Skip to Content

Diam-diam Kuuntai Kasih I

Foto Cahyamulia

Namaku Wulan. Aku terlahir dari keluarga sederhana dalam lingkugan yang sering dilanda banjir di tengah perkotaan. Kondisi lingkungan dan keadaan ekonomi keluarga memang bukan merupakan penghalang mental untuk hidup setara dengan tetangga dan teman-teman yang kondisinya lebih baik. Sebab sejak kecil kedua orangtuaku telah mengajarkan hidup yang begitu merdeka meskipun dalam kondisi yang dianggap kurang beruntung oleh orang lain.

Ada pesan yang begitu melekat dalam sanubari dan mempengaruhi langkah hidupku selanjutnya. Kala itu lingkungan kami  tengah di rendam banjir sedang usiaku mulai memasuki remaja awal. Saat semua warga bisa berbuat apa-apa, terutama tidak bisa menyiapkan makan karena peralatan dapur terendam. Ayahku tiba-tiba menyampaikan ungkapan di hadapan kami sekeluarga.

“Sekarang di lingkungan ini kita semua sama. Kedinginan, kelaparan, dan ndak bisa melakukan apapun. Yang kaya, yang miskin, dan yang tengah-tengah, mau makan saja semua akan tergantung dari bantuan orang yang di luar sana.”

“Kita semua juga ndak bisa hidup sendiri, tapi harus bekerjasama. Di antara kita harus ada relawan yang bisa menolong orang yang lebih lemah,” lanjut ayahku.

Kami terdiam sambil menahan dingi dan lapar. Irma, adaiku yang terkecil duduk di pangkaun ibuku. Ayahku terdiam dan belum lagi menyampaikan sesuatu.

“Terus gimana yah kita?” tanyaku.

“Ayah akan  merakit tiga batang  pisang di belakang  rumah itu untuk membuat sampan sederhana dan  nanti akan kita gunakan membantu mengambil nasi bungkus di luar lingkungan untuk  keluarga  kita dan warga yang bisa kita jangkau,” jawab ayah.

“Nanti kau Wulan dan Rowi kakakmu ikut ayah jadi relawan. Sedangkan  ibukmu  bersama  nenek dan  si kecil ada di rumah,” tegas ayah sambil beranjak meninggalkan kami.

Sampan yang dirakit ayah telah jadi dan  siap kami gunakan. Aku dan  Kak Rowi  naik di atas sampan sedangkan ayah berjalan di rendaman banjir sambil  mendorong dan  mengarahkan untuk melayani keluarga dan warga sekitar  mengambilkan  nasi bungkus di pos layanan bantuan banjir yang berada sekitar limaratus meter.

Saat istirahat sambil menikmati nasi bungkus, ayahku menyampaikan kata mutiara lagi. “Terutama untuk Rowi dan Wulan yang mulai beranjak dewasa, dari kegiatan yang telah kita lakukan, ayah akan mengambil intisari untuk bisa dijadikan renungan.”

“Apa yah?” tanya kak Rowi.

“Gini....... Dalam  mengarungi  hidup ini,  kapanpun dan  dimanapun, kita perlu  melandasi dengan dua hal, yaitu akhlaqul karimah dan kecerdasan” jawab ayah.

Aku belum bisa mengerti dan hanya diam  sambil menatap mata ayah yang begitu wibawa.

“Contoh  sederhana yang telah kita lakukan. Kita yang telah memiliki kerelaan diri untuk membantu sesama. Dan sebagian  anggota keluarga yang  di rumah,  merelakan kita untuk menjadi relawan. Ini salah satu wujud dari akhlaqul karimah. Sedangkan merakit batang pisang untuk kita jadikan sampan adalah sebuah wujud kecerdasan agar kita bisa mengatasi masalah,” lanjut ayah menegaskan.

“Sekali lagi, akhlaqul  karimah dan kecerdasan sangat  kita perlukan dalam mengarungi gelombang kehidupan,” tegas ayah.

Akhlaqul karimah dan kecerdasan, itulah yang mempengaruhi perjalanan hidupku selanjutnya. Kalimat itu membentuk mentalku yang begitu merdeka dalam bergaul dengan siapapun dan di manapun.

Semangat menatap kehidupan seperti tercerahkan. Keminderan karena  kondisi  keluarga yang  sering  mendapat  bully dari teman-temanku mulai kecil, sirna dengan seketika.

Pokoknya sejak itu, alhamdulillah hidupku merasa merdeka dan seperti tiada beban. Ahklaqul karimah dan kecerdasan, itulah mutiara pembentuk diriku ketika aku memasuki remaja awal. Dan dari bekal itulah kreativitasku mulai muncul dan mudah terbina.

Melintasi perjalanan hidup memang penuh tantangan dan  harus melalui liku-liku. Selain itu, tiap orang di samping memiliki kelebihan juga memiliki kekurangan. Bahkan dalam episode-episode tertentu  ketika melalui  tahapan perubahan mesti ada tantangan berat yang  harus dinikmati. Dan tantangan-tantangan itu terutama adalah tantangan mental dalam menghadapi sebuah perubahan.

Sikap  mental yang kumiliki dalam menghadapi setiap perubahan episode  perjalanan  hidup, alhamdulillah memang bisa dengan mudah aku hadapi dengan perjuangan hati. Disamping itu ayahku tetap setia memberikan  untaian  mutiara kehihiduan yang bisa menguatkan mentalku ketika aku menghadapi masalah.

Tapi ada hal yang menjadi kekuranganku. Aku tidak memiliki pengalaman  belajar  memadu  cinta dengan  lain  jenis di saat usia remajaku. Aku lebih banyak terfokus untuk berjuang bersama keluarga untuk  meningkatkan  status sosial dengan sekolah dan membantu berkerja.

Aku baru menyadari kemudian, bahwa belajar  merasakan cinta juga diperlukan. Karena disitulah kelembutan hati dan tata pergaulan menjadi sebuah tantangan nyata yang harus dialami.

Tapi itulah perjalananku. Dan mulai aku duduk di bangku SMP, SMA, bahkan sampai selesai  kuliahpun  tidak  merasakan sebuah kesepian dengan tidak belajar memadu cinta dengan lain jenis.

Kesibukanku dengan  belajar  membantu  sesama,  mengembangkan kreativitas dalam  berbagai  komunitas, juga  membantu meningkatkan status ekonomi keluarga membuatku tetap hidup dengan penuh semangat dan tidak merasakan sebuah kesepian. Di samping itu, akupun tetap mampu  menjaga diri dan tidak  larut dengan dunia khayal dengan keterbatasanku bergaul dengan lain jenis. Sebab banyak teman-teman sebayaku, terutama dari  lingkunganku,  yang  tidak  melanjukan  pendidikan formalnya karena terlena dengan bermain cinta.

Ada yang situasi yang  menghentak ketika aku memasuki dunia kerja. Aku belajar bekerja sebagai seorang tenaga honorer pada sebuah instansi pemerintah dan ditugaskan sebagai admin.

Situasi  memang jauh berbeda dengan pola kehidupanku sebelumnya. Di  intansi  yang  kuterjuni  yang  ada hanyalah sebuah perintah  dari  atasan  yang  kadangkala  juga  sulit aku  pahami. Komunikasi dengan teman-teman kerja juga begitu terbatas karena semuanya lebih banyak bekerja di lapangan. Belum lagi ketika awal memasuki dunia kerja yang  kudapati adalah seorang  kepala yang begitu kaku serta kurang  komunikatif.

Aku  mulai  merasakan  sebuah  kesepian. Mentalku agak terguncang. Tapi aku terus berusaha untuk  merapkan untaian mutiara yang telah diajarkan ayahku dan  menjadi begian hidupku, ‘akhlaqul karimah dan kecerdasan’.

“Situasi bagaimanapun insya Alloh akan bisa aku urai dengan akhlaqul karimah dan kecerdasan,” tekadku dalam hati.

“Sepiku di kursi kerja ini, harus segera aku enyahkan. Dan aku  harus  menyelesaikan dengan secepatnya,”  begitu aku menguatkan tekadku.

Tekad untuk mengenyahkan rasa sepi yang telah menemaniku hampir  tiga minggu di kursi kerja,  telah  memberiku semangat untuk belajar  mendekati  karyawan  lain yang  kesemuanya hampir tiap hari kerja di lapangan. Apalagi aku tugaskan  oleh  kepala kantor  untuk  meminta data lapangan yang harus dikompulir setiap akhir bulan.

Aku dekati satu persatu ke meja kerja dari sebelas  karyawan di ruang yang bersebelahan dengan ruang kerjaku.

Ada yang sempat menggelitik perasaanku ketika ada seorang karyawan  nampak begitu cuek. Dia adalah Pak Mulya. Pria yang hampir seusia ayahku itu nampak begitu paling cuek dan bahkan mengesankan sedikit angkuh.

Pak Mulya memang  nampak begitu rajin di depan laptopnya sendiri, tapi  hanya sebentar-sebentar dan mesti terus menghilang. Selama hampir tiga minggu aku bertugas, masih dua  kali  ketemu, yaitu saat berkenalan dan saat aku menanyakan bahan laporan.

Jangankan  padaku, kepada kepala kantor pun dia nampak begitu mengabaikan. Namun anehnya dari data di computer yang aku telusuri, laroparan dan catatan kegiatan yang dia lakukan paling rapi dan mudah untuk ditelusuri.

“Ini tantangan bagiku,” bisikku dalam  hati sambil sedikit merasakan pusing di atas kursi kerjaku.

Sampai dua  hari  jelang  kompulasi laporan harus selesai, Pak Mulya belum menyampaikan data dan malah dia ndak muncul sama sekali di kantor. Tanya ke teman-teman yang lain juga tidak bisa menajwab.

“Mbak Wulan, besok pagi laporan mau saya tandatangani, karena siang saya ada kegiatan di luar,” ungkap Pak Wiyono Kepala Kantor siang itu.

“Ya pak,” jawabku.

Sampai sore hari aku tak bisa menguhubungi Pak Mulya via tetepon. Sambil  termenung  kuingat  pesan ayahku bahwa di nama saja dan kapan saja masalah dapat diatasi dengan akhlaqul karimah dan kecerdasan.

Bahkan  nenekku  juga  pernah  menyampaikan  bahwa bila kita tidak menghadapi  masalah,  maka hidup akan menjadi sepi.

“Yabenar, mungkin Allah sedang mengujiku dan memberiku kesempatan  untuk  memberikan  pemahaman apa yang  pernah  disampaikan nenek. Dengan begini aku tak lagi merasa sepi, meski yang melepas kesepianku adalah masalah,” bisikku dalam hati sambil menarik nafas dalam-dalam.

“Yah ... ndak apa-apa, tetap akan kuusahakan tugasku selesai saat besok pagi ditandatangani  kepala  kantor,” bisikku dalam  hati  menguatkan tekad.

Beberapa menit sebelum  jam  pulang,  sehari sebelum akhir bulan itu, atau akhir bulan di bulan pertama aku bertugas, Pak Wiyono bertanya, “Gimana mbak laporannya, besok pagi bisa saya tandatangani ya?”

 “Insya Allah bisa pak. Ini nanti saya selesaikan. Saya tak pulang agak lambat,” jawabku.

“Ya...jangan sampai ndak selesai,” tegas Pak Wiyono.

“Baik Pak,” jawabku.

“Sekali lagi, aku harus cari cara yang cerdas dan menerapkan akhlaqul karimah untuk bisa menyelesaikan tugas,” tekadku dalan hati

Sebenarnya aku agak  pusing  juga karena Pak Mulya sejak pagi ndak bisa dihungi via hp.

“Jika sampai  sekitar  setelah 10 menit jam  pulang Pak Mulya ndak bisa aku hubungi, maka  harus  kucari ke rumahnya. Toh tidak begitu jauh, hanya sekitar dua kilometer,” tekadku dalam hati.

Meski agak menjengkelkan, tapi masalah seperti itu sempat membuat aku tidak kesepian. Fikiranku dan hatiku serasa hidup kembali.

Sesuai dengan rencanaku, aku langsung meluncur ke rumah Pak Mulya setelah 10 menit jam pulang dengan tanpa memberitahu terlebih dahulu.

Meski agak  jengkel  aku berusaha untuk santai dan tersenyum ketika  keluar  kantor  menuju  rumahnya. Demikian  juga ketika tanya-tanya tetangga sekitar tentang rumahnya. Maklum aku belum tahu persis rumahnya, dan hanya tahu dari data alamat yang ada di kantor.

Sesampai di rumahnya aku kembali dibuat agak pusing, karena Pak Mulya juga belum ada di rumah. Tapi alhamdulillah ada istrinya yang menyambut dengan ramah.

“Dari kantor ya mbak,” tanya istri Pak Mulya.

“Iya bu,” jawabku.

“Ini tadi ayahnya ujian tesis, dan ndak bisa dihubungi. Tadi pesannya klo sudah selesai akan telephon,” lanjut istri Pak Mulya.

“O...gitu bu. Makanya saya hubungi sejak pagi ndak bisa,” jawabku.

“Jadwalnya kelihatannya sampai jam 4 sore ini. Jadi insya Allah sebentar lagi selesai. Dan jika terus pulang sampai rumah hampir jam 5 sore,” jelas istri Pak Mulya

“Gimana, ditunggu atau ada pesan,” lanjutnya sambil tersenyum.

“Ditunggu boleh ya bu, soalnya penting. Saya harus membuat laporan dan dari Pak Mulya datanya belum  masuk,” tanyaku menegaskan.

“Boleh-boleh! Malah lebih baik ditunggu, dari pada nanti via telephon tidak jelas,” jawab istri Pak Mulya.

“ Tapi agak lama lo ya...sekitar 1 jam lagi,” lanjut istri Pak Mulya.

“Ditunggu di ruang perpus aja ya sambil baca-baca, biar ndak gelisah,” tegasnya sambil mempersilakan aku ke ruang perpus di depan.

Seperti tanaman yang baru diterpa terik matahari dan kemudian tersiram air. Perpustakaan Pak Mulya yang terta rapi dengan berbagai cakupan  sumber  ilmu dapat meredam  kesepian dan kegelisahanku, meski sebenarnya semula aku terpaksa harus berada di ruangan itu.

Ada tulisan tangan yang  terpampang di depan  meja baca, yang kian membuatku terhibur. Entah itu puisi atau apa. Tapi aku sangat terkesan dengan tulisan itu. Entah itu buah pikiran Pak Muya sendiri atau di ambil dari mana. Tapi yang jelas itu tulisan tangan Pak Mulya.

ruang ini sepi

buku-buku ini membisu

tapi jika engkau mau bersahabat

maka engkau akan dapati  keramaian

dari ruang sepi inilah engkau mengembara

melampaui batas-batas cakrawala

dari buku-buku yang membisu

engkau akan bisa membina kalbu

 

Sebuah untaian yang kian membuat lupa pada detik-detik sebelumnya yang mebuatku begitu gelisah dan memusingkan. Dan alhamdulillah  tanpa terasa dan tanpa kuketahui  kapan datangnya, Pak Mulya tiba-tiba sudah ada didekatku.

“Asyik,” ungkap Pak Mulya yang membuat aku agak terkejut.

“Tadi telepon-telepon terus  ya! Apa..., tanya data bahan laporan,” tanya Pak Mulya.

“Iya Pak, katanya besok pagi mau ditandatangani Pak Wiyono dan harus selesai sore ini,” jawabku

“Saya juga bawa laptop kantor dan kalau boleh sekalian saya selesaikan di sini,” lanjutku menegaskan.

“Coba nama, yang lain pa udah masuk,” tanya Pak Mulya.

Sambil  membuka laptop dan file yang  telah  kusiapkan kutunjukkan  pada Pak Mulya, dan memang tinggal ia sendiri yang belum memasukkan data. Padahal kegiatan yang ditanganinya lebih banyak dari yang lain.

“Dah gini aja, dari  pada  saya  mendikte,  lebih baik saya  masukkan sendiri. Sebab sebagian masih dalam otak, tidak saya tulis,” tegas Pak Mulya.

“Sambil nunggu, kamu  ikut makan aja di belakang. Dah disiapkan istri saya,” ungkap pak Mulya.

“Ndak Pak, terimakasih,” jawabku.

“Kalau ndak mau malah ini ndak saya kerjakan. Pilih mana!,” gertak Pak Mulya.

“Ya pak kalau gitu,” jawabku.

Aku segera  meningalkan  perpus  menuju ruang makan yang tersekat dari dapur.

“Ayo mbak sini! Makan seadanya,” suruh istri Pak Mulya.

“Ya Bu,” jawabku sambil menuju meja makan.

Ya...dasar memang dah terlalu lapar dan agak pening, tanpa mempertimbangkan apapun langsung makan aja.

Belum selesai makan Pak Mulya menghampiriku, dan berkata, “Dah selesai, malah langsung tak print.”

“Kok cepet sekali pak,” sahutku.

“Ya kapan-kapan aja tak kasih teknis untuk bisa bekerja lebih cepat.” jawab Pak Muya.

Alhamdulillah, dari  peristiwa  sesingkat  itu telah memberiku banyak  pelajaran.  Akhlaqul  karimah dan  kecerdasan  keluarga Pak Mulya juga aku dapati dan mampu memberi solusi.

Untaian  kata yang  terpampang  di  perpustakaan  pribadi Pak Mulya juga menambah bahan referensi baru dalam memperkaya pertimbangan langkah dalam menjalani setiap episode kehidupan.

Sepiku di kursi kerja yang  hampir  satu bulan  ku jalani  seolah  sirna seketika. Kejengkelanku pada Pak Mulya hilang seketika dengan sambutannya yang ramah serta membantu memecahkan masalah. Sepertihalnya  rintik  hujan yang menerpa tanaman layu yang baru saja diterpa dentuman sinar matahari, aku serasa hidup kembali dan terasa lebih segar. Bahkan dalam hatiku secara otomatis telah memaafkan Pak Mulya yang sebelumnya membuatku jengkel.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler