Lebaran tahun ini memang merupakan sebuah episode kehidupan yang penting bagiku. Setelah selama Ramadhan aku memperoleh nikmat yang lebih baik dari pada bulan atau tahun sebelumnya, di ujung Ramadhan juga telah mendapatkan hadiah lebaran yang cukup berarti. Apalagi pada saat lebaran tahun rumahku kebagian ketempatan untuk kegiatan reuni keluarga besar dari nenek.
Bukan soal berkumpul dengan keluarga besar yang menjadikanku penting, tapi ternyata hubunganku dengan Pak Mulya menjadikan bagian dari pembicaraan para orang tua. Memang tidak semua pembicaraan menyakitkan karena disampaikan begitu lugas dan keras. Ada juga yang tetap mengenakkan dan santun, meski pada dasarnya memberikan masukan padaku untuk bisa mengubah diri.
“Wulan,” ucap bude Amah, kakak ipar ayahku ketika jalan-jalan bersamaku di sore hari.
“Apa bude,” jawabku
“Apa benar ada cerita tentang kamu seperti yang bude dengar kemarin,” tanya bude Amah.
Aku diam sambil memarkir sepeda motor di trotoar dekat alun-alun. Aku melirik bude Amah dengan hati yang kurang begitu enak.
“Ini mau ke mana bude,” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Ya, bude sekedar ingin tahu perkembangan tempat ini. Kan sudah hampir lima tahun bude ndak ke sini,” jawab bude Amah.
“Mana ya tempat yang bisa untuk santai,” lanjut bude Amah.
“Sana bude,” jawabku sambil menunjuk tempat dekat taman.
“Yo ke sana,” ajak bude Amah.
Kami berjalan beriringan sambil ngobrol ringan. Aku sesekali melirik pada bude Amah dengan penuh kehati-hatian.
“Yah, aku tetap akan mengalihkan pembicaraan jika bude Amah membuka kembali pembicaraan tentang aku,” bisikku dalam hati.
“Betapapun yang aku lakukan selama ini dianggap tidak wajar dan salah, aku akan tetap bertahan sampai aku sendiri dengan penuh keikhlasan mau berubah,” tekadku dalam hati.
“Bude, mbak Sika ke mana kok ndak ikutan reuni,” tanyaku pada bude Amah membuka pembicaraan sambil duduk berhadapan dan mulai menikmati makanan kecil.
“Ke keluarga Mas Imron sekalian persiapan matenan adiknya,” jawab bude Amah sambil menatapku.
“Kamu kok ndak segera berumahtangga, kan usiamu hanya beda dikit dengan mbak Sika. Selisihnya ndak ada satu tahun kan,” lanjut bude Amah.
Aku hanya diam sambil melirik pada bude Amah dan kemudian menundukkan pandangan. Bude Amah tampaknya juga tidak begitu menatapku karena mungkin tahu apa yang kurasakan.
“Waduh, rasanya aku akan terjebak,” bisikku dalan hati.
“Gimana, kamu masih tetap honorer ya?” tanya bude Amah selanjutnya.
“Iya bude!” jawabku singkat dengan menatap bude Amah dari dengan sudut mata.
“O...iya, Wulan. Kapan taman ini dibangun. Kok sudah kelihatan tertata,” tanya bude Amah sambil mengalihkan pembicaraan yang memang sejak awal terasa kurang santai.
“Sekitar dua tahun yang lalu bude,” jawabku dengan hati yang sedikit lega.
“Ah! Rasanya bude Amah akan bisa aku arahkan untuk tidak membicarakan pribadiku. Tapi aku juga harus tetap waspada dengan pembicaraan bude Amah, karena beliau punya tipe pandai menyeret pembicaraa ke arah yang dikehendaki,” bisikku dalam hati.
Bude Amah mulai bercerita macam-macam sambil mengajakku tertawa. Ya, pensiunan guru TK tetap aja bisa cerita seperti menghadapi anak kecil. Aku hanya banyak mendengar dan sesekali menyela.
Lama kelamaan pembicaraan bude Amah membandingkan film jaman dulu dengan tayangan sinetron yang berkembang sekarang. Aku mulai waspada dengan pembicaraannya.
“Sinetron sekarang ini yang diceritakan kebanyakan masalah rumah tangga. Kekerasan kek, selingkuh kek. Yang mesti beakhir dengan keretakan rumah tangga,” ungkap bude Amah.
“Mulai menggiringku,” bisikku dalam hati.
“Kan hanya sebuah sinetro bude,” jawabku menimpali
“Iya! Memang hanya sebuah sinetron. Tapi seorang penulis naskah kan juga terinspirasi dengan kenyataan di lapangan,” lanjut bude Amah.
Aku mulai terpancing dan akan terseret. Bude Amah juga mulai serius. Maka sebelum aku dipepet hingga ndaak bisa bergerak, lebih baik aku tanggapi dan aku buat liku-liku pembicaraan.
“Bude,” aku membuka kembali pembicaraan aku minum.
“Kalau bude hanya menikmati sinetron perselingkuhan dan berakhir dengan terceraiberaikannya rumah tangga, tapi aku punya cerita lain, bude,” ungkapku melanjutkan.
“Bude kan juga pernah dengar kisah Nabi Ibrahim dengan istri pertamanya, Sarah, yang kemudian Sarah menyuruh Ibrahim untuk menikahi Hajar sebagai istri kedua,” lanjutku menegaskan.
“Lha itu kan Nabi,” sela bude Amah.
“Lho! Tauladan kehidupan Nabi kan lebih baik dari pada sinetron,” lanjutku serius.
Bude Amah mulai terdiam. Aku menatap beliau dengan penuh keseriusan dan rasanya siap adu argumen selama beliau mampu meladeniku.
“Trus, cerita tentang kamu kemarin memang benar,” tanya bude Amah serius sambil manatapku tajam.
“Ya, bude. Benar !!” jawabku tegas
“Ada apa bude?” tanyaku menantang.
Bude Amah mulai ndak bisa berkata apapun dengan kejujuran jawabanku. Pembicaraan kami berhenti beberapa saat. Aku terus menatap wajah bude Amah, sementara beliau menatap kejauhan.
“Bude, mohon maaf ya. Seharusnya cerita hidup itu tidak di dengar sepotong-sepotong. Apalagi tiap potongan dihiasi dengan pendapat pribadi yang menyalahkan obyek dan membenarkan diri sendiri. Saya sebenarnya muak bude dengan bisik-bisik, tatapan mata menghina, apalagi yang agak keras dari sebagian keluarga. Maaf bude ya,” ungkapku dengan nada tinggi sambil menatap tajam bude Amah.
“Sekali lagi maaf bude. Sebenarnya lebih baik bude menelusuri terlebih dahulu biar bisa memberi saran dan pertimbangan yang tepat,” lanjutku makin menantang.
“Dah lah! Ndak usah emosi,” sahut bude Amah sambil menepuk tangan kananku.
“Dahlah. Apa kita pulang dulu. Besok bude kan masih belum kembali ke Magelang. Kita teruskan besok aja gimana,” lanjut bude Amah sambil tersenyum kecut.
“Ndak bude. Kalau bude masih tahan mendengarkanku, saya akan ceritakan sekarang juga. Toh cuaca serah, kita sudah sholat, dan sudah makan. Tapi kalau bude ndak mau mendengar, silakan bude pulang duluan, saya tak nongkrong di sini,” tantangku pada bude Amah.
Suasana agak tegang. Kami bertatapan mata. Tak ada senyum yang menghiasi pembicaraan kami. Entah aku marah atau tidak. Yang jelas batinku terusik. Akupun juga tidak lagi memperhitungkan apakah yang kusampaikan pada bude Amah menyinggung perasaan atau tidak.
“Oke .lah. Coba cerita seadanya,” jawab bude Amah dengan nada merendah
“Tapi bude, saya akan cerita lo ya. Jadi bude hanya mendengar dan jangan menyelingi perkataan apapun,” sahutku masih dengan nada tinggi.
“Ya! Bude tak cukup mendengarkan,” jawab bude Amah.
Kami sama-sama diam. Aku berusaha menurunkan emosiku dengan beberapakali mengambil nafas dan minum beberapa teguk air. Bude Amah pun mengikuti minum beberapa teguk air sambil menatapku.
Aku mulai bercerita. Dalam hal yang begitu penting, cerita kusampaikan begitu dramatis sehingga bude Amah tampak gemetar dan terkadang menitiskan air mata. Tidak ada yang kubuat-buat. Aku sampaikan saja apa adanya dan alhamdulillah seperti tanpa berfikir. Semua ceritaku adalah cerita suasana hati dan memang tidak mudah dicerna hanya dengan tangkapan nalar. Cerita suasana hati memang harus ditangkap dengan hati pula.
Aku banyak belajar dari Pak Mulya, dari istrinya, dan juga pernah bertemu dengan Nita , anak perempuannya yang masih mau kuliah saat itu. Mereka semua betul-betul mampu mengimbangi suasana hati. Mereka tidak marah meskipun seharusnya sangat marah. Dan khusunya Pak Mulya kalau pas marah dengan siapapun, beliau hanya melakukan tindakan yang lebih sopan sebagai jawaban kemarahannya.
Cerita suasana hati, sekali lagi memang hanya bisa ditangkap dengan hati. Apalagi bagi perempuan. Sebab tidak semua hal bisa dipecahkan dengan nalar.
Aku bercerita hampir empatpuluh lima menit. Bude Amah lebih banyak menunduk, kadang menitiskan air mata, dan sesekali menatapku.
“Bude, maaf ya. Ceritaku begitu panjang. Dan sekali lagi cerita ini hanya bisa didengarkan dan tidak bisa diperdebatkan. Kalau bude ingin memberi masukan dipersilakan. Tapi kalau seandainya masih perlu diendapkan dalam rasa besok kita masih ada waktu. Ini tadi pas aku cerita juga saya rekam , seandainya bude siap menikmati ulang. Nanti saya kirim ke hp bude,” ungkapku menutup cerita.
“Besok ajalah kita ngobrol lagi. Bagi orang tua jam segini sudah cukup malam. Kita pulang aja,” jawab bude Amah.
Sebenarnya aku mulai melepas ikatan cinta dengan Pak Mulya menjelang Ramadhan. Hadiah lebaran, kebaikan istri pak Mulya, tanpa menyuruhku untuk melepas ikatan telah memberi isyarat padaku untuk itu.
Aku tetap bisa dan boleh saja berhubungan dan terikat dengan Pak Mulya tapi kalau dihiasi nafsu memang tidak diperkenankan.
Kata-kata puitis Pak Mulya, sesuatu yang diberikan kepadaku, baik yang tulus maupun bercampur dengan kecenderungan kelki-lakiannya, kian lama kalau kutangkap sebenarnya mepakan sebuah proses yang begitu halus bagaimana harus menerima dan melepaskanku.
Aku menyadari bahwa melepas ikatan hati yang memang tertaut dengan ketulusan cinta dan kasih sayang tidak akan segampang melempar barang dari tangan. Apalagi kalu tidak ada alasan yang tegas untuk melepaskan.
“Tapi bagaimanapun beratnya, aku harus terus belajar melepas ikatan cinta kasihku pak Mulya. Seandainya toh kami masih saling berhubungan maka akan kuubah suasana hatiku dengan menganggap sebuah hubungan kerjasama biasa,” tekadku dalam hati.
“Ya, aku harus berjuang melawan diriku sendiri. Aku akan menutup telinga dengan berbagai komentar. Biar pelan insya Allah akan bisa aku selesaikan,” lanjutku menguatkan tekad.
“Pakai ini kamu kelihatan sangat anggun. Bude tadi hampir tak percaya kalau kamu,” puji bude Amah sambul merangkul pundakku ketika aku masih memakai mukena merah muda usai sholat dhuhur.
Aku hanya tersenyum sambil melihat tv yang telah dihidupkan bude Amah. Aku tak berkata apapun. Sementara bude Amah juga tersenyum sambil memandangi wajahku.
“Bude,” sapaku memecah keheningan di antara suara tv.
“Sebelum bude nanti pulang, akan kujawab rasa kekesalan atau rasa apasaja tentang aku,” lanjutku.
Bude Amah setengah memperhatikan sambil mengikuti acara tv. Aku menatap bude Amah dengan serius.
“Ya, terserah kamu aja. Bude sudah cukup mengerti dan bisa memberi pengertian pada yang lain,” sahut Bude Amah.
“Maaf bude ya, aku memang agak sensitif kalau hal-hal seperti itu dijadikan omongan. Aku merasa ndak enak juga,” lanjutku.
“Sebenarnya aku sudah bertekad untuk melepas ikatan hatiku dengan Pak Mulya. Tapi ndak bisa aku lakukan sekaligus. Aku berprinsip bahwa melepas ikatan tidak harus menghindar dan memutus silaturrahim. Apalagi membuat kecewa orang yang telah cukup berjasa bagiku,” sambungku menegaskan.
“Yang penting bagiku, cukup bude dan yang lain mendoakan. Sebab kata-kata belum tentu bisa menolongku,” tegasku kemudian.
“Sekali lagi bude, aku sudah mulai belajar. Aku sedang berusaha terus untuk menuju titik netral. Tapi jelas aku tidak sampai titik balik atau membenci. Terus terang pantang bagiku untuk berbuat seperti itu,” lanjutku serius.
“Sudahlah. Mudah-mudahan segera terselesaikan,” jawab Bude Amah sambil menepuk pahaku
Komentar
Tulis komentar baru