Skip to Content

puisi-puisi Salman Imaduddin

Foto Salman Imaduddin

Siapa Punya?

 

suatu hari di sebuah kota yang mati lampu

kaki ini memijak ragu

di desir-desir udara panas

gelap tak nampakan walau hanya sebuah nyawa

sesekali mesin-mesin bising. mereguk batin

degup detak getar

siapa punya jalanan ini?

 

aku menjinjit

menolak menginjak yang bukan alasku

lalu memutar isi kepala

mengoyak kacau yang meracau di tubir sukma

menengok ke kiri kanan jalan,

sialan...

kosong hanya aspal dan benda-benda mati

bersabar... lagi-lagi...

menimbang arah mata angin

mencuri-curi arah bulan dan matahari

gelap gelita arah tak pasti

siapa punya jalanan ini?

tiada rambu tiada penentu

aku tersesat di aspal siasat

 

Agustus 2020

 

 

Masa Kecil

 

bayangan memudar hanyut terseret air

air yang mengalir dan aku yang berjalan

berdampingan

sungai adalah kenangan

memelihara rindu masa kecil;

tawa riang senja kala

mengejar angan. teriak-teriak memanggil-menggil riang

nurani dan bibir senyum bersama

sebagai tautan yang tak bisa saling dusta

 

sholawat menjelang maghrib bagai teriakan ibu dari rumah

setiap langkah kaki menolak telat

bagai senyum dan hati

saling mengisi dan menguasai

mulut-mulut tak sabar berteriak amin

 

ibu menyuapi makanan ke mulutku dengan

tulusnya tangan bersama hati dan sebuah harapan masa depan

 

peristirahatan malam pun datang dengan sejuta mimpi yang lelap

bagai perlayaran yang sampai pada dermaga

 

 April 2021

 

 

Istirahat

 

ia sedang menanggalkan

risaunya satu demi satu

menyeret sleting panas dan macet

melepaskan lengket di tangan

menggantungkannya di tangkai pohon yang rindang sejuk

mencari sedesir angin dan mengajaknya bermesraan

ia yang sedang diam-diam

memupuk rindu dalam hati

meminum segelas air

berharap risaupun cair

menimbang-nimbang esok hari

mereka-reka senyum dan lapar

dua kekasih di kamar tunggu

 

 April 2021

 

 

 

Kesepian Panjang 

bermusim-musim sepi menjadi kacau ketika bising gundah merasuk jantung
menusuk-nusuk kepala
membujuk-bujuk kecewa
mengharap-harap hilang
merebab-rebab di telinga
meluputkan mata, menjadi sembab.
menggumpal air mata
membising sesak
menusuk dada
membayang jurang dan jembatan
mengidam tajam, menjelma pisau
atau temali
entah bisa mati atau kembali lagi
bersunyi lagi
sepi lagi
bermusim-musim datang
dan lagi
dan lagi

September 2020

 

 

Kekasih kata dan kursi

kita di masa darurat, kekasih

kata-kata tidak lagi menjelma bulir-bulir yang bertebaran langsung dari rongga suara menuju telinga

tanpa perantara

Ia telah masuk dalam frekuensi magnet tekonologi, tanpa sentuhan getaran alamiah batin. tanpa menjalar ke tubuh, kekasih

dalam rindu yang bisu, ia datang dari jauh. Ia datang oleh jarak

dengan luapan cinta yang sempit terkurung waktu. terkekang ruang. terjebak biasnya masa depan

ia mencoba menjelma cinta yang sama, meski dalam tubuh yang berbeda. tetapi tetap saja, kekasih. ia tak bisa menggantikan sentuhan-sentuhan rasa yang hangat. ia tak bisa menggantikan kehangatan ruang temu. sebuah ruang yang membakar dirinya dengan benturan-benturan aksaranya di udara. di ruang kepala kita. di ruang hati kita. ia tak mampu sehadir dahulu, kala kita tidak dalam masa darurat

kekasih, tidakkah pertemuan lebih anggur dari pada berbotol bir yang menemani layar perantara yang kaku ini

rindu tak mampu usai, kekasih

lalu kursi di sampingku, kini membeku tak hangat lagi

 

Maret 2020

 

Kicauan Burung

aku adalah burung dalam sangkar

merindu langit ranting pohon

mendamba terbang ditiup lembut angin mendung

aku bahagia kala mencium bau hujan

sebab itulah aku menuju peristirahatan

mencari kawanan yang terbang bersamaan dari langit gelap menuju sarang hangat

dan di sanalah kami berpelukan

 

tapi, kita tentu sama-sama kesepian

sebab kau mengurungku karena sepimu

pikiranmu juga sedang di sangkar

terkurung perangkap kata-kata

 

kita merindu, mendamba dan memimpikan kebebasan

 

boleh jadi kita sedikit berbeda

aku masih bebas berkicau

sedang kau dibungkam kawananmu sendiri

 

Agustus 2020

 

 

 

 

 

Beras Terakhir Di Dapur Senja

 

aku melihat wajahmu yang sejuk di mataku yang sebelah. sebelahnya lagi, dikutuk mereka

 

kala itu kau senyum dengan matamu yang tajam menusuk-nusuk kesunyian.

 

kini mengenang kaca-kaca memantulkan risau di matamu. menimbulkan gundah sesak di dada

 

ketika cahaya hidup menjadi redup diserap memoar kelam ketika  kita terbangun dari lelapnya kesibukan

 

aku dan kamu berjalan dalam hati yang tak bungkam. berlari dengan kaki yang menuntut keadilan

terpasung kata-kata di berbagai sudut kota dalam berita-berita rancunya kelaparan,

mencatat semerawutnya keadilan dan mengerdilkan kebebasan memeluk jiwa-jiwa bertanya.

 

kami lapar dan dahaga. mata pisau yang tak kunjung menebas dosa.

 

sementara di balik layar

makan-makan tiba

mulut istana terbuka

kusuapi istana sepiring nasi hangat

 

beras terakhir yang tersisa di dapur senja

 

Juni 2020

 

 

Bagaimana Aku

bagaimana aku merasa merdeka

sedangkan ayahku petani di desa; sawah, ladangnya kau lucuti demi ambisi tempo hari

bagaimana aku merasa merdeka

sedangkan ibuku pedagang di kota; kau usir-usir di siang bolong tanpa pernah kau ganti rugi

lalu di hari di mana dirimu menjadi pemurah yang bernyanyi-nyanyi

berjanji-janji dihadapan kami

kau juga berteriak-teriak merdeka!?

bagaimana aku merasa merdeka?

kau begitu terlihat seperti orang gila

 

 17 Agustus 2020

 

 

Hujan Api dalam Hati


serumpun abu-abu menggumpal dan besenggolan merayap ke arah rumahku yang panas berasap kekalutan

tubuh-tubuh lunglai berkeringat lengket bekas perjalanan

menyusuri lengkingan maki setiap kepala, setiap temu

 

awan semakin menghitam, meneteskan ayat-ayat api yang membakar kondo sunyi

kemeretek menjalar perlahan

membakar dan menyihir sadar

 

sepasang belalang nyasar kelabakan menyuruh kami beristighfar lalu terbang mencari perlindungan, telinga kami yang kosong keberisikan

gelombang marah mulut setan beradu kuat dengan geluduk yang menyumpahi dalam hati

 

kami dan langit mungkin sedang rindu

mungkin langit dan mega-mega cemburu

 

sebab api di kepala kami terlalu panas membakar darah merambat ke kaki, menghentak bumi

 

Depok, Februari 2021

 

 

 

 

Aku Ingin Bernafas


tapi kenapa?


jika aku kulit hitam
maka hitam kulitku, hitam di seluruh matamu

dan jika aku kulit hitam
maka putih di hatiku, putih-putih pula dalam rabun dan samar-samar di matamu

 

Juni 2020

 

Gelandangan Kota


mendongak ke langit awan hitam bergiliran mengejarku dengan tetes gerimisnya yang ramai

 

menengok ke sungai sampah-sampah menggumpal menyelip di sudut-sudut genangan amis keserakahan

 

apakah masih ada makanan?

 

melihat ke kiri pejalan kaki berlari menyayangkan pakaian dan kepalanya yang kering

menengok ke kanan sedan-sedan plat merah menembus jalan padat bebas hambatan

 

dengan sirine menyeramkan pedagang kaki lima minggir lima langkah tak bersuara

 

aku mendekat mengintip sisa-sisa nasi bungkus

 

pekat mendung semakin mengutuk kepala

 

kota gelap gulita lampu redup seperti padam jiwaku mengerdil pikir menjalar ke langit menutup telinga namun tetap tembus bunyi langit bersenggolan

 

tetes semakin tebal kelaparan mencukur takutku

 

masihkah ada sisa makanan? menengok ke aspal kakiku tak kelihatan tertutup genangan coklat kehitaman

sampai di mana perjalanan?

 

kuingat-ingat aku tak ingat

 

masihkah ada sisa-sisa makanan?

 

aku basah dan mandi air tuhan semoga aku suci dari kotor debu jalanan

 

Februari 2020

 

 

Sejak Gelap

 

di pinggir kali

musim dingin tiba, jari-jari tidak bertenaga

tidak ada daya cipta

tidak berdaya untuk berkata

gigi bergetar

pohon-pohon melengkung mati-matian

tak ada api-api

panci kosong, dapur sepi. ya, dapur di serambi pohon rindang

tak ada daya cipta

hanya gigil diserbu angin

di pinggir kali

dinding-dinding kardus mencoba jadi juru selamat

dari gilanya musim dingin

tapi perut lapar tak mempan diganjal batu kali

tak mempan pakai kain rombeng bolong-bolong untuk berhangat sampai pagi

maka gigil berangkat pergi

kala terusik matahari

 

September 2020

 

 

Sebuah Perjalanan

tetes-tetes silih berganti membasahi ujung kepala dalam pelarian dari nestapa

dalam sebuah perjalanan yang berkabut memandang cahaya di atas aspal yang setara pekat, langit nista cahaya bulan

kabur tak menembus, sampai ke wajah.

tubuh lunglai di atas kaki yang hampir mati rasa

mengutuk langkah yang telah terperdaya

 

di pundaknya bertengger kenangan terik mentari bersama asap dan keringat menempel

panasnya membingkai di langit dan muka bumi

panasnya membelah kepala, memupuskan segaris senyuman di daun pintu pengharapan

 

bulan telah kalah pada awan dan hujan yang sengaja datang tak deras. bertahan sepanjang malam

 

pedagang es menerima kekalahannya

membawa pulang seluruh tubuhnya yang juga mendingin gigil bagai es yang gagal terjual

 

  Oktober 2020

 

Seroja

 

“terima kasih" kata yang paling tepat untukmu hari itu.

seroja yang pernah layu kini mekar dengan ikhlas.

 

di dalam hati aku bertanya tentang purnama yang selalu menyinari wajahmu di pikiranku menjelang lelap.

dan itu terjawab dalam sebuah pertemuan

tiap tatapan matamu adalah lembaran cerita untukku

seroja itu tumbuh perlahan begitu berkesan.

 

jika hati ini adalah bumi maka mataku adalah mentari yang sinarnya pemberian dari matamu. sinarnya menumbuhi bebungaan dalam taman kasih di bumi dalam hatiku. serojanya bermekaran. dan tersenyum indah sekali. persis seperti senyummu.

 

terima kasih adalah kata yang sempurna untukmu hari itu. menutup pertemuan dan perpisahan singkat kita, tapi tak apa.

sebab seroja itu...

ia tak layu lagi. ia berkembang mekar dengan ikhlas. ia sepenuhnya milikmu dan akan kujaga dalam hatiku

 

Januari 2021

 

 

Membaca

 

pikiran dibawa menembus batas-batas cakrawala

 

aku membaca

 

jiwa hadir dalam ruang yang bebeda

 

dipenuhi kata-kata

 

emosi dan asumsi melekat dalam tempatnya masing-masing

 

di kamar-kamar alam pikir aku menjadi tak usai-usai

 

menjadi penentu dalam diri untuk luar diri

 

menjadi perjaka yang bebas membuat arti; perempuan dan bumi sama-sama menarik sama-sama menyimpan masa depan yang menyakitkan dan menyenangkan, perut keduanya mengandung kata  yang kelak bisa keluar sebagai bahagia atau bencana

 

ku baca buku-buku filsafat dan puisi-puisi tuhan aku menembus batas-batas tengkorak manusia

 

ku baca alam aku melihat nyata kebesaran dan kuasa

 

ku baca wanitaku aku melihat wajah dan laku yang menarikku dalam sadar maupun buta

 

jika tidak ku baca apa-apa

 

hatiku diguncang kegelisahan

 

maka aku kekeringan

 

Februari 2020

 

Debu Jendela

 

seperti debu yang terngain-angin dan menempel di jendela satu ke jendela lainnya.

dari balik jendela aku melihat seisi rumah bergeletak peralatan percantik si nyonya.

di depan cermin tersenyum meraba harap ia bersolek

dari balik jendela kulihat ia menyampingiku dipakainya mangir putih di wajahnya yang bulat

diukirnya bulu halus di atas mata

begitu piawai ia mewarnai dua buah daging kecil alat paling luar untuk bercakap

kemudian ia beranjak ke kamar dan tak keluar.

lalu, wushh..

angin menghempasku lagi

aku terbang melayang-layang

melihat langit biru yang cemburu pada si nyonya yang pergi ke kamar setelah dandan

aku terbawa begitu kencang menyenggol debu-debu lain

menempel dipojok ventilasi udara.

seorang pria bertubuh gempal juga sedang memasuki kamar yang dari dalamnya ku dengar suara perempuan mengajak lirih...

sebagai debu aku ingin masuk juga ke kamar

tapi aku hanya debu yang tak diinginkan

aku akan terusir jika terlihat 

aku beruntung tidak di semprot dan di singkirkan dari jendela

padahal sebagai debu aku ingin melihat mengapa manusia-manusia mencintai kamar mereka

apakah semua hal bisa dilakukan di dalam kamar

soal kamar, aku ingin menjadi manusia seutuhnya

aku bertujuan untuk ke kamar

apakah kehidupan yang kucari ada di sebuah kamar?

 

 Maret 2020

 

 

Gaza

 

jundi jaffar begitu berserah diri

 

paru-parunya penuh debu,  sesak

 

derapnya berapi-api

 

tetapi istrinya terus berteriak

seperti gelandangan yang diperkosa angan-angan

 

hatinya diguyur hujan panah

 

sementara anak-anaknya mengepal batu keyakinan

 

terbunuh tanpa sengaja atau sengaja

 

tangannya masih terisi dan terkepal

 

  Desember 2020

 

 

 

Malu

 

bulan yang ada di atas kepalamu itu
adalah lampu kamarmu yang menemani sepi-sepimu

menyaksikan perbuatan-perbuatanmu

malam yang bolong itu jadikanlah milikmu

mendongaklah ke atap duniamu

 

jangan kau batasi. rapellah doa-doamu selagi tidak ada seorangpun yang tahu

 

 Maret 2021

 

 

Renungan Bulan

 

apakah salah menjadi rembulan yang sinarnya memukau setiap gelita?

menitik pada luasnya malam yang tenang gemerlapan

melihat setiap nyawa dalam tubuh yang digeluti gejala-gejala hidup yang berkabut

dengan sinar putihnya diam-diam menyimak sepi yang merindu hangat sebuah cerita tentang kasih tuhan kepada hambanya

tentang alam yang tenang tanpa kepulan membuah tangisan

tentang surga

tanpa derita kelamnya kelaparan

apakah salah menjadi rembulan

di pagi gelap

di tangis bayi yang haus belaian ibu

di sela-sela daun pepohonan

merenung

merindu hari-hari tanpa kebencian yang menyelimuti dada

apakah salah menjadi rembulan yang menitik perlahan hilang di buru siang

 

 Maret 2020

 

 

 

 

 

 

 

Mawar

kuncup mawar yang selalu mengganggumu di malam lelapmu, tak perlu kau risaukan. ia sebentar lagi akan mekar. bunga-bunga di hatimu juga akan berkembang

 

lalu cinta akan menjalari seluruh tubuhmu. saat itulah kau hanya perlu ikhlaskan tubuhmu pada setiap peristiwanya. jika menyakitkan, tak perlu kau hentikan. nikmatilah perihnya, pedihnya

 

ini bukan kehancuran, ini adalah awalan pada cinta yang telah bertemu dengan pemiliknya. di dalam ruang-ruang baru. di sudut-sudut hatimu. tempat ia tersenyum dengan segala penerimaan-penerimaan

 

lupakan duri pada tangkai mawar. ia tidak akan menusukmu. ia justru akan menjagamu dari serakahnya keinginan. ia akan menegurmu saat kau terlalu erat menggenggam cinta. peganglah cinta dengan jari-jari waspadamu. resapilah harumnya.

 

jika suatu hari kamu tak mampu memandanginya, maka berterimakasihlah pada hujan. kepada tanah. kepada matahari dan sinarnya yang telah memberi penghidupan pada sang mawr

 

 November 2020

 

 

Setulus Air


jika aku pada sungai tempat kau menjalankan perahumu maka berlayarlah ke tempat yang kau tuju. aku tidak akan meninggalkanmu.

ketika sampai, aku akan menjaga perahumu sampai kau kembali atau pun sampai tak ada yang kembali.

Perasaan melaju mencarimu namun tak dapat kulihat basah rambutmu.

sebab yang ku tuju bukan lah yang kau tuju. yang ku tuju

bukan lah ragamu melainkan pemberhentian segalanya. tempat ikan berenang, debu jiwa dihanyutkan, karang dibenturkan. dan badai diciptakan. aku akan ke sana.

bukan kepadamu yang mencari keniscayaan emas dan perak sebagi perhiasan tubuhmu.

bukan kepadamu yang melihat-lihat lalu mengorek-ngorek isi bumimu sendiri.

ohh sayang, kau pun menggapai-gapai langit cerah. sebab jikalau kelangit aku akan menguap tak nampak.

kecuali mendung dan pasukannya menyerang. aku menerimanya dengan terbuka.

namun jika memang kau mau ke langit. Itulah tempat yang memungkinkan kita bersama.

ragamu basah bersamaku menyatu dalam mendung dan getar halilintar

lalu kelak kita kian menetes membasahi bumi

kita membuka warna di langit yang seketika cerah selepas hujan

 Maret 2020

 

Kenangan Menggenang

hembusan angin mengantarkan pada ingatan

di sudut mata mengenang

di kursi panjang, kau duduk memendam kata-kata

di sudut matamu menggenang

kata-kata menggantung diri dalam hatimu

hembusan angin mengantarmu pada harum kenangan

tapi kau menguncinya dan membiarkannya mati terkubur debu dan daun gugur

 

 Mei 2020

 

Pertemuan Pertama

melihat genangan air di matamu

aku tergelincir alirannya
tercebur kenangan sendumu

aku tenggelam di dasar kesedihannya

 

September 2020 

 

 

 

Malam Pertama 

malam menjelma debu-debu sedingin es. merangsak menembus kulit, menusuk tulang.

angin-angin berdansa kotak kosong  terbang-terbangan pada ruang ingatan-ingatan di kepalaku

tentang harum hangat pelukmu. Seketika satu kotak berisi seringaimu, kotak lainnya berisi wajah-wajahmu; tangis, tawa, kesal, dan manja.

dengan rindu yang kau genggam di nafas terakhirmu kau tinggalkan kami.

hangat kasihmu terasa lagi dalam air mataku yang mengalir diam dipipiku.
lalu ingatan perlahan kusudahi kepergiannya diiringi gemetar bunyi igauan bocah lelap di sebalahku. memanggil-manggil ibunya.

 

22 Juni 2020

 

Malam Bolong

kau tak akan berjalan sendiri lagi sayang, sebab

aku menjadi tak ragu lagi mendampingimu

di sepanjang malam yang bolong. doaku berterbangan mengajak semesta menjagamu

 

Februari 2020

 

Sendu Yang Basah

mata sendu yang selalu menenggelamkan kasih ke dalamnya

selalu menelan korban-korban bersama kobaran luka di dalamnya

kini telah selesai

begitu cerah terang dan berbinar-binar

tak sendu lagi

saat sepasang mata memandang dalam-dalam,

namun tak tenggelam

ia berenang-renang membawa riang kasih

yang sebelumnya tak pernah terbayang

 

Depok, 2020

 

Risalah Hujan 

berlarilah, kejarlah angan-anganmu yang terus berterbangan di setapak cahaya menuju langit. Jangan pernah kamu lepaskan dari pandanganmu.

sebab ia akan menangis saat ragamu telah ragu.

seketika menjauh meninggalkanmu. Ia akan kesepian dalam perjalanannya.

sedunya akan membuat waktu-waktumu penuh sesal yang menggumpal di dadamu

ketika sampai di langit kesedihannya akan bergemuruh

isaknya akan deras.

air matanya akan berjatuhan menemuimu

ketika itu kau hanya diam di kursi hangatmu.

air mata itu menyampaikan kerinduan-kerinduannya pada dirimu

mengalir di selokan,

mengaliri jalan-jalan

hingga bermuara di hadapanmu; terus menerus menggenang di halamanmu

tak pernah luput dari mata, dan sukmamu

 

Oktober 2020

 

Puisiku Yang Mekar 

Kamu lah puisiku yang mekar

dengan siraman hujan malam

yang setiap rintiknya selalu

menurunkan kasih-kasih yang mengubur sepi di matamu

lalu binar matamu menyentuh jantungku saat kita beradu pandang tanpa mengenang

membelai jiwaku, mendayu-dayu bersama angin syahdu

lalu kau membawa cinta di pekarangan aksaraku

 

September 2020

 

 

Meneguk Doa

di balik pintu gelap masih pekat

sejuk menyelinap masuk di rumah dan kalbuku

mentari sedang bersiap memberi harap pada bumi dan seisinya

berpakaian iman aku duduk di kursi ketenangan

ku kenakan sepatu sebagai kerabat perjuangan ibadahku

ku teguk segelas doa hangat dari ibu

"bissmillah"

ku mulai langkah persaksianku

 

Februari 2021

  

Jerat

padaMu;

mata api di ujung mata memandang

membakar mata hati yang penuh harap cahaya fajar

 

oleh mereka;

di pagi yang katarak

mata pisau tajam membelah hukum menjadi dua

hukum dibagi-bagi

disantap sesuai selera,

lezat dan mengenyangkan

 

kami;

mata kaki menghitam

degup iman telah kehilangan rasa aman

 

di persimpangan kebingungan berjubel kumpulan mata-mata yang angkuh dan congkak

mata yang memandang nama diri, suatu kebanggaan

 

gelap, siang dan malam. gelap gelisah

mata terjaga tak mendapat pandang

tak ada sejuk pagi dengan putih kabut di gunung-gunung. tak ada senja dengan riang anak-anak yang berlarian. tak ada lentera malam penghias cahaya bulan. semua hanya siang yang haus dan lapar di jam-jam yang bukan istirahat.

 

23 Desember 2020

 

Api-api Sejuk Kemarin

Sejenak aku melihat abu-abu di langit sore. iya tak dilihat oleh kebanyakan mata.

namun ia ada, sebagai wadah peng-indah sederet senja selang seling

 jingganya membawa mereka mengingat sesurat kesan

berisi api-api yang indah nan menyejukkan

kumpulan api dari kata-kata dalam kumpulan doa untuk luka-luka masa depan

 

Mei 2020

 

Aku Menjadi Sejuk

aku menjadi sejuk

sebab

Kau telah mengangin lembut di tubir ubudku

kau mengusir gusarku di tengah kota

kau meniup-niup gerahku di bawah pepohonan

dan aku menjadi sejuk

sebab ikhlasmu

adalah buah

ketulusanNya pada semesta

 

Depok, Agustus 2020

 

Senda Gurau

aku hadir 

dari sunyi sepi alam rahim


aku menangis 

di buaian alam dunia yang penuh senda gurau


aku merangkak 

di putaran waktu bumimu yang semakin cepat


aku marah
padahal cinta dan kasih telah kau dasari


aku mencari-cari

meski sungguh sudah kau beri

 

lalu aku menyesal

padahal telah mati

 

 Agustus 2020

 

Mimbar Mahsyar

 

ah tinggi sekali mimpi tentang mati

menjulang mencakar-cakar langit menggapai-gapai tangan tuhan

syahwat membabi buta dalam ayat-ayat mutasyabihat

 

digurun yang gersang diujung mata memandang siang membentang

hati gelisah tetap tak padam

dibumi yang meneguk hujan

wajah muram habis tenaga

lepas menindas kepala tentara

para pejuang di garis samar-samar

mengapa ku ludahi mereka

 

matilah aku!

gontai,

berjalan tak bersandal

compang-camping kulit telapak kaki

retak-retak kepala

surat semburat di bibir bekas takbir dan bir bir

gempa menerpa jiwa

gelombang angin dalam dada

 

ya gusti ampunilh dosa hamba

matilah aku,

dikau rajami jiwa ini dengan kesaksianku sendiri

dengan sadarku sendiri

memerah bola mata

bekas tertetes,

liur segala sumpah abadi

pendosa ini ugal-ugalan di sirotol dan botol-botol anggur hitam

wahai tuhan

mimbar goyah

api menganga

 

Mei 2020

  

Maha Muasal


jika kamu bertanya mengapa kamu ada. maka jawabannya kamu sungguh tidak ada. sebab kita adalah tanah hitam yang diberi bentuk.

jika kamu bertanya mengapa kamu tidak ada. maka jawabannya. Ada.

 Ada. Maha Esa. Maha Kuasa

dengan kasih sayangNya kita diberi ruh. Ruh ini dariNya, dari hanya Dia yang Maha Muasal

dengan kesempurnaan artistikNya pada batang tubuh kita
kita mampu membaca segala gejala
dengan semua kasih sayangnya
kita mampu menghirup udara dariNya
kita mampu menapak di bumiNya
kita mampu memikirkan gejala-gejala alam, hujan, gunung, matahari dan bulan

kita bertanya. tetapi tak seorangpun kita mampu menjawab

kita terbatas
kita mampu dan kemampuan terbatas pada apa yg kita lihat, sentuh, dengar, hirup, rasakan.

kita mengerti, maka kita tersadar kembali

 

Depok, 8 Desember 2020

 

Cermin Takwa


aku melihat rambutku, 

cermin memburam

teringat masa kecil.

 

sekain sarung siap digulung dan diikat, hatiku siap tekad

menghindari barisan rapat serentak

kubasuh rambut dengan air keran

melihat wajah tertampan di bulan ramadhan

 aku siap berjalan

 

aku pandangi mataku,

cermin mengembun

teringat masa remaja

        sepasang mata ber api menatap mataku

        digenggamnya sebutir batu

        dilemparinya hatiku yang kalut takut

menghujam pejam mataku mengantar kerlap kerlip bintang kejora kala itu

         di belakang imam  besar, sangat besar

         sebesar gusarku pada barisan

         sebab tahiyatku berbeda dengan lainnya

aku terpejam dan terkecam

 

kutinggalkan diriku

menjauh dari hadapanku

cermin memanggilku

meminta pertanggungjawaban

aku siap berjalan

aku tak bertujuan

cermin berteriak memanggilku

ia pecahkan tubuhnya

aku kembali

merapikan serpihan beling

 

ku buang cermin itu

bekas kaca menusuk telunjuk

           tahiyatku gentar

mataku berkaca-kaca

 

aku kembali ke hadapan diriku setengah badan

kupandangi sisa-sisa tubuh dengan kedipan

 

kulanjutkan sampai salam

 

Mei 2020

 

 

Tahajud

 

ia solat dalam tutur kata yang ikrar. dalam hati dalam sungguh

dengan sebenar-benarnya  adalah bergerak adalah takbir adalah sujud adalah doa adalah damba adalah bakti tiap-tiap hamba adalah perjuangan membangun masa depan

 

mimpi adalah penanda maka bangun dari tidur berucap alhamdulillah

sebab sepertiga malam adalah doa

 

bagai cangkir terisi tak  akan mampu  diisi kembali

 

kosongkanlah dengan istighfar

terjagalah dalam percumbuan dua rakaat. di saat yang lain terlelap menari dalam mimpi. isilah jiwamu dengan api panas suci.

 

syahid adalah anak purnama

setiap malam bergerilya berlomba-lomba menghapus dosa

 

melawan kantuk

Alhamdulillah ucapnya dalam duduk sadar

membasuh mimpi tiga kali, mulai tangan sampai kaki

 

melepas rindu pada tanah berselimut sajadah

Maret 2021

 

Usai Subuh

kuhentikan renung malam

kini bulan mengusirku dari kesedihan, membangunkan aku dari tangis yang khusyuk di atas sajadah

 

saat ku usap air mata ada yang berdetak dalam diri

menembus suara-suara angin yang menggesek dedaunan

memoar kelam yang dibungkam kasih sayang

dan ketenangan

tak bisa kutolak

 

kasihNya menjalar ke seluruh tubuh, memaksa kaki kembali melangkah

29 Maret 2021

 

Janji Hujan

 

sebagai hujan aku tak mampu memilih rindu mana yang kutemui

 

kau menjumpai ku dengan rentetan sedih yang basah di pipimu

dalam isak tangis kau bercerita tentang luka dan sabda cinta Tuhan yang terabaikan

 

kau berlutut dalam pelukku, menungkai doa dan sesal pada genanganku

 

petir menyambar hening syahdu khusyukku menikmati ranum malam bersamamu

 

sontak kujanjikan

pada Tuhan akan ku salurkan doa yang mengalir bersama air genanganku

 

yang kelak terbawa angin dan termatangkan hangat mentari

 

  Juni 2020

 

 

 

Air

 

sebuah mata air. mengalir bersama kata-kata yang bersih dan membersihkan.

 

anak-anak kecil dimandikan ibunya di sungai.

pakaian-pakaian yang sudah penuh debu dan kotoran dikucek-kucek dengan tenaga iman dan sangkaan yang baik.

 

ibu membersihkan tubuhnya dari kelelahan. anak-anak kecil beranjak pulang. ibu membawa ember berisi baju bersih dengan tangan bersih. kaki yang bersih melangkah fasih.

air menyusuri sungai. membawa dua kekasihnya yang telah lama rindu.

 

air, debu dan kotoran menyatu lebur.

air. dan air.

air-air ikut bergabung. mengalir dan bersih

 

 

Selamat Datang

setelah mesiu, kain dan kitab suci digoreng di atas wajan dekadensi
tergesa-gesa disajikan di televisi
selamat datang ...
kuliner musim-musim politik

keluar ke jalan-jalan
bersama bambu dan bendera, trotoar
mengusik pedagang kaki lima yang punya laba tak seberapa
masuk ke warung kopi
bersama bakwan lalu ditelan
melintasi kerongkongan masuk ke organ-organ
sebagian diserap hati menjadi amarah
sebagian menjelma darah mengaliri gerak langkah
sebagian tergerus menjadi kotoran keluar ke jamban

sementara di depan kantor industri berlabel halal
bapak-bapak antre upah subsidi
sambil diskusi mencaci maki
mengharap rezeki sambil menjulurkan lidah api
membakar telinga tetangga yang tidak terverifikasi

mereka berkumpul warna-warna berbaur
dalam ruang dingin yang mendusta panas penguasa siang
mereka berdoa pada pemberi subsidi
meminta pada pencipta lapangan kerja
lalu
berlutut pada harta. jiwa turut bertaut padanya
memuja tahta sengketa
membuka tangan menangkap lemparan kata-kata

bom meledak
pemuka agama terbelalak
si anti agama jingkrak-jingkrak
para koki bersulang berdiri
mentri-mentri menangis di atas kursi sambil menelpon memesan makan siang

fatwa perdamaian dan perbedaan dipajang dipasaran sambil memaksakan keseragaman sesuai kebutuhan dan kesanggupan modal bersiap diborong habis-habisan
dengan berjuta-juta suara persetujuan dan sanjungan-sanjungan masa depan
lalu mulailah hari perhitungan

selamat datang ...
kuliner musim-musim politik
di sini banyak yang terpajang cantik
kadang terbolak-balik
malah jadi menggelitik
awas terpantik!

                                          Januari 2023

 

Catatan

engkaulah amarah terdalam, yang membabibuta terpendam. tembok bisu mengurung api yang gila memaksanya membakar kertas-kertas di kepalaku yang nahas
di kepalaku kertas-kertas berterbangan bertebaran menjadi abu yang kacau
setumpuk kertas bertulis nama para jenazah telah hancur, tetap menempel di sudut-sudut ingatan

walau sudah hancur dan tampak ruai
kini ia berharap dialiri di sungai
engkau masih pemiliknya
namun abu itu menetap di kepala


                                          Januari 2023

 

Rintik

dari celah langit yang lelah kah kau?

dari laut yang sabar menanti istirahat kah kau?

dari tanah basah terserap akar pohon yang menjelma embun kah kau?

dari tangis dewa-dewa yang sedang berduka kah? atau ...

maaf aku lupa, ini di bawah gedung-gedung yang bisu

dan engkau tercipta dari udara panas yang dipaksa berubah dingin

                                 Desember 2022

 

Siklus

dalam tidurku setiap malam
mimpinya selalu sama:

mendung di atas samudera abu-abu
di atas perahu tua
aku berdiri menerka mati
terguncang menuju badai
gelisah membaca cuaca

menatap barisan yang bergeletakan;
jiwa-jiwa muda yang tak kunjung bangun dari tidurnya yang khusyuk

tetap tidur meski terguncang
tatap tidur dalam kelaparan
tetap hangat meski diterpa angin
lelap meski terguyur asin air laut
meminumnya meski semakin haus
mereka lebih berani dariku
mereka lebih tenang dariku
pada batu karang perahu terbentur
pada arus berlawanan perahu coba melaju
guntur pada mendung telah menggetarkan bumi
tak ada hirau risau
tak ada gusar
tak bergerak
kecuali
meminum cipratan air laut

                               Februari 2023

 

 

Renung

gelap memeluk lampu kota. nafas selaras denting jam di tangan, menderu seisi malam yang tua. menuju kelahiran hari barul

lengang namun memburu

tenang namun ragu

 

detak jantung menggema di dada

mengintai jasad pembungkusnya 

pundak memikul tanya

sebuah asa yang hilang entah ke mana

 

ke mana-mana mata memandang

hanya kosong. hanya angin terasa mengelus wajah

larut menjelma layar tak berwarna

datang dari sudut jauh..merambat menghampiri 

ingatan pagi, siang dan senja kala;

 

benda hidup dan mati seperti tak berjiwa

seperti sama, serupa

hanya bunyinya yang berbeda; benda hidup menyala-nyala. memaki-maki. menangis. mengeluh. meludah. menuduh. melotot. mengutuk. menghina segala. menertawai derita. menderita tetap tertawa

 

benda-benda mati. selalu ikut serta. membisu. patuh. menyaksikan. menyangsikan. memimpikan kebebasan. menginginkan kematian yang abadi. membatu. mematung. kaku dan diam pada seluruh yang nyata

 

lalu ada yang memanggil bersama angin dan kerinduan kanak-kanak 

mengajak kembali pada teras dan balai kayu depan rumah

memecah beku yang sejuk

 

Maret 2023

 

Setelah Syakban

Tuhan, sudah Ramadan lagi

dan aku masih hidup di sini

di gumulan jutaan nyawa

di antara nafas-nafas titipanmu yang dilupakan

di antara sendi-sendi pada tubuh yang bergerak tidak sadar, tidak merasakan daya cipta yang Kau beri

hanyut saja, melanjutkan ritual hari-hari dalam bualan keinginan diri

 

Tuhan, Ramadan ini masih melekatkan suasana Ramadan sebelum-sebelumnya

setiap azan mengiang di telinga menyelinap ke otak. menembus dimensi ingatan

setiap azan menggaung di dada mengiringi detak risau yang entah sebab apa

 

Tuhan, apakah Ramadan akan terus bersemayam dalam rindu yang menggelisahkan?

mengingatkan kematian dan kehidupan dalam ruang yang kekal dan penuh terkaan iman

Ramadan menjelma cuaca,

menjelma kesabaran

menjelma kehausan dan kelaparan

menjelma kampung halaman

menjelma masa kecil

menjelma kehangatan obrolan

menjelma pertemuan

menjelma perpisahan

Ramadan menjelma cinta dan kepercayaan

detik jam menuju maghrib terasa berbunyi lebih keras dari jalan yang penuh kemacetan

menghilangkan ketakutan takhayul waktu peralihan

Tuhan inilah Ramadan

ayat-ayat terbaca cepat penuh hasrat di mana-mana

gengsi pada iman dan kesempatan yang selalu menitik di dada di manapun jiwa iman berada

oh ..hasrat yang selalu menggerakkan lidah, hati, pikiran, dan tubuh yang berpuasa

penuhilah hasrat-hasrat itu dengan cintaMu Tuhan

jadikanlah hasrat itu sebagai jalan melepas diri dan dunia fana

agar sekalipun tidak bertemu lagi dengan Ramadan esok.

syukur terlontar dalam nyawa yang beranjak mendekatiMu

tercatat baik di dalam hati; Ramadan ini sama dengan sebelum-sebelumnya, kebaikanMu memeluk erat hidup dan segala lemahku


 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Foto anonymus

keren

keren

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler