Skip to Content

SENI JADI PENGHIANAT.

Foto Dablo
files/user/2127/api_baru_2.jpg
salam.

Pencecapan akan keindahan adalah seismograf dan tolok ukur yang paling akurat terhadap pengalaman sejarah, itulah perkataan Theodor W Adorno. Seni dan kebudayaan kontemporer hidup semarak dimana-mana, tapi sebaliknya, kebanyakan orang justru tidak ambil pusing dengan puluhan juta orang Indonesia yang setiap malam menikmati seluruh sajian dari televisi. Juga ratusan ribu orang berduyun-duyun masuk kedalam bioskop diseluruh negri. Masih harus disebutkan musik, teater, pameran-pameran, tak lupa seluruh harian serta majalah yang menyebar berbagai pesona, memberi daya tarik yang membius untuk masyarakat kita.

Seni dan kebudayaan semacam itu ternyata mampu menjangkau, menembus, bahkan menggoncangkan kehidupan sosial, politik, dan ekonomi kita. Kalau ada cendiakiawan yang tidak paham akan hal ini, agaknya ia tidak tahu atau belum banyak belajar dari sejarah, bahwa seniman dan budayawan adalah agen yang krusial dalam gerakan sosial-politik dimanapun. Seni dan kebudayaan memiliki kemampuan untuk menyentuh, membentuk, juga mengobrak-abrik kesadaran manusia.

Ketidak berdayaan industri kebudayaan untuk melampaui dirinya merupakan simptomatik krisis kebudayaan. Sebagaimana dialektika rasio, dialektika kebudayaan juga gagal mengatasi afirmasi. Inilah krisis yang menjadi pergumulan terus-menerus di dunia khususnya Indonesia.

Akar kegagalan ini, pertama sekali sangat mendalam, ada pada krisis karya seni, karena seni ditempatkan pada posisi yang rawan. Teknologi berhasil membongkar esensi dari autentisitas dan otonominya. Seni tidak bebas lagi memainkan peranannya dalam menyebarkan keindahan, sudah tergantung pada banyak aspek diluar dirinya.
Ada masa dimana seni menjadi penghianat, menyingkirkan keindahan karena ikut bepartisipasi untuk menyebarkan kekejaman fasis, mendirikan kam-kam kapitalis, dan membangun berbagai propaganda yang berkiblat pada ideologi individualisme. Fungsi kritis seni jadi pudar, karya seni hanya mengafirmasi dan berdamai dengan struktur sosial yang ada.

Kedua, mengalir dari krisis yang pertama, kemudian berlangsung krisis kebudayaan pada umumnya. Sebagai mana seni, kebudayaan menjadi bersifat afirmatif, menjadi simbol kematian untuk kesadaran manusia. Kebudayaan hanya diisi dengan slogan-slogan yang kosong.

Kemudian yang ketiga, berlangsung krisis institusi, karena kebudayaan industri berperan sebagai institusi suprastruktur atas trasformasi teknologi seni dan kebudayaan. Menanggapai struktur ekonomi dan politik yang rasional, kebudayaan industri menjadi mandul dan tidak berdaya menghadapi berbagai serangan kultural maupun politik.
Tak dapat dipungkiri bahwa berbagai krisis ini lahir dari krisis pencerahan. Teknologi yang merupakan putra mahkota dari semangat pencerahan berhasil membujuk seni untuk mengingkari hakikatnya sendiri. Pada dasarnya seni adalah alat sebagai penyeimbang untuk membangun keindahan dalam segala aspek baik didalam maupun diluar dirinya.

Ketika seniman dan budayawan telah melacurkan idealisnya dan mengkebiri kesadaran pada posisi dirinya yang sangat krusial, maka seni dan kebudayaan akan menjadi alat perusak yang teramat canggih, lebih bahaya dari senjata pemusnah masal. Jika saat ini adalah masa dimana ketahanan nasional Indonesia telah diancam dengan alat perusak yang dimaksud, tidak ada cara lain yang dapat dipakai untuk menggagalkannya melainkan dengan cara mejalankan revolusi inteligensi.

Di Indonesia, fenomena ini sudah berlangsung sejak tahun 1960-an, hingga hari ini masi terpelihara, dimana lembaga senibudaya tumbuh dalam tubuh berbagai partai politik. Diabad ke-21 ini timbul pertanyaan, jika berbagai partai politik juga memiliki lembaga senibudaya apakah lembaga itu mampu membendung arus disintegrasi nasional yang sedang berlangsung? Atau lembaga senibudaya dalam berbagi partai itu justru merupakan reduksi dari makna seni dan kebuyaan. Apakah tidak lebih baik para seniman dan budayawan dibiarkan independen dan bebas?
Pemikiran dan pandangan realistik yang dibicarakan disini ada dalam pemikiran beberapa tokoh filsafat, pemikir dan kritikus dunia, seperti Marx, Eggell, Lenin, Adorno, Althusser, Lukacs, Benjamin, Brecht, Jones, Paulantzas dan beberapa generasi muda lainnya.***

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler