Lama atau cepatnya mengarungi lintas kehidupan bukan soal panjang atau pendeknya waktu yang digunakan. Tetapi ia tergantung dari dinamika suasana hati yang hadir kala seseorang memanfaatkan rentang waktu tersebut. Bahkan suasana hati bisa mengalahkan kondisi fisik dan suasana lingkungan fisik yang sangat menantang sekalipun.
Awal-awal bekerja memang terasa begitu lama, karena suasana komunikasi dengan pimpinan dan karyawan lain yang status pekerjaannya telah mapan belum terbina dengan baik. Awal-awal bekerja rasanya seperti hidup sendirian di dalam ruang pengap.
Suasana hatiku mulai sedikit lega setelah dari rumah Pak Mulya di akhir bulan pertama aku bekerja. Aku betul-betul merasakan suasana baru ketika Pak Mulya yang sebelumnya aku anggap paling menyebalkan ternyata berbalik seratus delapanpuluh derajat menjadi paling menyenangkan.
“Sorry ya, bulan lalu saya belum bisa komunikasi dengan baik. Bahkan seakan mengabaikan, sehingga membuat orang lain menjadi susah,” ungkap Pak Mulya sambil duduk di sampingku pada hari kedelapan bulan kedua.
“Ndak apa-apa pak, saya memaklumi karena ternyata waktu itu bapak sedang fokus pada persiapan sampai ujian tesis,” jawabku.
“Bahkan menurutku, Bapak ndak perlu minta maaf, karena saya merasakan apa yang telah Bapak berikan lebih dari sekedar memberi maaf,” lanjutku.
“Ah...! Sepertinya saya ndak memberikan sesuatu,” jawab Pak Mulya sambil senyum dan menatap mataku.
Kami sama-sama diam dan hanya saling manatap. Aku yang sebelumnya agak canggung menjadi lebih santai
“O ...ya. Sekarang sedang mengerjakan apa,” tanya Pak Mulya.
“Ndak mengerjakan apa-apa pak. Hanya lihat-lihat laporan sebelumnya. Karena saya masih belum begitu paham apa yang sebenarnya harus aku kerjakan, karena Pak Wiyono juga belum pernah memberi arahan,” jawabku.
“Ya, memang harus berproses dan tetap melalui tahap demi tahap. Ada keinginan belajar adalah kunci untuk mampu dan bisa melakukan sesuatu dengan baik,” tegas Pak Mulya.
“O...ya. Dah makan siang pa belum?” tanya Pak Mulya lebih lanjut.
“Belum pak. Tapi memang saya jarang makan siang pak, jadi ndak masalah,” jawabku.
“Em...em...em. Kalau saya minta bantuan bisa ndak ya,” tanya Pak Mulya sambil menatap tajam wajahmu.
“Kalau saya mampu insya Allah dengan senang hati saya bisa bantu pak,” jawabku
“Bantu apa ya, pak?” tanyaku.
“Tolong ambilkan pesanan di warung Bu Ana. Kiri jalan sekitar 500 m ke arah selatan dari kantor,” jawab Pak Mulya
“Ajak Mbak Nur yang baru masuk ruangan. Tinggal ambil, dah saya pesankan,” lanjut Pak Mulya menegaskan.
Tanpa harus basa-basi, kami berangkat dan segera kembali, karena nasi yang dipesan telah disiapkan.
Bukan sekedar makan siang yang memberi kesan dalam hati. Tapi suasana hati saat kami makan bertiga di ruang dapur kantor. Mbak Nur yang memang sajak awal kehadiranku di kantor itu termasuk juga yang cuek, dan sulit aku ajak berkomunikasi, akhirnya bisa lebih dekat. Suasana hati memang salah satu faktor menentu di dalam menjalani hidup.
Alhamdulillah, aku terus bisa berproses dan terus belajar untuk bisa menghadapi beban pekerjaan. Tanpa banyak kata, paling tidak sepekan dua kali Pak Mulya begitu telaten membimbingku agar dapat menjalankan tugas dengan cara cepat dan hasil yang tepat. Kemampuan dan ketrampilan yang aku miliki akhirnya dapat meningkatkan rasa percaya diri di dalam setiap menghadapi tugas.
Suasana hati memang penuh dinamika. Entah kenapa ketika sekitar delapan bulan aku senantiasa di dampingi Pak Mulya dalam menyelesaikan tugas dan disamping itu juga sering makan bersama di dapur kantor, muncul suasana lain dalam hatiku.
Ada rasa damai di hati ketika Pak Mulya ada di dekatku dan ada suasana rindu ketika kami tidak sedang bersama-sama.
Di kantor maupun di rumah aku akhirnya sering merasa gelisah. Padahal iapun tak pernah merayu, menyampaikan kata-kata yang membujuk, apalagi menyentuh. Ia tetap biasa-biasa saja dan menunjukkan diri sebagaimana teman ataupun orang tua.
Rasa rindu itu begitu kuatnya, sampai-sampai seringkali mengganggu tidur malamku. Padahal meski hanya sekedar dalam hati, mestinya tidak selayaknya hatiku terpikat, karena dia memang telah memiliki istri dan anak.
Aku mencoba belajar menahan diri meski aku sangat sulit mengalihkan dengan kegiatan lain. Lelaki yang hampir seusia ayahku itu benar-benar telah singgah di hatiku, meskipun aku sendiri belum tahu bagaimana dengan hatinya. Apakah sama ataukah memang aku yang seperti bertepuk sebelah tangan.
Aku jadi teringat pada sebuah tulisan tangan Pak Mulya yang ada selembar kertas yang pernah tertinggal di meja kerjanya sekitar dua bulan yang lalu.
“Bila benih telah engkau taburkan, nanti pada saatnya engkau akan melihat dia akan tumbuh mengasikkan. Seperti rasa simpatimu pada seseorang, nanti pada saatnya bisa jadi akan kau lihat tumbuh menjadi kasih sayang.”
Aku tidak tahu apa yang dia maksudkan dalam tulisan itu. Tapi yang jelas ada titik singgung dengan yang kurasakan. Rasa kasih sayang kepada Pak Mulya serasa tumbuh memenuhi hatiku. Bahkan kadang aku agak merasa cemburu dengan teman wanita sekerja yang tampak bigitu akrab dengannya.
Saat jam siang, usai dari lapangan, Pak Mulya seringkali aku panggil ke ruang admin untuk mengajari sesuatu meski sebenarnya aku sendiri sudah bisa melakukan. Ya..., ingin ditemani aja sambil bergurau ringan. Demikian juga bila ia sedang nongkrong santai di dapur kantor, aku seringkali menawari membuatkan kopi.
Rasa malu terhadap diri sendiri masih ada dalam hatiku. Aku terus berusaha agar apa yang kurasakan tidak begitu tampak, apalagi di hadapan orang lain. Namun sepandai menyimpan bangkai, akhirnya tercium juga.
Aku menyadari bahwa suasana hatiku memang tanpa telah mempengaruhi caraku berdandan sampai bertingkah laku. Akhirnya lambat laun ada juga sindiran dari teman-teman sekerja.
Di awal-awal aku memang bisa mencoba mengembalikan tingkahlaku ketika di kantor. Tetapi karena tidak bisa aku tepis secara sempurna, malah muncul kekacauan antara hati, fikiran, dan tingkah laku. Aku menjadi seperti sering bingung hingga tak mampu memecahkan masalah pribadi yang kecil sekalipun.
Meredam gejolak hati memang tak semudah yang disarankan orang lain. Untuk mengarahkan hati pada apa yang seharusnya dari apa yang aku alami memang perlu perjuangan khusus. Apalagi yang seharusnya aku lakukan rasanya memang begitu bertentangan dengan suara lirih dalam hatiku.
Bahkan ada yang begitu aneh aku rasakan ketika dengan sisa-sisa iman aku memohon pada Illahi untuk diberi jalan kebaikan dengan yang sedang aku alami.
Di atara sadar atau tidak sadar, pada suatu ketika usai sholat dhuhur aku seperti di bawa mimpi, aku tiba-tiba runduk bersujud di kaki Pak Mulya ketika dia sedang melalukan tahiyat akhir.
Aku terperangah, aku tidak mengerti, bahkan dalam hatiku selalu bertanya-tanya
“Mimpi, halusinasi, ataukah isyarat dari doa apa yang sedang aku alami.”
Namun aku sangat bersyukur bahwa setelah itu aku merasakan ketenangan. Desiran cinta kasih tetap ada dalam hatiku, tapi suasana hati beda dengan sebelumnya. Bila sebelumnya aku terus diterpa kegelisahan, kini yang kurasakan adalah keteduhan. Tingkahlaku dan dan dananku kembali seperti biasa. Bahkan ada keinginan kuat untuk belajar bersikap dan bertingkahlaku seperti apa yang Pak Mulya lakukan. Aku mulai kembali rutin puasa senin-kamis, mulai belajar sholat tepat waktu sebagaimana Pak Mulya lakukan.
Disamping itu, dalam kegiatan yang bersifat ringan dan praktis seperti membersihkan ruangan, menata dokumen, menata file, menyiram tanaman di sekitar kantor, dan sebagainya yang hampir tiap hari Pak Mulya lakukan juga aku ikuti.
“Terpaksa sedikit ndak apa-apa,” celetuk Pak Mulya sambil berdiri di sampingku ketika aku menyirami bunga di sore hari sebelum pulang kerja.
“He...he...he..., belajar Pak. Masak kalah dengan yang lebih senior,” jawabku.
“Malah rasanya kian terhibur dengan kegiatan seperti ini,” lanjutku sambil tersenyum dan mengerlingkan mata.
Dalam kesendirianku, terutama saat malam hari menjelang tidur, aku memang tetap agak sulit tidur. Meski tidak sampai membuat gelisah, suasana hati yang memang masih terisi dengan getar-getar rasan cita pada Pak Mulya, tetap membuat khayalku membumbung melampuai batas kewajaran.
Ada nyanyian yang menjadi favorit Pak Mulya yang sering diputar di computer kantor atau kadang disenandungkan, akhirnya juga begitu lekat di hatiku. Nyanyian Kasmaran dari Ebiet G. Ade.
sejak engkau bertemu lelaki bermata lembut
ada yang tersentak dari dalam dadamu
kau menyendiri, duduk dalam gelap
bersenandung nyanyian kasmaran
dan tersenyum entah untuk siapa
nampaknya kau tengah mabuk kepayang
kau pahat langit dengan angan-angan
kau ukir malam dengan bayang-bayang
jangan hanya diam kau simpan
dalam duduk termenung
malam yang kau sapa lewat tanpa jawab
bersikaplan jujur dan terbuka
tumpahkanlan perasaan yang sarat dengan cinta
yang panas bergelora
barangkali takdir tengah bicara
ia diperuntuntukkan buatmu
dan pandangan matanya memang buatmu
mengapa harus sembunyi dari kenyataan
cinta kasih sejati kadang datang tak terduga
bergegaslah bangun dan bermimpi
atau engkau akan kehilangan keindahan
yang tengah engkau genggam
anggap saja takdir tengah bicara
ia datang dari langit buatmu
dan pandangan matanya khusus buatmu
Entah karena sugesti yang membawa pada melambungnya angan ataukah pengaruh apa, yang jelas bila lagu itu aku senandungkan dapat menumbuhkan kedamaian.
Komentar
Tulis komentar baru