SUATU SIANG DI SEBUAH KAMAR AKU DIAM
DI DEPAN SEPASANG JENDELA KEMBAR
YANG MEMBAGI LANGIT BERWARNA BIRU CERAH
MENJADI DUA SAMBIL SEKALI LAGI
MENDENGAR KAU MERENCANAKAN PERPISAHAN
aku membayangkan sepotong langit akan menyerap
airmata kau, sementara airmata aku akan menguap ke
langit yang sepotongnya lagi. sesaat kemudian hujan
berjatuhan karena sedih
membuat kau batal meninggalkan kamar, membuat kau
gagal meninggalkan aku
SEKIRANYA AKU PABLO NERUDA
DAN KAU PEREMPUAN YANG DICINTAINYA,
PERISTIWA SEDERHANA DI RUANG TENGAH ITU,
SEHARI SEBELUM KAU MATI, SAAT RIBUAN
BURUH BERJALAN TANPA ALAS KAKI DI ATAS
MATAHARI YANG MELELEH DI JALAN RAYA
SAMBIL BERTANYA DENGAN MARAH
PERIHAL LAPAR MEREKA, KELAK AKAN
BERUBAH MENJADI EPITAF INDAH DI NISANKU
aku berbaring di atas halaman korang yang dipenuhi kabar
kenaikan harga, perceraian dan perselingkuhan artis,
pembunuhan dan korupsi. kau berbaring di atas kertas-
kertas yang tak bertuliskan apa-apa kecuali tubuh kau yang
telanjang, seolah kau mau mengatakan tubuh kaulah kata-
kata, tubuh kaulah puisi
aku yang lahir dari rahim petani membayangkan tubuh
kau sebagai ladang semata. aku tebarkan bebijian di sana
sambil berdoa mereka akan tumbuh dan berbuah kelak
sebab tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir kita
yang gemetar hari itu, aku tak tahu apakah karena itulah
kau menanam tubuh kau di kedalaman makam sebulan
setelahnya?
(aku terus beroda sambil membayangkan suatu hari ada
pohon tumbuh dan berbunga dari perut kubur kau)
APAKAH AKU HARUS BETUL-BETUL MELUPAKAN
KAU AGAR AKU BISA BETUL MENCINTAI KAU
ATAU MENGIKUTI AJAKAN ORANG-ORANG
UNTUK MENYEBUT NAMA KAU MERAYAKAN
HARI KEMATIAN KAU (HARI YANG NAMPAKNYA
MENGHENDAKI KEMATIAN AKU JUGA)
SEBAB SUNGGUH AKU TELAH BERUSAHA MENEPI
DARI RIUH NAMA KAU SAMBIL UNTUK TERAKHIR
KALI MENGUCAPKAN APA YANG PERNAH
KAU KECUPKAN KE BIBIR AKU?
aku menutup telinga aku, menutup semua telinga aku,
namun masih hingar aku dengar nama kau diteriakkan
mikrofon. hei, sejak kapan nama kau berbiak begitu
banyak? jadi belukar nama seperti warna bendera partai.
kau mati, dimasukkan ke dalam peti, lalu ditanam tetapi
kau malah tumbuh jadi nama-nama
kadang-kadang aku dengar nama kau bergulir jadi munir.
kadang-kadang aku dengar tumbuh jadi thukul. kadang-
kadang terdiri dari sejumlah huruf aneh dan selalu salah
disebutkan. kadang-kadang nama raja yang mati jatuh dari
kursi. kadang-kadang keren seperti nama mahasiswa yang
punya obsesi jadi model iklan atau bintang film. kadang-
kadang pahlawan. kadang-kadang messiah. kadang-kadang
hanya jargon
bagaimana caranya aku mencintai kau yang banyak?
bagaimana caranya mencintai kau yang semakin banyak
yang tinggal di masa lalu?
aku tiba-tiba bingung mencintai kau. aku tiba-tiba bingung
mencintai aku.
aku juga. aku juga. aku juga.
JIKA MUNGKIN, HARI INI, DI HARI LAHIR
KEMATIAN KAU INI, AKU TAK AKAN BICARA
PERIHAL KAU LAGI DAN HANYA BICARA PERIHAL
AKU YANG KAU TINGGALKAN DENGAN MASALAH
YANG TAK MAU BERHENTI MEMANJANG,
BERCABANG-CABANG, BERLUBANG-LUBANG,
YANG KADANG-KADANG AKU BAYANGKAN
SEPERTI ULAR PALING PANJANG
ATAU JALAN-JALAN ATAU PERJALANAN
YANG TAK PERNAH MENEMUKAN UJUNG
ATAU KELELAHAN SAMBIL MENCURIGAI KAU
SEBETULNYA MATI BUNUH DIRI
SEUSAI MENCURI NAMA AKU DAN SELURUH
PERSEDIAAN NAMA UNTUK MASA DI DEPAN AKU
hari ini aku yang tanpa nama berjalan terkatung-katung di
antara jutaan aku lainnya yang juga tanpa nama membawa
cinta yang marah dan pisau ke mana-mana
sambil memikirkan semua rencana yang pernah kau
katakan, semua janji yang pernah kau sumpahkan, semua
cita-cita yang pernah kau ucapkan. semuanya. yang masih
rencana, yang masih janji, yang masih cita-cita
sambil mengenang perpisahan aku dan kau, saat nafas
lepas dari tubuh kau dan masuk memenuhi tubuh aku
sambil mencari jam yang tepat untuk merasakan
bagaimana pisau melepas nafas kau dari tubuh aku
jika mungkin
2009
KELAK SUATU HARI SEBELUM SALAH SATU
DI ANTARA AKU DAN KAU TERSANGKUT MAUT,
DI HARI ULANG TAHUN KAU, SAAT TIDAK ADA
PEKERJAAN KANTOR YANG MELARANG KAU CUTI,
AKU AKAN MENGAJAK KAU MENJADI TUA RENTA
LALU MENGAJAK KAU KEMBALI
MENJADI ANAK-ANAK
aku akan mengajak kau menginap semalam di salah satu
panti jompo, tempat orang-orang yang punya anak-anak
terlalu sibuk, tempat orang-orang merasa dekat sekali
dengan makam, tempat orang-orang susah payah
mengingat bagaimana caranya tersenyum. di sana aku dan
kau akan membaca sajak-sajak cinta kepada mereka.
dengan begitu kita bisa membayangkan bagaimana kelak
kalau kita sudah tua, bagaimana rasanya berjalan-jalan di
tepi jurang maut
besoknya, aku akan membuat sepasang layang-layang.
kemudian akan aku ajak kau ke sebuah padang. jika aku
susah menemukan padang, aku dan kau akan memanjat
ke atap gedung yang menyerupai tanah lapang, di mana
seseorang sering memarkir pesawatnya. di sana kita akan
bermain layang-layang sepuasnya. mungkin aku dan kau
sepasang tubuh dewasa yang tak lagi memiliki jiwa kanak-
kanak. siapa tahu layang-layang menerbangkan aku dan
kau kembali ke masa kanak-kanak, saat senja masih
bening, saat pohon-pohon masih hijau, saat cinta belum
terlalu rumit buat dipahami.
PAGI INI, DI HARI ULANG TAHUN KESEPULUH
KEMATIAN KAU, DENGAN BASAH LUMPUR PASAR
DI TUNGKAI AKU DUDUK DI HADAPAN BAYAM,
KACANG PANJANG, WORTEL, TOMAT, CABAI
DAN BAWANG YANG BELUM DIPOTONG
JUGA PISAU YANG LUPA DIASAH SAMBIL
MEREKA-REKA KABAR KAU DI DALAM AKU
masih. aku melihat kau masih ada di dalam aku. alangkah
pulas kau tertidur seolah tak punya keinginan untuk
bangun dan mengucapkan: selamat pagi, sayang!
ingin sekali aku membisikkan mimpi ke bibir kau, agar
kau juga bisa mengeluh tentang mall yang semakin banyak
dan harga-harga barang yang bengkak, tentang jalan-jalan
yang dibangun untuk mesin cuma, tentang tayangan
hiburan tivi yang menyengsarakan. agar kau tahu betapa
susah bertahan mencintai seseorang di tengah semua
itu
agar kau tahu aku masih mencintai kau
(bayam, kacang panjang, wortel, tomat, cabai dan bawang
belum juga diiris. pisau itu mengapa berdiri begitu dekat
dengan urat nadi aku? tiba-tiba airmata menyentuh bibir
aku membuat aku sadar seperti biasa aku lupa lagi
membeli garam)
DI SEBUAH UJUNG KEMARAU, BEBERAPA HARI
SEBELUM KAU PERGI, SAAT PETANI DI KAMPUNG
SEDANG MENCIPTAKAN MUSIM HUJAN,
BENDUNGAN DAN IRIGASI DI MATA MEREKA,
KAU MEMINTA AKU MENDONGENG
SAMBIL BERHARAP KAU BISA TERTIDUR
DAN MEMIMPIKAN SESEORANG DARI MASA LALUMU,
MAKA AKU BERTANYA: TAHUKAH KAU KENAPA
LELAKI ITU SENANG BERMAIN HUJAN?
suatu hari, di bawah langit bermata teduh, di wajah sungai
yang keruh seorang anak sejenak berkaca hendak mencuci
wajahnya yang belepotan airmata. sungai menangis tersedu
diseduh wajah sedih anak itu
sungai itu menangis semakin deras, lewat sepasang mata
anak itu, sungai menyaksikan wajahnya yang keruh. dan
sungai itu pelan-pelan jernih, dijernihkan airmatanya
sendiri
anak itu semakin deras menangis. sedihnya tidak hendak
sudah melihat sungai ikut tersedu. dan wajah anak itu
pelan-pelan bersih, dibersihkan airmatanya sendiri
langit bermata teduh goyah hampir jatuh menyaksikan
peristiwa itu
bertahun-tahun kemudian, anak itu sudah gadis dan
sungai itu sudah panjang, keduanya sungguh-sungguh
bening, bertemu kembali. mereka bermandian, gadis
mandi di mata sungai, sungai mandi di mata gadis, sampai
tubuh mereka tembus pandang sampai tubuh mereka
menghilang
langit bermata teduh yang sejak lama hampir jatuh
menyerah menyerap tubuh mereka yang menguap itu
MUNTAH-MUNTAH KARENA TAK TAHAN
PENDINGIN UDARA ADALAH SALAH SATU ALASAN
KENAPA AKU BERKERAS BERTAHUN-TAHUN
MENCINTAI KAU BAHKAN SETELAH BERJALAN
MENGGOTONG KERANDA MAYAT KAU
BERKILO-KILO METER DARI RUMAH
KE PEKUBURAN DI ANTARA KERAMAIAN HUJAN
YANG MENANGIS DERAS
sekarang aku yakin kau bisa menikmati ruangan paling
nyaman sebab kata seorang pengkhutbah yang suka marah
dan punya anak kembar lucu bernama haram dan halal, di
sana tak ada toko yang menjual alat pendingin ruangan.
yang ada hanya tungku pemanas dan kolam tempat
banyak buah dan susu berenang bersenang-senang
dan kau tak perlu khawatir, aku tak akan pernah berpikir
membayar salah satu partai agar gambar wajah aku bisa
dipasang di pinggir-pinggir jalan membuat sebagian orang
tertawa dan sebagian lagi kecewa kemudian membuangnya
di kotak suara. sebab aku tak mau menyiksa tulang-tulang
kau di dalam daging aku. sebab aku tak mau
memuntahkan jantung kau yang tambah tumbuh dari
tubuh aku
aku tak mau punya ruangan dan mobil yang beralat
pendingin yang wajib dimiliki para anggota dewan
aku tak mau. meski dulu setiap malam di tempat tidur kau
bilang pada aku: sampai mati, sampai hidup kembali, aku
pilih kau!
MENJELANG SEBELAS TAHUN KEMATIAN KAU,
SAAT USIA BANGUN AKU (ATAU TIDUR AKU
TAK ADA BEDANYA) SUDAH SEABAD LEBIH
SETAHUN, AKU SEMAKIN BANYAK MENGINGAT
KAU, SEMAKIN BANYAK MENGULANG
KALIMAT KAU, SEPERTI KALI INI AKU
MENGATAKAN SEKALI LAGI YANG KAU SEBUTKAN
DI UJUNG NAFAS KAU (YANG MUNGKIN WASIAT)
jangan! jangan terlalu banyak kau panggil nama aku. orang
mati tak membutuhkan nama. nisan itu untuk orang
hidup, bukan untuk orang mati. atau untuk orang mati
yang masih hidup. aku ingin jadi orang mati yang sangat
mati. biarkan aku lepas dari belit belut masalah. begitu
harusnya kau mencintai aku!
semakin sering kau sebut semakin subur nama aku.
semakin subur nama aku semakin kerdil nama kau.
semakin kerdil nama mereka yang kecil. semakin kecil
(kalimat kau patah di situ. lalu jadi gema. cuma gema.
gema)
TENTANG M. AAN MANSYUR
M. Aan Mansyur tinggal di Makassar. Mendirikan dan bekerja sebagai relawan di lembaga literasi bernama Kafe Baca Biblioholic. Di sela kesibukan menulis, sesekali ia membuat film dokumenter. Bukunya yang sudah terbit: Hujan Rintih-rintih (kumpulan sajak, Ininnawa, 2005), Perempuan, Rumah Kenangan (novel, InsistPress, 2007) dan Aku Hendak Pindah Rumah (kumpulan sajak, Nala Cipta Litera, 2008 – masuk longlist Khatulistiwa Literary Award 2008).
Saya nangis bacanya
Saya nangis bacanya
Tulis komentar baru