Setiap kali aku ketemu istrinya, selalu aku merasa dosa. Setiap kali merasa dosa, selalu aku sangat menyesal. Segala hal yang menyangkut pekerjaan, pindah rumah, lalu utang bank yang tak terlunasi olehnya, semua seolah salahku. Sukar aku menghindar untuk tak ketemu istrinya.
Perkenalan kami terjadi di ujung milenium, awal musim gugur terakhir, sekitar lima tahunan sudah. Seingatku ketika itu dia sudah duduk di sofa ketika aku pulang kerja, terheran-heran mendengar uluk salamnya,
“Tabik, Tuwan! Namaku Sarma.”
“O ya, sudah kudengar dari istrimu ketika dia di sini,” kataku. “Tapi kamu ini asal dari mana, kok bisa tabik tuwan segala?”
Terus terang lelaki itu mengaku, “Asalku Suriname. Kakekku Jawa.”
“Suriname? Jawa asli?”
“Oost Java,” tegasnya. “Sepertinya kita sama-sama turunan Jawa ya? Maafkan kalau aku keliru. Tapi istriku punya kesan yang sama.”
Aku segan mengaku. Mama memang Jawa, tetapi Papa Indo Belanda. Aku sendiri entah. Dulu aku pernah membenci teman sekolah, sinyo yang mengejekku anak blasteran, putih tidak, coklat tidak. Mangkak! Aku sering menangis. Di rumah Papa marah, menyebut aku pengecut. “Yang salah dia, bukan kamu. Jangan bikin malu Papa! Kamu mesti berani lawan, hantam saja mukanya!” kata Papa. Aku takut dikeroyok, tetapi aku nekat bekelai lantaran merasa terhina, juga karena takut Papa. Runyam kuhantam muka sinyo-nya. Ternyata tak ada yang membela. Pengecut semua. Kata Papa, sejak itu kulitku berubah warna: tidak mangkak! Tak kusangka, ternyata istriku Miryam Jawa asli kelahiran Moskwa. Aku baru tahu waktu pacaran, dia anak orang pelarian yang sangat terhormat, bapaknya sarjana politologi jebolan Lomonosov.
“Instingmu tajam, Sarma!” Kusanjung lelaki itu.
Sarma ketawa ngakak: “Ha-ha… Sudah kuterka. Aku banyak ketemu mereka di pasar-pasar pinggiran kota Amsterdam bila kami dolan ke sana. Tabik tuwan! Mereka tertawa kalau kusapa, padahal aku meniru bapakku.”
“Tabik itu Melayu, bukan Jawa,” jelasku. “Kamu bisa omong Jawa?”
“Tidak banyak. Paling hafal… kowe ki kuli!”
“Lho! Siapa ngajari kamu omong begitu?”
“Mandor pabrik, Belanda totok. Aku sering dengar kalau dia sedang berang. Godverdom… kowe ki kuli! Bapakku tukang besi di pabrik gula dekat Paramaribo. Aku sering kirim rantangan kalau bapak manjing, artinya kerja malam.”
Risi rasanya dengar omongan Sarma. Zaman sudah berubah. Hindia Belanda sudah ditelan masa silam. Tinggal sisa ketiplaknya dalam tatanan kolonial yang gagal bertahan di negeri bekas koloni mereka: Suriname. Miryam tak mau mengerti apa dasarnya aku merasa risi: aku tak pernah rela kehilangan darah Belandaku. Tetapi kusanjung lagi lelaki itu:
“Indonesiamu lancar, Sarma.”
“Belajar di Paramaribo,” katanya. “Gurunya pejabat konsulat, menyebut kami Janam. Jawa Surinam. Muridnya banyak. Janam semua. Bapakku bilang, suatu saat kami harus pulang ke tanah Jawa. Jadi, perlu sekali belajar bahasa. Tetapi….”
“Masih punya ilusi?”
“Aku sudah tak punya kerabat di tanah Jawa. Liona, istriku, ngajak pindah ke sini. Beberapa keluarganya sudah menetap di sini.”
“Punya izin tinggal?” usutku agak curiga, jangan-jangan pendatang gelap.
“Kami semua pilih warga negara sini sejak Suriname berdiri jadi republik sendiri. Dasar sial, sukar cari kerja di Belanda, kecuali jadi kuli, warga negara kelas tiga.”
Sarma mengoceh semaunya. Kelas satu Belanda, kelas dua anjing mereka, kelas tiga Sarma!, katanya. Aku sempat terperanjat, mengapa dia bilang begitu. Generasiku sendiri malah tak pernah. Kepada Sarma kucoba menyodorkan realitas baru yang lebih manusiawi, sesuai nalar Eropa sekarang.
“Begini, Sarma. Kita punya hak sama. Jadi majikan boleh. Buruh boleh. Kaya tidak dilarang. Miskin dapat bantuan. Semua ada aturannya. Mentalitas kota besar memang tidak pusingan. Di sana kelewat banyak manusia bersaing mati-matian cari kerja dan tempat tinggal. Kamu mesti coba di desa. Aku sendiri sejak awal mulai di desa ini.”
“Teoritis bagus,” kata Sarma. “Tetapi kenyataannya istriku sempat kecewa.”
Istrinya memang sial. Perempuan itu mengaku barusan melamar kerja di Julianapark. Ada lowongan di sana untuk tenaga wanita, tetapi mendadak ditolak dengan alasan, lowongan itu sudah diisi orang lain. Dia merasa dicampakkan begitu saja, sia-sia mengantongi kartu referensi dari Dinas Penempatan Tenaga. Kartunya amblas bersama tasnya. Dicopet orang.
“Tunggu dulu, Sarma,” kataku. “Aku tahu di kantorku ada beberapa mahasiswa mocok kerja jadi pengantar surat, tetapi sebentar lagi vakansi berakhir, mereka pasti mulai kuliah lagi. Artinya PTT masih memerlukan tenaga baru. Ini kesempatan bagus bagimu. Ayo, ajukan lamaran. Nanti aku bantu, kalau kamu mau. Kerjanya relatif ringan.”
Sarma mulai pikir-pikir, ragu tak ragu, yakin tak yakin. Tetapi bulan berikutnya dia mulai kerja di desaku, tinggal sementara di rumahku. Bulan berikutnya lagi sudah menyewa rumah sendiri dan memboyong anak-istrinya.
Menyilang lahan perhotelan nampak jalan menanjak menuju kaki bukit yang membujur dari utara ke selatan seakan empang raksasa di balik pantai yang landai. Sejak kami menghuni desa tersebut Miryam kerap membayangkan bukit panjang itu bagai ular raksasa, tidur abadi sepanjang masa. Den Helder-12 kilometer sebelah utara-adalah kepalanya, Zandvoort jauh di selatan perutnya, dan Scheveningen lebih selatan lagi, buntutnya. Julianadorp, desa kami sendiri, cuma sebintik sisik yang kadang diremehkan orang. Namun dusun kecil ini punya peran dan arti tersendiri sebagai bagian wilayah pariwisata berkat letaknya yang berdekatan dengan Julianapark, yakni lahan perhotelan yang cukup aman sepanjang sejarahnya, tak pernah terjamah gelombang pasang setinggi kincir angin yang pernah membenam desa-desa pesisir sana.
Tetapi pagi itu cuaca mendadak gelap dan kilat menjilat-jilat disusul guntur yang terdengar menggeletar. Naluri perempuan pembawaan sejak lahir membuat Miryam kuatir, jangan-jangan terjadi bencana banjir yang belakangan ini sering jadi bahan perdebatan para geolog dan meteorolog. Mereka bersensasi di televisi seolah negeri Belanda akan terhapus dari peta dunia jika tsunami terjadi dalam skala seukuran Aceh, Phuket, atau Sri Lanka. Hal yang selamanya dianggap mukal. Miryam cepat-cepat menutup pintu teras rumah yang berderak diguncang angin laut yang ribut.
Menembus kaca jendela depan Miryam menatap si hitam Sarma melangkah tergesa-gesa dengan jas dinas yang menggelepar terempas angin yang deras. Tukang pos itu barusan menyelipkan surat-surat kiriman untuk beberapa penghuni apartemen dan dengan sigap kembali hinggap di atas sadel sepedanya yang tersandar di pagar. Miryam mengayun tangan dengan sinar mata berbinar ketika Sarma melambai ke arahnya seraya meneriakkan berita gembira: “Surat dari Indonesia, Mevrouw!”
Berita gembira! Miryam ikut merasakan, dari hari ke hari, dari tahun ke tahun, lelaki itu telah merebut hati warga Desa Julianadorp karena jasa dan kebiasaan khasnya yang jenaka. Selalu dia serukan satu kata panjang berbunyi namanya sendiri bila dia menyelipkan surat-surat kiriman…: “Sarrrmaaa…!” Suara yang selalu membuat para penerima surat merasa senang, bahkan sebelum tahu dari siapa, apa pula isinya.
Sudah pasti ada makna tersendiri bila Sarma melontarkan lebih dari satu kata berirama seperti yang didengar Miryam: “Surat dari Jakarta, Mevrouw!” Serasa nyanyian keakraban yang menggema dari rasa terima kasih di masa silam ketika istri Sarma pertama kali datang di Julianadorp. Kabut gelap mengendap rata di kaki bukit hingga dataran rendah seluas mata memandang ketika Miryam baru saja meninggalkan Zusteran, mengikuti kursus rutin para calon ibu sekali seminggu. Dia tak punya rencana beli apa pun kecuali merasa seolah perlu singgah di Alberthein hanya karena kebiasaan saja. Dilihatnya para pelayan sudah mulai berkemas memindahkan beberapa papan reklame barang-barang dagangan dari luar pintu ke dalam toko mereka pada menit-menit terakhir menjelang pulang. Pembeli yang baru datang agaknya tak lagi dilayani. Mereka segera meninggalkannya. Tetapi Miryam merasa ada tangan-tangan gaib yang sengaja membelokkan setang sepedanya menuju ke toko itu. Dia menurut saja tanpa sengaja. Kehendak Allah? Entahlah.
Angin dingin mendesing mengiris daun telinga, mengisyaratkan kedatangan musim gugur ketika Miryam turun dari sepeda dan menuntunnya membelok ke halaman toko Alberthein. Sebuah suara perempuan menghentikan langkahnya.
“Maafkan Mevrouw, di mana saya bisa menunggu beberapa jam saja di desa ini?”
Dalam gelimang kabut yang menggenang di pedesaan, samar-samar Miryam menatap sosok seorang perempuan kedinginan, menggigil sambil mendekap anaknya, berdiri di bawah atap pemberhentian bis. Hari sudah sepi. Beberapa pembeli terakhir yang meninggalkan toko itu lewat dengan sangat tergesa-gesa seperti diburu waktu tanpa peduli perempuan yang barangkali mereka sangka gelandangan dan tak perlu diurusi. Namun di mata Miryam tak ada bedanya apakah dia perempuan gelandangan atau perempuan rumah tangga biasa seperti dirinya. Dia sangat membutuhkan uluran tangan. Miryam mendekatinya.
“Di mana Anda tinggal?”
“Di Alkmaar, Mevrouw. Mana bisa jalan kaki ke sana. Lima puluh kilometer kira-kira.”
“Masih ada bis lagi. Dua jam sekali kalau tak salah.”
“Ya Mevrouw, tetapi….”
Miryam ragu, apakah dia benar-benar sedang telantar, atau cuma memancing belas kasihan. Miryam mengamati jarum arloji. Tetapi perempuan itu mendahului.
“Sekarang hampir jam enam, Mevrouw. Bis jurusan Alkmaar baru datang setengah jam lagi. Tetapi saya kehilangan tas. Baru saja saya letakkan di bangku situ, tahu-tahu sudah tak ada. Dompet dan surat-surat ikut lenyap bersama tasnya.”
“Oh! Ada orang lain di sini tadi?”
“Cuma beberapa orang. Mereka naik jurusan utara, tentunya Den Helder. Saya terlena waktu menyusui anak saya.”
Betapa sial. Tangannya menggenggam botol sedotan susu yang tak lagi berisi. Miryam yakin, pasti bukan penipu atau orang gelandangan. Kentara pada cara dia berbicara, pada pakaian yang melekat di tubuhnya, bahkan pada jam tangannya. Namun tanpa uluran tangan barangkali dia akan telantar bagai segumpal gombal tak berdaya bersama anaknya, sampai seseorang sedia menolongnya. Tetapi siapa? Miryam runtuh belas kasihnya.
“O, Anda benar-benar sial. Sayang saya tidak bawa cukup uang. Tapi rumah saya dekat saja. Kalau Anda mau….”
“Terima kasih Mevrouw, tetapi bukan itu maksud saya. Saya cuma perlu menelepon suami saya, mungkin bisa jemput, asal tahu saya di mana.”
“Ayolah, Anda bisa menelepon dari rumah saya,” saran Miryam. “Lupakan saja tas itu. Copet tak mudah dicegah kecuali tertangkap basah. Tetapi Anda perlu lapor polisi supaya diberi surat tanda kehilangan. Bisa saya antar ke sana. Saya saksinya.”
“Terima kasih, Mevrouw. Semoga Allah Sang Pengasih sudi membalas budi hamba sahaya-Nya.”
Perempuan itu cepat-cepat merapatkan kain penutup kepala anaknya, beranjak meninggalkan halte bis bersama juru selamatnya.
AKU kaget waktu membuka pintu. Baru saja pulang kerja, kulihat perempuan tak dikenal sedang menelepon, anaknya merengek di gendongan tetapi mendadak diam karena takut dan terkejut.
“Maafkan, saya datang bersama Mevrouw,” hormatnya.
“O, silakan teruskan,” saranku seraya melangkah ke belakang.
Miryam sedang menjerang susu di dapur ketika kutegur,
“Ada tamu rupanya ya? Siapa?”
“Ssst. Aku sendiri baru kenal. Kebetulan ketemu di Alberthein.”
“Lho, kok lantas ada di sini?”
“Aku yang ngajak. Kasihan tak bisa pulang. Rumahnya di Alkmaar, kehilangan tas waktu menunggu bis.”
Aku membelalak, menandaskan kecurigaan.
“Miryam!” bisikku. “Kaukira bisa dipercaya? Kebetulan aku segera datang. Kalau tidak, barangkali kamu terjebak. Siapa tahu….”
“Albert!” cetus istriku. “Kamu mesti percaya. Dia sudah lapor polisi. Aku sukarela jadi saksinya. Dia cuma perlu menelepon, mungkin bisa dijemput suaminya malam ini.”
“Kok cuma mungkin. Kalau tak bisa bagaimana?”
“Menurutmu bagaimana? Kalau niatnya menolong, apa salahnya jika dia terpaksa menginap?”
“Yang repot kamu sendiri. Perlu masak, menyiapkan makan malam, mengatur tempat tidur. Belum lagi sarapan pagi. Banyak kerja kan?”
“Soal kecil, ah! Mengapa diperdebatkan?”
“Aku mengingat tenagamu, Miryam. Zuster Lammers bilang, jangan terlalu lelah. Sekarang sudah lima bulan. Mesti hati-hati.”
“Masih ada yang kaulupa, Albert!”
“Apa?”
“Sudah beberapa kali kita hadir bersama dalam kursus bimbingan para calon ibu. Zuster bilang, kita perlu mendidik anak sejak dini, jauh sebelum lahir. Bertuturkatalah seramahnya. Bernyanyi selembutnya. Bersikap sejujurnya. Berbuat seadilnya. Berkasih sayang sesamanya. Anakmu sudah mulai belajar apa saja dari ibunya, justru saat dia masih berada dalam kandungan. Pitutur berharga yang kini sudah jarang digubris orang.”
Aku mendebat sekenanya, “Jangan lupa Miryam, anak pun perlu mengerti kesulitan orangtuanya bukan?”
Aku merasa lega, perempuan itu ternyata tak berniat menginap, padahal suaminya gagal pinjam mobil ipar buat menjemputnya. Aku mengantarnya mengejar bis terakhir jurusan Alkmaar. Tetapi aku tetap tidak percaya. Di rumah kubilang pada istriku, “Kukira kamu sudah tertipu, Miryam. Dua puluh lima gulden! Belum tentu dia kembalikan.”
Miryam diam. Namun malam itu juga perempuan itu menelepon, mengucapkan terima kasih. Suaminya berjanji mengunjungi kami di akhir minggu. Dialah Sarma, tukang pos kesayangan warga Desa Julianadorp.
“SURAT dari Jakarta, Albert!”
Aku masih berdiri di depan jendela, menatap pucuk-pucuk pepohonan yang meliuk-liuk kena terjang angin kencang. Alangkah setia lelaki itu memikul tugasnya sejak enam tahun dibenum. Rumah tangganya lumayan, mulai mapan. Anaknya sudah sekolah, setahun di atas kelas Johanna, anakku. Namun sewa rumahnya mahal. Aku memberi saran pada Sarma, sebaiknya pindah saja, lebih baik lagi kalau bisa beli rumah sendiri. Kredit uang di bank bisa diurus, syaratnya mudah yaitu punya penghasilan tetap. Utang bisa dilunaskan dengan angsuran paling lama 15 tahun, angsuran bersama bunganya tiap bulan tak lebih tinggi dari sewa rumahnya sekarang. Dibanding jumlah uang sewa selama 15 tahun, jatuhnya kira-kira sama, sedang rumah itu jadi milik sendiri. Itu untungnya. Itu pula pengalamanku ketika beli rumah di desa. Sarma agak lama berpikir. Tetapi tiga bulan kemudian benar-benar beli rumah sendiri.
Suara Sarma masih menggema di telingaku. Kujentik pipi Johanna anak gadisku yang bergoyang di atas punggung kuda kayunya,
“Mama bilang ke mana, sayang?”
“Mama pergi beli susu sama mentega.”
“Bawa payung ya?”
“Eemmm… ”
Aku cuma geleng kepala, menggapai gorden sepen. Beberapa buah payung tersandar pada jagragnya. Lengkap. Miryam pasti terlupa.
Satu jam lebih aku menunggu istriku. Selama itu sudah dua kali kudengar bel ponsel menyentak-nyentak di atas rak. Lagi-lagi bos kantor pos mencari Sarma. Untuk apa, aku segan tanya. Aku cukup paham dari pengalaman, panggilan mendadak selalu berarti overwerk, kerja lembur di hari libur. Untuk urusan satu ini aku tahu, Sarma segan menolak, tak pernah bisa bilang tidak. Tapi mengapa bosnya tidak langsung saja menelepon rumahnya! Dengan segala akal, majikan tak pernah segan-segan memanfaatkan kelemahannya: si A sakit kek, si B perlop kek. Aku lontarkan alasan singkat, cukup hormat, sopan dan juga apa adanya, “Ik weet het niet, Meneer!””: aku tak tahu.
Aku enggan menelepon istrinya. Sebagai istri dia sungguh tak suka suaminya kerja lembur di hari libur. Sekali dituruti, bisa dipastikan sang majikan bakal mengulang dan mengulang lagi, mendesak-desak orang bawahan supaya kerja lembur, karena jauh lebih murah ketimbang mengangkat tenaga baru buat sekian banyak pekerjaan yang menumpuk. Ujung-ujungnya terang menggaruk laba dengan cara merampas hak orang bawahan memenuhi tugas keluarganya di waktu senggang. Lain tidak.
Hujan lebat. Kilat-kilat api melecut-lecut bagai cemeti. Cuaca yang selalu sukar diramal. Dua buah truk pompa dengan belalai pipa melintas laju dengan keloneng bertalu-talu menuju Julianapark. Aku kuatir ada bencana banjir, padahal Miryam sudah satu jam belum pulang. Kukejar bunyi telepon ketika terdengar tiba-tiba. Miryam di seberang sana.
“Albert! Aku masih di sini, dekat kantormu.”
“Miryam! Kamu lupa payungmu. Tunggu hingga hujan reda!”
“Tentu saja, Albert. Tetapi Sarma….”
“Lho! Nglembur lagi dia ya?”
“Aku tak tahu. Tapi ada kecelakaan di sini.”
“Situ banjir?”
“Dengar dulu, Albert! Ada tukang pos ketabrak truk pompa. Aku kuatir Sarma, siapa lagi? Tapi jangan dulu nelepon istrinya. Orangnya belum jelas.”
“O God! Masak tak nampak? Lihat dululah.”
“Orangnya sedang dirawat dalam mobil ambulans, banyak yang lihat. Aku cuma lihat kantong surat dan sepeda yang berantakan di jalan. Oh oh, Albert! Sekarang dia dilarikan, ya ya… mobilnya jalan. Kukira arah utara, tentunya rumah sakit Den Helder.”
“Miryam! Tanyakan kiri-kanan.”
Setiap kali aku ketemu istrimya, selalu aku merasa dosa. Setiap kali merasa dosa, selalu aku sangat menyesal. Seolah semua salah. Karena akulah Sarma kerja di desa. Karena akulah dia pindah rumah. Karena aku pula dia beli rumah dengan utang bank. Sekarang istrinya janda, ditinggal Sarma yang meninggal di rumah sakit Den Helder. Utangnya tak pernah lunas. Rumahnya akan dilelang. *
Paran, April 2005
Tulis komentar baru