Entah apa yang pernah merasuki otakku dulu. Saat mengenal dunia sekitar akupun mulai bermimpi banyak hal. Tidak seperti kebanyakan banyak anak lain ketika mereka ditanya saat kecil hanya satu. Jika ingin menjadi dokter maka itu jawaban dari orang dewasa yang bertanya. Termasuk impian anak-anak kecil lainya. Sedangkan aku tidak jelas. Ya, kadang ingin menjadi petinju saat menonton pertandingan tinju di televisi. Menjadi penyiar atau apa pun itu yang berhasil menarik perhatianku. Selalu saja berubah-ubah. Ah, saat itu aku tidak peduli yang penting aku mencobanya. Masa-masa kecilku memang banyak di habiskan untuk berkhayal banyak profesi. Menyenangkan? Tentu saja untuk ukuran anak kecil. Dan perjalanan mimpiku berlanjut saat memasuki dunia sekolah. Sejatinya, sejak kecil aku termasuk anak yang penyakitan membuat badanku bertambah kurus setiap kali jatuh sakit. Dan puncaknya saat kelas lima SD aku divonis sakit tipus membuat badanku benar-benar kurus. Padahal saat itu, yang namanya anak laki-laki pastilah tertarik dengan dunia sepak bola. Salah satunya penyebabnya aku sering berlatih tanpa batas. Meski demikian, kemampuanku terus meningkat. Beberapa orang dewasa menyarankanku agar ikut klub sepak bola. Namun kedua orang tuaku menolak, alasannya simpel. Badan kecil dan kurus tidak cocok menjadi pemain sepak bola. Aku benar-benar kecewa dengan keputusan orang tuaku. Tapi aku tidak menyerah. Mungkin apa yang orang tua katakan benar adanya. Aku masih mimpi lain didalam kontak mimpi. Beranjak remaja, aku mulai tertarik dengan musik. Akupun mulai belajar bermain gitar dan terus berlatih. Tidak ada keinginan tanpa usaha , jadilah aku bisa membuat sinar gitar itu bersuara dengan baik. Selesai di nada, aku seperti menemukan sesuatu yang tersimpan selama ini. Syair pada lagu-lagu membawaku kepada dunia tulis menulis. Awalnya aku memulainya dari puisi. Aku mulai menemukan diriku didalam kata-kata. Akupun belajar menulis. Sampai sekarang. Tamat sekolah, aku berkeinginan masuk lebih dalam ke dunia ini termasuk linguistik. Ingin mengusai banyak bahasa.
Sayang, keinginanku untuk duduk dibanguku kuliah dan duduk dalam mempelajari bahasa terutama yang berbau sastra kurang mendapat dukungan dari keluarga. Alasanya sederhana, jurusan itu belum tentu akan menjamin masa depan. Aku bertanya dan mulai berfikir, jika kurang menjamin kenapa jurusan itu ada. Dan ketika diterima di fakultas teknik di salah satu perguruaan tinggi di Padang, tidak sampai satu tahun aku kembali sakit. Aku menderita demam dan dari mulutku selalu keluar darah. Sebelumnya ini sudah pernah terjadi saat menjelang ujian nasional saat demam dari mulutku banyak mengeluarkan darah. Dan ketika itu ayah hanya bilang ini cuman infeksi kerongkan. Aku benar-benar tidak tau saki apa yang ada di badan. Bahkan tubuhku benar-benar kurus nyaris tinggal tulang. Seorang tabit cina yang sempat mengobatiku bahkan memberiku kabar buruk jika sakit ini tidak ditangani sampai tuntas. Akan ada komplikasi mengerikan yang akan terjadi. Aku memohon pada ibu agar aku berhenti kuliah sementara. Aku tidak mau mati secepat itu. Tetapi ibu bersikeras agar tetap kuliah dan membesarkan hati, bilang itu hanya prakira saja, tabit itu bukan seorang dokter dengan segala penelitiannya. Namun perasaanku semakin takut. Aku belum bisa menulis kala itu, bahkan karya satupun belum ada. Sakitku dari hari semakin parah. Darah itu tak kunjung berhenti. Meski begitu aku masih bisa berdiri, masih nekat pergi kuliah sebelumnya akhirnya pulang kampung oleh saran teman di kost. Melihat kondisi itu, suami kakak sepupu akhirnya menyarankan agar di periksa ke dokter. Demi melihat kondisiku yang semakin hari pucatnya. hanya saja aku terlihat layaknya seperti hantu. Saat di periksa, baru diketahui aku di vonis terkena radang paru-paru memasuk zona kritis. Namun ada hal yang tak bisa ku mengerti dan juga sempat membuat ayahku bingung. Aku sebenarnya, dalam keadaan seperti ini harusnya tidak bisa berjalan lagi. Harusnya sudah terbaring di tempat tidur. Dan ibu membenarkan sebenarnya kenapa badan kurus ini, tak lain memang sejak kecil aku sudah mempunyai kelainan paru-paru. Dengan kerelaan hati ibu akhirnya melunak. Dan membiarkanku berhenti kuliah sementara. Selama masa cuti inilah kesempatanku untuk belajar menulis. Aku mengunjungi banyak halaman dan grup kepenulisan di situs jejaring sosial. Luar biasanya, belum sampai dua bulan aku mendapat info ada proyek menulis. Aku mengambil itu meski baru belajar dan meski setiap tulisan akan diterbitikan. Ya, anggap sebagai motivasi. Awal dari berbagai macam lomba menulis aku ikuti. Meski aku belum bisa menang. Namun itu sangat menyenangkan. Dunia inilah yang sesunggunya aku cari. Setelah satu tahun menganggur aku memutusakan pindah lagi-lagi keinginanku untuk masuk dan belajar dunia sastra kurang mendapatkan dukungan. Masih dengan alasan yang sama. Saat itu aku merasa orang sekitarku terlalu remeh dengan duniaku. Mereka tidak menolak sepenuhnya, tetapi agak meremehkan. Dan aku tidak setuju jika dunia tulis hanya sampingan atau hanya hobby dan entah kenapa aku bisa keras kepala seperti itu mempertahankan idealisme. Aku benar dibuta terpuruk. Kurangnya dukungan dari lingkungan keluarga membuatku hampir putus asa. Dan selama dua tahun terakhir aku mengubur impianku yang sama sekali belum berhasil ku gengam sepenuhnya. Aku berhenti. Maka kekecewaan itu kulampiaskan kepada kegitan lain. Aku banyak mengikuti kegiatan aktivis di kampus baru. Dan semua itu benar-benar membuatku lupa dunia tulis selama dua tahun. Aku menjadi orang lain, menurutku. Dan rasa sedih itu berimbas satu tahun berikutnya aku mengabaikan kuliahku hingga berantakan. Aku tercecer sangat jauh dari teman sengkatan. Orang sekitarku juga mulai kecewa dan beberapa menganggap masa depanku suram sudah. Namaku mulai buruk di mata orang banyak. Dari orang tua hingga dosen mencap diriku sebagai pemalas. Tapi semua itu tak sebanding dengan kekecewaanku selama ini. Rasa sakit ini nyaris membuatku putus asa. Aku merasa menjadi orang yang kalah. Tapi aku tidak mau merusak masa depan yang masih suci lebih parah lagi. Aku tidak mau bersedih lagi. Perlahan aku mulai bangkit, tidak mau menyerah kepada takdir apalagi nasib. Maka dengan sisa waktu yang ada, aku harus memperbaiki semua itu kembali meski hanya sendiri, meski harus memulainya dari awal lagi. Aku kembali menulis kembali mengejar impianku yang secara kejam pernah ku campakan. Aku kembali ke diriku yang dulu. Bukan hanya dunia tulis saja, selama dua tahun berhenti menulis aku mempunyai banyak mimpi baru. Dan tentu saja tidak ada yang bisa membuat benar-benar lupa keinginanku menjadi penulis sehingga salah seorang teman sempat mengatakan kalau aku ini aneh. Kalian bisa bayangkan, ada seorang kutu buku menyukai sepak bola, dunia fotography, sedang belajar menguasai tiga bahasa asing, sampai tertarik mempelajari ilmu gunung api dan masih banyak hal lain. Semua itu aku pelajari secara ototidak. Tidak mengapa, setidaknya itu membuatku betah hidup dengan mempelajari banyak hal. Dan tersepesial, aku yakin dengan menulis dapat meraih impianku yang dulu pernah pupus di tengah jalan melalui tinta dan imajinasi karya. Dan mebawaku pada mimpi besar lainya.
Seandainya Tuhan memberiku umur panjang aku akan memanfaatkannya untuk memimpikan banyak hal. Semua itu kulakukan agar dapat memacuku untuk menjadikan manusia yang berbeda. Tentu saja menjadi orang baik. Orang lain harus tau, aku bukan pemalas, bukan pemutus asa, aku akan menjadi orang yang berbeda dengan orang lain. Aku bukan orang yang hanya pasrah membiarkan impianya hanya menjadi dongeng sebelum tidur. Aku adalah manusia dengan sejuta impian.
Komentar
Tulis komentar baru