Skip to Content

Diam-diam Kuuntai Kasih II

Foto Cahyamulia

Lama atau cepatnya mengarungi lintas kehidupan bukan soal panjang  atau  pendeknya waktu  yang  digunakan. Tetapi ia tergantung dari dinamika suasana hati yang  hadir  kala seseorang  memanfaatkan rentang waktu tersebut. Bahkan suasana hati bisa mengalahkan kondisi fisik dan suasana lingkungan fisik yang sangat menantang sekalipun.

Awal-awal bekerja memang terasa begitu lama, karena suasana komunikasi dengan  pimpinan  dan  karyawan  lain yang  status pekerjaannya telah mapan belum terbina dengan baik. Awal-awal bekerja rasanya seperti hidup sendirian di dalam ruang pengap.

Suasana  hatiku  mulai  sedikit  lega  setelah dari rumah Pak Mulya di akhir bulan pertama aku bekerja. Aku betul-betul  merasakan suasana baru ketika Pak Mulya  yang  sebelumnya aku anggap paling menyebalkan ternyata berbalik seratus delapanpuluh derajat menjadi paling menyenangkan.

“Sorry ya, bulan lalu saya belum bisa komunikasi dengan baik. Bahkan  seakan mengabaikan, sehingga membuat orang lain menjadi susah,” ungkap Pak Mulya sambil duduk di sampingku  pada  hari kedelapan bulan kedua.

“Ndak apa-apa pak, saya memaklumi karena ternyata waktu itu bapak sedang fokus pada persiapan sampai ujian tesis,” jawabku.

“Bahkan  menurutku, Bapak ndak perlu minta maaf, karena saya merasakan  apa  yang  telah Bapak  berikan  lebih dari sekedar memberi maaf,” lanjutku.

“Ah...! Sepertinya saya ndak memberikan sesuatu,” jawab Pak Mulya sambil senyum dan menatap mataku.

Kami sama-sama diam dan hanya saling manatap. Aku yang sebelumnya agak canggung menjadi lebih santai

“O ...ya. Sekarang sedang mengerjakan apa,” tanya Pak Mulya.

“Ndak mengerjakan apa-apa pak. Hanya lihat-lihat laporan sebelumnya. Karena saya masih belum  begitu  paham  apa yang  sebenarnya harus aku kerjakan, karena Pak Wiyono juga belum pernah memberi arahan,” jawabku.

“Ya, memang harus berproses dan tetap melalui tahap demi tahap. Ada keinginan belajar adalah kunci untuk mampu dan bisa melakukan sesuatu dengan baik,” tegas Pak Mulya.

“O...ya. Dah makan siang pa belum?” tanya Pak Mulya lebih lanjut.

“Belum pak. Tapi  memang  saya  jarang  makan siang pak, jadi ndak masalah,” jawabku.

“Em...em...em. Kalau  saya  minta  bantuan  bisa ndak ya,” tanya Pak Mulya sambil menatap tajam wajahmu.

“Kalau saya mampu  insya Allah dengan senang hati saya bisa bantu pak,” jawabku

“Bantu apa ya, pak?” tanyaku.

“Tolong ambilkan  pesanan di warung Bu Ana. Kiri jalan sekitar 500 m ke arah selatan dari kantor,” jawab Pak Mulya

“Ajak  Mbak  Nur yang baru masuk ruangan. Tinggal ambil, dah saya pesankan,” lanjut Pak Mulya menegaskan.

Tanpa harus basa-basi, kami berangkat dan segera kembali, karena nasi yang dipesan telah disiapkan.

Bukan sekedar makan siang yang memberi kesan dalam hati. Tapi suasana hati saat kami makan bertiga di ruang dapur kantor. Mbak Nur  yang  memang  sajak awal  kehadiranku di kantor itu termasuk juga yang cuek, dan sulit aku ajak berkomunikasi, akhirnya bisa lebih dekat. Suasana hati memang salah satu faktor menentu di dalam menjalani hidup.

Alhamdulillah, aku  terus bisa berproses dan terus belajar  untuk bisa menghadapi  beban pekerjaan. Tanpa banyak kata, paling tidak sepekan dua kali Pak Mulya begitu telaten  membimbingku  agar dapat menjalankan tugas dengan cara cepat dan  hasil yang tepat. Kemampuan  dan  ketrampilan yang  aku  miliki akhirnya dapat meningkatkan rasa percaya diri di dalam setiap menghadapi tugas.

Suasana hati  memang  penuh  dinamika. Entah kenapa ketika sekitar delapan  bulan  aku  senantiasa di dampingi Pak Mulya dalam menyelesaikan  tugas  dan disamping itu juga sering makan bersama di dapur kantor, muncul suasana lain dalam hatiku.

Ada rasa damai di hati ketika Pak Mulya ada  di dekatku dan ada suasana rindu ketika kami tidak sedang bersama-sama.

Di kantor maupun di rumah aku akhirnya sering merasa gelisah. Padahal iapun tak pernah merayu, menyampaikan kata-kata yang membujuk, apalagi menyentuh. Ia tetap biasa-biasa saja dan menunjukkan diri sebagaimana teman ataupun orang tua.

Rasa rindu itu begitu kuatnya, sampai-sampai seringkali mengganggu tidur malamku. Padahal meski hanya sekedar dalam hati, mestinya tidak selayaknya hatiku terpikat, karena dia memang telah memiliki istri dan anak.

Aku mencoba belajar menahan diri meski aku sangat sulit mengalihkan dengan kegiatan lain. Lelaki yang hampir seusia ayahku itu benar-benar telah singgah di hatiku, meskipun aku sendiri belum tahu bagaimana dengan  hatinya. Apakah sama ataukah  memang aku yang seperti bertepuk sebelah tangan.

Aku  jadi  teringat  pada  sebuah  tulisan  tangan Pak Mulya  yang ada selembar kertas yang pernah tertinggal di meja kerjanya sekitar dua bulan yang lalu.

“Bila benih telah engkau  taburkan,  nanti  pada  saatnya engkau akan  melihat dia akan tumbuh  mengasikkan. Seperti  rasa simpatimu pada seseorang,  nanti  pada saatnya bisa jadi akan kau lihat tumbuh menjadi kasih sayang.”

Aku  tidak tahu apa yang dia maksudkan dalam tulisan itu. Tapi yang  jelas ada titik singgung dengan yang kurasakan. Rasa kasih sayang kepada  Pak Mulya serasa tumbuh memenuhi hatiku. Bahkan kadang aku agak merasa cemburu dengan teman wanita sekerja yang tampak bigitu akrab dengannya.

Saat  jam  siang, usai dari lapangan, Pak Mulya seringkali  aku panggil  ke ruang  admin untuk  mengajari  sesuatu meski sebenarnya aku sendiri sudah bisa melakukan. Ya..., ingin ditemani aja sambil bergurau ringan. Demikian juga bila ia sedang  nongkrong  santai  di dapur kantor, aku seringkali menawari membuatkan kopi.

Rasa malu terhadap diri sendiri masih ada dalam hatiku. Aku terus berusaha agar apa yang  kurasakan  tidak begitu tampak, apalagi di hadapan orang lain. Namun sepandai menyimpan bangkai, akhirnya tercium juga.

Aku menyadari bahwa suasana hatiku memang tanpa telah mempengaruhi caraku berdandan  sampai  bertingkah  laku. Akhirnya lambat laun ada juga sindiran dari teman-teman sekerja.

Di awal-awal aku memang bisa mencoba mengembalikan tingkahlaku ketika di kantor. Tetapi karena tidak bisa aku tepis secara sempurna, malah  muncul kekacauan antara  hati, fikiran, dan tingkah laku. Aku menjadi seperti sering bingung hingga tak mampu memecahkan masalah pribadi yang kecil sekalipun.

 Meredam gejolak hati memang tak  semudah yang disarankan orang lain. Untuk mengarahkan  hati  pada apa yang seharusnya dari apa yang aku alami memang perlu perjuangan khusus. Apalagi yang seharusnya aku lakukan rasanya memang begitu bertentangan dengan suara lirih dalam hatiku.

Bahkan ada yang begitu aneh aku rasakan ketika dengan sisa-sisa iman aku memohon pada Illahi untuk diberi jalan kebaikan dengan yang sedang aku alami.

Di atara sadar atau tidak sadar, pada  suatu  ketika usai sholat dhuhur aku  seperti di bawa mimpi, aku tiba-tiba runduk bersujud di kaki Pak Mulya ketika dia sedang melalukan tahiyat akhir.

Aku  terperangah, aku  tidak  mengerti, bahkan dalam hatiku selalu bertanya-tanya

“Mimpi, halusinasi, ataukah isyarat dari doa apa yang sedang aku alami.”

Namun aku sangat bersyukur bahwa setelah itu aku merasakan ketenangan. Desiran cinta kasih tetap ada dalam hatiku, tapi suasana hati beda dengan sebelumnya. Bila sebelumnya aku terus diterpa kegelisahan, kini yang kurasakan adalah keteduhan. Tingkahlaku dan dan dananku kembali seperti biasa. Bahkan  ada keinginan kuat untuk belajar bersikap dan bertingkahlaku seperti apa yang Pak Mulya lakukan. Aku  mulai kembali rutin puasa senin-kamis, mulai belajar sholat tepat waktu sebagaimana Pak Mulya lakukan.

Disamping itu, dalam kegiatan yang bersifat ringan dan praktis seperti  membersihkan  ruangan, menata dokumen, menata file, menyiram tanaman di sekitar kantor, dan  sebagainya yang  hampir  tiap hari Pak Mulya lakukan juga aku ikuti.

“Terpaksa  sedikit ndak apa-apa,” celetuk Pak Mulya sambil berdiri di sampingku ketika aku menyirami bunga di sore hari sebelum pulang kerja.

“He...he...he..., belajar  Pak. Masak kalah dengan yang lebih senior,” jawabku.

“Malah  rasanya  kian  terhibur dengan  kegiatan seperti ini,” lanjutku sambil tersenyum dan mengerlingkan mata.

Dalam  kesendirianku, terutama saat malam hari menjelang tidur, aku  memang  tetap agak sulit tidur. Meski tidak sampai membuat gelisah, suasana  hati  yang  memang  masih  terisi dengan getar-getar rasan cita pada Pak Mulya, tetap  membuat  khayalku  membumbung  melampuai batas  kewajaran.

Ada nyanyian  yang  menjadi  favorit Pak Mulya yang sering diputar di computer kantor atau kadang disenandungkan, akhirnya juga begitu lekat di hatiku. Nyanyian Kasmaran dari Ebiet G. Ade.

sejak engkau bertemu lelaki bermata lembut

ada yang tersentak dari dalam dadamu

kau menyendiri, duduk dalam gelap

bersenandung nyanyian kasmaran

dan tersenyum entah untuk siapa

nampaknya kau tengah mabuk kepayang

kau pahat langit dengan angan-angan

kau ukir malam dengan bayang-bayang

jangan hanya diam kau simpan

dalam duduk termenung

malam yang kau sapa lewat tanpa jawab

bersikaplan jujur dan terbuka

tumpahkanlan perasaan yang sarat dengan cinta

yang panas bergelora

barangkali takdir tengah bicara

ia diperuntuntukkan buatmu

dan pandangan matanya memang buatmu

mengapa harus sembunyi dari kenyataan

cinta kasih sejati kadang datang tak terduga

bergegaslah bangun dan bermimpi

atau engkau akan kehilangan keindahan

yang tengah engkau genggam

anggap saja takdir tengah bicara

ia datang dari langit buatmu

dan pandangan matanya khusus buatmu

 

Entah  karena sugesti yang  membawa  pada  melambungnya angan ataukah pengaruh apa, yang jelas bila lagu itu aku senandungkan dapat menumbuhkan kedamaian.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler