ADRIAN VICKERS CERAMAH DI HARIAN NUSA, JL. HAYAM WURUK, DENPASAR, 13 JULI 1996
terkulir saja
apa itu durhaka, kebebasan, sumpek
terkoyak, mencerca
paduan suara monyet
petualang meninggalkan wajah
bertuliskan empot-empotan
berkumandang di rawa gambut
kembali ke akar, ranting pun ingin dimadu
melantunkan kepanikan nyalakan pembauran
kutang berserakan, buah bibir bertelur
buah harapan buang hajat, buah hati bertanya
buah-buahan terinjak bau badan
menghapus tabung buah dengan buah simalakama
urat nadi gentayangan memikirkan
kitab suci digantung di pinggir jalan New York
UMBU LANDU PARANGGI ADA DI TANJUNGBUNGKAK, 29 MARET 1996
terbawa aba-aba, di lubuk hati teman merampas hak paten. cuaca membenahi rohnya. terhempas dan terhenyak, nafsu menjulur dan menjalar, berkibar kesucian. akankah terbentuk sarapan pagi? akankah cangkul membius pendatang musiman? katakan kehilangan pemukiman, sambil membolak-balikkan berkas perkara di bawah topi kepala.
DI WC GENERAL GUISAN STR. 42, BASEL, 5 AGUSTUS 1997.
melayang lagi dan tak terjawab. bergandengan, bermesraan menanti putaran zaman, kendati meniadakan malaikat. di sela-sela mentari basel yang menawan, jurang-jurang mengeluarkan harkatnya, setelah himpitan-himpitan merenungkan kekekalan, tak dapat dielak. rayuan-rayuan dekat hal-hal meniadakan gambaran sesaat, tapi jauh melampaui cakrawala. hanyut ke buah bibir kecut diadu domba. belakangan dihadapi setiap saat. bersyukur hati ikut menentukan yang dipandang perlu. suratan nasib mendatangi kesengsaraan, kesucian merayu perumpa-maan. jangkauan di luar jangkau memberi gambaran ketidaksabaran pada nasib membius keadaan. syukur mataangin menyuarakan hati kecil, selalu bertanya dan bertanya. inikah arti duka mengabdi pada kebersamaan semesta?
HAMBURG, 23 APRIL 2002, DI DEPAN LIBERTATEM PEPERERE MAIORES-DIGUE-STUDEAT, SERVARE POSTERITAS.
merangkai kesalahan tanpa menyinggung kesalahan orang lain. sekian pengalaman dilalui. bermandi uap naik ke podium. injakkan kaki terbersit di ingatan, kerangka-kerangka manusia menorehkan cap jempol. meniadakan puing-puing basah, menelusuri huru-hara, menambah personel. mengikis habis jari telunjuk abadikan potret diri. memang, sedikit tertekan, karena pemasungan sering terjadi.
SANTA BARBARA, 8 JULI 2000
kenangan berdiameter
membuat salam sejahtera
mengumpat baiat
memberi kilau cahaya
puisi di atas toilet jadi saksi sikat gigi
mengedepankan kebiasaan
berulangkali tagih persembahan
merahasiakan kelambatan mencari jejak
para pemburu binatang dan manusia
terungkap oleh kita
betapa rasa pahit itu
melampaui ikatan persaudaraan
tak dapat dielak
napas telah cukup memberi
benturan nasib
sehingga daya ingat
lebih manusiawi
semakin kental di sanubari
KE JAKARTA MENGHADIRI PERNIKAHAN PUTRI PAK MOCH. SOEBAKIR, 13 SEPTEMBER 1996
siput gerayangi makanan halal
terisak pertanyaan
paparkan pengabdian
di hadapan jago tembak
pendidikan sepihak
melintang jalur dokar
pengadilan menikam
senapan berbusana
tarik menarik
membuat peringatan
SANJI BATUK, PERIKSA KE DR. HENDRA SANTOSO, 29 JANUARI 1997, PUKUL 06.30
serat benang beranugerah, lakukan hajatan, rona mata kejam, merintih kesakitan, bak kumbang lupakan sari, bak air mata kisahkan Ramayana dan Mahabharata. satu kewaspadaan, jadikan diri ingat. lunasi ambisi, mendongkrak pelampung kapal, napas daun pepaya, dipasung prasangka, sigap jati diri, kesampingkan kejanggalan, ucapan simpati, belas kasihan ahli nujum, sesumbar sangkaan, ujung pangkal tergoda, setiap dendangkan lagu. korup, linu, pegel, suram, encer, terbelakang, berseloroh, menanti pemahaman, kejadian, uluhati, risau. pundi-pundi, kosakata, membidani. perjuangkan narasumber, dialog batang hidung, menuntaskan senyum, membiakkan kenyataan. terang benderang, musikalisasi, keteledoran, luruskan pengawasan melekat. mimpi, karma, nyawa, gumpalan, rok bawah, melamun, berturut-turut, biangkerok, ditunggangi, mawasdiri, terlaksana. tumpahkan asusila, daun lontar dijebloskan ke penjara. pyarrrrrrrrrrrrrrr. sakit hati.
SINGAPURA, 20 APRIL 1998, MEMINTA UANG LUKISAN KEPADA VIOLA DAN SALING MARAH KARENA SALAH PENGERTIAN
bersurat kepada keraguan. terhenyak menanti kenangan. mencuri dua pasang mata bola, mengantuk asal muasal. tak sesegera itu lupa keadaan. mengulang kealpaan, kebugaran terpecah-belah. terantuk kewaspadaan melekat di mana-mana. ambil pisau pengukur tekanan darah, bersembunyi di bawah lutut mengandung anak dara. mari mencari kebisuan, sengketa, terpencil, sampai tulang punggung mengantar jalan setapak. ucapan semesta berkilah memberi arti. puncak perkiraan tersimpan rapi pada tekanan-tekanan. maafkan, lumpuh kegiatan mencari di luar realita, kesimpulan diamati sungguh-sungguh. nurani itu bersemi. entah.
3 MARET 2002
mencari akal
di mata pena
menuju langkah
menimba sedekah
bergerak
giliran tiba
terbatas
pada komputer
terbangkan mayat
MENELEPON BUDI S. OTONG KE BERN, BASEL, 5 MEI 2002
hujan berkirim surat
kepada angin tertunduk
dicubit melebihi rasa kantuk
sesekali menunjukkan paruh
masih menunggu siang berdandan
AMSTERDAM, 6 MEI 2002
kunanti warna emas
memegang kendala selagi bersinar
walau duka memberi ruang tak sadar
kita berpulang juga
10 SEPTEMBER 2001
aku tidak makan malam
tapi aku makan hari
19 SEPTEMBER 2001, PUKUL 04.00
bunyi
daun-daun membagi angka
arwah
melipat meja tersembunyi
kedok
mencari payung bersorak
entah
baju pesta menusuk humus
tertekan
menyimpan angin bersorak
menghadap
kenduri tak beralas langit
sidak
kelopak mata kail menggigil
begitulah
nasib malang
SETELAH MENELEPON BUDHARMAJA (ULAM) DAN COK MENGWI, 21 JANUARI 2002, PUKUL 22.30
Pura Natar Sari
berkubang lumpur
kicauan burung terhenti
hanya menjadi ingatan
tak menentu
seperangkat gamelan
mengidap penyakit durhaka
adu nasib
adu kesempurnaan
di bawah perlindungan
kembali suntuk
berkaca sebatas kesunyataan
memberi kesan
menit ke menit
kapan tersalurkan?
cobalah genggam baik-baik
di jurus kesembilanbelas
telah menengadah
ruas-ruas tanah
Natar dan Sari
22 MEI 1998, PRESIDEN SOEHARTO MENYERAHKAN JABATAN KEPADA BJ HABIBIE PADA 21 MEI 1998
jalan bergulir di kening, mengucap kata-kata penyerahan diri dan membubuhkan tanda tangan kepagian? jiwa hampa gerogoti puing kemerdekaan, jadi bendera kemenangan. cercaan-cercaan massa bagai suara koor menggulirkan yang tengah berubah. kendati kedaulatan berada di tangan rakyat, toh tata cara penyerahan diri bagai patah tulang iga, membuktikan diri pada kebohongan secara signifikan. persahabatan dan kedekatan memanipulasi keadaan. mengedepankan sumpah serapah endapan lumpur, kembali reformasi. ajaklah kaum pengemis melawan penjaja kekuasaan, bayang ketakpastian naik keong, mengubah haluan betapa sia-sia. mengurangi kepercayaan tabiat. terkadang jiwa bertanya, mengigau panjang, berargumentasi, kapan merdeka?
TENTANG MADE WIANTA
Made Wianta lahir di Apuan, Tabanan, 20 Desember 1949. Dasar susastra dia dia peroleh dari lingkungan keluarga yang mengajarkan membaca lontar, macapat, kidung dan ilmu pedalangan. Ayahnya, Gde Labdana adalah pemangku di Pura Natar Agung Pucak Padang Dawa, Tabanan. Pendidikan: Konservatori Karawitan Bali (1967), Sekolah Seni Rupa Indonesia (Denpasar, 1967-1969), ASRI Jogjakarta (kini ISI) 1970-1974. Selepas kuliah menetap di Brussel, Belgia (1974-1978) mengajar menari dan bekerja di restoran Le Barong. Kumpulan puisinya antara lain: Korek Api Membakar Almari Es (Jogja, 1996) dan 2½ menit (Jogja, 1999). Menerima anugerah Seni Dharma Kusuma dari Pemda Bali.
Tulis komentar baru