Namaku Wulan. Aku terlahir dari keluarga sederhana dalam lingkugan yang sering dilanda banjir di tengah perkotaan. Kondisi lingkungan dan keadaan ekonomi keluarga memang bukan merupakan penghalang mental untuk hidup setara dengan tetangga dan teman-teman yang kondisinya lebih baik. Sebab sejak kecil kedua orangtuaku telah mengajarkan hidup yang begitu merdeka meskipun dalam kondisi yang dianggap kurang beruntung oleh orang lain.
Ada pesan yang begitu melekat dalam sanubari dan mempengaruhi langkah hidupku selanjutnya. Kala itu lingkungan kami tengah di rendam banjir sedang usiaku mulai memasuki remaja awal. Saat semua warga bisa berbuat apa-apa, terutama tidak bisa menyiapkan makan karena peralatan dapur terendam. Ayahku tiba-tiba menyampaikan ungkapan di hadapan kami sekeluarga.
“Sekarang di lingkungan ini kita semua sama. Kedinginan, kelaparan, dan ndak bisa melakukan apapun. Yang kaya, yang miskin, dan yang tengah-tengah, mau makan saja semua akan tergantung dari bantuan orang yang di luar sana.”
“Kita semua juga ndak bisa hidup sendiri, tapi harus bekerjasama. Di antara kita harus ada relawan yang bisa menolong orang yang lebih lemah,” lanjut ayahku.
Kami terdiam sambil menahan dingi dan lapar. Irma, adaiku yang terkecil duduk di pangkaun ibuku. Ayahku terdiam dan belum lagi menyampaikan sesuatu.
“Terus gimana yah kita?” tanyaku.
“Ayah akan merakit tiga batang pisang di belakang rumah itu untuk membuat sampan sederhana dan nanti akan kita gunakan membantu mengambil nasi bungkus di luar lingkungan untuk keluarga kita dan warga yang bisa kita jangkau,” jawab ayah.
“Nanti kau Wulan dan Rowi kakakmu ikut ayah jadi relawan. Sedangkan ibukmu bersama nenek dan si kecil ada di rumah,” tegas ayah sambil beranjak meninggalkan kami.
Sampan yang dirakit ayah telah jadi dan siap kami gunakan. Aku dan Kak Rowi naik di atas sampan sedangkan ayah berjalan di rendaman banjir sambil mendorong dan mengarahkan untuk melayani keluarga dan warga sekitar mengambilkan nasi bungkus di pos layanan bantuan banjir yang berada sekitar limaratus meter.
Saat istirahat sambil menikmati nasi bungkus, ayahku menyampaikan kata mutiara lagi. “Terutama untuk Rowi dan Wulan yang mulai beranjak dewasa, dari kegiatan yang telah kita lakukan, ayah akan mengambil intisari untuk bisa dijadikan renungan.”
“Apa yah?” tanya kak Rowi.
“Gini....... Dalam mengarungi hidup ini, kapanpun dan dimanapun, kita perlu melandasi dengan dua hal, yaitu akhlaqul karimah dan kecerdasan” jawab ayah.
Aku belum bisa mengerti dan hanya diam sambil menatap mata ayah yang begitu wibawa.
“Contoh sederhana yang telah kita lakukan. Kita yang telah memiliki kerelaan diri untuk membantu sesama. Dan sebagian anggota keluarga yang di rumah, merelakan kita untuk menjadi relawan. Ini salah satu wujud dari akhlaqul karimah. Sedangkan merakit batang pisang untuk kita jadikan sampan adalah sebuah wujud kecerdasan agar kita bisa mengatasi masalah,” lanjut ayah menegaskan.
“Sekali lagi, akhlaqul karimah dan kecerdasan sangat kita perlukan dalam mengarungi gelombang kehidupan,” tegas ayah.
Akhlaqul karimah dan kecerdasan, itulah yang mempengaruhi perjalanan hidupku selanjutnya. Kalimat itu membentuk mentalku yang begitu merdeka dalam bergaul dengan siapapun dan di manapun.
Semangat menatap kehidupan seperti tercerahkan. Keminderan karena kondisi keluarga yang sering mendapat bully dari teman-temanku mulai kecil, sirna dengan seketika.
Pokoknya sejak itu, alhamdulillah hidupku merasa merdeka dan seperti tiada beban. Ahklaqul karimah dan kecerdasan, itulah mutiara pembentuk diriku ketika aku memasuki remaja awal. Dan dari bekal itulah kreativitasku mulai muncul dan mudah terbina.
Melintasi perjalanan hidup memang penuh tantangan dan harus melalui liku-liku. Selain itu, tiap orang di samping memiliki kelebihan juga memiliki kekurangan. Bahkan dalam episode-episode tertentu ketika melalui tahapan perubahan mesti ada tantangan berat yang harus dinikmati. Dan tantangan-tantangan itu terutama adalah tantangan mental dalam menghadapi sebuah perubahan.
Sikap mental yang kumiliki dalam menghadapi setiap perubahan episode perjalanan hidup, alhamdulillah memang bisa dengan mudah aku hadapi dengan perjuangan hati. Disamping itu ayahku tetap setia memberikan untaian mutiara kehihiduan yang bisa menguatkan mentalku ketika aku menghadapi masalah.
Tapi ada hal yang menjadi kekuranganku. Aku tidak memiliki pengalaman belajar memadu cinta dengan lain jenis di saat usia remajaku. Aku lebih banyak terfokus untuk berjuang bersama keluarga untuk meningkatkan status sosial dengan sekolah dan membantu berkerja.
Aku baru menyadari kemudian, bahwa belajar merasakan cinta juga diperlukan. Karena disitulah kelembutan hati dan tata pergaulan menjadi sebuah tantangan nyata yang harus dialami.
Tapi itulah perjalananku. Dan mulai aku duduk di bangku SMP, SMA, bahkan sampai selesai kuliahpun tidak merasakan sebuah kesepian dengan tidak belajar memadu cinta dengan lain jenis.
Kesibukanku dengan belajar membantu sesama, mengembangkan kreativitas dalam berbagai komunitas, juga membantu meningkatkan status ekonomi keluarga membuatku tetap hidup dengan penuh semangat dan tidak merasakan sebuah kesepian. Di samping itu, akupun tetap mampu menjaga diri dan tidak larut dengan dunia khayal dengan keterbatasanku bergaul dengan lain jenis. Sebab banyak teman-teman sebayaku, terutama dari lingkunganku, yang tidak melanjukan pendidikan formalnya karena terlena dengan bermain cinta.
Ada yang situasi yang menghentak ketika aku memasuki dunia kerja. Aku belajar bekerja sebagai seorang tenaga honorer pada sebuah instansi pemerintah dan ditugaskan sebagai admin.
Situasi memang jauh berbeda dengan pola kehidupanku sebelumnya. Di intansi yang kuterjuni yang ada hanyalah sebuah perintah dari atasan yang kadangkala juga sulit aku pahami. Komunikasi dengan teman-teman kerja juga begitu terbatas karena semuanya lebih banyak bekerja di lapangan. Belum lagi ketika awal memasuki dunia kerja yang kudapati adalah seorang kepala yang begitu kaku serta kurang komunikatif.
Aku mulai merasakan sebuah kesepian. Mentalku agak terguncang. Tapi aku terus berusaha untuk merapkan untaian mutiara yang telah diajarkan ayahku dan menjadi begian hidupku, ‘akhlaqul karimah dan kecerdasan’.
“Situasi bagaimanapun insya Alloh akan bisa aku urai dengan akhlaqul karimah dan kecerdasan,” tekadku dalam hati.
“Sepiku di kursi kerja ini, harus segera aku enyahkan. Dan aku harus menyelesaikan dengan secepatnya,” begitu aku menguatkan tekadku.
Tekad untuk mengenyahkan rasa sepi yang telah menemaniku hampir tiga minggu di kursi kerja, telah memberiku semangat untuk belajar mendekati karyawan lain yang kesemuanya hampir tiap hari kerja di lapangan. Apalagi aku tugaskan oleh kepala kantor untuk meminta data lapangan yang harus dikompulir setiap akhir bulan.
Aku dekati satu persatu ke meja kerja dari sebelas karyawan di ruang yang bersebelahan dengan ruang kerjaku.
Ada yang sempat menggelitik perasaanku ketika ada seorang karyawan nampak begitu cuek. Dia adalah Pak Mulya. Pria yang hampir seusia ayahku itu nampak begitu paling cuek dan bahkan mengesankan sedikit angkuh.
Pak Mulya memang nampak begitu rajin di depan laptopnya sendiri, tapi hanya sebentar-sebentar dan mesti terus menghilang. Selama hampir tiga minggu aku bertugas, masih dua kali ketemu, yaitu saat berkenalan dan saat aku menanyakan bahan laporan.
Jangankan padaku, kepada kepala kantor pun dia nampak begitu mengabaikan. Namun anehnya dari data di computer yang aku telusuri, laroparan dan catatan kegiatan yang dia lakukan paling rapi dan mudah untuk ditelusuri.
“Ini tantangan bagiku,” bisikku dalam hati sambil sedikit merasakan pusing di atas kursi kerjaku.
Sampai dua hari jelang kompulasi laporan harus selesai, Pak Mulya belum menyampaikan data dan malah dia ndak muncul sama sekali di kantor. Tanya ke teman-teman yang lain juga tidak bisa menajwab.
“Mbak Wulan, besok pagi laporan mau saya tandatangani, karena siang saya ada kegiatan di luar,” ungkap Pak Wiyono Kepala Kantor siang itu.
“Ya pak,” jawabku.
Sampai sore hari aku tak bisa menguhubungi Pak Mulya via tetepon. Sambil termenung kuingat pesan ayahku bahwa di nama saja dan kapan saja masalah dapat diatasi dengan akhlaqul karimah dan kecerdasan.
Bahkan nenekku juga pernah menyampaikan bahwa bila kita tidak menghadapi masalah, maka hidup akan menjadi sepi.
“Yabenar, mungkin Allah sedang mengujiku dan memberiku kesempatan untuk memberikan pemahaman apa yang pernah disampaikan nenek. Dengan begini aku tak lagi merasa sepi, meski yang melepas kesepianku adalah masalah,” bisikku dalam hati sambil menarik nafas dalam-dalam.
“Yah ... ndak apa-apa, tetap akan kuusahakan tugasku selesai saat besok pagi ditandatangani kepala kantor,” bisikku dalam hati menguatkan tekad.
Beberapa menit sebelum jam pulang, sehari sebelum akhir bulan itu, atau akhir bulan di bulan pertama aku bertugas, Pak Wiyono bertanya, “Gimana mbak laporannya, besok pagi bisa saya tandatangani ya?”
“Insya Allah bisa pak. Ini nanti saya selesaikan. Saya tak pulang agak lambat,” jawabku.
“Ya...jangan sampai ndak selesai,” tegas Pak Wiyono.
“Baik Pak,” jawabku.
“Sekali lagi, aku harus cari cara yang cerdas dan menerapkan akhlaqul karimah untuk bisa menyelesaikan tugas,” tekadku dalan hati
Sebenarnya aku agak pusing juga karena Pak Mulya sejak pagi ndak bisa dihungi via hp.
“Jika sampai sekitar setelah 10 menit jam pulang Pak Mulya ndak bisa aku hubungi, maka harus kucari ke rumahnya. Toh tidak begitu jauh, hanya sekitar dua kilometer,” tekadku dalam hati.
Meski agak menjengkelkan, tapi masalah seperti itu sempat membuat aku tidak kesepian. Fikiranku dan hatiku serasa hidup kembali.
Sesuai dengan rencanaku, aku langsung meluncur ke rumah Pak Mulya setelah 10 menit jam pulang dengan tanpa memberitahu terlebih dahulu.
Meski agak jengkel aku berusaha untuk santai dan tersenyum ketika keluar kantor menuju rumahnya. Demikian juga ketika tanya-tanya tetangga sekitar tentang rumahnya. Maklum aku belum tahu persis rumahnya, dan hanya tahu dari data alamat yang ada di kantor.
Sesampai di rumahnya aku kembali dibuat agak pusing, karena Pak Mulya juga belum ada di rumah. Tapi alhamdulillah ada istrinya yang menyambut dengan ramah.
“Dari kantor ya mbak,” tanya istri Pak Mulya.
“Iya bu,” jawabku.
“Ini tadi ayahnya ujian tesis, dan ndak bisa dihubungi. Tadi pesannya klo sudah selesai akan telephon,” lanjut istri Pak Mulya.
“O...gitu bu. Makanya saya hubungi sejak pagi ndak bisa,” jawabku.
“Jadwalnya kelihatannya sampai jam 4 sore ini. Jadi insya Allah sebentar lagi selesai. Dan jika terus pulang sampai rumah hampir jam 5 sore,” jelas istri Pak Mulya
“Gimana, ditunggu atau ada pesan,” lanjutnya sambil tersenyum.
“Ditunggu boleh ya bu, soalnya penting. Saya harus membuat laporan dan dari Pak Mulya datanya belum masuk,” tanyaku menegaskan.
“Boleh-boleh! Malah lebih baik ditunggu, dari pada nanti via telephon tidak jelas,” jawab istri Pak Mulya.
“ Tapi agak lama lo ya...sekitar 1 jam lagi,” lanjut istri Pak Mulya.
“Ditunggu di ruang perpus aja ya sambil baca-baca, biar ndak gelisah,” tegasnya sambil mempersilakan aku ke ruang perpus di depan.
Seperti tanaman yang baru diterpa terik matahari dan kemudian tersiram air. Perpustakaan Pak Mulya yang terta rapi dengan berbagai cakupan sumber ilmu dapat meredam kesepian dan kegelisahanku, meski sebenarnya semula aku terpaksa harus berada di ruangan itu.
Ada tulisan tangan yang terpampang di depan meja baca, yang kian membuatku terhibur. Entah itu puisi atau apa. Tapi aku sangat terkesan dengan tulisan itu. Entah itu buah pikiran Pak Muya sendiri atau di ambil dari mana. Tapi yang jelas itu tulisan tangan Pak Mulya.
ruang ini sepi
buku-buku ini membisu
tapi jika engkau mau bersahabat
maka engkau akan dapati keramaian
dari ruang sepi inilah engkau mengembara
melampaui batas-batas cakrawala
dari buku-buku yang membisu
engkau akan bisa membina kalbu
Sebuah untaian yang kian membuat lupa pada detik-detik sebelumnya yang mebuatku begitu gelisah dan memusingkan. Dan alhamdulillah tanpa terasa dan tanpa kuketahui kapan datangnya, Pak Mulya tiba-tiba sudah ada didekatku.
“Asyik,” ungkap Pak Mulya yang membuat aku agak terkejut.
“Tadi telepon-telepon terus ya! Apa..., tanya data bahan laporan,” tanya Pak Mulya.
“Iya Pak, katanya besok pagi mau ditandatangani Pak Wiyono dan harus selesai sore ini,” jawabku
“Saya juga bawa laptop kantor dan kalau boleh sekalian saya selesaikan di sini,” lanjutku menegaskan.
“Coba nama, yang lain pa udah masuk,” tanya Pak Mulya.
Sambil membuka laptop dan file yang telah kusiapkan kutunjukkan pada Pak Mulya, dan memang tinggal ia sendiri yang belum memasukkan data. Padahal kegiatan yang ditanganinya lebih banyak dari yang lain.
“Dah gini aja, dari pada saya mendikte, lebih baik saya masukkan sendiri. Sebab sebagian masih dalam otak, tidak saya tulis,” tegas Pak Mulya.
“Sambil nunggu, kamu ikut makan aja di belakang. Dah disiapkan istri saya,” ungkap pak Mulya.
“Ndak Pak, terimakasih,” jawabku.
“Kalau ndak mau malah ini ndak saya kerjakan. Pilih mana!,” gertak Pak Mulya.
“Ya pak kalau gitu,” jawabku.
Aku segera meningalkan perpus menuju ruang makan yang tersekat dari dapur.
“Ayo mbak sini! Makan seadanya,” suruh istri Pak Mulya.
“Ya Bu,” jawabku sambil menuju meja makan.
Ya...dasar memang dah terlalu lapar dan agak pening, tanpa mempertimbangkan apapun langsung makan aja.
Belum selesai makan Pak Mulya menghampiriku, dan berkata, “Dah selesai, malah langsung tak print.”
“Kok cepet sekali pak,” sahutku.
“Ya kapan-kapan aja tak kasih teknis untuk bisa bekerja lebih cepat.” jawab Pak Muya.
Alhamdulillah, dari peristiwa sesingkat itu telah memberiku banyak pelajaran. Akhlaqul karimah dan kecerdasan keluarga Pak Mulya juga aku dapati dan mampu memberi solusi.
Untaian kata yang terpampang di perpustakaan pribadi Pak Mulya juga menambah bahan referensi baru dalam memperkaya pertimbangan langkah dalam menjalani setiap episode kehidupan.
Sepiku di kursi kerja yang hampir satu bulan ku jalani seolah sirna seketika. Kejengkelanku pada Pak Mulya hilang seketika dengan sambutannya yang ramah serta membantu memecahkan masalah. Sepertihalnya rintik hujan yang menerpa tanaman layu yang baru saja diterpa dentuman sinar matahari, aku serasa hidup kembali dan terasa lebih segar. Bahkan dalam hatiku secara otomatis telah memaafkan Pak Mulya yang sebelumnya membuatku jengkel.
Komentar
Tulis komentar baru