Skip to Content

Aku Yang Tertipu

Foto Cahyamulia

Meskipun tidak aku sampaikan dahulu secara terbuka kepada keluarga selain  kepada  ibu dan ayahku, serta tidak aku buat status di media sosial kedekatanka pada Mas Arka kian menyebar luas. Teman-teman sekerjaku  maupun  teman-teman satu dinas di kabupaten maupun kecamatan  lain juga telah  mendengar. Bahkan  berkembang menjadi subuah berita yang dilebih-lebihkan. Jadi gosip bahwa aku akan membangun rumah tangga setelah lebaran.

Semua gosip memang sempat membuat aku kelabakan. Namun dengan penjelasan dan kuberikan kebenaran informasi akhirnya redam dengan sendirinya.

Ramadhan dapat kulalui dengan tenang. Sesuai dengan janjiku dengan Mas Arka kami harus menahan diri selama Ramadhan. Dan alhamdulillah semua akhirnya dapat aku lalui dengan sebaik-baiknya.

Sebagai wanita,  keinginan  untuk  dihargai dan  mendapat perhatian adalah  hal  yang  biasa. Idul Fitri tahun  ini  bagiku  merupakan monen yang penting untuk memulai langkah dengan Mas Arka. Busana dengan segala aksesorisnya kupilih tentu agar memenuhi daya tarik. Ya, itu manusiawi. Meski aku tahu bahwa busana juga merupakan kelengkapan muamalah yang harus memenuhi syarat syariat.

Aku  memilih kelengkapan busana idul fitri dari jilbabku dulu dengan warna  merah muda. Karena dari warna inilah pertama kali Mas Arka merasa terpesona denganku. Demikian pula beberapa anggota keluargaku  melihatku  sangat  anggun dengan mukena merah muda dari Pak Mulya yang  aku  kenakan. Entah kenapa warna  itu akhirnya aku sukai. Padahal sebelumnya aku lebih menyukai warna hijau.

Dari  jilbab merah muda itulah  kemudian  aku  carikan  busana yang sesuai. Demikian pula beberapa aksesoris seperti bros dan lain sebagainya aku sesuaikan.

Hari raya tiba. Malam harinya aku telah lebih dulu kirim ucapan selamat  idul  fitri  pada Mas Arka. Dengan cepat  Mas Arka juga menjawab. Di samping itu ia juga menuliskan pesan bahwa bisa ketemu langsung  baru seminggu setelah lebaran karena  Mas Arka pas ada kegiatan reuni keluarga dan reuni limatahunan  dengan teman-teman SMP.

“Mas, kalau  kita ketemu  hari  kesembilan  lebaran  gimana kira-kira. Kan pas Hari Minggu,” pesan WatsApp ku pada Mas Arka pada hari keenam Bulan Syawal.

Dengan  penuh  kegalauan  aku  menunggu  jawaban dari Mas Arka. Kutunggu dua hari pesan itu masih belum masuk juga. Aku coba WatsApp Call beberapa kali sampai dengan hari ke delapan tidak juga dihubungi. Hatiku kian galau ndak menentu. Padahal Hari Senin aku sudah harus kembali aktif  bekerja. Sementara  mau tanya ke rumah pamannya, Pak Ardi, juga kurang enak.

Fikiranku  kian ndak  karuan. Tarik menarik antara  khusnudzan dan su’udzan. Aku mulai sulit tidur sehingga badan terasa tidak enak. Anggota keluargaku  juga mulai ikut merasakan melihat aku yang begitu gelisah lebih dari tiga hari.

“Wulan,” sapa ayahku malam kesepuluh bulan Syawal.

“Apa yah,” jawabku.

“Ini jam berapa, kok sejak tadi mandar-madir  keluar masuk kamar,” lanjut ayahku.

Aku tidak  menjawab, Kutatap jam dinding  telah  menunjukkan jam 01.30 WIB. Aku  kembali  masuk kamar dan mencoba untuk memejamkan mata. Tapi entah berapa lama tidak juga berhasil. Aku ingin keluar kamar lagi tapi aku tahan.

Qira’at  jelang  shubuh berkumandang dari masjid di lingkunganku yang  biasanya memang  diperdengarkan  tigapuluh  menit sebelum shubuh. Aku belum juga tidur. Aku merasa lemas. Dan tanpa sadar akhirnya adzan subuhpun malah tidak mendengar sama sekali.

Kutarik nafas dalam-dalam usai bangun tidur yang hampir membersamai terbit matahari. Dengan badan terasa lemas dan kurang bersemangat akupun segera sholat shubuh meskipun kesiangan.

“Lho,belum sholat to?” tanya ayah yang sedang minum kopi di dapur.

Aku  hanya  melempar  pandang pada ayahku dari sudut mata dengan sambil berjalan cepat ke mushalla rumah. Ibuku yang mulai memasakpun  mengikuti  langkahku dengan pandangan mata.

“Ini doa po tidur?” tanya ayahku dari pintu mushalla.

“Masak hampir setengah jam,” lanjut ayahku.

Aku  tidak menjawab dan  langsung melepas mukena, terus menyusul  ibu  yang  sedang  memasak. Sementara  ayah meneruskan minum kopi sambil sesekali melempar pandang ke arahku.

“Kenapa tadi malam kok seperti ndak tidur?” tanya ayah.

“Sakit perut yah.Berkali-kali ke belakang,” jawabku.

“Ini nanti dah masuk kerja to,” sahut ibuku

“Masuk bu,” jawabku

“Kalau  lagi  kurang enak badan ya pakai air hangat,” lanjut ibu.

“Ya, nanti malah tidur di kantor,” sahut ayah.

“Wulan,” seru ayah sambil meletakkan gelas kopi

“Ambilkan sarapan ayah sekalian ya. Trus kamu juga,” lanjut ayah sambil menatapku serius.

Tanpa  menjawab dan hanya menatap ayah dari sudut mata, aku menyiapkan  makan pagi. Aku hidangkan di dekat kopi yang tinggal sepetiga gelas.

“Kamu sekalian sarapan bersama ayah di sini ya,” tegas ayah dengan raut muka yang mulai ramah.

“Ya yah. Sebentar. Tak ambil nasi....,” jawabku.

Sambil  memulai  makan  aku  tatap wajah ayahku  beberapa kali dari sudut mata. Hatiku berdebar sehingga rasanya makanku juga kurang selera. Entah apa yang mau dikatakan ayah di hadapanku.

“Wulan,” sapa ayah mulai pembicaraan.

“Sebenarnya ada apa beberapa hari ini kok kelihatan  gelisah. Ibumu juga sampek sulit tidur,” lanjut ayah.

Aku diam sambil tertunduk. Sendok di tanganku terhenti dan aku mulai kebingungan menyampaikan. Ayahku yang  juga belum selesai makan juga menghentikan sendoknya. Sementara ibuku masih meneruskan memasak sambil mendengarkan dari kejauhan.

“Gini lho, kalau  kamu  ndak  segera ngomong, akibatnya juga ibumu  kurang  istirahat. Akhirnya  semua akan terganggu,” sambung ayah.

Aku  menarik  nafas sambil meletakkan sendok dan segera meraih air minum. Ayahku menatapku dengan serius juga sambil mengentikan makan paginya.. Aku menatap ayahku dari sudut mata dan kuselingi menoleh ke ibuku.

“Nanti pa sekarang yah njawabnya?” tanyaku pada ayah.

“Masuk kerja kan masih satu jam lagi. Kan ndak usah cerita panjang kan ndak apa-apa,” sambung ayah.

“Sebetulnya tidak begitu berat yah,” jawabku

“Apa itu?” tanya ayah kemudian.

“Em...gini. Mas Arka kemenakan Pak Ardi kan janjian ketemu setelah  hari  ketujuh  Syawal. Mulai tanggal  6 Syawal aku WA dan Calling tidak bisa,” lanjutku menegaskan.

“Kalau sudah hari aktif seperti ini kan akhirnya agak kesulitan menjadwal lagi,” jelasku kemudian.

Ayah masih diam sambil menatap dan mendengarkan cerita singkatku. Ibu yang sudah selesai memasak berjalan menghampiri kami dan berdiri di belakang ayah dengan diam pula.

“Gini aja lho,” sahut ibu.

“Sementara harus bersabar. Kita tidak  tahu persis  kenapa seperti itu. Bisa jadi hpnya hilang, hpnya rusak.Atau lainnya,” lanjut ibu.

“Kalau difikir  berat ya bisa berat, kalau  dianggap ringan juga akan ringan. Husnudzan  ajalah dulu, dari pada merepotkan semua,” sahut ayahku.

“Anggap ringan aja sementara, dan sekarang segera persiapan berangkat,” lanjut ayah menegaskan sambil menatapku serius.

Hatiku sedikit lega dengan masukan dan saran dari kedua orangtuaku. Singkat, tepat, dan disampaikan dengan begitu santai. Kegalauanku menipis dan berganti dengan semangat baru menghadapi kehidupan yang akan aku jalani.

“Aku harus tampil fress dan penuh semangat hari ini. Aku tidak boleh merasa ada beban di hati pada hari pertamaku masuk kerja usai lebaran. Keceriaan  harus aku  tunjukkan di hadapan rekan-rekanku,” bisikku dalam hati sambil mempersiapkan diri berangkat kerja.

Kegiatan di kantor belum ada pekerjaan yang harus fokus dikerjakan. Apalagi saat itu masih memesuki pekan ketiga yang memang belum saat nya menyiapkan laporan bulanan. Kegiatan utama kami satu sampai tiga hari di kantor  masih diwarnai suasana lebaran. Bahkan di hari kelima, hari Jum’at diadakan kegiatan halal bi halal karyawan seluruh kabupaten.

“Wulan,” sapa Pak Mulya dari belakang ketika kami sama-sama antri ambil makanan saat acara halal bi halal saat itu.

“Pak,” jawabku dengan agak terkejut sambil senyum dan  menoleh ke Pak Mulya.

Aku persilakan Pak Mulya lebih dahulu dan aku di belakangnya. Hatiku masih berdebar karena betapapun telah ada pria lain yang mengisi hatiku, kalau melihat dan mendengar Pak Mulya hatiku masih kambuh lagi. Jujur, aku tidak bisa mencabut akar-akar cinta pada Pak Mulya dengan sebersih-bersihnya.

“Pak, saya bisa duduk di sini?” ijinku  sambil  melempar senyum dan  melirik untuk duduk di kursi dekat Pak Mulya  setelah  kami sama-sama ambil makanan.

“He...he...he... boleh,” jawab Pak Mulya dengan senyum pula dan sedikit menggeser kursi yang akan kutempati lebih rapat.

“He, bismillah dulu,” tegur Pak Mulya ketika aku akan menyantap makanan.

Aku hanya tersenyum sambil baca basmallah sedikit keras  di dekat Pak Mulya.

“Aku dengar-dengar mau segera menikah  ya?” tanya Pak Mulya lirih sambil menikmati makanan.

Aku tidak segera menjawab. Aku agak kebingungan sambil menunduk. Kuhentikan sedokku sambil melirik Pak Mulya.

“Lho, ndak apa-apa. Katakan  sejujurnya,” lanjut Pak Mulya sambil tersenyum dan melirikku.

Aku masih  terdiam dengan hati yang kurang menentu. Aku mencoba manarik nafas untuk menentramkan hatiku. Tatapanku yang kosong  kemudian  membawaku  memandang  jauh  ke depan. Aku melamun entah apa yang kulamunkan. Tanpa sadar, kemudian kepalaku menggeleng lirih.

Aku tetap duduk terpaku. Sementara Pak Mulya yang duduk di sampingku terus menoleh padaku  dengan tatapan yang begitu serius. Sayup-sayup kudengar suara berbisik dari teman-teman kerja yang lalu lalang  mengambil dan mengembalikan piring kosong sambil melirik pada kami berdua. Entah apa yang merka bisikkan aku juga tidak jelas.

“Wulan,” suara  lembut  Pak Mulya menyela diantara  lamunanku yang kosong.

“Apa Pak,” jawabku agak terkejut.

“Kok belum di jawab,” lanjut Pak Mulya serius.

“Eem, gimana ya,” jawabku

“Gimana, apa belum ada kejelasan,” tanya Pak Mulya lebih lanjut.

“Ya pak,” jawabku lirih dan singkat.

“O gitu. Nanti  kalau dah  posif  beri  tahu ya. Soalnya bulan depan insya Allah saya sudah  pensiun. Saya  mengajukan  pensiun dini,” tegas Pak Mulya lebih lanjut.

“Insya Allah Pak,” jawabku.

Kami segera berpisah  karena memang acara selesai. Kami juga tidak bertemu kembali sampai Pak Mulya menyatakan pensiun dini dari tugas. Beliau pensiun satu tahun lebih cepat dari yang semestinya.

Sore hari ketika sudah pulang dan istirahat, kegalauanku muncul kembali. Mas Arka yang telah menjanjikan untuk bertemu usai lebaran belum bisa aku hubungi, padahal saat itu sudah pertengahan bulan Syawal.

Usai sholat Maghrib, ayah  menyuruhku  mengantarkan ke penjahit karena  memang  pakaian  hari raya yang dijahitkan tidak selesai dikerjakan jelang hari raya. Padahal selama ini jika dalam kondisi sehat ayah tak pernah menyuruhku mengantar kemanapun.

“Cari apa yah?” tanyaku ketika ayahku berhenti di halaman stadion setelah ambil pakaian.

“Ya, kok pingin makan rujak di sini. Ayah agak jenuh dengan makanan hari raya,” jawab ayah.

Aku hanya mengikuti dan  suruh pesankan rujak, termasuk untukku  yang  di makan di tempat. Sementara untuk ibu dan adikku serta keluarga mas Rowi dipesankan untuk di bawa pulang.

Aku  tidak berfikir apapapun dan tidak merasakan apapun. Yang kurasakan hanya kebahagiaan bisa mendampingi ayah memenuhi kesenangannya. Disamping itu, tidak seperti biasanya, sambil makan ayah bercerita tentang  kehidupan  keluarga kakek, kehidupan keluarga-keluarga yang lebih besar.

“Wulan,” ungkap ayah ketika  kami hampir menghabiskan rujak yang tengah kami nikmati.

“Apa yah,” jawabku singkat sambil menatap pada ayahku.

“Tadi  siang ayah  ke Pak Ardi dan hanya ketemu Bu Rani,” lanjut ayah.

Aku hanya  menatap  ayah  sambil setengah menghentikan sendokku. Ayah  menyelingi  pembicaraannya dengan meminum teh yang tersedia sambil merapikan bekas wadah rujak yang telah selesai dinikmatinya.

“Tadi  bu Rani bercerita, kalau Arka baru saja tunangan pada hari minggu kemarin,” lanjut ayah.

Ayah  menatapku  tajam. Aku tiba-tiba menunduk bisu. Rujak yang kurang beberapa sendok lagi habis, aku hentikan. Suasana hening. Ayah tak lagi meneruskan pembicaraan.

“Yon pulang aja,” ajak ayah.

Dengan kepalaku yang mulai pusing dan tubuhku yang tiba-tiba lunglai  aku mengikuti ayah pulang. Seperti petir di siang hari, sepanjang perjalanan yang  hanya berjarak dua kilometer hatiku ra sanya ndak karuan. Aku seperti kehilangan semangat hidup.

Tiba di rumah, ibuku didampingi Irma dan kak Rowi duduk di kursi panjang. Sementara Istri kak Rowi beserta anaknya bermain di tikar samping kursi. Semua menatapku ketika kami memasuki rumah. Aku berjalan dengan penuh  kelesuan, meletakkan rujak yang untuk keluarga, dan tanpa sepatah katapun aku langsung menuju kamar.

Aku merebahkan diri dengan posisi tengkurap di kasur. Kepalaku pusing, hatiku ndak karuan, dan air mataku meleleh membasi bantal. Sementara yang lain membiarkan sampai beberapa waktu.

Kak iparku, istri kak Rowi  menghapiriku, duduk di tepi dipan sambil memijit-mijit pundakku. Ia tak berkata apapun. Hanya tangan simpatinya mengisyaratkan kata kesabaran  untukku. Ya, memang kakak iparku  tidak begitu banyak bicara, tetapi tangannya seringkali lebih bicara.

Aku  membalikkan badan, miring membelakangi kakak iparku sambil menahan tangis.

“Kalau  menangis akan  lebih  memberi solusi, teruskan saja sampai puas,” ungkap kakak iparku sambil beranjak dan mengusapkan tangan di atas jilbab hijau lumut yang aku kenakan.

Suasana malam  itu akhirnya begitu hening. Ayahku segera menutup pintu. Bahkan  menelapas  semua  kunci pintu keluar dan semua kunci sepera motor serta dimasukkan pada saku. Kecuali aku, semua anggota keluarga tidur di atas kasur yang diturunkan ke lantai dekat  kamarku, hingga jika aku mau keluar kamar harus melangkahi.

Entah berapa lama aku menangis, tahu-tahu aku tertidur, dan terbangun  ketika ada kumandang qiro’at dari masjid pertanda jelang shubuh. Tubuhku terasa lunglai, perutku sakit, dan kepalaku pening. Tapi alhamdulillah aku masih sadar bahwa aku belum sholat Isya’ sehingga segera ke belakang untuk bersih diri dan ambil wudhu. Ayahku juga terbangun dan  mengikutiku sampai  menungguiku selesai sholat di musholla keluarga.

Semua anggota keluarga segera mengikuti bangun sebelum adzan shubuh berkumandang. Tidak terkecuali  putra kak Rowi yang masih sekitar tiga tahun.

“Nanti  semua jamaah Shubuh di rumah aja ya,” ajak ayah ketika telah terdengar adzan shubuh.

Tanpa ada yang menjawab, semua mengikuti ajakan ayah. Kak Rowi yang  jadi  imam, karena ayah sedang batuk.

Kugunakan untuk sholatpun rasanya suasana hatiku belum juga berubah. Sholat yang kulakukan malah menguatkan tipuan Mas Arkan kepadaku. Tetes air mata ketika  sujud  bukan  tets air  mata ibadahku kepada Allah, tapi yang kurasakan adalah tets air mata kepedihan.

“Masalah gini aja kok mengguncang semuanya,” celetuk kak Rowi usai sholat sambil membalikkan badan ke kami semua.

Tidak ada yang menjawab. Aku sendiri merebahkan diri ke pangkauan ibu yang  sholat di sampingku dan  masih mengenakan mukena. Aku malah menangis agak keras sambil menunduk di pangkuan ibu. Sementara ibu segera mengelus-eluskan tangan ke kepalaku.

“Sabar dik,” ungkap kakak iparku menyambung.

“Semua pernah mengalami sedih, kecewa, dan sakit hati. Tapi  kalau keterlaluan akhirnya bisa menimbulkan penyakit,” janjut kakak iparku.

“Pa diajak rekreasi aja  biar  mbak Wulan  bisa tertawa,” sahut Irma dengan diikuti sedikit tertawa.

Putra kak Rowi yang sebelumnya  ada dipangkaun ayah tiba-tiba diangkat dan didudukkan pada pinggangku. Aku sedikit geli karena tangannya  menggaruk-garuk tubuhkan. Aku sedikit tertawa sambil terisak-isak.

“Ah, ternyata  gampang  membuat mbak Wulan  tertawa,” lanjut Irma sambil tertawa dan meninggalkan tempat sholat lebih dulu.

Berhari-hari memang masih begitu terasa kepedihanku. Rasanya begitu sakit dengan ketidakjujuran Mas Arka yang sempat membawaku berharap bisa hidup berdampingan. Sampai-sampai ketika aku masuk kerjapun  membuat  aku  kurang  bersemangat dan  membuatku agak teledor mengerjakan tugas.

Aku  merasa malu dengan  rekan-rekan sekerja karena sebelumnya telah tersebar kabar bahwa aku akan menikah. Aku kikuk ketika keluar rumah dan melakukan  semua kegiatan di luar rumah. Apalagi jika aku lewat di depan rumah Pak Ardi dadaku terasah sesak.

Dulu aku begitu sulit untuk melepas ikatan hatiku dengan Pak Mulya, dan  ketika kehadiran Mas Arka kuharap bisa mengisi hatiku agar lebih baik malah tiba-tiba hatiku  terbantai. Rasa kesal dan benci akhirnya memenuhi hatiku pada Mas Arka. Aku ternyata tertipu sepertihalnya aku mengharap fatamorgana untuk berteduh dan mengusir rasa hausku

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler