Seperti biasa, pagi itu Alun-alun Suryakencana di Taman Nasional Gede Pangrango sangat cerah. Langit begitu biru dan bersih. Tak ada awan, tak ada kabut, tak ada angin. Matahari putih dan silau, tetapi udara masih juga dingin. Semua sepi. Hanya sekali-sekali dipecah tawa, teriakan dan suara misting beradu dari arah tenda. Pagi itu, beberapa tenda pecinta alam tampak bertebaran di sekitar mataair, di tengah alun-alun. Selebihnya kosong sampai jauh.
Alam yang senyap itu, tiba-tiba digusur bunyi heli yang gemuruh memekakkan telinga. Heli itu besar, dan tahu-tahu menyembul begitu saja dari gerumbulan santigi. Setelah berputar beberapa kali, ia mendarat di tempat yang lapang dan datar. Rumput, edelweis, dan deretan rododendron, semua meliuk-liuk mengikuti pusaran baling-baling heli. Semua seakan ingin roboh dan tiarap rata dengan tanah. Tetapi setelah baling-baling itu makin pelan dan berhenti, semua jadi biasa lagi.
Kemudian pintu heli dibuka dari dalam, lalu empat orang yang gagah-gagah dan gemuk-gemuk melompat turun. Mereka berbaju dan bercelana sangat rapi. Sepatu mereka mengkilap. Beda dengan penampilan pecinta alam, yang bergeletakan di sekitar tenda itu. Salah satu di antara empat penumpang heli itu kelihatan sebagai boss. Dia sangat mengagumi keindahan alun-alun di pagi yang cerah ini.
“Ini sungguh hebat John! Luar biasa! Mengapa baru sekarang saya diberitahu kalau ada alun-alun yang namanya apa ini tadi?” tanya si Boss itu pada si John.
“Suryakencana Pak! Inilah tempat yang paling eksotis untuk pesta pengantin. Bukan sekadar pesta kebun, tapi pesta alam. Tidak akan pernah ada yang punya gagasan seorisinil Bapak. Orang mantu biasanya kan di Balai Kartini, Hillton, Manggala Wana Bhakti, paling banter Istana dan Kebun Raya Bogor. Atau ke Singapura, Hongkong dan Mekah. Tapi bapak lain. Bapak mendatangkan tamu-tamu pilihan itu ke Suryakencana!”
“Sudahlah John, aku sudah melihat dengan mata kepalaku sendiri. Inilah lokasi paling eksotis untuk resepsi pernikahan anakku! Ayo kita pulang dan segera membentuk panitia!”
>diaC<
Rapat panitia itu, berlangsung di sebuah ruang perkantoran di Jalan Sudirman, Jakarta Pusat. Beberapa mahasiswa pecinta alam diikutkan. Ada seksi perijinan, perlengkapan, dekorasi, transportasi, dokumentasi, protokoler, menu, dan seksi-seksi lainnya. Rencananya di alun-alun itu akan didirikan tenda raksasa seperti tenda sirkus keliling. Hanya tempat duduknya tidak dibuat bertrap-trap, melainkan datar saja, dengan meja-meja untuk menaruh hidangan.
Semua peralatan akan diangkut dengan belasan heli carteran. Belasan toilet mobil juga akan dipasang. Rapat panitia sore ini, mendapat kehormatan dihadiri Menteri Kehutanan, Menteri Lingkungan Hidup dan beberapa dirjen. Semua manggut-manggut dan sepakat, bahwa perhelatan Boss Besar ini harus didukung secara politis dan ekonomis. Wartawan yang mengendus berita kontroversial ini, segera mem-blowup-nya di media masing-masing.
“Ini sudah sangat keterlaluan. Tidak bisa dibiarkan. Kita harus gerak!” teriak seorang aktivis lingkungan di depan para mahasiswa pecinta alam di Kancut UI.
“Gila memang, beberapa temen kita, ternyata ada yang membelot ikut jadi panitia,” kata seorang seniman di Warung Alex di TIM.
“Mereka harus kita sikat. Minggu depan kita harus menggelar demo. Menteri-menteri bego itu harus kita beri pelajaran. Kita mesti menggelar happening art.”
“Tetapi yang mau mantu itu kan bokap-nya si Bayi. Bayi kan baik sekali sama kita!”
“Emangnya yang pengantenan kakaknya Bayi ya? Ah nggak enak dong mendemo bokap-nya Bayi. Dia kan ngegèng sama kité-kité.”
“Ya kita tanya ajé diényé. Apa masih mau ngegèng amé kité, atau mau ngebelain bokap-nya. Pokoknya minggu depan kita demo. Gué udah ada sumber dana yang gampang diaturnya.”
Demo menentang resepsi pernikahan di Alun-alun Suryakencana itu berlangsung seru. Koran dan tivi gencar mengekspos. Tokoh demonstran tampil dalam wawancara eksklusif. Pengantin laki-laki dan perempuan juga diuber infotaiment. Tetapi keduanya menghilang. Konon mereka berdua dipingit. Wartawan kecewa tetapi mereka tidak kehilangan akal. Menteri Kehutanan dicecar dengan pertanyaan gencar.
“Jadi Pak Menteri memang mengijinkan Taman Nasional kita diacak-acak untuk hura-hura?” tanya wartawan.
“Yang mau hura-hura siapa? Itu lokasi saya ijinkan untuk resepsi pernikahan. Bukan untuk hura-hura seperti kalian kira,” jawab menteri keras.
“Saya dengar Pak Menteri telah terima amplop, hingga ijin keluar dengan lancar?”
“Ya memang saya sudah terima amplop. Isinya permohonan ijin dan proposal acara yang kalian ributken ini.”
“Berapa èm Pak yang Bapak terima?”
“Banyak sekali. Namanya juga surat. Ada a, ada b, ada c. Tentu juga ada èmnya. Tapi saya ya hanya membaca. Tidak perlu menghitung huruf èmnya.”
“Maksud saya, Bapak telah terima uang berapa èm dari pengusaha yang akan mantu itu?”
“Lo, pasti beberapa èm. Dia memang harus menyewa, dan saya mematok harga tinggi. Kalian cèk saja ke Sekjen.”
“Untuk Bapak sendiri?”
“Saya juga pernah mau dikasih, tetapi saya tolak. Cukup begitu?”
“Anu Pak, katanya…….!”
“Sudahlah, nanti diselesaikan saja dengan Pak Dirjen!”
>diaC<
Pro dan kontra resepsi pernikahan di Alun-alun Suryakencana, makin hari makin ramai. September seharusnya sudah mulai hujan. Tetapi langit masih tetap tak berawan. Di mana-mana kering kerontang. Kebakaran hutan terjadi di mana-mana, dan asapnya terbang sampai ke negeri jiran. Menteri Kehutanan diprotes, didemo, dikejar-kejar wartawan. Isu kebakaran hutan, juga digunakan untuk memojokkan Menteri ini. “Kalau nanti sampai terjadi kebakaran di Taman Nasional bagaimana Pak?”
“Kalau sampai terjadi kebakaran, ya dipadamkan. Kebakaran di lokasi sulit seperti di Sumatera dan Kalimantan pun saya urus. Apalagi kebakaran di situ. Apa kalian ingin kalau ada kebakaran saya diem saja?”
“Bukan begitu Pak. Ini kan musim kemarau. Kalau nanti ada yang membuang puntung, lalu hutannya terbakar, kita kan makin jadi sorotan internasional. Modal asing akan sulit masuk lo Pak!”
“Semua sudah disiapkan. Semua sudah diurus sampai ke detilnya. Saya sudah konsultasi ke Bapak Presiden dan beliau mengatakan bahwa saya harus jalan terus!”
“Jadi Presiden juga mengijinkan Taman Nasional itu untuk mantu?”
“Beliau malah ingin hadir dalam resepsi itu. Beliau mengatakan bahwa gagasan memanfaatkan Taman Nasional untuk resepsi pernikahan, merupakan sebuah terobosan yang brilyan. Diharapkan para wisatawan asing maupun lokal, akan makin mengenal Taman Nasional kita, lalu mengunjunginya. Itu berarti devisa akan masuk.”
Meskipun ditentang pecinta alam dan aktivis lingkungan, meskipun demo-demo jalan terus, rencana resepsi tetap jalan terus. “Kalau presiden sudah merestui, mau apa lagi?” Itulah celetukan yang terdengar di kalangan elite politik. Beberapa LSM lingkungan, lalu sepakat menggugat Boss Besar itu secara perdata. Mereka juga mengajukan Menteri Kehutanan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Beberapa anggota Dewan di Senayan, memanfaatkan isu ini, untuk menggalang kekuatan. Mereka berencana menggunakan hak angket.
Wartawan cetak dan terutama wartawan tivi, senang dengan isu seperti ini. Mereka patungan menyewa heli untuk meliput langsung ke alun-alun yang dihebohkan. Sebab hampir semua stasiun tivi, tidak punya stock shot Suryakencana. Bahkan stock shot bunga edelweis pun tidak ada. Tetapi niat mereka ditentang Menteri Kehutanan. “Kalau mereka mau naik, saya sediakan heli gratis. Tetapi bukan selonang-selonong begitu. Coba telepon pemred tivi dan koran-koran itu!”
Hari itu langit Jakarta tetap panas, berdebu dan berasap. Matahari kelihatan redup. Padahal tak ada awan. Tetapi ketika heli itu membubung makin tinggi, terkuaklah selubung yang meredupkan langit Jakarta. Nun di atas sana, langit ternyata tetap biru dan bersih. Matahari juga berkilau dan tajam. Para pemimpin redaksi beberapa media di Jakarta, diangkut dengan heli dari Halim, langsung ke Suryakencana. Fotografer, kameraman, semua lengkap. Mereka dipandu langsung Menteri Kehutanan. Hanya dalam waktu beberapa menit, rombongan itu sudah sampai di Suryakencana.
“Bagaimana? Apakah Bapak-bapak dan Ibu-ibu masih ragu-ragu?” tanya menteri itu dengan senyum kemenangan. Para pemred masih mencoba mencari-cari titik lemah.
“Bukankah suasananya nanti akan berisik Pak? Padahal salah satu ketentuan di Taman Nasional adalah, tidak boleh ada suara gaduh. Sebab akan mengganggu satwa yang di sini?”
“Justru, pemrakarsa ide ini, beliau yang akan punya gawe, telah memutuskan bahwa tidak akan ada musik. Jadi nantinya para undangan akan bisa seratus persen menikmati bunyi angin, suara elang, dengung lebah dan lain-lain. Prakarsa itu justru datang dari beliau.”
“Tetapi kalau ada sekian banyak manusia, kan berisik pak. Belum lagi bunyi genset yang pasti akan memekakkan telinga.”
“Nanti dulu, kalau soal ada orang banyak, tiap harinya Taman Nasional ini juga dikunjungi ratusan orang. Kalau soal genset, beliau akan mendatangkan genset fuel cell berbahan bakar hidrogen cair. Suaranya tidak ada, yang keluar dari knalpotnya hanya uap air. Jadi mau apa lagi? Sudahlah, sekarang mari kita nikmati saja, suasana siang yang nyaman ini. Apakah Anda-anda ini ada yang sudah pernah kemari?”
“Ya hampir semuanya belum pernah Pak. Kecuali itu Pemred National Geographic.”
“Nah, makanya sekarang kita santai saja. Sekarang waktu akan saya serahkan ke Kepala Taman Nasional, silahken Bapak-bapak dan Ibu-ibu Pemred ini dipandu.”
>diaC<
Seminggu sebelum hajatan besar berlangsung, kesibukan sudah mulai tampak. Heli besar kecil hilir mudik. Kepala taman nasional telah menutup Gunung Gede Pangrango bagi pendakian umum. Paspampres mulai menyisir tempat-tempat yang mencurigakan. Semua pintu masuk pendakian dijaga ketat. Jalur-jalur yang biasa digunakan pencari kayu bakar, pencari paku-pakuan, semuanya dijaga tentara, polisi, mahasiswa pecinta alam dan warga setempat.
Sebuah stasiun tivi telah memenangkan tender hak siaran langsung, dengan sponsor perusahaan rokok. Pers yang akan meliput acara ini diseleksi dengan cermat. Media yang selama ini minir terhadap pemerintah, tidak diberi ijin meliput. Jumlah wartawan, fotografer, kameraman dan presenter tivi juga dibatasi. “Ini demi kenyamanan kita bersama, dan juga demi kelestarian Taman Nasional kita,” jawab Menteri Kehutanan, ketika ada wartawan yang iseng mempertanyakan pembatasan ini.
Tenda, toilet portable, meja-meja, kursi, semuanya diangkut dengan heli. Sebuah tower reservoir darurat dipasang. Tangki-tangki yang akan menampung limbah toilet didatangkan. Stasiun tivi yang memenangkan tender tayangan langsung, telah memasang antene darurat di Puncak Gede. Pas hari H, semua penonton tivi di tanah air, akan bisa menyaksikan event langka ini secara langsung. Seorang ustad kondang dan artis kenamaan akan hadir sebagai saksi akad nikah.
Hari H itu pun tiba. Cuaca sangat cerah. Tak ada secuil awan pun tampak di langit. Heli demi heli berdengung dari Jakarta menuju Suryakencana. Semua membawa tamu VVIP. Suasana Alun-alun itu sendiri sudah berubah dari hari-hari biasa. Meskipun santigi, rododendron, edelweis dan rumput liar, semua masih tegak menjadi hiasan alami, di antara tenda-tenda. Dan nun di tengah tenda-tenda kecil warna-warni itu, berdirilah sebuah tenda raksasa yang megah. Di tenda besar itulah para tamu agung akan duduk menyaksikan hajatan.
Presiden dan wapres, diharapkan hadir tepat pukul 11.00 WIB. Mereka berdua hanya akan datang, memberi selamat kepada mempelai, foto bersama lalu pulang. Sebab kesibukan beliau berdua hari ini, memang luarbiasa. Pukul 09.00 pagi, tamu-tamu sudah mulai datang. Mereka tidak langsung masuk tenda, melainkan berkeliling menikmati pemandangan yang belum pernah mereka saksikan sebelumnya. Pukul 09.30 tamu yang datang makin banyak. Sebab pukul 10.00, akad nikah akan dimulai.
Pukul 09.45, mendadak kabut datang. Cuaca yang semula cerah tiba-tiba berubah gelap. Angin juga bertiup sangat kencang. Kabut makin tebal. Angin makin menggila. Hujan turun dengan lebat. Para tamu berlarian. Tenda-tenda kecil roboh dan terbang dibawa angin. Cuaca makin tak karuan. Tenda besar terguncang-guncang keras. Tiba-tiba sebuah tenda kecil terbang menghantam tenda besar itu. Tenda besar itu pun roboh. Sebagian terpalnya melambai-lambai dimainkan angin. Kain tenda itu terus berkibaran, bagai layar kapal yang tiangnya patah diterjang badai.
Cimanggis, 2006
Tulis komentar baru