Oleh: BABAN BANITA
Betulkah dunia kritik sastra Indonesia telah mati? Pertanyaan ini sebenarnya telah cukup lama menjadi sebuah wacana dalam dunia kesusastraan Indonesia. Namun, tidak cukup banyak orang yang memperhatikan hal ini, juga perdebatan-perdebatan yang muncul darinya. Acep Iwan Saidi adalah termasuk dalam orang yang sedikit itu. Dia menyodorkan sebuah buku ke hadapan kita judul Matinya Dunia Sastra : Biografi Pemikiran dan Tatapan Terberai Karya Sastra Indonesia, yang merupakan kumpulan esai (22 buah tulisan), pemikiran-pemikiran Saidi di dunia sastra Indonesia.
Sebelum masuk kepada 22 tulisan, Saidi terlebih dahulu memberikan semacam pendahuluan. Di situ dia menyoaldudukan bagaimana posisi penulis dalam hubungannya dengan sebuah pendapat yang dilontarkan ahli semiotik Roland Barthes yang menyebutkan bahwa pengarang telah mati. Dalam hubungannya dengan konteks dunia sastra Indonesia, menurut Saidi hal itu tidak sepenuhnya bisa berlaku. Justru dalam masyarakat sastra Indonesia berlaku sebaliknya, penulis tidak pernah mati. Pengarang telah menjadi pusat, bahkan lebih penting dari teks itu sendiri. Hal ini dibuktikan misalnya, ketika meninjau tulisan yang berada di menia massa, umumnya bahkan nyaris meninggalkan teks. Dalam menafsirkan sebuah teks prosa atau puisi, si penganalisisis akan menyebut iideologi pengarang, bukan ideology narrator atau aku lirik. Sebagai contoh lain, dia mengilustrasikan sebuah seminar yang akan ramai dipadati peserta apabila pembicaranya adalah tokoh yang telah bernama. Jadi bukan karena tulisannya peserta datang tapi disebabkan oleh keberadaan penulisnya. Dalam hal ini, justru teks bisa menjadi tidak penting bahkan bisa ditinggalkannya.
Hal di atas, menurut Saidi, terjadi kelisanan masyarakat Indonesia masih sangat kental. Dia mengutip pendapat Bambang Sugiharto, bahwa tradisi kelisanan ini member dua turunan yang sangat signifikan, yaitu kesenangan pada kerumunan dan ketidakbiasaan menerima kritik. Argumentasi ini memang cukup sahih, tetapi rupanya Saidi agaknya lupa bahwa tradisi lisan dalam sastra Indonesia sesungguhnya telah melupakan pengarang atau mungkin penuturnya. Tengoklah misalnya cerita Si Kabayan, Pak Belalang, Joko Bodo, dll. sampai sekarang tidak pernah diketahui siapa pengarangnya. Bukankah pengarang telah mati dalam tradisi ini, apakah ini sebuah pengecualian? Selanjutnya, hal ini sebagai paradoks atau tradisi lisan, bahwa dalam konteks masyarakat yang tradisi tulisnya bagus, dapat dikatakan para pengarang itu telah mati.
Yang tersisisa darinya adalah teks itu sendiri, teks yang menjadi segala-galanya. Tapi dalam hal ini, Saidi tidak membeberkan lebih lanjut dan dalam, mengapa pada masyarakat yang tradisi tulisnya bagus pengarang bisa dikatakan telah mati. Buku ini teriri atas dua bagian. Bagian pertama memakai subjudul Dunia Sastra yang Menggelisahkan dan yang kedua dengan subjudul Tatapan Terberai Atas Sejumlah Karya Sastra. Pada bagian pertama terdiri atas tiga tulisan. Tulisan-tulisan pada bagian ini berisi semacam otobiografi pengarang. Disebut semacam otobiografi, karena menurut penulisnya, hal itu kenyataannya bukan otobiografi. Memang di dalamnya mengungkapkan sebuah riwayat, kisah tanah kelahiran, selintas soal keluarga, dan sekolah. Alasan dimasukkannya tulisan ini ternyata masih berhubungan dengan pernyataan bahwa pengarang di Indonesia belum mati, artinya betapa penting konteks kepenulisan di dalam masyarakat sastra Indonesia. Menurut Saidi, mempelajari pemikiran seorang penulis tidak cukup dengan apa yang ditulisnya, tapi akan lebih baik jika mempelajari juga latar belakang mengapa penulis bersangkutan menulis hal itu.
Dengan kata lain, biografi penulis, sejauh mendukung gagasan yang ditulisnya, menjadi penting sebagai aspek referensial. Sesungguhnya pada bagian satu inilah pusat terbersitnya apa yang tertulis pada judul buku yang cukup menghenyakan ini, Matinya Dunia Sastra. Di bagian ini, ketiga tulisan bisa dikatakan berkesinambungan secara langsung sebagai perkembangan dari tema dunia sastra (kritik) yang mengalami kemerosotan atau kematian. Mula-mula Saidi berkisah latar belakang bahwa latar belakang dirinya yang secara geografis dan budaya terbelakang, mempengaruhi perjalanan terhadap pemilihan jalan hidup. Dia menyodorkan kisah kampung halamannya( Uwak Ajengan) yang begitu rajin tentang tema-tema yang berhubungan dengan agama tanpa memerhitungkan (memedulikan) apakah tulisan itu akan dimuat di media massa, sebab kenyataannya tokoh itu menulis sesuai dengan keyakinannya dan begitu besar kepercayannya pada teks. Hal inilah barangkali yang menjadi spirit hidup Saidi untuk terus konsisiten berdekatan dan melakukan pekerjaan menulis.
Tulisan kedua yang berjudul Memaknai Sekolah Menuai Gelisah, sesungguhnya adalah pusat kegelisahan Saidi tentang mengapa kritik sastra di Indonesia seperti tersendat-sendat atau dikatakannya nyaris mati. Dia mengungkapkan pengalamannya ketika dirinya berada di lingkungan akademik sebagai mahasisiwa di fakultas sastra. Menurutnya fakultas sastra sebagai lembaga resmi yang bergelut di bidang sastra harus bertanggung jawab atas perkembangan dunia sastra di Indonesia. Dia memang hanya mengambil contoh di kampusnya sendiri. Di sini terkesan menyamaratakan bahwa fakultas yang berurusan dengan sastra adalah seperti yang ada dalam pikirannya, seperti yang ada di kampusnya ketika dirinya kuliah. Dia mempertanyakan kembali fungsi fakultas sastra, apakah sebagai pencetak sastrawan atau pencetak ahli sastra. Timbulnya pertanyaan ini didasari atas pengalaman dan pengamatannya, bahwa selama ini fakultas sastra sangat jarang menghasilkan alumni yang mumpuni di bidangnya. Dalam hal ini Saidi memberikan contoh betapa mengecewakannya pelajaran yang didapatkan selama dirinya kuliah, jangankan mutunya bahkan sekedar mencari motivasi dalam mencintai dunia sastra tak didapatkannya. Justru dari dunia luar dia mendapatkan motivasi kesastraan sehinggga dirinya mrnjadi rajin dan begitu mencintai dunia sastra. Dia juga mengkritisi dunia akademik yang dalam melakukan analisis terhadap sastra begitu kaku (kering) sehingga hasilnya tampak mengambang atau tidak membumi. Hanya sekedar membedah dan memisah-misahkan satu bagian dari bagian lain, seperti layaknya pembedahan terhadap tubuh manusia yang biasa dilakukan dalam dunia kedokteran.
Lebih jauh dia berpendapat bahwa penyajian dan perlakuan dosen yang tidak menarik menjadi salah satu alasan mengapa mahasiswa sastra tidak tertarik pada dunia sastra, yang pada gilirannya dunia sastra ditinggalkan anaknya sendiri, sepi dari karya, sepi dari kritik akademikus sastra. Rupanya di sinilah akar mula kematian kritik sastra, yaitu pada tidak berfungsinya dunia akademik yang secara ideal seharusnnya memproduksi kritikuskritikus handal.
Hal di atas sejalan dengan pikiran Sumardjo yang memberi kata penagntar dalam buku ini. Dia memberi argumentasi tentang mengapa sastrawan dan kritikus yang berwibawa tidak muncul diar kampus. Menurut Sumardjo, tidak lahir sastrawan dari kampus karena tidak ada program kesastrawanan, sedangkan kritikus dari kampus, menurutnya ada, jik yang dimaksud adalah kritikus intelek artificial yang merupakan pengikut setia dewa-dewa teori dari kebudayaan seberang yang tidak berani mengatasnamakan pikirannya sendiri. Sebuah tamparan yang cukup telak dan sangat perlu mendapat tanggapan dari para akademisi sastra. Betulkah demikian adanya?
Tulisan ketiga berisi peranan media massa dalam dunia sastra, sekaligus juga semacam jawaban atas tulisan-tulisan sebelumnya yang menyangkut kematian kritik sastra. Menurutnya kritikus sastra mau tidak mau harus berkenalan dengan media massa. Dan mahasiswa sastra yang konon akan dicetak menjdai kritikus sastra, tidak bias menghindar dari kebutuhan menulis di media. Sebelum sampai kepada pentingnya media massa dalam perkembangan sastra, Saidi terlebih dahulu mengemukakan pendapatnya bahwa media massa sekarang telah melenceng dari komitmen awal keberadaannya, yakni sebagai sartana perjuangan dan pendidikan. Menurutnya, media massa lebih berpihak kepada industri, kepada para pemilik modal. Karena itu yang lebih dipentingkan adalah bagaimana media massa itu laku dan menghasilkan untung sebesar-besarnya. Tidak mengherankan jika yang dijadikan berita adalah mengelola isu-isu yang bisa dinikmati dan dilahap masyarakat kita yang memang lapar. Termasuk di dalamnya adalah dunia sastra.
Dalam kaitannya dengan melempemnya atau matinya kritik sastra, Saidi memberikan solusi yang cukup cerdas, yakni dengan melihat sejarah perkembangan kritik sastra di Indonesia. Rupanya dia tengah bersetuju dengan apa yang dilontarkan Bung Karno tentang Jasmerahnya, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Dia member contoh keberadaan H.B.Jassin yang menjadi kritikus sastra yang sangat punya pengaruh besar terhadap perkembangan sastra Indonesia. Penulis yang kini mengajar di Seni Rupa ITB ini tidak menganalis apa yang ditulis Jassin secara mendalam, tetapi dia mengemukakan perjalanan mengapa Jassin sebagai kritikus begitu kuat dan berpengaruh pada zamannya. Menurutnya kekuatan Jassin adalah keberadaannya sebagai seorang redaktur media massa. Dengan posisi seperti itu, maka tulisan-tulisannya tentang kritik sastra mendapat tempat yang tak tergoyahkan dan sulit untuk dibendung. Dia juga member contoh lain, yaitu Saini K.M. yang pernah mengasuh rubrik Pertemuan Kecil di Pikiran Rakyat Bandung, yang dengan posisinya bisa mengangkat beberapa penyair di arena ssatra Indonesia semisal Soni Farid, Acep Zamzam, Juniarso Ridwan dll., meski tidak seperti Jassin yang berhasil memenarakan Chairil Anwar. Perbedaan keberhasilan ini menurut Saidi disebabkan oleh Jassin yang menjadi redaktur adalah seorang kritikus sedangkan Saini K.M. adalah seorang sastrawan.
Untuk yang terakhir ini, sekarang sangat marak di media massa Indonesia, para penjaga gawang untuk sastra kebanyakan adalah para sastrawan bukan para kritikus. Karena itu tidak mengherankan yang berkembang adalah puisi dan cerpen yang tidak diimbangi oleh perkembangan kritiknya.
Dari jejak sejarah di atas, Saidi mencoba membuat kesimpulan bahwa untuk menghidupkan atau membangkitkan kritik sastra yang kini semakin memprihatinkan terletak pada keberadaan redakturnya. Para redaktur budaya di berbagai media, terutama media sastra, harus berperan senagai kritikus, atau sebaliknya, kritikus sastra sebaiknya menjadi redaktur budaya di media massa. Untuk memperkuat pernyatannya, Saidi mengambil gagasan dari seorang tokoh New Criticism, J.C Ranson yang berpendapat bahwa yang berkompetensi melakukan kritik, yakni seniman, ahli filsafat, dan para akademisi sastra. Dari ketiganya, menurut Ransom, para akademisi sastralah yang kritiknya bisa dipertanggungjawabkan. Agak disayangkan untuk persoalan ini Saidi tidak memberi penjelasan yang dalam, yang bisa lebih menyakinkan bahwa kritikus akademik adalah kritikus yang paling handal. Jadi, dengan demikian ada dua hal yang membuat kritik sastra mati, yakni dunia akademik yang tidak ideal dan keberadaan redaktur yang membawahi rubric sastra.
Buku ini seperti dikatakan di atas diberi kata pengantar oleh Jakob Sumohardjo, seorang budayawan yang sangat respek pada dunia sastra Indonesia. Sumohardjo kini merupakan dosen di pascasarjana ITB dan merupakan salah satu dosen penulis buku ini. Dia sepertinya seirama dengan Saidi, menurutnya hampir selama 15 tahun terakhir tidak ada satu pun penulis kritik sastra yang tekun mengikuti perkembangan sastra Indonesia. Hal lain, Sumardjo melihat kritikus sastra Indonesia hanya melihat teks sebagai teks tanpa mempertimbangkan konteks budaya yang menghasilkannya. Inilah menurut Sumohardjo yang merupakan kekurangan para kritikus, yakni melupakan sastra sebagai bagian dari kebudayaan bangsanya. Dia juga memberikan pikiran yng sangat kritis yang ditujukan kepada para intelektual (kritikus), dikatakannya bahwa kita ini ibarat monyet yang suka menirukan tingkah manusia. Tetapi setampan-tampannya monyet, dia tetap jelek di derpan manusia yang paling jelek sekalipun. Dalam konteks ini Sumardjo memuji Jassin sebagai seorang kritikus yang ootentik, yang tidak di kerangkeng oleh teori atau yang kebuku-bukuan, atau yang seperti monyet itu.
Bagian kedua dari buku ini berjudul Tatapan Terberai Atas Sejumlah Karya Sastra. Di sini terdapat 19 buah tulisan lepas, esai-esai yang mengkritisi sejumlah karya satra. Beberapa diantaranya adalah Aku karya Chairil Anwar, Arok Dedes karya Pramoedya, Jalan Menikung karya Umar Kayam, Tentang Sinterklas karya Goenawan Mohamad. Yang menarik, Saidi ternyata tidak hanya mengkritisi karya-karya penulis besar Indonesia, dia juga tertarik pada penulkis yang namanya kurang diketahui oleh khalayak pembaca Indonesia. Dia, misalnya, mengkritisi karya Ade Kosmaya, Pesu Aftarudin, Riyono Pratikto dengan alasan-alasan tertentu.
Kritik yang dilakukan Saidi cukup tajam sehingga menghasilkan kedalaman yang kadang tidak terduga. Hal ini sangat kelihatan atau menonjol terutama dalam mengkritisi puisi. Tampak dia telah memahami berbagai macam teori tentang kritik sastra, tetapi dia telah sanggup menjadikan dirinya sebagai orang yang tidak kebuku-bukuan, seperti kata Sumardjo, dalam melakukan analisis. Dia menyebuit beberapa teori, tetapi hal itu tidak lantas mengerangkeng dirinya untuk terjebak dalam tirani teori. Analisisnya memperlihatkan kediriannya yang tidak kaku untuk patuh pada satu teori tertentu. Di sini teori yang beraneka itu telah menjadi bekal bagi dirinya untuk mempertemukan karya sastra dengan dirinya, mempertemukan atau membimbing pembaca untuk masuk ke dalam karya sastra.
Memang tidak semua analisis kritis Saidi dalam dan tajam. Ada juga tulisannya yang dangkal seperti yang terlihat pada judul Surat Buat Hikmat Gumelar, Realisme Puitis atau Elaborasi Kemiskinan. Judulnya sangat wah, dan ini merupakan esai yang dibentuk dalam sebuah surat. Sebagaimana lazimnya sebuah surat dia sangat subjektif, jadi sebagai sebuah surat memang berhasil, tetapi dalam hal ini ada konteks yang melatardepaninya dan harus juga diperhatikan. Dirinya sedang membincangkan krya sastra yang dibaca atau dikonsumsi oleh khalayak umum dalam rangka kritik sastra yang berwibawa. Karena itu tulisan ini sungguh kelihatan berbeda kedalamannya dengan tulisan lainnya.
Sebagai sebuah buku yang mengkritisi karya sastra, yang memang amat jarang jumlahnya jika dibandingkan dengan membludaknya karya-karya sastra, sudah sangat layak apabila kita menyambutnya dengan berbahagia, dengan senyum yang kritis pula. Jangan sampai apa yang dikatakan oleh Sumohardjo menjadi kenyataan, bahwa sastra kita adalah sastra amatur, kritik sastra kita musiman yang kesemuanya selalu dimulai dari awal lagi. Sepuluh tahun kemudian, duapuluh tahun kemudian, tigapuluh tahun kemudian dimulai dari awal lagi. Ya, semoga bangsa ini tidak menghina sejarah bangsanya sendiri.
Komentar
Tulis komentar baru