MENARI DI TEPI WAKTU
andai aku bertemu lagi denganmu. aku pasti tersipu menyebut namamu
karena tanpa ragu, engkau menyebut namaku. dengan keramahan, dan ejaan sempurna
engkau bertanya, “ke mana saja kamu selama ini?”
“aku menunggumu sejak perpisahan terakhir,” ujarmu memelukku lembut, matamu basah merindu airmata
ya, aku pernah mengenalmu, pada suatu waktu. engkau tiba-tiba hadir, kita bertukar kartu nama tanpa alamat
aku meninggalkanmu di simpang jalan, karena harus menempuh nasibku sendiri, tanpa peta, tanpa penunjuk arah
aku ingat engkau menitikkan airmata, lalu berucap, “temui aku di tepi waktu, bila cemas dan rindu memuncak.”
ya, aku ingat hari itu, magrib bergegas turun. aku elang muda kelaparan, melayang menembus waktu
andai aku bertemu lagi denganmu. inilah yang yang akan kukatakan,
“tuhan, terimakasih, engkau masih menyimpan kartu namaku.”
2003
KALENDER MENULIS DIRINYA SENDIRI
3 juta obor menari telanjang di tepi mekong, 3 juta ajal berenang telanjang ke muara mekong
airmata mengiris malam mendanau darahnya. ombak beringsut menyergap tangis
kunang-kunang mengoyak nadi kabut, beterbangan di rumah ajal yang murung
di saku baju peta kamboja menetes darah, udara tiba-tiba asin, kristal garam berhamburan
sungguh, kegelapan tak lagi menakutkan. kecemasan menari disiram hutan tak berwajah
3 juta jemari biru terjulur dari kubur mengiris-iris purnama
jam meleleh, dan kalender menulis dirinya sendiri
2002
DANAU HAIKU
terlalu banyak anggur putih malam ini, gelombang menyeret jejak waktu dan harum tubuhmu ke langit jauh
bulan keperakan menggantung di tepian malam, begitu rapuh. gagak liar menjaring kristal luka, menyayat senja tua
“aku mencincangnya di lelap pantai, dalam kegelapan samudera, hotchu-san,” teriak serak garam selat kyushu
“di dasar luka engkau temukankah belulang musim gugur?” tanyamu sambil menari mengurai perak cahaya bulan
seribu perahu berarak, tenggelam menyeret matsuo basho ke danau haiku
the old pond –
a frog jumps in:
the sound of water
“engkau terlalu ramah untuk dunia ini,” desis garam selat kyushu. “tidakkah segelas anggur putih, sekecup duka,
menyalakan menara kehidupan di kuil jiwamu,” ringkik garam sambil menyelam, menjemput kupu-kupu mati di
lautan
hotchu san, kita memeluk malam, dengan tubuh remuk, sambil menari letih di hotel-hotel kematian. sendirian
esok pagi serpihan perak cahaya bulan berserakan di jalanan, ada jejak waktu dan harum tubuhmu
di langit sepi berkelap-kelip kristal luka dan kepedihan kita disisakan garam selat kyushu,
juga, setetes tangis kupu-kupu mati
1995
KETIKA WAKTU BUKAN MILIK KITA LAGI
30 kunang-kunang menari di langit jakarta, menembus magrib tergesa. darahnya manis disihir rembulan
kabut memeluk malam, bintang jatuh menoreh siang di dada langit. memeluk kenangan, impian lumpuh
“darah segar masih harum tercium di aspal jalanan,” bisik embun pagi
“ya di hitam lengan kupeluk tubuh muda itu terhempas,” kenang aspal jalanan mengusap airmata
malam begitu dingin bunda, begitu dingin dan begitu rakus lidah matahari mengupas merah kenangan
30 kunang-kunang menari di langit jakarta, menembus magrib tergesa. darahnya manis disihir rembulan
menarilah, hingga airmata kering diisap rembulan, darah biarlah memerah mawar di hati bunda
“siapakah engkau?” rintih ibu tua memeluk senja, tangisnya menetes darah, menggenang cemas di kubur anak
sepasang kunang-kunang hinggap di pangkuan, mendekap bayi merindu. sayapnya manis, darahnya manis
“aku pulang, sepasang mata biru buah hatimu.”
2003
TIGA PELURU MERACUNI MALAM
aku rindu tanah-airku, aku rindu gerimis jatuh di yangoon
ayahku, bagai anjing terjungkal bersimbah darah dengan 3 peluru pecah di kepala
kekerasan adalah iblis dari neraka terpanas, melambai rindu, membakar langit merah chiang mai
3 peluru di saku baju meracuni malam, 3 peluru di kepala pembunuh ayahku
hujan daun pinus merebahkan diri, lelap berselimut embun di ladang cemara
berjuta bunga mekar di chiang mai, melayang di senja tua menjelma diriku
chiang mai dipeluk sepi, dendam mengembun bunga liar, menetes diam-diam di abu persembahan
malam ini yangoon melesak dalam mimpiku, 3 peluru melesak di kepala ayahku
aku ingin menari, aku ingin menyanyi tentang kehilangan dan rindu gerimis di yangoon
rintik hujan jatuh melukai daun pinus. Malam likat mewangi mawar, gemuruh di sunyi belulang
3 peluru menghitam di abu persembahan, 3 peluru di saku baju meracuni malam
aku rindu tanah-airku, aku rindu gerimis jatuh di yangoon
aku rindu menangis dalam hujan cemara di yangoon
hingga sempurna airmata malam menenun kebahagiaan
2002
BILA TUBUH HADIR BERGEGAS
ransel lelah bertanya pada lobby hotel, “ada kamar kosong? yang paling murah saja.” sebelum kata melepas kantuk
sambil menendang tempias hujan, lobby hotel terkantuk-kantuk mengangguk, “tulislah alamat tuan di buku tamu.”
“apakah setiap orang harus punya alamat?” tanya sepatu tua
“alamatku di sini, malam ini,” bisik ransel pada buku tamu
“harus tuan,” ejek kunci kamar, “tiap tubuh punya akar walau berpindah dari hotel ke hotel,” ujar bunga di jambangan
walau sementara
walau sementara
“selamat datang, wahai tuan tanpa alamat, wahai tuan tanpa tujuan,” ejek lobby hotel, buku tamu, dan kunci kamar
“apakah yang kau cari bersama sepatu tua dan ransel lelah?” tanya kabut sambil meludah ke jambangan bunga
: bila tubuh hadir bergegas, sebelum waktu menikam tuntas
2003
SENJA JATUH DI ORCHARD ROAD
“uap alkohol dan harum babi panggang tak akan mengantarmu ke neraka,” ujar denting piano melompat menyambar
meja putih bersih, meledakkan piring saus merah darah. “kemiskinan dan doa juga tak akan mengantarmu ke surga,”
desak irama jazz yang melengking kusut, menyeret tuan raffles melompat ke sungai keruh singapura, riuh dan letih
“revolusi tak dijual di orchad road,” desis mimpi tersedak pengemis cina tua, menidurkan dendam di jembatan
penyeberangan. “sungguh mudah bukan membeli marx, lenin, mc donald dan nina ricci di orchad road,” tergeletak
tiger beer menyembur gitar sember klub jazz tua. “nasib tak pasti mesti ditata rapi di etalase orchad road,” tangis
melayu dan india tua. “tapi, di manakah tanah air tanpa airmata?” cekik irama jazz mematahkan leher singapura
senja jatuh di orchad road, gucci dan nike bergegas bergandengan tangan, menyetop bus kota melenggang genit
“tak perlu gelisah, besok kita kembali shopping, membeli airmata,” hibur gucci menghempaskan tubuh berlemak
2003
MAYAT ITU TERAPUNG DI SUNGAI KATA
yohanis tajoja (60) dan buce (30)
“kepada siapakah tuhan berpihak tadi malam?” bisik cemas mencekik kunang-kunang
“kedua mayat ditemukan tewas terapung si sungai puna, poso pesisir,” desis lirih detik pukul 14:00
“kepada siapakah tuhan berpihak tadi malam?” bisik cemas mencekik kunang-kunang
“kedua mayat ditemukan tewas tergantung di sungai kata, kompas halaman 11,” desis lirih detik pukul 7:00
“kepada siapakah tuhan berpihak tadi malam?” bisik cemas mencekik kunang-kunang
“kedua mayat ditemukan tewas terapung di sungai mimpi, dilelap bundanya,” desis lirih detik pukul 24:00
sungai puna
sungai kata
sungai mimpi
:deras dan dingin arusnya ke muaramu
2003
NYANYIAN ORANG BIASA
siapa tahu gelombang hati manusia. siapa yang tahu?
tanpa uang dan kekuasaan, siapa menyapamu. bahkan teman seperjalanan paling akrab, tanpa pamit meninggalkanmu
siapa tahu gelombang hati manusia. siapa yang tahu?
tanpa uang dan kekuasaan, siapa mencintaimu. bahkan kekasih paling dicintai, tanpa pamit meninggalkanmu
siapa tahu gelombang hati manusia. siapa yang tahu?
tanpa uang dan kekuasaan, siapa akan setia padamu. bahkan sahabat paling setia, tanpa pamit meninggalkanmu
bila semua pergi, tanpa pamit meninggalkanmu,
: siapa paling tahu gelombang hati manusia
2003
TARIAN PENYALIBAN MANUSIA
apa kabar ikan asin, sayur kangkung, dan segelas teh pahit di cangkir berkarat?
apakah sebenarnya yang mengikat engkau dan aku?
kesetiaan, cita-cita, atau sekadar lapar dan kebahagiaan kecil?
“udara berdebu dan oksigen penuh racun!” teriak lelaki mabuk
mengapa harus mabuk? bayangkan upacara suci ini di suatu pagi musim panas
engkau bersiul dan hatimu bagai kapas
ada seekor ikan asin dan semangkuk sayur kangkung di piring berkarat
serta segelas teh pahir di cangkir berkarat
semua kenangan pahit telah kau larutkan dalam uap teh kemarin malam
lalat mendengung, jendela berderit disentuh angin
“bukankah cinta dan hati yang lapang menerobos dinding pemisah aku dan alam semesta?”
baiknya ada seorang perempuan, tetapi kurasa tak usah saja
perempuan selalu mengatur tetek bengek hidup kita
(tetapi lelaki sama menggelikannya, juga diriku)
“rambutmu kacau dan warna bajumu tak cocok di badan,” katanya
“duduklah dengan sopan dan pikirkanlah kebahagiaan kita di masa depan,” katanya
tetapi hatiku selalu bertanya, “adakah keteraturan di alam semesta dan sejarah manusia?”
sebaiknya juta tak ada bentakan dan hentakan sepatu lars (pada lantai dan tubuh kita)
juga tak ada tangis kehilangan, putus asa dan kesakitan
doa juga tak penting,
karena mengingatkan ketakberdayaan dan keputusasaan
bukankah seekor ikan asin, semangkuk sayur kangkung, dan secangkir teh pahit di cangkir berkarat
diuapi cinta dan hati yang lapang, mengingatkan keberadaan dan keterlemparan kita di bumi ini?
bukankah ini juga upacara suci seorang lelaki mabuk dan kesepian
derit pintu sel selalu menghantam gendang telinganya dan menggetarkan seluruh urat sarafnya
jeruji, sebesar ibu jari kaki, mencekik urat lehernya, menusuk kedua kornea matanya
teriakan kesakitan, tangis kehilangan, dan jerit keputusasaan menerobos dinding selnya
darah menyiram jalan raya, hutan, kebun petani miskin, bahu kaum pekerja,
jagat raya, dan wajah kita
orang-orang berlari dari kota ke kota
orang-orang berlari dari penjara ke penjara
orang-orang berlari dari mimpi ke mimpi
orang-orang berlari dari kata ke kata
di dungu kecil dilahirkan penuh rasa syukur
setia patuh menarikan upacara suci di ruang-waktu berdarah
di altar penyaliban manusia
lalu, apa kabar ikan asin, sayur kangkung dan segelas teh pahit di cangkir berkarat?
apakah sebenarnya yang mengikat engkau dan aku?
kesetiaan, cita-cita, atau sekadar lapar dan kebahagiaan kecil?
1989 (LP Kebon Waru-Sukamiskin)
* ditulis ulang dari Catatan Bawah Tanah
MALAM LEBARAN
Sendirian
Di dunia mayat-mayat
Aku hidup!
Di kehampaan-segala
Tersalib
Sukamiskin, 15 April 1991
DOA MANIS BUAT TUHAN
Tuhan, turunkanlah hujan untuk bayam, tomat
dan sawi kurus yang kami tanam
Aneh, hanya dingin bebatuan yang setia
menyegarkan batang-batangnya
Setiap malam dari balik terali besi kuhisap
udara kering dan embun tipis, berebutan
dengan bayam, tomat dan sawi kurus
Kenapakah hujan tak turun jua? Ada apakah
sebenarnya di balik cuaca?
Mungkinkah uap air telah dihisap pepohonan
besar, jalan-jalan besar, rumah-rumah besar
dan paru-paru orang besar di kota-kota
Dan kamu?
Aku tak tahu, aku tak tahu
Cahaya bulan pucat menerangi bumi sekarat,
mengusap lembut terali besi dan wajahku
Sebab si pencinta bayam, tomat dan sawi hanya
mampu bertanya ke arah langit
Bukankah langit telah menganugerahi orang-
orang bijak dan berkuasa, martabat untuk
menuangkan jutaan kata-kata di benak kita
yang lelah. Walaupun kulit perutmu lengket
tulang perutmu
Inilah hidup, inilah kepastian, kata mereka
Aku tak tahu, aku tak tahu. Bukankah Tuhan
membuat miskin dan membuat kaya, Ia
meninggikan dan merendahkan juga
Cahaya bulan pucat menerangi bumi sekarat,
mengusap lembut terali besi dan wajahku
Dari ujung sel kudengar lagu dangdut merintih-
rintih tentang penderitaan hidup, lalu
kudengar desah genit si penyiar wanita,
“Salam kompak selalu dan selamat
menempuh hidup baru buat X di jalan Y dari
gadis Z di gubuk derita”
Hai, hai siapakah yang berbahagia dan
siapakah yang menderita?
Lalu kedengar ramalan bintang
“Buat pendengar yang bernaung di bawah
bintang Caprocornus, rejeki dan kebahagiaan
minggu ini bersama anda dan asmara si dia
makin mesra saja, kesehatan anda pun makin
sempurna, hindari makanan berkalori tinggi”
Kemudian aku menatap sisa ikan asin yang
dikerubungi semut-semut hitam, lalu perlahan
meneguk air teh pahit di cangkir berkarat
Kuhisap udara kering sambil menyanyikan
Indonesia Raya; tetapi kenapa hatiku semakin
sepi dan asing saja (Inikah bangsaku, inikah
manusia yang berakal-budi?)
Cahaya bulan pucat menerangi bumi
sekarat, mengusap lembut terali besi dan
wajahku
Aku menekan wajah ke sisi terali besi dan berdoa
“Selamat malam, Tuhan, salam kompak selalu,
siapakah yang berbahagia dan siapakah yang
menderita?”
Kebon Waru, November 1989
SOEKARNO, NARAPIDANA BLOK TIMUR ATAS NOMOR 01
Pandangilah, namun jangan menitikkan airmata
Di luar jendela-jeruji selmu, di luar jendela-jeruji
selku
Serdadu-serdadu berbaris dalam
mimpi bayi-bayi dan anak-anak bangsamu
Serdadu-serdadu berbaris mencincang akal-
budi bayi-bayi dan anak-anak bangsamu;
Langit, bebatuan, rerumputan dan udara yang
kita hisap mengucurkan darah
menenggelamkan segala impian manusia
Di ruang-waktu
Di ruang-waktu
Hanya gelisah dan sepi
Lalu mati
Sukamiskin, Oktober 1990
MALAM-MALAM DI JENDELA
Ada cemara lurus menusuk langit
Ada angin berlendir, mayat membusuk
Ada rintih hujan, doa-doa rubuh
Dan wangi kemboja mengiris malam
Lalu kata-kata menggelepar sekarat
:Engkaukah berpayung hitam di tepian cakrawala?
Cahaya terkulai beku. Segalanya pucat-pasi
Diri lampus sudah dalam sihir malam. Dan sia-sia
Engkaukah yang bertanya, “Ada apa?”
Bayang langit menarikan perih. Kekosongan
: Antara Ada dan Tiada
: Antara Engkau dan Aku
Engkau mencari siapa?
Dalam sepi kuburan sejarah-manusia
Dalam sepi kuburan alam semesta
: Aku ingin berbicara kepadamu
Sukamiskin, Oktober 1990
KENAPA RACHMAN MASIH MENULIS PUISI?
Kenapa Rachman masih menulis puisi?
Walau darah dan teror masih membasahi wajah
dan tubuh keringnya
Karena ia percaya pada manusia dan kehidupan
Kenapa Rachman masih menulis puisi?
Walau urat-syaraf dan kasih-sayangnya dicabut
satu persatu
Karena ia percaya pada manusia dan kehidupan
Kenapa Rachman masih menulis puisi?
Walau jiwa dan hati-nuraninya disalib jeruji besi
Karena ia percaya pada manusia dan kehidupan
Kenapa Rachman masih menulis puisi?
Walau kematian dan mimpi buruk
menyergapnya berkali-kali
Karena ia percaya pada manusia dan kehidupan
Kenapa Rachman masih menulis puisi?
Karena dalam samudera ketidaktahuan,
manusia bersaudara
Karena dalam samudera kemanusiaan, manusia
bersaudara
Kau dengarkah suaraku, lagu jiwaku,
saudaraku?
“Aku ingin ziarah dan berbaring dalam
samudera cahaya jiwamu”
Kebun Waru, 17 Januari 1990
AKU TERINGAT GODOT, KUCING KESAYANGANKU
Halo … halo apa kabar Godot?
Ratusan hari kita berpisah, tahukan engkau aku
berada di mana?
Engkau masih tidur di pembaringanku?
Awas, kakimu harus dibersihkan sebelum naik
ke pembaringanku
Siapakah yang memberimu makanan sekarang?
Apakah engkau masih enggan memakan ikan asin?
Untuk sementara terimalah apa-adanya, ya Godot
Aku tersenyum pahit, makananmu lebih baik
daripada makananku di terali besi ini, apalagi
dengan makanan anjing tetangga kita
Kalau engkau berada si sini, kurasa sudah mati
kelaparan karena seleramu yang terlampau tinggi
Aku terkurung di terali besi, Godot
dan engkau masih bisa berpacaran di atas
genteng rumah
Bermesraan di pojok-pojok dapur, tetapi engkau
selalu saja membatalkan niatmu bila juru
masak lengah dengan semur dagingnya
Nah, sekarang bagaimana dengan pacar barumu
kucing tetangga kita, masih setia?
Ayolah, Godot, beraksilah, bukankah saat ini
musim hujan, tapi hati-hati dengan jantan-
jantan lain, tanpa kau sangka-sangka bisa
saja mereka melarikan calon ibu anak-anakmu
Pikatlah hatinya, beri si dia janji-janji surgawi
(Kalau terpaksa janji-janji pembangunan
boleh juga)
Insya Allah si dia akan setia denganmu
(Hai, kenapa kita selalu bersumpah atas nama
Tuhan ketika berpacaran. Lalu kalau kita
berpisah atas nama siapakah?)
Apakah jadinya kita ya Godot bila tak mampu
membuat janji, engkau dan aku akan senasib
menjadi gelandangan dari negeri ke negeri
tanpa peta, tanpa penunjuk arah
Lalu mabuk dan kesepian dalam pori-pori darah
sejarah
Ya, seperti Hamlet kehilangan Ophelia
Ayolah Godot, yang penting jangan berantem
dan putus asa
Sampai jumpa lagi dalam pembaringan yang
sama 13 tahun yang akan datang
Hiduplah dengan menentang bahaya,
Sehingga di hari kematian kita, sahabat-sahabat
akan berkata
“Dia hidup; benar-benar hidup dan ada”
Kebun Waru, Desember 1989
KITA HARUS MENULISKAN SEMUA HAK ASASI KITA
Kita harus menuliskan semua hak asasi kita
Di tembok-tembok gedung perwakilan rakyat
Di tembok-tembok gedung pemerintahan
Di tembok-tembok gedung pengadilan
Di tembok-tembok gedung angkatan bersenjata
Di sepanjang jalan, di kebun-kebun petani, di
pabrik-pabrik kaum pekerja di negeri kita
Di setiap lantai rumah-rumah kita
Kita harus menyanyikan semua lagu dan
membacakan semua puisi
Sepanjang hari dan sepanjang malam
Yang mengobarkan akal-budi dan hati-nurani kita
Bahwa tanpa hak-hak asasi, kekuasaan akan
menjadi berhala haus-darah dan pencabut
nyawa kita
Bahwa tanpa hak-hak asasi maka kekuasaan
menjadi TIRANI, menjadi DURNO bagi
kehidupan
Bahwa tanpa hak-hak asasi kekuasaan akan
merampas tanah-tanah pekarangan kita,
pekerjaan kita bahkan yang tak cukup untuk
makan hari ini, menggusur dan membakar
rumah-rumah kita, menghisap semua
persediaan air minum kita, merampas
pendidikan, masa-depan anak-anak kita dan
merampas semua suara kita, akal-budi serta
hati-nurani kita
Apakah lagi yang tak mungkin dirampas oleh
Tirani Kekuasaan?
Bahkan keberanian kita, dimasukkan dalam
selokan
Dan negeri kita dijadikan kandang kerbau
Lalu seorang sipir maha-tahu dan maha-kuasa
akan menggebuk siapa saja yang tak
disukainya
Lalu bagaimana mungkin ada perbincangan
akal-budi dan hati-nurani di kandang kerbau?
Cendekiawan dan penyair dijadikan benalu
dan hama bagi rakyat jelata
Senapan dan jampi-jampi peraturan
dimasukkan paksa ke mulut dan saku
mahasiswa, ulama serta pendeta
Lalu di manakah rumah-luas bagi cinta-kasih
alam semesta?
Lalu untuk apa bernegara, bila hanya sebagai
alat memonopoli kekayaan dan kekuasaan,
memonopoli akal-budi dan hati-nurani
Lalu untuk apa lembaga perwakilan, bila hanya
menjadi lembaga main-sulap cukong-cukong
dan penguasa dengan kapitalis Jepang,
Eropa, Amerika; menjadi lembaga membagi-
bagi uang-saku dan proyek-proyek pembangunan
Astaga, lembaga apakah ini, demikian lihai
memperjudikan perut dan masa-depan
bangsa sendiri
Lalu apa gunanya wakil-rakyat, bila tak mau
membela kebutuhan dan kepentingan rakyat
jelata; bila menutup mata dan telinga dari
segala penderitaan rakyat jelata
Bukankah merak tak lain daripada benalu dan
hama bagi penghidupan rakyat jelata
Bukankah mereka tak lain daripada
pengkhianat bagi cita-cita dan penghidupan
rakyat jelata
Lalu apa gunanya pengadilan bila tidak berani
menyuarakan keadilan; bila hanya menjadi
alas kaki dan buldoser kekuasaan; menggilas
ratusan juta rakyat yang memperjuangkan
hak-hak asasi; bila hanya menjadi kondom
bagi cukong dan penguasa rakus haus darah
Lalu saudara-saudaraku ratusan juta rakyat
yang terampas hak-hak asasinya
Untuk apa berdiam diri menonton sikap-politik
cukong-cukong dan penguasa di pengadilan
berlumut ini
Lebih baik kita mengangkat poster-poster dan
menuliskan semua hak asasi kita
Di tembok-tembok gedung perwakilan rakyat
Di tembok-tembok gedung pemerintahan
Di tembok-tembok gedung pengadilan
Di tembok-tembok gedung angkatan bersenjata
Di sepanjang jalan, di kebun-kebun petani, di
pabrik-pabrik kaum pekerja di negeri kita
Di setiap lantai rumah-rumah kita
Dan kita harus menyanyikan semua lagu dan
membacakan semua puisi
Sepanjang hari dan sepanjang malam
Yang mengobarkan akal-budi dan hati-nurani kita
Bahwa tanpa hak-hak asasi, kekuasaan akan
menjadi berhala haus-darah dan pencabut
nyawa kita
Bahwa tanpa hak-hak asasi maka kekuasaan
menjadi TIRANI, menjadi DURNO bagi kehidupan
Kebon Waru, Desember 1989
BERSIMPUHLAH DI HADAPAN BUNDA
Kita harus bersimpuh di hadapan Bunda
terkasih, mencium kedua pipinya, kemudian
memohon doa-restunya
Sebab sipir-sipir maha-tahu dan maha kuasa
serta tukang-tukang sihir haus darah dan
kekuasaan mengintai kita dari segala
penjuru
Mereka bagai karbon monoksida yang
berkeliaran di ruang-waktu meracuni darah
merahmu dan menghisap sel-sel syarafmu
Tak ada lagi keamanan di negeri ini, engkau
bisa saja raib tanpa seorangpun sahabat atau
kerabatmu mengetahuinya
Dan hanya ikan di kali-kali yang menangisi
kepergianmu
Lalu siapa yang akan mengabarkan kepedihan
ini kepada Bunda terkasih?
Ah, bila penguasa tak suka padamu, lebih baik
sebelum pergi dari rumahmu, ucapkan
selamat tinggal pada kerabat-kerabat dan
sahabat-sahabatmu
Beri makan binatang-binatang kesayanganmu
dan katakan, “Hari-hari semakin
mengerikan, penuh darah dan kekejaman di
negeri ini, mudah-mudahan kita bisa
berjumpa lagi di saat makan siang nanti,
atau dalam ribuan hari lagi, atau malah tidak
kembali sama sekali”
(Ah, kenangkanlah segala impian, mimpi buruk
dan kebahagiaan kecil yang kita alami
hingga hari terakhir kehidupan kita)
Engkau boleh saja berteriak itu barbar, tak
beradab, memperkosa keadilan, akal budi
dan hati-nurani
Tapi apalah artinya teriakan-teriakanmu bila
sipir-sipir maha-tahu dan maha-kuasa serta
tukang-tukang sihir haus darah dan
kekuasaan menjerat tali gantungan ke
lehermu dan menutup pernapasanmu,
kemudian membakar kornea matamu, dan
memisahkanmu tiba-tiba dari Bunda terkasih,
sahabat-sahabatmu serta kerabat-kerabatmu
Ya, kita harus bersimpuh di hadapan Bunda
terkasih, mencium kedua pipinya, kemudian
memohon doa restunya
Karena kita tak tahu, apakah akan berjumpa
lagi dengan Bunda terkasih, segalanya serba
tak pasti. Manusia serta kehidupan tak
berharga sama sekali di negeri ini
Kita juga tak tahu siapakah yang bakal
mengabari Bunda terkasih dan menghiburnya
di hari-hari dukanya
Sebaiknya, tinggalkanlah secarik kertas di
pembaringan yang bakal kita tinggalkan,
semoga Bunda masih mencium kehadiran dan
mendengar getar kesakitan suara kita dari
balik terali besi penyiksaan atau dari balik
debu-debu beku pengubur tubuh kering kita.
Dan tuliskanlah, (Mungkin ini tulisan
terakhir di batu nisan nanti? Akan
bernisankah kuburan kita nanti?) “If the man
who wants to build up a better life for the
People (the oppressed and exploited people)
and fight for it and build up democracy, social
justice, human rights, sovereignty of the
people in the realm of politics, economic and
culture; because he believes in brotherhood,
individual uniqueness, man’s curiousity (the
strength of man’s reason) and he is the heresy
for himself must be called a rebel; so then call
me a rebel”
Setidaknya Bunda kita terkasih bisa mengerti
bila tak ada seorang pun di muka bumi
memahami manusia mabuk dan kesepian
semacam kita
Percayalah Bunda terkasih pasti memahami
Bunda terkasih pasti memahami
Kebon Waru, Desember 1989
DI MESJID, NUSAKAMBANGAN
Ini padang-perburuan-abadi
“Kenapa nanah menggelegak di alam-raya?”
Seperti bayang-bayang: Sendirian
Aku beku-mematung di ruang-waktu
Aku-duka-abadi
Aku-duka-abadi
“Baiklah, kita berpisah saja”
Nusakambangan, September 1990
Sukamiskin, Oktober 1990
AKU TAK LAGI BERMIMPI, ESTRAGON!*
Sekarang aku di sini, saudaraku, menghirup
Nanah luka-lukaku. Sendirian
Terlontar ke alam raya rintisanku dan melukis-
lukis Kejalanganku di dinding langit beku
Aku tak lagi bermimpi, Estragon!
Aku tak lagi bermimpi, Estragon!
Dalam Neraka Jahanam dan Daging Busuk ini
tak ada yang kumengerti selain Perubahan Abadi
Dalam Neraka Jahanam dan Daging Busuk ini
tak ada yang kumengerti selain Pertanyaan Abadi
Aku kini ruang-waktu-abadi bagi diriku sendiri!
Telah kutinggalkan segalanya. Aku muak pada segalanya
Juga dirimu!
Di manakah Manusia? Di manakah janji para
pengecut dan pelacur itu?
Lihatlah, hanya Kuburan Tandus dan Pesta
Kematian yang bermakna di Bumi Luka Parah ini
Lihatlah bebatuan dan langit-terbakar
mengucurkan darah
Ah, berdustakah aku?
Ciumlah amis darah di belantara kata-kata,
dalam kerongkonganmu, dalam
kerongkongan waktu, dalam Kitab-Sucimu
Ciumlah amis darah dalam mimpi-mimpi dan
doa-doa ketakutanmu
Atau dalam Cinta!
Bayi dungu dilahirkan entah untuk apa dan
dengan riangnya menari-nari memuja
Ketololan si Penjaja Kebenaran dan Jalan Keabadian
Di alun-alun kota, kabarnya tempat nabi-nabi
ditasbihkan, yang terdengar hanya jeritan
dan tangisan tak berkesudahan
- Dokter berapa butir aspirinkah harus ditelan
agar kesepian dan kematian tak lagi
menghancurkan kegembiraan hidup dan
jalinan kasih sayang?
- Dokter berapa butir aspirinkah harus ditelan
untuk melupakan kenangan dan mimpi-
buruk dalam cekikan ruang waktu berdarah ini?
- Dokter berapa butir aspirinkah harus ditelan
agar dapat kumengerti siapakah
sebenarnya kita, darimana berasal dan
akan ke mana pergi?
- Dokter berapa butir aspirinkah harus ditelan
agar orang mati bisa berbincang di Pasar
Malam dan tak lagi menjadi dongeng untuk
menakuti anak-anak, para pengecut dan
pelacur Kehidupan?
- Ah, haruskah kucekik engkau untuk dusta
yang bersemayam di alam raya, tuan dokter?
- Engkau butuh aspirin dalam dosis yang paling
mematikan, bukan?
- Dokter, kegelisahan pikiran adalah hantu
barbar yang melayang-layang tanpa basa-
basi di urat syaraf dan begitu bebal
terhadap doa maupun mantera dari nabi
paling sempurna sekalipun. Kenapa Neraka
Jahanam dan Daging Busuk ini harus
didustakan, tuan dokter?
- Bukankah kesederhanaan pikiran adalah doa
tersakti kaum pengecut dan pelacur yang
menjadikan bumi sebagai Rumah Ibadat
dan Pabrik Anggur bagi Pesta Pembunuhan?
- Hopla, mari pergi! kata Estragon
- Tidak! Tidak! Aku tak mau pergi, inilah
Kerajaan Deritaku!
- Ah, lihatlah langit terbakar, tak kau ciumkah
bau usus hangus dari perutmu sendiri?
- Estragon, bukankah Penantian Tanpa Akhir ini
menjadikan kita Tuan atas nasib sendiri?
- Kita tak menantikan apa-apa di sini.
Pengadilan Agung itu hanya dusta kaum
pengecut dan pelacur. Neraka Jahanam dan
Daging Busuk inilah Hidup kita. Di luar
dinding ini hanya Sepi dan Ketiadaan
bertahta. Dan dirimu adalah Keputusanmu.
Titik.
- Tapi Estragon, aku ingin melupakan hujan-
beku di dalam hatiku, membakar semua
pakaian kegelisahanku, melupakan semua
Tarian Tolol Kehidupan kita dan segala
Upacara Berdarah dalam Drama Sia-Sia ini.
Ini bukan kegilaan dan aku tak ingin
mendustakan Neraka Jahanam dan Daging
Busuk yang mencincang urat syaraf dan
nurani kita. Bagaimana itu mungkin,
Estragon? Akankah kupilih segala
kejahatan yang merayu-rayu ini?
- Aku telah membunuh si Pendusta yang
mengaku Hakim Agung itu dan telah
kubakar segala makna tindakan di
Kerongkongan Waktu Gulita ini
- Aku bermimpi bahwa aku tak lagi bermimpi,
bukankah begitu pikiranmu, Estragon? Tapi
engkau dalam pakaian badut dan tingkah
laku memuakkan itu dapat menari-nari
riang dalam kubangan darah leluhur dan
sanak-saudaramu, juga Bundamu. Tak
adakah yang memberatkan hatimu? Engkau
ingin melupakan kesia-siaan Hidup dan
Ketidaktahuanmu? Tidakkah semua ini
menyentakkan urat syaraf, lalu kita
melawan sehabis-habisnya?
- Baiklah Estragon, walaupun rayuan untuk
menyederhanakan Hidup mengguncang
impian dan kesadaranku. Aku tak mau
pergi. Inilah Kerajaan Deritaku. Engkau
pergilah, ajak Vladimir. Aku tak
menantikan apa-apa di sini dan lupakanlah
Pengadilan Agung itu. Bukankah semuanya
hanya mimpi tolol masa kanak-kanak kita
Lalu tentang Dosa dan Hari Pembalasan
sebaiknya diabadikan sebagai dongeng
satu babak di Pasar Malam untuk
menghibur hati kita yang lelah setelah
bertempur di front terdepan mengurangi
Darah, Penderitaan dan Keputusasaan.
Namun engkaupun mengerti Estragon
bahwa aku tak memaknakan apa-apa dan
tak memahami apa-apa. Aku hanya ingin
menyayangi sanak saudaraku, manusia
yang Letih dan Menderita ini dan melawan
sehabis-habisnya Ketololan para penjaja
Kebenaran dan Jalan Keabadian
Inilah aku. Aku kini ruang waktu abadi bagi
diriku sendiri!
Akulah duka anak-dara yang bunuh diri
Akulah duka anak-dara yang bunuh diri
surat putih dan genangan airmatanya
membakar urat syarafku, membakar
kedustaan hidupku dan mengabari bahwa
aku hidup dalam Neraka Jahanam dan
Daging Busuk
Inilah bumiku. Inilah Kerajaan Deritaku!
Aku mengerti betapa menyakitkan semua ini.
Aku memilih tindakan yang kupandang sia-
sia untuk mengguncang ruang-waktu yang
sia-sia dan memuakkan ini
Wahai, beri daku satu ciuman di bibir kering ini
kejahatan merayu-rayu di belantara kata-kata
Di manakah manusia? Di manakah janji para
pengecut dan pelacur itu?
Hopla...
Mari pergi
Mari pergi
Tidak!...tidak! Aku tak mau pergi, inilah
Kerajaan Deritaku
Kebonwaru, agustus 1990
Nusakambangan, September 1990
* Nama Estragon dan Vladimir diambil dari nama tokoh badut dalam Waiting for Godot, karya Samuel Beckett (English Edition, London: Faber dan Faber, 1955)
TENTANG M. FADJROEL RACHMAN
M. Fadjroel Rachman kelahiran Banjarmasin, 17 Januari 1964. pernah kuliah di Jurusan Kimia, Institut Teknologi Bandung hingga mengerjakan tugas akhir, tapi tidak selesai karena terlibat Peristiwa 5 Agustus 1989 dan dipenjarakan 3 tahun (dijalani di Penjara Bakorstanasda Jawa Barat, Penjara Kebun Waru, Penjara Polwiltabes Bandung, Penjara Nusakambangan dan Penjara Sukamiskin Bandung). Pernah menjadi presiden grup apresiasi sastra (GAS) ITB tahun 1985-1986. Antologi puisinya: Antologi Puisi Pesta Sastra Indonesia (penerbit pikiran rakyat/granesia bekerjasama dengan kelompok sepuluh Bandung, 1985). Kumpulan puisi tunggal pertamanya: Catatan Bawah Tanah (1993)
Tulis komentar baru