Di kota kecil bernama Luthra, di sebuah rumah tua yang dipenuhi bau cat dan terpentin, seorang pelukis bernama Elian berdiri di depan kanvasnya. Jendela besar di studionya memperlihatkan langit senja yang merah, seperti api yang membakar cakrawala.
Di luar sana, dunia menuntut keteraturan. Bangunan harus seragam, pakaian harus netral, dan seni—seni harus berbicara sesuai aturan. Tidak ada warna yang mencolok, tidak ada bentuk yang terlalu liar. Segalanya harus dalam batas yang telah ditentukan.
Elian tahu itu. Ia tahu bahwa jika ingin tetap melukis dan memamerkan karyanya, ia harus mengikuti garis yang telah digariskan. Tapi bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin seorang seniman menciptakan sesuatu yang hidup jika setiap goresan harus diawasi?
Ia mencelupkan kuasnya ke dalam cat biru. Goresan pertama muncul, lalu garis lain mengikuti—lurus, rapi, seperti yang diharapkan mereka. Namun, di setiap sudut lukisannya, tersembunyi percikan warna liar yang hanya akan terlihat bagi mereka yang mencari. Sebuah bayangan ungu yang hampir tak kasat mata di balik biru, sebuah semburat emas yang terpantul samar di dalam kelabu.
Seni adalah kebebasan, tetapi ia tahu kebebasan itu harus tersembunyi.
Saat lukisannya selesai, seorang pria berseragam datang untuk menilainya. "Indah," katanya, menatap lukisan itu tanpa kecurigaan. "Teratur. Sesuai dengan visi kota."
Elian hanya tersenyum.
Di malam hari, saat kota tertidur, ia menatap karyanya sendiri. Mereka hanya melihat apa yang ingin mereka lihat. Tapi di balik setiap garis lurus dan warna yang sesuai aturan, ada jejak-jejak kecil dari kebebasannya—bebas dalam keterikatan, berteriak dalam bisikan.
---
Kota Luthra bukanlah kota tanpa seni. Justru sebaliknya, seni adalah bagian dari kehidupan di sana. Namun, seni di Luthra harus tunduk pada satu aturan besar: keteraturan di atas segalanya. Mereka yang melanggar aturan ini menghadapi konsekuensi berat, mulai dari kehilangan hak berkarya hingga pengasingan. Tidak ada tempat bagi ekspresi yang melawan arus.
Elian tumbuh di bawah sistem ini, belajar sejak kecil bagaimana melukis dengan "benar." Ia mengikuti sekolah seni yang diawasi ketat oleh Dewan Estetika, tempat setiap goresan harus memiliki makna yang "bermanfaat bagi keharmonisan kota." Namun, jauh di dalam dirinya, ia selalu merasa ada sesuatu yang hilang dalam lukisannya.
Hingga suatu hari, ia menemukan sebuah buku tua.
Buku itu tergeletak di toko barang antik di sudut kota, terselip di antara lembaran kertas kuning yang hampir hancur dimakan usia. Judulnya telah pudar, tetapi di dalamnya terdapat lukisan-lukisan yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Warna-warna liar, bentuk-bentuk yang tidak beraturan, dan ekspresi yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Setiap halaman seperti teriakan yang telah dibungkam selama berabad-abad.
Ketika ia membawa buku itu pulang dan membacanya di bawah cahaya lilin, hatinya berdebar. Ia baru menyadari bahwa seni yang ia kenal hanyalah bayangan dari sesuatu yang lebih besar. Ada dunia di luar Luthra, dunia di mana seniman tidak terikat, di mana warna bukan hanya alat untuk menciptakan harmoni, tetapi juga kebebasan.
Ia mulai bereksperimen. Pada awalnya, ia hanya menambahkan warna-warna kecil di sudut kanvasnya. Sedikit merah di balik biru, sedikit hijau di antara abu-abu. Namun, semakin ia melukis, semakin sulit baginya untuk menahan diri. Ia ingin menciptakan sesuatu yang tidak hanya terlihat indah, tetapi juga memiliki jiwa.
Suatu malam, ia melukis tanpa batasan. Ia menciptakan kanvas yang penuh dengan warna-warna liar, bentuk-bentuk yang melampaui aturan, dan ekspresi yang tidak bisa diredam. Saat ia menatap hasil karyanya, ia merasa untuk pertama kalinya, ia benar-benar menjadi seniman.
Namun, kebebasan selalu datang dengan risiko.
---
Keesokan harinya, ketika Elian bangun, studio kecilnya sudah dikelilingi oleh pria-pria berseragam. Lukisan yang ia buat semalam masih terpajang di atas kanvas, seakan menjadi bukti atas kejahatannya. Seorang pria dengan mantel panjang melangkah maju, menatap lukisan itu dengan mata dingin.
"Elian Drovich," katanya. "Anda tahu bahwa ini melanggar aturan kota."
Elian tidak menjawab. Ia hanya menatap lukisan itu, melihat bagaimana warna-warna yang ia tuangkan masih bersinar meski cahaya pagi meredupkannya.
"Lukisan ini akan disita," lanjut pria itu. "Dan Anda akan dibawa untuk diinterogasi."
Elian menghela napas. Ia tahu ini akan terjadi. Namun, ia tidak menyesal.
Ketika ia dibawa melewati jalanan kota, orang-orang menatapnya dengan ekspresi campuran. Beberapa takut, beberapa penasaran, dan beberapa—ia bisa melihatnya di mata mereka—mengerti.
Ia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya. Mungkin ia akan dilarang melukis selamanya. Mungkin ia akan diasingkan dari Luthra. Namun, di dalam dirinya, ia tahu satu hal pasti:
Seni adalah kebebasan. Dan kebebasan, betapapun terikatnya, akan selalu menemukan cara untuk berbicara.
Komentar
Salam kenal dan titip jejak
Wah, setelah membaca beberapa paragraf, sepertinya mantap jaya ini karyanya.
Salam kenal ya Saudara. Dan saya izin titip sandal dulu di mari nih--huehehe.
Nanti akan lanjut baca kembali ketika kondisi sudah agak lenggang.
Dan semoga kelak akan bisa memberikan komentar dan kesan setelah membacanya pula.
Salam Sastra,
Nista Nihil Nadir
Tulis komentar baru