Bulan, selaksa celurit menggantung di dinding, bilik-bilik kandang. Segaris cahaya menelusup, rebah di halaman. Bayang-bayang pohon siwalan memanjang. Terang, di belakang rumah serupa gubuk, tempat tinggal Madrusin, sepetak ladang rimbun ilalang pucuknya turut bergoyang diayun angin. Cericit tikus, decak cicak, krik-jangkrik, kecipak air dari padasan. Lenguh sapi menggaung, kemerisik angin menyisir pelepah janur pohon berayun, melambai menimbulkan komposisi bunyi dan gerak; saling berpaut. Serupa tarian rombongan seronen; beriringan, menuju arena kerapan sapi.
Bulan sabit sepadan celurit itu kian susut, bergerak diarak angin mengantarkan lelaki yang sedang duduk di sisi lincak pada serajut pertalian kenangan manis yang tanggal. Bulan, perlahan redup, menepikan bayang. Garis-garis cahaya kian menipis di seruas jalan hingga pematang. serupa pengembara letih; tak sanggup melanjutkan perjalanannya hingga tujuan. Begitu pun, Madrusin. Tatap matanya lelap. Ia terdiam. Diam-diam arakan awan yang terus bergerak, bulan yang terus redup dan menepi mengantarkannya pada sebuah kenangan yang kadang menyakitkan. Pada Asnain, calon istrinya yang telah raib. Pada Gani, yang belum lama ini, hampir memisahkan kepala dan tubuhnya. Beruntung, Madrusin bisa mengelak, sabetan celurit Gani disebuah pematang sawah selepas lotreng[1] sapi senja hari.
Ya, ketika itu, Madrusin, baru saja pulang dari lotreng kerapan sapi. Sengaja, waktu itu, ia tidak langsung menuju rumahnya. Memang tidak pulang. Ia tunggui Asnain calon istrinya yang ikut nonton lotrengan. Namun entah. Nasib tak bisa ditimang, jodoh pun tak bisa ditebak datang dan pulang. Di benaknya, terus terngiang kalimat-kalimat yang diucapkan Gani, di tempat yang sama, di pematang sawah tak jauh dari tempat tinggalnya. Gani, bersama Luki, Mail, Musdar, kala itu, tanpa sebab-musabab jelas, Gani langsung memutuskan hubungan pertunangan Asnain dan Madrusin.
”Kamu, tidak pantas jadi suami Asnain. Eppak-Embukmu[2]…” Madrusin tergagap, atas keputusan Gani.
”Bagaimana mungkin. Cobalah sedikit sopan. Hubunganku dengan Asnain. Tak ada hubungannya dengan kekalahan sapi kerapan, Paman. Hubungan kami berdua tak bisa begitu saja Paman, campuri. Kami tak ada masalah. Kok, tiba-tiba…” Gani seperti dipecundangi oleh ponakannya. ”Dulu, paman, merebut dan merampas tanah dari Eppak-Embuk, yang sudah jelas-jelas oleh kae[3] diwariskan kepada, eppak-embuk. Dan sekarang, Paman, mau merampas hak kami, mencintai dan dicintai. Kalau, Paman, kecewa kepada eppak-embuk. Kenapa mesti dihubung-hubungkan dengan hubungan kami berdua, yang tidak bersalah apa-apa?!” Beberapa kanca Gani, hanya bergidik menyaksikan pertengkaran dua lelaki sefamili itu.
”Lancang benar mulutmu.” Gani mengeluarkan sebilah celurit dari balik pinggang yang sungging, menyabitkannya ke arah perut Madrusin. Madrusin segera menghindar, tak menyia-nyiakan kesempatan, dilepaslah baju hitam Madrusin. Beruntung, beberapa kanca Gani, memegang tangan, merampas dan segera menyeret keduanya. Lalu, masing-masing dibawa pulang. ”Bilang sama eppakmu, Gani belum kalah.” Gani geram, berontak.
Langit tampak lebih cerah. Madrusin pun gairah. Ia nikmati secangkir kopi, sebelum akhirnya berangkat menyabit rumput untuk pakan sapi kerapannya. Bahkan, bisa dibilang, baginya pagi tanpa kopi kurang lengkap. Entahlah, apa maksud dari semua itu. Yang jelas baginya dan bagi warga kampung kami, secangkir kopi tak ubahnya sebuah spirit untuk bekerja, menyabit rumput sebagai pakan sapi. (Tapi tidak.) Sepagi ini, Madrusin tidaklah segairah seperti hari-hari kemarin. Madrusin benar-benar gelisah. Raut wajahnya yang hitam legam seperti sedang dihinggapi sesuatu yang membuatnya tak nyaman untuk tidak terus menggerakkan jemarinya; mengusap, menggaruk. Sesekali, berjalan mengitari sekitar halaman panjang rumahnya.
Terasa, sepanjang ruas jalan kampung menuju ladang, kandang dan pematang, lengang. Hijau daun-daun, ilalang bagi Madrusin, sepagi ini, tak ubahnya seperti seseorang yang hendak berkabar tentang sesuatu yang mesteri. Samar terdengar kicau burung dari sela rerimbun pelepah pohon siwalan. Madrusin terpaku, ingatannya kembali pada beberapa tempo lalu; di sela rerimbun pelepah pohon dan ilalang itu pernah tercipta sebuah tali ikat kasih asmara. Pertengkaran. Keputusan sepihak. Ya, sebuah tali ikat kasih bersama seorang gadis yang kini raib tak bisa diharap lagi untuk dirajut kembali sebagaimana dulu. Asnainkah, yang membuatnya gelisah sepagi ini?
Angin pagi menyisir rambutnya yang tidak tertata, mengantarkannya pada masa kanak-kanak, bersama seorang gadis yang telah menjadi tunangannya, semenjak ia berusia sepuluh tahun. Asnain, bunga desa yang pernah menjadi calon istrinya? Kini, raib dari harap untuk dijadikan seorang istri. (sebagaimana kebanyakan orang- orang kampung kami; tunangan adalah hal pasti untuk menjadi seorang istri). Atau, Madrusin, sepagi ini gelisah lantaran pesan dari Paman Asnain, yang mesti disampaikan kepada Eppaknya; perihal kerapan sapi?
Pagi yang cerah. Madrusin yang gelisah. Ia mengernyitkan dahi, mengingat pesan dari Gani, beberapa tempo lalu yang harus disampaikan kepada bapaknya: Bilang, kepada Eppakmu. Kalau Gani, belum kalah! Gani memalingkan muka. Kita bertemu beberapa bulan lagi. Siapkan sapi-sapi andalannya, kalau perlu sekalian dengan dukun-dukunnya!
Kenapa Gani sekasar itu? Eppak, salah apakah Eppak? Tak puaskah ia menyakiti, eppak-embuk, aku? Madrusin duduk terpaku tak beranjak.
Ya, seumur hidup baru kali ini, bapak Madrusin dipanggil untuk menemui Gani, di belakang kandang yang penuh rerimbun ilalang, tepat pada tanggal lima belas saat bulan purnama. Atau jangan-jangan Gani berkehendak menyambung kembali pertunangan kami yang telah putus? Madrusin tersenyum simpul. Tapi benarkah? Bukankah bapak ibu Madrusin dengan keluarga Gani tidak begitu rukun lantaran sengketa tanah. Hubungan Madrusin? Pertunangan Madrusin dengan Asnain yang diputus lantaran Gani kecewa perihal kekalahan sapinya. Masih dendamkah Madrusin sebagaimana peristiwa dipetang sawah hingga kedua pihak terjadi pertengkaran hebat. Terang, Gani kala itu berang. Dikeluarkannya sebilah celurit yang diselinapkan di balik pinggang yang sungging lalu disabitkan celurit yang keperakan itu hingga merunduklah serimbunan ilalang.
Untunglah, Madrusin, cepat menghindar. Karuan celurit itu luput sasaran, segeralah Madrusin melepas bajunya yang berwarna hitam lalu dikibaskan ke arah tangan Gani. Baju itu menggulung celurit Gani hingga celurit lepas dari tangan Gani. Kontan Madrusin tak menyiakan kesempatan, dijemputlah celurit.
Madrusin duduk terpaku di sisi lincak, apa gerangan yang membuat Gani, memanggil Eppak? Menemuinya saat bulan purnama? Bisik, Madrusin penuh tanya.
Almanak di pojok dinding yang tak jauh berjejer dengan sebilah celurit lekat ditatap. Madrusin mendesis di antara kebingungannya, ingatannya menerawang pada ibunda tercinta yang mati sebab ditabrak sepasang sapi Gani, ketika hendak dikerap di lapangan Trunojoyo. Pada Asnain mantan tunangannya. Sementara, kegetiran menemui Gani lebah di antara pori-pori, menjalar pada saluran darah yang berkejaran dengan angka almanak: tanggal lima belas bulan purnama. Kapan?
Madrusin seperti diburu rasa takut. Tidak. Bukannya ia takut dibunuh, tapi Madrusin khawatir ikatan kekeluargaan antara Gani dan keluarganya yang sudah tidak rukun lagi selama bertahun-tahun sejak duel, akan lebih berkepanjangan dan tak kunjung usai untuk berukun kembali sebagaimana tahun-tahun silam. Ia gugup bagaimana nanti kalau Gani, Paman Asnain akan menyambung kembali hubungannya.
Ah, kenapa musti tanggal lima belas dan saat bulan purnama tiba? Bukankah tanggal lima belas adalah waktu yang tepat untuk berkumpul dengan keluarga, saling meminta maaf, mengadakan acara ritual sekeluarga? Bisik, Madrusin. Selang beberapa saat, tiba-tiba, di sela kegelisahannya, terdengar suara Imron yang fals dari luar pagar: ”Sin, cepat ditunggu kakek.” Madrusin tergagap.
”Asytaga,” desisnya. ”Waktunya sekarang?” teriak Madrusin dari dalam.
”Ya,” imbuh Imron.
Tentu saja Madrusin tak ingin, Gani menunggu terlalu lama, apalagi sampai ia kecewa, meski sebenarnya ia ragu dan curiga, namun tak membuatnya menyalakan api dendamnya untuk membalas kekecewaannya kepada Gani. Madrusin segera mengambil celurit yang menggantung di dinding, lalu ia selipkan ke balik pinggangnya. Sebagaimana tradisi di kampung kami. Ia kenakan peci dan baju hitam, celana komprang berlapis sarung.
Senja beringsut dari bibir awan yang menawan, langsat warnanya keemasan, orang-orang berjalan bersama, beriringan menuntun sapi, ada pula yang memasukkan anggas dan jerami ke dalam karung, di antara mereka sudah akrab dengan alam.
Beberapa ekor sapi dari dalam kandang Luki melenguh. Kunang-kunang berkelabat hanya sesaat, bulan menancapkan cahayanya pada hamparan ilalang, pada batang pohon dan buah siwalan, sesaat terdengar lenguh sapi dari sebrang yang tak jauh dari sekitar. Anak-anak seusia sepuluh tahunan berjalan bersama, berjejer sepanjang jalan dengan sangat rapi tanpa ada yang memandu. Sebagian di antara mereka membawa obor, ditangan kirinya sebuah kitab didekap dan pada barisan belakang terlihat bapak ibunya mengiring mengantarnya ngaji ke langgar.
Lampu teplok menyala remang, menggantung pada batang bambu atap kandang. Terlihat seorang lelaki seperti tengah menunggu sesuatu, ia duduk, tubuhnya agak bungkuk, separuh wajahnya yang keriput terkipas cahaya bulan.
”Itu, Kakek, menunggumu,” ujar Imron.
Sesaat tubuh Madrusin tersentak, melihat Gani, barangkali sudah lama menunggu. Tentu ia akan marah-marah. Beribu tanya berdesak dalam benak Madrusin.
”Sebenarnya, ada apa, Ron?”
”Barangkali, ada yang perlu dibicarakan denganmu.”
”Tentang, Asnain?”
”Tidak mungkin, Asnain sudah ada yang meminang.” Mendadak, Madrusin tergagap. Sepoi angin menyisir luka masa lalunya. Ranting-ranting pohon menggantung, tak kunjung jatuh. ”Tapi, tenang, Sin. Asnain tak suka kepada tunangannya. Ia masih ingin kamu jadi suaminya,” imbuh, Imron.
Mata Madrusin nanar, wajahnya berkerut, menampakkan seseorang yang sedang patah hati. Tidak, ia harus tenang. Tenang menghadapi seseorang menyebabkan hubungannya bersama Asnain putus. Pelan, Madrusin mendekati Gani, yang tengah duduk menunggu. Terbesit dalam benak Madrusin: Tanggal lima belas saat bulan purnama? Bimbang; benarkah Asnain sudah ditunangkan kembali? Bisiknya dalam hati. Ah, tidak. Madrusin, seraya meminta maaf didekatinya Gani.
”Maaf, terlambat,” suara Madrusin ramah.
”Tak apa-apa.” jawabnya.
”Ada yang perlu kubantu, Man?”
”Ya, sapi kita.”
”Ada apa dengan sapi, kita?”
”Bulan depan, tanggal lima belas akan ada pertandingan besar-besaran.”
”O, ya?”
”Kita nego, saya berharap, kau dapat membujuk Eppakmu, agar tidak mengikutkan sapinya dalam pertandingan kerapan bulan depan,”
Sejenak Madrusin, bernafas lega. Diliriknya Gani yang sedang menggulung kelobot.
”O, kalau soal itu maaf, Man.”
”Memang kenapa?”
”Asnain.” desis Gani. Madrusin tergagap.
”Kenapa dengan, Asnain?”
”Taruhannya.”
”Eppak, tak bakal mau. Beliau, sangat kuat dengan prinsipnya, dia tak ingin dalam pertandingan ada kongkalikong dikhawatirkan akan terjadi pertandingan yang tidak sehat. Apa artinya sebuah permainan?” Gani menatap Madrusin, tajam. ”Naif benar. Kalau Asnain harus menjadi taruhan permainan.”
”Bukankah sekarang setiap permainan harus dinegosiasi? Apalagi sekedar kerapan sapi, yang hanya sisa tradisi.”
Madrusin, naik pitam, ingin menampar mulut Gani. Namun, Madrusin terus menjaga dirinya, mengendalikan emosi. Tak seperti biasa, Madrusin yang selalu bersikap ramah:
”Maaf, Man.”
”Sin. Lancang benar kamu. Dasar tidak tahu tata krama”
”Siapa yang mengajari?!”
Mendengar jawaban Madrusin yang singkat, Gani pun naik pitam. dikeluarkan sebilah celurit dari pinggangnya yang sungging, lalu ditodongkan kearah perut Madrusin, untung saja Madrusin segera menghindar. Secepat kilat ia segera menangkap tangan Gani, dan merubuhkannya ke tanah sembari ia mengucapkan satu kalimat. Asnain tetaplah akan menjadi istriku, Paman. Percayalah.
Jogja 2004-2006
Catatan
[1] Lotreng sapi, uji coba pertandingan kerapan sapi.
[2] Eppak Embuk. Bapak Ibu.
[3] Kae. Kakek
Tulis komentar baru