Skip to Content

Diam-diam Kuuntai Kasih IV

Foto Cahyamulia

Dua tahun sudah kujalani sebagai tenaga honorer di intansi pemerintah dengan gaji masih di bawah UMR. Untungnya penempatanku di instansi tingkat kecamatan, jadi suasana kerja terasa lebih santai daripada  yang di tingkat kabupaten. Kepala kantor kami, Pak Wiyono, yang begitu cuek dan formalistik kini telah pensiun. Aku agak bisa bernafas lega karena Pak Yono sebagai kepala yang baru lebih terasa rileks dan komunikatif. Apalagi begitu akrab dengan Pak Mulya yang selama ini bisa sebagai solusi dan aku anggap pemandu utama dalam melaksanakan tugas keseharian. Disamping itu ketrampilanku dalam mengerjakan berbagai tugas yang dibebankan juga sudah mampu aku kuasai.

Ada satu hal yang terasa agak kaku dengan kepemimpinan Pak Yono, yaitu tingkat kedisiplinan tugas sesuai dengan tupoksi masing-masing. Meskipun hal tersebut sebenarnya  juga  merupakan hal yang wajar dan memang seharusnya seperti itu, tapi terkadang juga ada kendala dalam hal  komunikasi dengan sesama rekan kerja yang lain. Apalagi aku sebagai admin sendirian sedangkan yang lain melaksanakan tugas di lapangan. Sementara Pak Yono sendiri  jika aku tanya masalah teknis pengerjaan juga masih kurang mumpuni karena keterbatasan dalam penguasaan IT.

“Pak mohon maaf, untuk mengerjakan laporan seperti ini gimana agar lebih cepat dan akurat,” tanyaku pada Pak Yono suatu ketika.

“Lho, biasanya gimana,” tanya balik Pak Yono.

“Ini  yang  kemarin  kami ikut pelatihan, tapi juga masih belum begitu paham pak,” tegasku.

“Coba  nanti tanya ke teman-teman lain yang barangkali ada yang lebih paham.  Kalau  dulu, biasanya  hal-hal  seperi itu yang cepat memahani Pak Mulya. Coba  nanti  kita belajar  padanya.  Atau  langsung aja ke beliau setelah kembali dari lapangan,” lanjut Pak Yono.

“Bapak aja yang menyampaikan, agar lebih formal dan bisa diketahui oleh yang lain kalau Pak Mulya mendapat tugas untuk mendampingi admin,” sahutku.

“Baik, kalau begitu kalau ndak begitu mendesak besok pagi saja saya sampaikan saat koordinasi,” sambung Pak Yono.

Hatiku kembali merasa berbunga-bunga karena kesendirianku di ruang admin akan sering ada yang mendampingi. Lebih ceria lagi karena ada kesempatan tetap sering  berdampingan dengan orang  yang  lekat juga di hati. Dan  lebih aman lagi karena Pak Mulya mendampingiku atas perintah kepala kantor.

“Yah! Tapi aku harus berusaha keras untuk menahan diri agar semua berjalan cukup wajar dan biasa saja,” tekadku dalam hati.

“Wulan,” sapa  Pak Mulya suatu  siang  ketika kami sedang berdua di ruang admin.

“Apa pak,” jawabku cepat sambil menatap  Pak Mulya.

“Selain dari  honor  yang  kamu terima, adakah  pendapatan lain?” tanya Pak Mulya.

“Belum pak,” jawabku.

“Saya  kan punya bisnis online dan saat ini agak kewalahan membuat produk. Kalau mau, saya ajari  dan kemudian saya yang memasarkan. Atau nanti kalau jaringan dah makin  luas langsung dipasarkan sendiri,” lanjut Pak Mulya.

“Apa itu pak?” tanyaku penasaran.

“Saya kan buat bunga-bunga meja untuk perkantoran dan rumah tangga. Dan  saat  ini  permintaan dari luar daerah makin  ramai,” jawab Pak Mulya.

“Tapi makin sibuk lho ya. Mungkin bisa jadi nanti hanya punya sedikit waktu untuk istirahat,” lanjut Pak Mulya.

“Ndak apa-apa Pak. Malah nanti saya bisa juga melibatkan adik saya sekalian bantu meringkankan biaya pendidikan,” jawabku lebih lanjut dengan penuh semangat.

“Alhamdulillah, ada pintu terbuka untuk bisa menambah penghasilan. Mudah-mudah benar-benar merupakan jalan rizki yang barokah,” syukurku dalam hati.

Tiga bulan pertama aku hanya numpang  pemasaran. Dan setelah itu Pak Mulya memberiku ijin untuk memperluas pemasaran sendiri.

Beberapa teknik dan trik dalam kunci bisnispun diberikan oleh Pak Mulya dengan sepenuhnya. Ilmu dan ketrampilan yang dimiliki ditularkan begitu sempurna sehingga aku anggap cara seperti itu merupakan cara yang cukup baik dalam membantu orang lain untuk bisa menolong dirinya sendiri.

Aku juga merasakan  betapa ketulusan Pak Mulya dalam menuntunku  agar aku bisa lebih  mandiri dalam  melaksanakan tugas rutin di kantor maupun di luar.

“Dalam bisnis memang ada yang namanya persaingan. Tapi agar semua bisa hidup dan berkembang, jangan dipersepsi bahwa orang yang memiliki produk yang sama adalah pesaing yang harus dikalahkan. Sekali-kali jangan,” ungkap Pak Mulya memberiku ketrampilan mental suatu ketika saat aku diajak makan bersama di luar hari kerja.

 “Sebab bila kita sudah  memiliki  mental seperti itu malah kita yang akan  mati. Kita yang akan stress mengahadapi pasar,” tegasnya melanjutkan

“Tanamkan dalam diri kita bahwa  mereka adalah mitra yang harus berjalan bersama-sama. Kalau kita sudah punya mental seperti itu insya Allah bila saatnya pasaran sepi, segera akan memiliki kreasi baru yang bahkan bisa menghasilkan income lebih tinggi,” jelas Pak Muya.

Ya, saat itu aku hanya mendengarkan dan akan mencoba belajar membangun sikap mental seperti itu.

Bunga-bunga meja, itulah sebuah kreasi yang  membuka pintu-pintu kreasiku berikutnya. Dengan mulai belajar berbisnis, bukan hanya mendapatkan tambahan income. Tapi yang lebih penting adalah dapat menambah rasa percaya diri

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler