Skip to Content

Diam-diam Kuuntai Kasih III

Foto Cahyamulia

Seperti air mengalir yang kemudian dibendung, lama kelamaan manakala bendungan itu tak lagi mampu menampungnya, maka ia akan tetap mencari celah untuk tetap mengalir. Demikan juga dengan rasa cintaku pada Pak Mulya. Betapapun banyak yang menghalangi, betapapun aku sendiri bisa berusaha menahan, namun tetap saja  rasa  hati sangat sulit untuk dipungkiri.

Hanya saja ketika akalku telah bisa aku kendalikan, aku bisa mengalirkan rasa itu dengan penuh kecerdasan. Kembali seperti telah diajarkan ayahku, aku  tetap berusaha dengan cara yang akhlaqul karimah dan penuh kecerdasan.

Ada tantangan berat yang terus yang harus aku hadapi. Bukan tantangan  menghadapi orang lain, tetapi  menghadapi diriku sendiri. Akalku untuk mempertimbangkan yang apa yang seharusnya aku lakukan berhadapan dengan hatiku yang tetap terikat dengan bisikan cinta.

Aku rasanya belum bisa mencabut akar-akar cinta yang telah tertancap  begitu kuat, meski  tunas-tunas yang  tumbuh  bisa saja aku lenyapkan. Rasa cintaku  tetap hidup meski  hanya hidup dengan laten. Entah jika pada saatnya akar-akar cinta itu bisa lapuk karena kehabisan nutrisi kehidupan.

Lebih dari satu setengah tahun rasa cintaku pada Pak Mulya mewarnai hatiku. Meski aku sendiri tak tahu dengan pasti bagaimana sebenarnya  hati Pak Mulya padaku. Mungkin sama seperti yang aku rasakan atau bisa jadi sama seperti cintanya pada orang lain selain keluarganya.

Namun  kembali dengan mengelola kecerdasan, aku tetap berusaha mengalirkan suasana hatiku agar tidak terasa sakit.

Ditengah-tengah aku terus mencari cara agar bisa mengelola hati agar rasa cinta pada Pak Mulya sementara bisa tetap kupelihara, Irma, adikku yang  masih  kuliah  semester  tiga jurusan  satra minta dibantu untuk mencarikan referensi guna menyusun tugas apresiasi karya sastra.

“Irma, ndak bisa ambil dari gogle ta?”tanyaku pada adikku.

“Ndak mbak, soalnya buku yang menjadi referensi harus difoto,” jawab Irma.

“Lha ini kan sudah siang, dan untuk hari Sabtu perpustakaan kan hanya buka setengah  hari. Besok malah tutup,”jawabku balik.

“O...ya sebentar! Tak coba hubungi temanku, ia punya perpustakaan dan kabarnya sekarang  telah dijadikan  taman baca masyarakat,”lanjutku.

“Oke mbak!” jawab  Irma.

“Tenang Ma, ini tadi tak hubungi vai telephon, Sabtu dan Minggu malah  buka sampai  jam sembilan malam,” lanjutku menyampaikan info pada Irma.

“Kapan mbak, sekarang?” tanya Irma.

“Sore aja gimana, biar enak. Kan bisa juga sampai malam,”jawabku.

“Sip mbakku yang cantik,” jawab  Irma  sambil melempar senyum.

“Dewa cinta memang  tidak bisa duduk bersembunyi  terlalu lama di balik tirai, tapi aku harus berusaha menyembunyikan rasa hati pada Pak Mulya, terutama di hadapan adikku  dan  siapapun yang ada di perpustakaan nanti,” tekadku dalam hati.

“Lho, mbak ini yang dulu pernah ke sini ya?,” tanya istri Pak Mulya ketika aku dan adikku memasuki perpustakaan.

“Iya Bu. Ini, mau antar adik untuk cari referensi sebagai bahan karya tulis,” jawabku.

“Silakan! Pilih secara bebas aja. Waktu juga sampek malam. Sampek jam  sembilan  malam  kalau hari Sabtu dan Minggu,” balas istri pak Mulya.

“O, ya. Nanti  kalau lapar, ada warung di seberang jalan. Itu sudah kami kontrak, digaratiskan untuk semua pengunjung perpustakaan. Tapi ya paket sederhana,” lanjut istri Pak Mulya.

“Ya Bu, terimakasih,” jawabku.

“Eemmm, Pak Mulya ada Bu,” tanyaku.

“Nak ada mbak. Tapi biasanya jelang Maghrib sudah di rumah,” jawab istri Pak Mulya.

“Ayo silakan cari referensi yang diperlukan. Baca-baca dulu juga ndak apa-apa. Cari tempat sendiri yang nyaman, soalnya sebentar lagi juga banyak yang datang,” lanjut istri Pak Mulya.

Di saat Irma memcari-cari dan membuka-buka beberapa novel dan kumpulan puisi, aku sendiri juga ada kesempatan untuk baca-baca meski semula tidak ada rencana sasaran apa yang harus aku baca.

Terperangah aku ketika lihat-lihat buku. Ada buku yang cukup menarik dan langsung aja aku ambil. “Taman Orang-orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu,” sebuah buku terjemahan dari “Raudhah Al-Muhibbin wa Nuzhah Al-Musytaqin” karya Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah.

Sebelum menikmati isinyapun hatiku sudah tergetar dengan judul dan disain sampul yang disajikan. Karena ada keselarasan dengan suasana hatiku, akupun  kian penasaran dengan isi yang ada di dalamnya. Anganku melambung jauh.

Sambil tercenung di depan meja baca dengan memegang buku tersebut, desir bisik perasaan cinta pada Pak Mulya membuatku kembali gelisah. Dan tahu-tahu waktupun sudah menjelang maghrib.

“Mbak, ngantuk to?” tanya Irma sambil berdiri di sampingku.

“Ndak!” jawabku singkat.

“Sampek malam ndak pa-pa mbak. Aku masih belum menemukan buku yang pas,” lanjut Irma.

“Ndak pa-pa, kan ada makan gratis di warung seberang jalan, jawabku sambil sedikit tertawa

“Ini hampir maghrib, yang waktunya sholat ada masjid sekitar 200 m dari tempat ini. Yang  mau  makan  juga ada sajian gratis di warung seberang  jalan. Sekitar 5 menit lagi perpus ditutup sementara, nanti habis maghrib kita buka kembali,” peringatan Pak Mulya via speaker kecil.

Hatiku kian berdegup keras mendengar suara Pak Mulya. Aku seperti kehilangan diri. Syukur bisa segera aku alihkan.

“Mudah-mudahan Pak Mulya ndak ngerti klo aku di sini, meskipun sebenarnya aku juga pingin melihat senyumnya yang khas,” bisikku dalam hati.

Cas..., tubuhku getitu gemetar ketika  usai sholat maghrib aku menikmati makan di warung gratis. Ya, karena tiba-tiba Pak Mulya muncul di depan pintu warung dan langsung menatapku.

“Lho, Wulan! Jadi ke perpus to. Saya kira tadi hanya canda?” sapa Pak Mulya.

“Iya Pak, ndampingi adik cari referensi,” jawabku.

“Ooo..., teruskan dulu ya. Nanti bisa sambil ngobrol di perpus,” sambung Pak Mulya.

Suasana hati malah semakin tak karuan setelah berkomunikasi sebentar dangan Pak Mulya. Pucuk di cinta ulam tiba. Apa yang kuangankan untuk bisa menikmati roman muka orang yang sedang menyelinap di hati akhirnya  kesampaian. Tapi aku memang harus berjuang menata hatiku sendiri agar rasa dalam hatiku tidak nampak.

Setelah kami kembali ke perpustakaan, Irma kembali memilih beberapa referensi sedang aku kembali menikmati buku yang telah aku buka-buka sebelumnya. Aku memang tidak membuka halaman satu  persatu. Karena aku masih terbawa oleh suasana hatiku sendiri. Aku buka saja halaman sekenanya.

Ada mutiara kehidupan yang rasanya akan bisa menjawab kegalauanku saat ini.

“Enaknya buku ini aku pinjam aja, karena ada yang perlu aku abadikan dalam catatan,” bisikku dalam hati.

“Maaf  Bu, kalau mau pinjam buku dibatasi berapa ya?” tanya Irma pada istri Pak Mulya.

“Nak ada pembatasan mbak, diperkirakan  saja. Apalagi kalau untuk bahan menyusun karya tulis,” jawab istri Pak Mulya.

“Kalau  mau  pinjam, ambil slip peminjaman  yang  masih kosong di kotak kuning itu mbak  ya. Ditulis sendiri dan setelah diisi dimasukkan kotak hijau,” jelas istri Pak Mulya.

“Pinjam 4 buku ya bu,” lanjut Irma.

“Nunut satu buku, Ma.” sahutku.

“Lima buku ya jadinya mbak?” tanya istri Pak Mulya kembali menegaskan.

“Iya Bu,” jawab Irma.

Setelah  sampai  rumah, setelah sholat isyak ,  hingga larut malam aku nimati buku yang aku pinjam.

“Selagi cinta semakin kuat, maka kenikmatan memandang orang yang dicintai juga semakin kuat,” itulah kata pertama pada bab tiga belas buku “Taman Orang-orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu”  yang membuatku sangat terarik.

Dalan bab itu ditutup dengan kalimat, “Yang namanya cinta itu pasti mendatangkan gerakan jiwa  dan desakan  pencarinya.  Jiwa itu diciptakan dalam keadaan bergerak seperti gerakan api. Gerakan cinta itu bersifat alami. Siapapun yang mencintai sesuatu, tentu akan merasakan kenikmatan dan ketenangan. Jika jiwa tidak diisi cinta sama sekali, maka ia tidak mempunyai gerakan, lamban, malas dan tidak menjadi ringan untuk bergerak. Oleh karena itu orang-orang yang malas adalah orang-orang yang paling merana, sedih dan gundah, tidak mempunyai kegembiraan. Berbeda dengan orang yang sibuk dan banyak kegiatan. Sebab giat dalam bekerja dan aktivitas akan membawa hasil yang menyenangkan. Sehingga tidak heran jika kenikmatan dan cinta mereka terhadap kerja itu lebih kuat.”

Aku  tercenung dengan kalimat itu. Dan kuakui memang betul seperti itu. Ada lagi kalimat kian membuatku bernafsu menghabiskan isi buku itu.

Di dalam bab 14 Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah lebih fokus pada pembahasan pengaruh cinta pada pirilaku manusia dengan banyak mengambil contoh pada kehidupan pada nabi dan rasul, dan juga para sahabat-sahabat nabi.

“Cinta itu bisa mensucikan akal, mengenyahkan kekhawatiran, mendorong untuk berpakaian rapi, makan yang bai-baik, memelihara akhlak mulia, membangkitkan semangat, mengenakan wewangian, memperhatikan pergaulan yang baik, menjaga adab dan kepribadian. Tapi cinta juga merupakan ujian bagi orang-orang yang shalih dan cobaan bagi para ahli ibadah. Cinta merupakan timbangan akal dan rasa. Cinta merupakan ciptaan yang mulia, sebagaimana dikatakan syair: ‘bukan karena dorongan nafsu kubangkitkan cinta, tapi kulihat cinta itu akhlaq yang mulia’ ,”

Mutiara  kehidupan dan sangat mengena apa yang ditulis dalam  buku tersebut. Apalagi buku-buku seperti itu memang belum pernah aku baca, atau bahkan mendengar dari ceramah-ceramahpun jarang yang membahas persoalan cinta.

Untaian  mutiara kehidupan  dalam  buku “Taman Orang-orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu” bukan hanya sebagai pelepas dahaga seperti orang yang tengah dirundung cinta sepertiku. Tapi juga memberi energi baru bagaimana mamanaj potensi cinta yang memang dimiliki oleh setiap orang agar terarah dan terpola dengan sebaik-baiknya. Karena uraian yang ada di dalamnya bukan sepertihalnya kajian fiqih yang begitu ketat.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler