Ilustrasi lontar Batak memuat wacana tradsional Batak (pustaha Batak). Bahasa Batak memiliki aksara spesifik dan wacana-wacana tradisional yang dituturkans secara lisan atau tertulis turun temurun. (library.lontar.org)
Kumpulan torsa-torsa (cerita pendek Batak) berjudul Tumoing Manggorga Ari Sogot dinilai mampu membangkitkan sastra Batak modern, bertutur kearifan lokal dan nilai luhur tradisional etnis yang ditransformasikan lewat bahasa daerah.
"Manggorga Ari Sogot atau 'Menatap Masa Depan', boleh ditafsirkan sebagai seruan mengajak para sastrawan terus melahirkan karya sastra Batak bermutu," kata Saut Poltak Tambunan, penulis buku, di Balige, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, Rabu.
Tambunan mengaku, dia sangat prihatin dengan perkembangan karya sastra Batak yang semakin menurun dewasa ini, bahkan dianggap kurang mampu bersaing di tataran nasional.
Menurut dia, apresiasi terhadap bahasa Batak itu dinilai cukup rendah, sehingga salah satu cara untuk menyelamatkannya dengan aplikasi ke dalam karya sastra.
Buku Tumoing menatap masa depan, mengisahkan 15 hikayat setebal 169 halaman yang merupakan kumpulan cerita rakyat tentang kehebatan atau kepahlawanan tokoh-tokohnya, dianggap bisa membangkitkan semangat juang.
Apalagi, kata Tambunan, yang pada 2012 dipercaya sebagai kurator senior di ajang Ubud Writer & Readers Festival (UWRF), buku tersebut sudah diterjemahkan ke bahasa asing, di antaranya Prancis dan Polandia, sehingga gairah berkreatifitas sastra diharapkan kembali menggeliat.
"Bahasa atau idiom Batak akan mewakili ciri khas karya, menjadi satu kekayaan. Bahasa Batak memiliki keindahan yang mampu dijadikan sebagai satu karya dalam konteks mendidik, terutama bagi para generasi muda tunas bangsa," ujarnya.
Dia menjelaskan, pada umumnya, satra Batak berakar pada tradisi lisan, yakni umpama, umpasa, torsa-torsa, turi-turian (bertutur dongeng) secara turun temurun. Sehingga, sangat sulit menemukan naskah aslinya.
Perumpamaan dan naskah pustaha (pustaka) kuno dalam aksara Batak ditemukan pada daun lontar, kulit kayu, dan kulit binatang. Sangat disayangkan, anak-anak Batak masa kini secara formal tidak lagi mendapat pengetahuan mengenai aksara tersebut.
Bahasa dan aksara menunjukkan, Batak adalah satu dari sedikit suku di Indonesia yang memiliki aksara Abugida, selain huruf Incung dan Rancung (Kerinci-Jambi).
Selain itu, aksara Rejang (Bengkulu), aksara Kaganga (Sunda), aksara Bali, aksara Bugis dan aksara Jawa kuno (Hacanaraka).
"Pertanyaan Quo Vadis bahasa Batak menjadi relevan, setelah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2011 lalu, menyatakan, akhir abad ke-21, ada 90 persen bahasa daerah yang terancam punah," ujar Tambunan.
Dari 746 bahasa daerah yang masih eksis saat ini, kata dia, mungkin akan tersisa sekitar 75 bahasa, termasuk bahasa Batak yang diragukan kesanggupannya bertahan, sebagai konsekuensi logis dari modernisasi,
Faktanya, banyak anak muda yang enggan bertutur dalam "bahasa Ibu-nya". Bahasa Batak hanya dikawal sebatas pada acara adat, dan itu pun sangat statis, sehingga dirasa makin terpinggirkan globalisasi dan perkembangan teknologi informasi bersifat English heavy.
Sering didengar pidato atau wacana lisan para pemimpin nasional yang mencampur-baurkan bahasa Indonesia dan bahasa asing kepada publik secara terbuka.
"Si Tumoing laris bak pisang goreng. Bahkan, sebelum diluncurkan secara resmi, sudah harus dicetak ulang akibat banyaknya permintaan peminat," kata Tambunan.
Komentar
Tulis komentar baru