tepat, dan disampaikan dengan begitu santai. Kegalauanku menipis dan berganti dengan semangat baru menghadapi kehidupan yang akan aku jalani.
“Aku harus tampil fress dan penuh semangat hari ini. Aku tidak boleh merasa ada beban di hati pada hari pertamaku masuk kerja usai lebaran. Keceriaan harus aku tunjukkan di hadapan rekan-rekanku,” bisikku dalam hati sambil mempersiapkan diri berangkat kerja.
Kegiatan di kantor belum ada pekerjaan yang harus fokus dikerjakan. Apalagi saat itu masih memesuki pekan ketiga yang memang belum saat nya menyiapkan laporan bulanan. Kegiatan utama kami satu sampai tiga hari di kantor masih diwarnai suasana lebaran. Bahkan di hari kelima, hari Jum’at diadakan kegiatan halal bi halal karyawan seluruh kabupaten.
“Wulan,” sapa Pak Mulya dari belakang ketika kami sama-sama antri ambil makanan saat acara halal bi halal saat itu.
“Pak,” jawabku dengan agak terkejut sambil senyum dan menoleh ke Pak Mulya.
Aku persilakan Pak Mulya lebih dahulu dan aku di belakangnya. Hatiku masih berdebar karena betapapun telah ada pria lain yang mengisi hatiku, kalau melihat dan mendengar Pak Mulya hatiku masih kambuh lagi. Jujur, aku tidak bisa mencabut akar-akar cinta pada Pak Mulya dengan sebersih-bersihnya.
“Pak, saya bisa duduk di sini?” ijinku sambil melempar senyum dan melirik untuk duduk di kursi dekat Pak Mulya setelah kami sama-sama ambil makanan.
“He...he...he... boleh,” jawab Pak Mulya dengan senyum pula dan sedikit menggeser kursi yang akan kutempati lebih rapat.
“He, bismillah dulu,” tegur Pak Mulya ketika aku akan menyantap makanan.
Aku hanya tersenyum sambil baca basmallah sedikit keras di dekat Pak Mulya.
“Aku dengar-dengar mau segera menikah ya?” tanya Pak Mulya lirih sambil menikmati makanan.
Aku tidak segera menjawab. Aku agak kebingungan sambil menunduk. Kuhentikan sedokku sambil melirik Pak Mulya.
“Lho, ndak apa-apa. Katakan sejujurnya,” lanjut Pak Mulya sambil tersenyum dan melirikku.
Aku masih terdiam dengan hati yang kurang menentu. Aku mencoba manarik nafas untuk menentramkan hatiku. Tatapanku yang kosong kemudian membawaku memandang jauh ke depan. Aku melamun entah apa yang kulamunkan. Tanpa sadar, kemudian kepalaku menggeleng lirih.
Aku tetap duduk terpaku. Sementara Pak Mulya yang duduk di sampingku terus menoleh padaku dengan tatapan yang begitu serius. Sayup-sayup kudengar suara berbisik dari teman-teman kerja yang lalu lalang mengambil dan mengembalikan piring kosong sambil melirik pada kami berdua. Entah apa yang merka bisikkan aku juga tidak jelas.
“Wulan,” suara lembut Pak Mulya menyela diantara lamunanku yang kosong.
“Apa Pak,” jawabku agak terkejut.
“Kok belum di jawab,” lanjut Pak Mulya serius.
“Eem, gimana ya,” jawabku
“Gimana, apa belum ada kejelasan,” tanya Pak Mulya lebih lanjut.
“Ya pak,” jawabku lirih dan singkat.
“O gitu. Nanti kalau dah posif beri tahu ya. Soalnya bulan depan insya Allah saya sudah pensiun. Saya mengajukan pensiun dini,” tegas Pak Mulya lebih lanjut.
“Insya Allah Pak,” jawabku.
Kami segera berpisah karena memang acara selesai. Kami juga tidak bertemu kembali sampai Pak Mulya menyatakan pensiun dini dari tugas. Beliau pensiun satu tahun lebih cepat dari yang semestinya.
Sore hari ketika sudah pulang dan istirahat, kegalauanku muncul kembali. Mas Arka yang telah menjanjikan untuk bertemu usai lebaran belum bisa aku hubungi, padahal saat itu sudah pertengahan bulan Syawal.
Usai sholat Maghrib, ayah menyuruhku mengantarkan ke penjahit karena memang pakaian hari raya yang dijahitkan tidak selesai dikerjakan jelang hari raya. Padahal selama ini jika dalam kondisi sehat ayah tak pernah menyuruhku mengantar kemanapun.
“Cari apa yah?” tanyaku ketika ayahku berhenti di halaman stadion setelah ambil pakaian.
“Ya, kok pingin makan rujak di sini. Ayah agak jenuh dengan makanan hari raya,” jawab ayah.
Aku hanya mengikuti dan suruh pesankan rujak, termasuk untukku yang di makan di tempat. Sementara untuk ibu dan adikku serta keluarga mas Rowi dipesankan untuk di bawa pulang.
Aku tidak berfikir apapapun dan tidak merasakan apapun. Yang kurasakan hanya kebahagiaan bisa mendampingi ayah memenuhi kesenangannya. Disamping itu, tidak seperti biasanya, sambil makan ayah bercerita tentang kehidupan keluarga kakek, kehidupan keluarga-keluarga yang lebih besar.
“Wulan,” ungkap ayah ketika kami hampir menghabiskan rujak yang tengah kami nikmati.
“Apa yah,” jawabku singkat sambil menatap pada ayahku.
“Tadi siang ayah ke Pak Ardi dan hanya ketemu Bu Rani,” lanjut ayah.
Aku hanya menatap ayah sambil setengah menghentikan sendokku. Ayah menyelingi pembicaraannya dengan meminum teh yang tersedia sambil merapikan bekas wadah rujak yang telah selesai dinikmatinya.
“Tadi bu Rani bercerita, kalau Arka baru saja tunangan pada hari minggu kemarin,” lanjut ayah.
Ayah menatapku tajam. Aku tiba-tiba menunduk bisu. Rujak yang kurang beberapa sendok lagi habis, aku hentikan. Suasana hening. Ayah tak lagi meneruskan pembicaraan.
“Yon pulang aja,” ajak ayah.
Dengan kepalaku yang mulai pusing dan tubuhku yang tiba-tiba lunglai aku mengikuti ayah pulang. Seperti petir di siang hari, sepanjang perjalanan yang hanya berjarak dua kilometer hatiku ra sanya ndak karuan. Aku seperti kehilangan semangat hidup.
Tiba di rumah, ibuku didampingi Irma dan kak Rowi duduk di kursi panjang. Sementara Istri kak Rowi beserta anaknya bermain di tikar samping kursi. Semua menatapku ketika kami memasuki rumah. Aku berjalan dengan penuh kelesuan, meletakkan rujak yang untuk keluarga, dan tanpa sepatah katapun aku langsung menuju kamar.
Aku merebahkan diri dengan posisi tengkurap di kasur. Kepalaku pusing, hatiku ndak karuan, dan air mataku meleleh membasi bantal. Sementara yang lain membiarkan sampai beberapa waktu.
Kak iparku, istri kak Rowi menghapiriku, duduk di tepi dipan sambil memijit-mijit pundakku. Ia tak berkata apapun. Hanya tangan simpatinya mengisyaratkan kata kesabaran untukku. Ya, memang kakak iparku tidak begitu banyak bicara, tetapi tangannya seringkali lebih bicara.
Aku membalikkan badan, miring membelakangi kakak iparku sambil menahan tangis.
“Kalau menangis akan lebih memberi solusi, teruskan saja sampai puas,” ungkap kakak iparku sambil beranjak dan mengusapkan tangan di atas jilbab hijau lumut yang aku kenakan.
Suasana malam itu akhirnya begitu hening. Ayahku segera menutup pintu. Bahkan menelapas semua kunci pintu keluar dan semua kunci sepera motor serta dimasukkan pada saku. Kecuali aku, semua anggota keluarga tidur di atas kasur yang diturunkan ke lantai dekat kamarku, hingga jika aku mau keluar kamar harus melangkahi.
Entah berapa lama aku menangis, tahu-tahu aku tertidur, dan terbangun ketika ada kumandang qiro’at dari masjid pertanda jelang shubuh. Tubuhku terasa lunglai, perutku sakit, dan kepalaku pening. Tapi alhamdulillah aku masih sadar bahwa aku belum sholat Isya’ sehingga segera ke belakang untuk bersih diri dan ambil wudhu. Ayahku juga terbangun dan mengikutiku sampai menungguiku selesai sholat di musholla keluarga.
Semua anggota keluarga segera mengikuti bangun sebelum adzan shubuh berkumandang. Tidak terkecuali putra kak Rowi yang masih sekitar tiga tahun.
“Nanti semua jamaah Shubuh di rumah aja ya,” ajak ayah ketika telah terdengar adzan shubuh.
Tanpa ada yang menjawab, semua mengikuti ajakan ayah. Kak Rowi yang jadi imam, karena ayah sedang batuk.
Kugunakan untuk sholatpun rasanya suasana hatiku belum juga berubah. Sholat yang kulakukan malah menguatkan tipuan Mas Arkan kepadaku. Tetes air mata ketika sujud bukan tets air mata ibadahku kepada Allah, tapi yang kurasakan adalah tets air mata kepedihan.
“Masalah gini aja kok mengguncang semuanya,” celetuk kak Rowi usai sholat sambil membalikkan badan ke kami semua.
Tidak ada yang menjawab. Aku sendiri merebahkan diri ke pangkauan ibu yang sholat di sampingku dan masih mengenakan mukena. Aku malah menangis agak keras sambil menunduk di pangkuan ibu. Sementara ibu segera mengelus-eluskan tangan ke kepalaku.
“Sabar dik,” ungkap kakak iparku menyambung.
“Semua pernah mengalami sedih, kecewa, dan sakit hati. Tapi kalau keterlaluan akhirnya bisa menimbulkan penyakit,” janjut kakak iparku.
“Pa diajak rekreasi aja biar mbak Wulan bisa tertawa,” sahut Irma dengan diikuti sedikit tertawa.
Putra kak Rowi yang sebelumnya ada dipangkaun ayah tiba-tiba diangkat dan didudukkan pada pinggangku. Aku sedikit geli karena tangannya menggaruk-garuk tubuhkan. Aku sedikit tertawa sambil terisak-isak.
“Ah, ternyata gampang membuat mbak Wulan tertawa,” lanjut Irma sambil tertawa dan meninggalkan tempat sholat lebih dulu.
Berhari-hari memang masih begitu terasa kepedihanku. Rasanya begitu sakit dengan ketidakjujuran Mas Arka yang sempat membawaku berharap bisa hidup berdampingan. Sampai-sampai ketika aku masuk kerjapun membuat aku kurang bersemangat dan membuatku agak teledor mengerjakan tugas.
Aku merasa malu dengan rekan-rekan sekerja karena sebelumnya telah tersebar kabar bahwa aku akan menikah. Aku kikuk ketika keluar rumah dan melakukan semua kegiatan di luar rumah. Apalagi jika aku lewat di depan rumah Pak Ardi dadaku terasah sesak.
Dulu aku begitu sulit untuk melepas ikatan hatiku dengan Pak Mulya, dan ketika kehadiran Mas Arka kuharap bisa mengisi hatiku agar lebih baik malah tiba-tiba hatiku terbantai. Rasa kesal dan benci akhirnya memenuhi hatiku pada Mas Arka. Aku ternyata tertipu sepertihalnya aku mengharap fatamorgana untuk berteduh dan mengusir rasa hausku
Komentar
Tulis komentar baru