Di ujung gang yang sempit, tempat itu berdiri, rumah bordil yang dihiasi cahaya redup. Dari kejauhan, warna-warni lampu yang berpendar menciptakan ilusi keindahan yang muram. Bagi mereka yang menengok lebih dalam, tempat itu bukanlah sekadar untuk hiburan, tetapi ruang gelap penuh bisikan, janji palsu, dan mimpi yang hancur.
Di dalam ruang kaca yang berada di lantai dua, Ratih duduk diam, dipajang seperti boneka hidup. Dengan pakaian ketat, rok mini, dan riasan tebal. Wajahnya tampak jauh lebih dewasa daripada usianya yang baru menginjak 25 tahun.
Sinar lampu yang memantul dari kaca menyoroti wajah Ratih dalam bingkai yang sempurna. Namun, di dalam hatinya, ia terhimpit, terbakar perlahan oleh luka yang tak terlihat.
Ratih, nama itu adalah warisan dari ibunya. Sang ibu, yang lembut dan bersahaja, selalu berpesan padanya untuk menjaga nama baik keluarga. Ironis, karena nama baik yang dulu dijunjung tinggi, kini terasa begitu jauh dan asing baginya.
Ratih hanyalah cermin dari kehidupan yang tak pernah ia bayangkan. “Ratih,” ia membisikkan namanya sendiri di depan cermin sebelum bekerja, berharap sisa-sisa dirinya masih ada di balik topeng ini. Tapi, malam demi malam berlalu, dan namanya seolah semakin memudar dari dirinya sendiri.
---
Ratih berasal dari desa kecil di dataran tinggi, tempat ia menghabiskan masa kanak-kanak dengan kebun singkong dan sawah yang terbentang luas. Ayahnya seorang petani, dan ibunya wanita desa yang penuh kasih.
Setiap malam, rambut Ratih dibelai tangan lembut ibunya. Ia dininabobokan sebelum tidur, didoakan agar anak bisa hidup lebih baik. Namun doa itu, yang dulu menjadi kehangatan bagi Ratih, kini terdengar seperti ejekan yang pahit.
Saat ayahnya jatuh sakit, Ratih terpaksa merantau ke kota, berharap bisa bekerja dan mengirimkan uang untuk pengobatan. Namun, mimpi sederhana itu perlahan berubah menjadi kenyataan pahit.
Saat itu, ada seseorang yang berjanji memberinya pekerjaan sebagai pelayan restoran, dengan iming-iming gaji besar. Ratih yang polos menerima tawaran itu tanpa curiga. Namun, setelah sampai di kota, realitas berbicara lain. Restoran yang dijanjikan hanyalah ilusi, dan orang-orang di sekitar mulai mendorongnya ke jalan yang tidak ia inginkan.
Dalam keputusasaan dan tanpa siapa pun untuk meminta tolong, Ratih terseret ke dunia yang gelap ini. Setiap malam, ia duduk di ruang kaca, tersenyum dengan bibir yang seperti terluka, dan menatap para lelaki yang melongok, mengukur, dan mendambakan sesuatu darinya tanpa pernah benar-benar melihatnya. Mereka hanya melihat tubuh yang dihiasi pakaian menggoda dan riasan wajah yang tebal, tetapi tak satu pun yang peduli pada siapa dirinya di balik semua itu.
Ada satu cermin besar di ruang kaca itu, cermin yang menjadi saksi bisu dari ratusan senyum palsu yang ia berikan setiap malam. Di cermin itu, ia bisa melihat pantulan dirinya, tapi yang ia lihat bukanlah Ratih yang ia kenal. Yang ia lihat adalah sosok asing, wanita yang tersesat dalam bayangannya sendiri.
---
Suatu malam, ketika hujan turun deras di luar, Ratih kembali mendapati dirinya tenggelam dalam ingatan masa lalu. Ia membayangkan betapa berbedanya hidupnya jika ia masih berada di desa. Mungkin ia bisa menjadi seorang istri, memiliki anak, dan hidup dalam kesederhanaan namun penuh kedamaian. Tetapi malam-malam di kota besar ini, dalam ruangan kaca yang dingin dan sunyi, ia merasa hidupnya sudah tertukar dengan mimpi buruk yang tak ada akhirnya.
Pintu kaca berderit, seorang pria masuk dan duduk di hadapannya. Pria itu mengenakan jas mahal, wajahnya dipenuhi senyum sinis. Tanpa banyak basa-basi, pria itu meminta Ratih untuk duduk di pangkuannya, mengusap rambutnya dengan lembut tapi dingin, dan memandangnya seperti barang. Ratih tahu, pria ini tidak datang untuk mengenalnya atau memahami dirinya, tetapi sekadar untuk memuaskan nafsu yang dingin.
Ratih merasa tubuhnya lelah, bukan hanya karena malam yang panjang, tetapi juga karena jiwanya yang semakin mengering. Setiap kali tersenyum pada pria yang datang, ia merasa seperti mengkhianati dirinya sendiri.
Di balik senyum dan tawa palsu itu, ia hanya ingin berteriak, tetapi tak ada suara yang bisa keluar. Yang tersisa hanyalah kebisuan dalam ruang kaca yang terus menjadi saksi dari setiap kepingan hidupnya yang hilang perlahan.
Setelah pria itu pergi, Ratih duduk diam, memandangi cermin di depannya. Ia teringat pada sebatang pohon tua di desa yang berdiri di tepi sawah. Pohon itu, meski dihantam angin dan badai, selalu berdiri teguh, seolah tak tergoyahkan.
Ratih ingin menjadi seperti pohon itu, kuat dan kokoh meski dalam badai. Tetapi, di sini, dalam dunia yang mengurungnya, ia hanya seperti dedaunan yang terseret angin.
Malam semakin larut, dan Ratih tahu, dalam beberapa jam lagi, pagi akan tiba dan ia bisa pulang ke kamar sempitnya, tempat ia bisa menanggalkan topengnya sejenak. Namun Ratih juga tahu bahwa besok malam, dan malam-malam berikutnya, akan kembali ke sini, duduk di ruang kaca, dan mengulang semuanya dari awal. Begitulah kehidupannya, siklus yang berputar tanpa ujung, membelenggu dirinya dalam kisah yang tak pernah selesai.
---
Dalam gelapnya malam, saat semua orang sudah pergi, Ratih berdiri di depan cermin, menghadap bayangannya di sana. Ia menatap matanya yang kosong, kulitnya yang pucat, dan bibirnya yang merah. Ia tahu, setiap malam akan tetap duduk di sana, tersenyum pada orang asing yang datang, dan mengabaikan kesedihan yang semakin dalam.
Namun di sudut hatinya, Ratih masih menyimpan secuil harapan. Harapan bahwa suatu hari, ia akan bisa keluar dari ruang kaca ini, meninggalkan semua yang telah mengurungnya, dan kembali menjadi Ratih yang dulu—seorang anak desa yang polos, dengan mimpi sederhana dan hati yang penuh kasih. Harapan itu yang membuatnya tetap bertahan, meski hanya sebuah bayangan samar di ujung cermin yang retak.
Di ruang kaca yang sepi itu, Ratih berdiri sendiri, seorang wanita yang tertinggal dalam bayangan dirinya, terperangkap dalam kaca yang tak pernah memantulkan kebenaran.
Komentar
Tulis komentar baru