DI PADANG SEMBAHYANG
mengetuk pintu demi pintu. jam mendetak
di lantai. dinding pun terjaga. dan ombak bangkit
dari jendela. aku tersungkur: lewat pintu-pintu itu,
angin mengusung zikirku dari alif ke alif, dan asmamu
mengerang di padang-padang sembahyang
1988
SENJA TELAH MENETAS
tulang rusukku hanya akan kurelakan jadi seruling
untuk suara-suara yang diagungkan angin. bahkan topan.
maka kalau kupandang remang di ambang petang itu,
aku tahu: senja telah menetas dari airmata tulang rusukku
2002
BURUNG AZAN MAGRIB
seluruh sunyi telah kita dekap dalam degup rindu, sore itu. tapi
selalu ada gema, seakan kumandang karang dari perah hatimu.
kubaca jengkal tanganmu dalam perih doaku, hingga kita paham:
di kamar paling gaib pun sunyi berpintalan dengan diam. lalu
kita menangis di helai-helai waktu yang membakar. kita pun
berkobar, menari, menggali luka sunyi luka diam dalam firman
malam
azan magrib itu kini jadi burung. mengepak dalam airmatamu
yang tertahan di doaku. terbang mendekap rindu di antara
reranting nafasku
adakah yang lebih dalam dari dekap burung pada rindu?
2002
SUJUD KEMATIAN
begitu deras batu-batu mengalir dari alis matamu
menziarahi pekuburan yang memanggil-manggil kematianku
dengan sujud bunga. o jasadku hanyut
dalam gelombang-gelombang besar mimpimu. ke mana
harus kusalurkan airmata?
kudengar zikir batu karang pada dasar gemercik air:
tangis lebih dingin dari sujudku. o darah
yang dihanyut batu-batu, berapa kali harus kusyahadatkan
cintaku? perjalanan mayat yang jauh
menggali dan menimbuni jurang-jurang. pada
lenganmu, kuusung mayatku bersama air yang keruh
dan daun-daun yang menguning. keranda begitu teduh.
untukmu, kukarangkan doa
dan nisan kesangsianku. kita karamkan
gunung-gunung dan kabut yang tebal!
1989
ANAK-ANAK TEMBAKAU
kepada petani tembakau di madura
kami anak-anak tembakau
tumbuh di antara anak-anak batu
nafas kami bau kemarau campur cerutu
bila kami saling dekap,
kami berdekapan dengan tangan kemarau
bila kami saling cium,
kami berciuman dengan bau tembakau
langit desa kami rubuh seribu kali
tapi kami tak pernah menangis
sebab kulit kami tetap coklat
secoklat tanah
tempat kami menggali airmata sendiri
langit desa kami rubuh seribu kali
tapi kami tak pernah menyerah
pada setiap daun tembakau
kami urai urat hidup kami
pada setiap pohon tembakau
kami rangkai serat doa kami
2000
DI IRAK, BAHKAN DOA PUN REMUK
di irak, di kilang-kilang minyak, di padang-padang debu, di
gudang-gudang peluru dan mesiu, bahkan doa pun remuk.
tulang-belulang kami tak bisa lagi menggali tanah, tempat kami
menyuling hidup di ladang-ladang minyak, tempat kami
mengilang bom di padang-padang amuk. semua telah jadi api,
dan kami berkobar merebus darah sendiri, membakar-bakar
matahari.
kami pungut pecahan doa di reruntuhan kilang dan gedung,
lalu kami suling jadi patung api, tempat kami mengenang
tanganmu meledakkan matahari di padang paling sunyi. kami
coba menata kembali doa kami yang remuk, tulang-belulang
kami yang luluh-lantak, lalu kami rakit jadi bom dalam diri
kami. setiap saat ia meledak tanpa kami merasa pernah mati.
malam-malam kami dirayapi tank, dicekam rudal, diintai
peluru. diraungi ledakan-ledakan. langit pun pecah. tanah
terbelah. dan kaki anak kami patah. dan kaki anak kami patah.
dan hati anak kami pecah. dia menangis. tapi yang terdengar
dari isak tangis anak kami adalah bisik tertahan di raung sirine
perang: orang-orang mati doa di kilang tangisku. orang-orang
mati doa di kilang tangisku.
ya. kami coba menata kembali doa kami yang remuk, tulang-
belulang kami yang luluh-lantak, lalu kami rakit jadi bom jadi
rudal jadi nuklir dalam diri kami. setiap saat ia meledak tanpa
kami merasa pernah mati.
2003
BELAJAR PADA BATU-BATU
belajar pada batu-batu, alif demi alif
di matamu kueja. dingin alismu menelikung pada
setiap tembok yang membangun sunyi nafasku. di sana
kau taburkan bunga dan batu
sambil menciumi telapak tanganmu yang kosong
belajar pada batu-batu, tuak di gelas-gelas
kutumpahkan. meja terluka. kursi bergerak
ke arahku
awan bergerak memandangmu, mengais-ngais
jasadku dari rumpun daun yang mengering, padahal
di situ, batu-batu yang diam masih kurenungkan
1988
PENYAIR DI POJOK TIKUNGAN
karena setiap bahasa memiliki tanda kurung dan garis miring,
penyair selau berdiri di pojok tikungan
penuh bahaya itu. ia tak mampu lagi
memahami gelora bahasamu saat kau berusaha menegakkan
menara cahaya, tapi ia tahu, di balik garis miring,
seribu tanda kurung masih menunggu
tak terbakar penyair menggelora di magma bahasa
menyergap bayang-bayang patah warna. tapi ia tak tahu,
bahwa di pojok tikungan itu,
ia sedang mendaki garis miring dalam tanda kurung
yang terbuat dari airmata ibunya
2001
BAYANG-BAYANG
pada usia berapakah matahari menciumimu? usia beredar
sepanjang ajal: perjalanan yang tak sampai-sampai pada hujan
sementara percakapan dengan dinding tak pernah sampai
ke cakrawala. berapakah usia matahari, ketika dia turun
memeluk nafasmu dalam tidur yang menggelisahkan
tak kujemput bayang-bayangmu pada ufuk matahari
yang jauh sebab setiap kali berusaha mengenangmu,
aku selalu melupakanmu
di manakah jejak-jejak itu menggariskan airmata?
luka tak lagi memercikkan darah, melainkan nyanyian
yang dipetik dari gitar kayu: menimbang-nimbang matahari
dan kemudian menggulirkannya sepanjang darah sembahyang
ingin menurunkan matahari, aku begitu khusyuk
memeluk cakrawala ...
1991
BERNAFASLAH PADA OMBAK
bernafaslah pada ombak. karena danau telanjur
menyimpan buih. membendung gelombang zaman
dan menghanyutkan doa. dari bukit sukmamu
batu-batu pun hanyut ke dalam sujud muara,
memadatkan tangis benua
dari dasar laut, ombak membangun gelora malam.
lampu-lampu nelayan menggeliat, jadi bintang
di keluasan matamu. mengedipkan mata ikan
pada kail dan jala yang mulai cemas
menunggu. di sini, lumpur menghampar,
menenggak air sembahyang dari cangkir-cangkir kecemasan
1987
RUBAIYAT MATAHARI
1
dengan bismilah berdarah di rahim sunyi
kueja namamu di rubaiyat matahari
kau dengar aku menangis sepanjang hari
karena dari november-desember selalu lahir januari
2
engkaulah sepi di jemari hujan
kabar semilir dari degup gelombang
engkaulah api di jemari awan
membakar cintaku hingga degup bintang-gemintang
3
atas sepi perahuku bercahaya
membawa matahari ke jantung madura
atas bara api cintaku menyala
menantang matahari di lubuk semesta
4
aku peras laut jadi garam
mengasinkan hidupmu di ladang-ladang sunyi
aku bakar langit temaram
bersiasat dengan bayangmu dalam kobaran api
5
batu karam perahu karam
tenggelam di rahang lautan
darahku bergaram darahmu bergaram
menyeduh asin doa di cangkir kehidupan
6
karena laut menyimpan teka-teki
di puncak suaramu kurenungi debur gelombang
karena layar hanya selembar sepi
di puncak doamu kukibarkan bintang-gemintang
7
pohon cemara ikan cemara
menggelombang biru di riak-riak senja
antara pohon dan ikan kita adalah cemara
mendekap cakrawala di dasar samudera
8
di rahang rahasia rinduku abadi
sampai runtuh seluruh sepi
rinduku adalah ketabahan matahari
menerima sepi di relung puisi
9
di relung malam lambaianku menua
juga pandanganmu di kaca jendela
alangkah dalam makna senja
menanggung berat perpisahan kita
10
dari pintu ke pintu ketukanku kembali
tak lelah-lelah mencari januari di reremang pagi
dari rindu ke rindu aku pun mengaji
tak tamat-tamat membaca cinta di aliflammim puisi
2002-2003
TENTANG JAMAL D. RAHMAN
Jamal D. Rahman lahir di Lenteng Timur, Sumenep, Madura, 14 Desember 1967. Alumnus Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Sumenep, kemudian IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan menamatkan S2 di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Menulis puisi, esai, kritik sastra, seni dan budaya. Tulisannya tersebar di berbagai media massa. Kumpulan puisinya: Airmata Diam (1993) dan Reruntuhan Cahaya (2003). Menjadi redaktur majalah sastra Horison (sejak 1993) dan pernah menjadi sekretaris di Dewan Kesenian Jakarta (2003-2006).
Tulis komentar baru