Gara-gara Ujian Nasional, pelajaran sastra mengalami disorientasi. Guru suntuk mengajar teori demi Ujian Nasional sehingga melupakan apresiasi. Perlu kiranya dikembangkan pembelajaran kreatif untuk mencetak guru sekaligus sastrawan.
MELALUI mata kuliah Prosa Fiksi Drama (PSD), mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) IKIP PGRI diajak melakukan apresiasi secara aktif. Bukan sekadar belajar teori.
Dosen kampus itu, Murywantobroto MHum itu mengajak mahasiswa agar menjadi sastrawan. “Dengan begitu, ketika menjadi guru tak hanya bisa berteori, namun bisa menggugah hasrat siswa untuk melakukan apresiasi terhadap karya,” ujarnya.
Langkah itu diwujudkan dalam bentuk pementasan lakon drama. Pentas diadakan di aula kampus pada 4-12 Januari 2009. Apresiasi penonton lumayan, satu lakon ditonton hingga ratusan mahasiswa. Penonton wajib membayar tiket seharga enam ribu rupiah.
Sebanyak 16 lakon dipentaskan. Lakon-lakon tersebut merupakan hasil penggarapan mahasiswa semester 3 yang mengambil mata kuliah PSD.
Murywantobroto mengatakan, mata kuliah ini berusaha mengajarkan semua aspek sastra. ’’Ada yang belajar menulis kreatif dengan membuat skenario, belajar menjadi sutradara, aktor, setting dan tata panggung,’’ ujar alumni Magister Humaniora dari Universitas Indonesia ini.
Pendek kata, dia ingin mata kuliah ini bisa mencetak guru sastra yang juga sastrawan. “Lebih jauh lagi, kami berharap guru bisa membelajarkan sastra secara seimbang. Bukan hanya untuk Ujian Nasional, tetapi juga menggairahkan apresiasi,” ujarnya.
Potret Sosial
Mayoritas lakon menampilkan potret suram masyarakat . Para teaterawan muda itu dengan jeli memotret realitas sosial yang terjadi di masyarakat.
Kritik terhadap agama yang gagal memberi solusi problematika masyarakat, misalnya dituangkan dalam lakon berjudul Sang Atheis.
Dalam skenario yang disusun Tri Rahayuningsih itu dikisahkan perubahan sosial sebagai dampak industrialisasi. Orang semakin lupa pada fitrah sebagai makhluk beragama karena memperturutkan hawa napsu.
Tokoh sentral dalam kisah ini adalah Panji (diperankan Ulil Albab). Dia kecewa karena kaum agamawan yang getol mengutip kitab suci turut larut. Sibuk mengejar harta dan kekuasaan dengan topeng agama.
Di tengah krisis kepercayaan, Panji menjadi atheis. Dalam suatu konflik batin, Panji membunuh Rondiah (Sutari) yang tak lain guru ngajinya sendiri.
Lakon ini seakan hendak menyajikan potret para tokoh agamawan di negeri ini. Para kyai dan pendeta berebut kekuasaan sehingga melupakan umat.
Lakon berjudul Graffito juga layak diberi pujian.
Drama yang disutradari Muhammad Syaiful Amri ini menyajikan potret keluarga modern yang sibuk. Tak ada waktu jenak, bahkan sekadar berbagi kehangatan untuk anak-anak di rumah.
Minimnya perhatian keluarga membuat sepasang kekasih Zaki dan Zakia terjebak pergaulan bebas. Sayangnya, saat mereka membutuhkan bimbingan, para pastur dan kyai hanya bisa menghakimi dengan dogma agama tanpa bisa memberi solusi.
Dari 16 lakon, mayoritas menyajikan potret buram dari realitas sosial. Suasana panggung yang remang-remang pun menjadi terlihat semakin muram.
Untungnya, di tengah kemuraman, lakon Ronda berhasil memecah kebekuan.
Mengambil genre komedi, lakon yang mengisahkan kemunculan hantu pocong di sebuah kampung itu segera menghadirkan tawa di tengah penonton. Lakon yang disutradrai Ahmad Muadib itu berhasil membawa penonton ke dalam suasana riang setelah suntuk menonton lakon-lakon sedih.
Dosen pendamping Murywantobroto MHum mengungkapkan, mayoritas lakon berhasil menyajikan masalah sosial yang dialami masyarakat. “Mereka berhasil memotret fenomena sosial untuk disajikan kepada penonton di atas panggung. Mereka sudah bisa mengaplikasikan teori-teori yang diperoleh di bangku kuliah.”
Selain tiga judul tadi, lakon lain adalah Cahaya dalam Kegelapan, Pak Sadino, Denting Kesetiaan, Di Balik Lembar Diaryku, serta Negeri Topeng. Kemudian Secret, Kata Orang Aku Gila, Punokawan Melancong, Ratminah Edan, Belenggu Kehidupan, Sang Merah Putih, Globalisasi Orde Gila, serta Perjuangan Sang Veteran.
Murywantobroto merasa gembira munculnya aktor-aktor baru yang menonjol. Dia mencontohkan, beberapa pemain bisa memerankan karakter orang gila dan waria secara wajar. “Mereka berhasil menafsirkan peran gila dan waria secara tepat. Padahal tak mudah memerankan karakter itu,” ujarnya.
Selain kelebihan, dia juga mencatat sederet kelemahan klasik. Di antaranya ending yang terlampau simpel serta kecenderungan penggunaan alur tunggal. “Potret sosial yang disajikan sudah bagus, namun ending atau solusi yang disajikan masih dangkal,’’ tandasnya.
Kematian sering dijadikan jalan pintas untuk mengakhiri konflik. Bahkan ada lakon yang menghadirkan sosok dewa dari khayangan untuk mengatasi masalah. Nah dari sinilah, dia menilai sutradara belum sepenuhnya memiliki visi dalam membawa penonton. ’’Sebagai pemilik panggung, sutradara mestinya bisa menawarkan solusi yang cerdas dari masalah yang ditampilkan.” (Panji Satrio - 80)
Komentar
Tidak yang tidak mungkin tapi tidak ada yang mudah
Pembelajaran kreatif semacam ini, tentu bisa saja dilakukan, dan penting bagi pengalaman bersastra para mahasiswa juga calon guru, serta guru itu sendiri.
Namun pembelajaran jenis ini tidak bisa dipaksakan, supaya semua calon guru jadi sastrawan. Yang penting justru banyak berapresiasi, sehingga memahami karya sastra itu sendiri secara utuh.
Sebagai tahap awal, proses seperti ini bagus-bagus saja. Dalam prosesnya, ternyata yang paling penting bagi calon guru, apalagi yang sudah menjadi guru, ialah membeli dan membaca karya sastra. ingat, bahwa (terutama para guru yang telah mengajar) mereka bisa hidup karena karya sastra yang ada dan kemudian mereka ajarkan. Jadi para guru pun perlu membeli dan membaca karya sastra, agar dapat menularkan kegemaran membaca itu kepada keluarga, saudara, tetangga, apalagi rekan guru serta siswanya.
Saya sering menemukan bahwa di rumah para guru sastra itu sendiri, jaranag punya buku sastra. Ini ironis. Buku yang dibeli itu adalah investasi juga. Ini juga sangat berlaku bagi para calon guru, agar mereka nanti ketika mengajar sudah punya banyak bahan, referensi dll. Jika industri sastra mempunyai oplah tinggi, maka karya sastra yang baik akan banyak dicetak dan mencapai best selller. Kenyataan sekarang oplah sastra sangat sedikit. Karya yang cetak ulang hanya sedikit. Artinya, yang bergelut di dunia ssatra sendiri tidak menghargai karya sastra yang ada. Tidak ingin memiliki karya sastra.
Yang paling penting bagi guru sastra bukanlah harus menjadi sastrawan. tetapi memahami cara membelajarkan sastra (secara baik) itu sendiri. Dan untuk paham perlu belajar serius. Dan untuk belajar serius harus punya banyak buku, yang bukan pinjaman.
Tidak yang tidak mungkin tapi tidak ada yang mudah
Pembelajaran kreatif semacam ini, tentu bisa saja dilakukan, dan penting bagi pengalaman bersastra para mahasiswa juga calon guru, serta guru itu sendiri.
Namun pembelajaran jenis ini tidak bisa dipaksakan, supaya semua calon guru jadi sastrawan. Yang penting justru banyak berapresiasi, sehingga memahami karya sastra itu sendiri secara utuh.
Sebagai tahap awal, proses seperti ini bagus-bagus saja. Dalam prosesnya, ternyata yang paling penting bagi calon guru, apalagi yang sudah menjadi guru, ialah membeli dan membaca karya sastra. ingat, bahwa (terutama para guru yang telah mengajar) mereka bisa hidup karena karya sastra yang ada dan kemudian mereka ajarkan. Jadi para guru pun perlu membeli dan membaca karya sastra, agar dapat menularkan kegemaran membaca itu kepada keluarga, saudara, tetangga, apalagi rekan guru serta siswanya.
Saya sering menemukan bahwa di rumah para guru sastra itu sendiri, jaranag punya buku sastra. Ini ironis. Buku yang dibeli itu adalah investasi juga. Ini juga sangat berlaku bagi para calon guru, agar mereka nanti ketika mengajar sudah punya banyak bahan, referensi dll. Jika industri sastra mempunyai oplah tinggi, maka karya sastra yang baik akan banyak dicetak dan mencapai best selller. Kenyataan sekarang oplah sastra sangat sedikit. Karya yang cetak ulang hanya sedikit. Artinya, yang bergelut di dunia ssatra sendiri tidak menghargai karya sastra yang ada. Tidak ingin memiliki karya sastra.
Yang paling penting bagi guru sastra bukanlah harus menjadi sastrawan. tetapi memahami cara membelajarkan sastra (secara baik) itu sendiri. Dan untuk paham perlu belajar serius. Dan untuk belajar serius harus punya banyak buku, yang bukan pinjaman.
Tulis komentar baru