Siang itu hujan cukup deras dan begitu pajang. Tanda-tanda akan turunnya hujan deras sebenarnya telah kelihatan sejak sebelum jam sebelas siang. Pak Yono, kepala kantor saat itu tidak ada di tempat karena mengikuti kegiatan di kabupaten sejak pagi. Sementara itu teman-teman petugas lapangan sudah undur diri semua saat cuaca menunjukkan kurang bersahabat, kecuali Pak Mulya yang memang sejak pagi telah dipesan oleh kepala kantor untuk mendampingiku menyelesaikan berbagai laporan akhir bulan.
Tidak seperti biasanya, sebelum hujan turun aku ijin keluar sebentar pada Pak Mulya. Aku sengaja membeli makan siang untuk kami berdua. Sementara Pak Mulya dengan tekun mengoreksi laporan akhir bulan yang telah aku kerjakan.
“Pak, ini tadi saya syukuran,” ungkapku pada Pak Mulya sambil membawa nasi bungkus di depan pintu ruang kerjaku.
“Di dapur aja ya,” jawab Pak Mulya sambil berdiri dan terus bersama-sama menuju dapur kantor.
“Syukuran apa?” tanya Pak Mulya sambil menata tempat duduk.
“Syukuran macam-macam pak,” jawabku sambil tersenyum dan melirik mata ke Pak Mulya.
“Kan selama ini saya telah dibimbing, dan terakhir yang membuat saya kian percaya diri adalah bisnis bunga-bunga meja, dan ... macam-macamlah pokoknya,” lanjutku menjawab sambil tertawa kecil.
Hujanpun terasa kian deras dan bahkan bersamaan dengan angin yang agak kencang. Di sisi lain tatapan mata Pak Mulya yang duduk di hadapanku sejak awal menikmati makan siang membuatku merasakan keanehan. Ya, tatapan mata yang seperti menyampaikan pesan khusus pada sisi hatiku. Tubuhku juga merasa gemetaran bersama dinginnya udara di luar, hingga mau berbincang lebih banyak jadi begitu berat.
“He! Hampir jam satu siang, sholat dhuhur, yuk,“ ajak Pak Mulya.
Tanpa menjawab aku langsung ikut berdiri dari kursi makan dan langsung mengukuti Pak Mulya.
“Jamaah ya,” lanjut Pak Mulya di depan pintu musholla.
“Ya Pak,” jawabku singkat.
Usai salam Pak Mulya langsung membalikkan badan menghadapku yang hanya berjarak sekitar dua meter.
“Ndak apa-apa kan kita istirahat di sini sebentar. Toh hujan di luar belum ada tanda-tanda reda?” tanya Pak Mulya sambil menatapku.
Aku ndak menjawab apa-apa. Aku hanya diam sambil menatap Pak Mulya. Hatiku berdebar dan kian berdebar.
Agak lama Pak Mulya meneruskan pembicaraan, sementara aku sendiri makin bungkam membisu.
“Gimana ya; sebenarnya jika tidak saya sampaikan, secara nyata, kita bisa sama-sama mengerti. Kita sama-sama bisa menangkap dengan bahasa isyarat. Bahkan kadang bahasa tubuh kita, lewat kerling mata, lewat tingkah laku, dan sebagainya lebih jujur dari apa yang kita katakan,” lanjut Pak Mulya sambil menunduk dan sedikit terbata-bata.
Aku sendiri tidak bisa menyampaikan sepatah katapun. Sesekali aku hanya melayangkan pandang ke wajah Pak Mulya yang juga tidak begitu biasanya. Suasana hatiku kian ndak karuan.
“Wulan,” lamjut Pak Mulya membuka kembali pembicaraan.
“Ya pak,” jawabku singkat sambil melayangkan padang ke wajah Pak Mulya. Sementara tubuhku terasa menggingil kedinginan meski masih berselimutkan mukena.
“Emmmm....Gini. Sebenarnya saya merasakan getar hati yang kau isyaratkan. Tanpa kata-kata toh kau cukup berkata apa adanya. Dan sayapun membiarkan. Ibarat bunga yang tumbuh tanpa sengaja saya taman dan tetap saya biarkan tumbuh,” lanjut Pak Mulya.
Aku makin merasa ndak mampu menatap wajahnya. Aku hanya tertunduk dengan hati yang berdegup keras.
“Kalau saya hidup sendiri sebenarnya saya sambut dengan baik. Tapi saya juga hidup didampingi istri dan anak-anak. Insya Allah kalau secara ekonomi bisa diupayakan. Yang jadi persoalan adalah pertimbangan psikologi dan sosial,” tegas Pak Mulya.
Tubuhku mulai kian gemetar. Lidahku terasa kaku untuk mengucap kata-kata. Dan tanpa terasa air mataku menetes. Namun aku tidak merasa marah dengan yang sampaikan. Bahkan aku cukup menghargai apa yang disampaikan. Toh seandainya lelaki lain belum tentu bersikap seperti itu. Atau bahkan mungkin cari kesempatan untuk menodai kehormatanku.
“Pak, saya minta maaf kalau perasaan dan tingkah laku saya salah,” ungkapku menimpali.
“Ndak...ndak...ndak salah dan ndak ada yang harus disalahkan. Gini lho..., saya sendiri atau mungkin dikau sendiri juga sering bertemu atau bersama lawan jenis namun kan belum tentu ada keterikatan hati. Cinta, kasih sayang itu karunia dan ndak bisa kita paksa. Bahkan kalau kita telah menumbuhkan rasa cinta kemudian kita cabut dengan paksa malah yang terjadi juga kehancuran hati. Jadi kita nikmati aja!” jawab Pak Mulya.
“Kita juga tidak tahu bagaimana akhirnya nanti. Yang penting yang kita rasakan saat ini ya kita nikmati. Namun kita juga saling menjaga diri. Kita saling mendoa agar semuanya dapat terselesaikan dengan sebaik-baiknya tanpa korban pada diri kita masing-masing. Kita jangan saling membenci, kurang enak, atau merasa bersalah,” lanjut Pak Mulya.
Hatiku mulai agak tentram tapi sepertinya pandanganku kosong. Dan tanpa sadar aku akhirnya tertidur di musholla.
Entah berapa lama, tahu-tahu Pak Mulya dengan lirih membangunkanku karena hujan di luar mulai agak reda. Perasaanku yang sebelumnya begitu ndak karu-karuan kembali seperti biasa lagi. Rasa hatiku pada Pak Mulya tetap seperti sedia kala, tanpa rasa kecewa dengan yang telah disampaikan. Bahkan aku merasakan sebuah rasa kasih sayang yang begitu menentramkan.
Komentar
Tulis komentar baru