(kupasan keenam dari paragraf awal, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)
Oleh: NUREL JAVISSYARQI
Ini menuntasi tulisan-tulisan sebelumnya mengenai paragraf awal IK, sebalutan muakhir demi pijakan lanjut. Saya mulai sedikitnya merevisi pandangan kritikus Maman S Mahayana di bukunya “9 Jawaban Sastra Indonesia” sebuah orientasi kritis, diterbitkan Bening Publishing, cetakan 2005, Bagian IV:Sarana Pendekatan Sastra, dahan ke 8 berjudul ‘Sastra dan Filsafat’ halaman 343. Di bawah ini terambil dua paragraf pembukanya bagi pondasi langkah ke muka. Nan disesuaikan keimanan sorot mata saya berproses kreatif, yang berangkat dari buah keyakinan setelah baca ke belakang, demi peroleh kepurnaan sepaduan kehidupan.
“Hubungan sastra dan filsafat laksana dua sisi mata uang; permukaan yang satu tidak dapat dipisahkan dari permukaan yang lainnya; bersifat komplementer, saling melengkapi. Masalahnya, karya sastra membicarakan dunia manusia. Demikian juga filsafat. Betapapun penekanannya pada usaha untuk mempertanyakan hakikat dan keberadaaan manusia, sumbernya tetap bermuara pada manusia sebagai objeknya. Jika demikian, apakah kemudian itu berarti karya sastra identik dengan filsafat? Tentu saja tidak. Mengapa tidak? Di mana pula letak persamaan dan perbedaannya? Justru dalam hal itulah hubungan sastra dengan filsafat lalu melahirkan masalah sendiri.”
“Secara asasi, baik karya sastra maupun filsafat, sebenarnya merupakan refleksi pengarang atas keberadaan manusia. Hanya, jika karya sastra merupakan refleksi evaluatif, maka filsafat merupakan refleksi kritis. Apa yang diungkapkan filsafat adalah catatan kritis yang awal dan akhirnya ditandai dengan pertanyaan radikal yang menyangkut hakikat dan keberadaan manusia. Sastra mungkin juga mempertanyakan hakikat dan keberadaan manusia, tetapi dalam bentuk yang lebih menekankan pada nilai-nilai estetik daripada logika atau pemikiran yang dalam filsafat justru sangat penting. Itulah, di antaranya, yang membedakan karya sastra dan filsafat.” (Maman S Mahayana)
***
Di dua paragraf itu kritikus berusaha memisahkan dua sisi mata uang gambarannya nan elok, tentu atas kepentingan jalur pendidikan. Atau dilandasi hadirnya dua cabang sah, yang sudah diterima masyarakat dunia meluas. Ini wajar sebagai insan di luaran; pengamat, peneliti, namun tak otomatis menjadi dua cabang jiwa dalam diri pelaku. Masalahnya bisa ditemukan pada contoh yang diunggah kritikus pula pada terusan esainya, yang hanya saya jumput lapisan muka di atas. Yakni karya-karya sastra terbaik tak lekang jaman, tidak bisa lepas nilainya filsafat, dan gagasan filosofi ampuh menembus abad-abad, kerap kali kalau tak boleh dibilang pasti, berbalutan unsur sastrawi. Maka tegas saya bertanya pada sejarah jua kepada para pelakunya; Adakah karya sastra mempuni, yang tidak punya kandungan filsafat? Adakah karya filsafat tangguh usianya tanpa paras ayu sastrawi? Atau tidakkah keindahan berpikir, reruang ayu merenung, hasil olahan nan melimpah di dalamnya bersimpan nilai tampan, bagi syarat memasuki alamat susastra?
Seingat saya (dalam arti semoga kelak ada merevisinya), penerjemah, sastrawan, kritikus Sapardi Djoko Damono pernah menghimbau agar karya sastra dijauhkan dari ilmu pengetahuan (Sapardi Djoko Damono: Jadikan Sastra sebagai Seni Bukan Ilmu di Sekolah, Kompas, 14 Oktober 2010). Otomatis bisa dibilang menghasilkan karya klangenan, bobotnya lamunan, mentok bikin rindu tak ketulungan pada gergaji kepenyairannya, ini dapat dirujuk kepastian ke puisi-puisinya. Secara terbuka saya lebih condong penyair, politikus Muhammad Iqbal, pula filsuf Jacques Derrida yang tegas berpendapat; “puisi ialah filsafat atau pun filsafat adalah sastra (puisi)” [kalau tak keliru pada bukunya “The Reconstruction of Religious Thought in Islam” (Iqbal) dan “Margins of Philosophy” (Derrida)]. Sekadar menyebut nama yang tampak dalam karya-karyanya; Goethe, Nietzsche, Leo Tolstoy, Hamka serta para insan langgeng dalam sejarah, sekecilnya diterima sebagian bangsa dunia. Mereka menginsyafi logam mata uang itu sangat bernilai gambaran sisi-sisi mata uangnya, terlihat jelas teksturnya saat ditimpa sorot cahaya.
Walau kritikus Mahayana mengudar perbedaannya, tetap insaf selogam mata uang pada paragraf 15-nya: “Begitulah, betapapun karya sastra berbeda dengan filsafat, dalam semua karya sastra —yang bermutu— akan selalu terkandung nilai-nilai filsafat, entah menyangkut sikap dan pandangan hidup tokoh yang digambarkannya atau tema karya sastra itu sendiri. Semakin bermutu karya sastra itu, semakin mendalam pula kandungan filsafatnya. Oleh sebab itu, dalam karya sastra yang agung, nilai-nilai filsafat yang dikandungnya akan terasa lebih mendalam dan kaya. Sangat wajar jika kemudian orang mencoba mencari nilai-nilai filsafat pada karya sastra yang agung, dan bukan pada karya sastra picisan.”
***
Jika volumenya saya tinggikan, tidakkah kitab-kitab suci menapas harumi gerak hayati insan, apakah bersebut agama samawi, ardhi, agama langit pula bumi. Ajarannya sangat dalam filosofi jua tinggi derajat kesastrawiannya, ruhaniah sejarah mewangi terkandung berbalut psikologi demi dijiwai pengikutnya, disamping hitungan matematis Ilahi dan lainnya. Olehnya patut disayangkan kalau ada paham menceraikan sisi-sisi mata uangnya, apalagi terang-terangan dipastikan ambruk ke lembah kejahiliaan. Sekadar permainan tak beri faedah kecuali kesenangan indrawi, jauh dari cahaya luhung kesabaran, kesahajaan, perangai keagungan. Namun sebaliknya tampak coba-coba, spontanitas nanggung, grusa-grusu membawa kaki-kaki kepincangan yang diperindah bebusana imaji, tanpa benang sutra realitas murni.
Memang kedua kaum pemeluk bentukan ajaran agama tersebut, banyak kurang terima disaat lelembar ruhaniah akidahnya dikaitkan arus sungai anak filsafat, sastra dan lainnya. Setidaknya jadi patokan, sebuah karya besar tentu bersimpan pelbagai keilmuan, serupa fitroh keuniversalan nilai terkandung di dalamnya, demi dinaya abadi menerobos hukum kausalitas yang juga menentukan corak digelarnya. Tafsiran muncul kemudian, kembangkan kuntum-kuntum kembang peradaban harum mewangi memelanting tirta embun pagi pemikiran bagi bumi-hati para insani. Ini terus berkumandang, sejauh penerusnya mampu berdialog dengan jaman dilakonkan. Sedangkan karya pincang, picisan, kurang bersimpan pengetahuan, hanya kelangenan, iseng sekadar sugesti akal-akalan, dapat dipastikan terlempar ke jurang kekelaman, buntu sehawa desas-desus mengumbar senang tanpa kumandang kehakikan.
***
Catatan di atas saya tinggal beberapa hari, maka agak sulit melanjutkan. Demi menyambung secara mencari tertanda, saya bercerita pengalaman malam kemarin, kehendaknya mengikat benang kemungkinan menjelma sambungan rahmat perolehan.
Seperti biasa saya jalan menuju rumah saudara di sebrang desa, kerap berpapasan orang gila (balutan fisiknya begitu). Yang membuat senang bersisipan dengannya kemarin, langkahnya dipercepat, tidak sebiasanya lamban, malahan kadang jalan sepersenti jua berhenti saat menjumpai. Terus terang seraya ada magnetik tiap bertemu, terpantul dari sikapnya dalam jiwa saya sejenis teguran, bahasa tanda harus dicermati dalam. Meski tak saling kenal, saya yakin ia pun penasaran dengan bobot sama, pula soal pemikiran seakan telah paham tindak prilaku saya sehari-hari walau jarang bertatapan muka, sewujud sederhana dapat disebut guru spiritual. Memang saya kerap berpapasan orang gila dan ia istimewah, seolah peroleh pencerah meski tak saling sapa. Entah ada ikatan energi apa, mungkin bisa dimaknai kekuatan ‘bahasa diam’, yang pesonakan mata dan telinga.
Dengan tubuh agak-agak saya miringkan serupa belajar dari keadaan “kekaburan arti (vagueness), kemaknagandaan, ketidak-eksplisit-an (inexplicitness), terlalu tergantung konteks (context dependence), dan menyesatkan (misleading)” kala berjalan mengamati orang itu. Mungkin IK atau orang gila termaknakan ini filosof, sosiolog, antropolog, kritikus atau sejarawan yang tengah mengalami keterlepasan, kala memadukan nilai-nilai di dalamnya hingga terbentuk pengertian berbeda. Olehnya di lelembar selanjutnya saya mencoba, tentu tak coba-coba asal-asalan, namun demi pemahaman berpijak di jalur semestinya, mengungkap kekuatan bahasa ‘diam’ dari mereka atau seorang saja, Ignas Kleden.
Setidaknya berjalan tubuh dimiringan tetap berposisi imbang kesadaran mawas, peroleh makna belum terungkap. Mungkin istilah ‘membongkar’ kurang tepat, tapi telisik membaca ulang membuka reruang penalaran lain masuk menentukan apa saja yang terbit dari uraian teks terbaca, dengan harapan menyibak ladang kemungkinan seluas-luasnya, atau ketunggalan anak sungai tersempal dari sungai besarnya. Ini bukan tak fokus, tidakkah anak-anak sungai dipastikan menuju muaranya masing-masing? Dan sempalan terjadi membentuk sejarah drajadnya kemudian hari, di sisi mengurangi bencana luapan membanjir di atas ketunggalan sungai asal; ego. Inilah arus bebidang pengetahuan sebagai fitroh nilai dikandung dalam teks itu, maka sekiranya teks melimpah ruhaniahnya, akan memantul kejayaan sepadan imbang kodrat-iradat kehadirannya.
Demikian bagian VII. Untuk paragraf dua dan selanjutnya dari esai IK, akan diperlakukan separagraf pertama. Jika pembaca kurang sepakat, boleh bongkar balik nan tentu saya jawab kalau umur masih bersarung badan. Dengan catatan melalui buku atau tulisan sepadan, demi media dialog mambangun wacana berlanjut, yang saya pikir lebih menantang daripada kupasan menghakimi lewat beberapa lembar merasa sudah. Oleh saya telah habis tertarik pesona, karena ‘orang-orang gila’ lebih mempesona di jalan-jalan pengetahuan hidup. Mereka penuh beraura, berdaya hipnotis nilai murni daripada kata-kata bermakna tunggal dekat superioritas.
Akhirnya saya ambil ujaran lama, “Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor” (Wirid Hidayat Jati, R. Ng. Ronggowarsito) makna bebasnya, “Manakala detikan takdir telah terpastikan, maka tiadalah yang sanggup menghentikan.”
____________________
Keterangan Tambahan:
Surat masuk facebook dari Maman S Mahayana, selepas uraian saya di atas:
“”Hubungan Sastra dan Filsafat.” Dalam perkembangan pemikiran saya, memang tak sedikit filsafat yang ditulis dalam bentuk karya sastra; atau karya sastra yang sesungguhnya filsafat. Sebutlah Bagawat Ghita, Homerus, Mahabharata, Ramayana, bahkan Javid Namah (Iqbal) dan Hayy Ibn Yazhan (Ibn Thufail), Orang Asing (Camus), tidak sedikit yang memperlakukannya sebagai karya filsafat. Perdebatan itu sampai sekarang belum selesai. Intinya: ada yang kukuh mengatakan itu karya filsafat; ada pula menempatkannya karya sastra; tetapi ada juga memasukkannya ke dalam karya filsafat sekaligus sastra, atau sastra sekaligus filsafat. Jadi, analogi pembedaan dua sisi mata uang itu dalam hubungan sastra-filsafat, sekadar hendak menegaskan, bahwa sastra-filsafat begitu erat kaitannya, sehingga tidak gampang dipisahkan. Di sinilah kelebihan sastra, sebab sastra dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Piramida Korban Manusia karya Peter L Berger, merupakan karya sosiologi yang sengaja dikemas dalam bentuk karya sastra. Sekarang Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari) dijadikan bahan kuliah antropologi tentang kemiskinan strutktural. Tetralogi Pram, juga banyak digunakan sebagai bahan untuk menelusuri sejarah awal kebangkitan Nasional (Indonesia). Begitulah, posisi karya sastra yang dapat memasuki berbagai wilayah ilmu lain menyebabkan karya sastra tak jarang diperlakukan sebagai karya sejarah, filsafat, sosiologi, antropologi, dan seterusnya. Jadi, pada akhirnya pemisahan sastra dan filsafat itu, bisa saja akan sulit dilakukan ketika kita berhadap dengan mahakarya yang di sana, filsafat dan sastra berkelindan.”
15 Juli 2011, Jum’at Sukra Masehi,
13 Ruwah 1944, Jemuwah Wage Jawa,
13 Syaban 1432 Hijriah
Komentar
Tulis komentar baru