SATU
DUA penunggang kuda hentikan kuda masing-masing ketika tiba-tiba hujan turun menerpa bumi. Walau tidak lebat namun hawa tanah basah yang naik ke udara menyekat liang hidung membuat dua orang tadi mendengus beberapa kali.
“Tanda celaka apa pula ini! Hujan turun padahal matahari bersinar terik di atas batok kepala!” Berkata penunggang kuda di sebelah kanan. Dia mengenakan pakaian hitam berupa jubah panjang. Wajah dan kepalanya kelihatan aneh. Matanya sebelah kanan besar membeliak tapi yang kiri kecil seolah terpejam. Kepalanya sulah namun hanya sebelah kirisaja sedangkan sebelah kanan ditumbuhi rambut lebat. Pada keningnya terdapat tiga buah guratan tegak. Guratan di sebelah tengah lebih tinggi dari dua di kiri kanan. Kumis melintang dan berewok sangar liar menutupi hampir separuh wajahnya.
Jubah hitam, keadaan wajah dan kepala, tanda di kening serta sepasang mata yang aneh merupakan tanda pengenal yang tidak dapat disangsikan lagi oleh orang-orang rimba persilatan untuk adanya manusia satu ini. Dia adalah tokoh silat golongan hitam dikenal dengan julukan Tiga Bayangan Setan.
Orang ini muncul membawa kegegeran dalam dunia persilatan sejak satu tahun lalu. Kabarnya dia membabat banyak tokoh-tokoh silat di kawasan timur. Lalu menghantam ke barat. Bahkan pesisir utara ikut disapunya. Selama malang melintang tak satu lawanpun sanggup merobohkannya. Tiga Bayang Setan tak mempan senjata tajam dan kebal terhadap pukulan sakti. Karenanya tidak salah kalau dia kini menjadi momok nomor satu dalam rimba persilatan. Beberapa tokoh silat golongan putih berusaha membuat perhitungan dengannya. Namun Tiga Bayangan Setan bukan saja berhasil lolos bahkan dengan kejam dia menghabisi tokoh-tokoh silat yang berani menantangnya.
Penunggang kuda kedua mengenakan pakaian kain tebal robek-robek, dekil dan bau. Dia duduk di atas punggung kuda sambil rangkapkan kedua tangannya di depan dada.Lengannya ditumbuhi bulu-bulu lebat. Sebatas pergelangan tangan sampai ujung jari, sepasang tangan orang ini tidak menyerupai tangan manusia melainkan berbentuk kaki atau cakar elang raksasa berwarna merah dengan kuku-kuku runcing mencuat hitam pekat mengerikan. Konon bentuk tangannya inilah yang membuat dia dijuluki Elang Setan.
Bicara soal tampang orang ini memiliki daging muka hancur rusak seperti dicacah. Kelopak matanya sebelah bawah menggembung bengkak berwarna sangat merah dan selalu basah. Di antara sepasang mata yang angker tapi juga menjijikkan itu melintang hidung tinggi bengkok seperti paruh burung elang. Tak salah kalau dirinya dijuluki Elang Setan.
Dengan tangannya yang berbentuk cakar itu dia mampu mematahkan tombak, pedang atau golok lawan. Dengan cakar setannya dia mampu membobol perut, membongkar isi perut atau membetot lepas jantung lawan. Kabarnya kuku-kuku hitam di ujung cakar mengandung racun sangat jahat. Jangankan terkena cengkeram, tergurat saja sudah dapat membuat seseorang sekarat keracunan!
Seperti Tiga Bayangan Setan, Elang Setan yang muncul hampir bersamaan setahun lalu telah pula membuat heboh dunhia persilatan dengan melakukan pembunuhan-pembunuhan atas diri tokoh-tokoh silat ternama. Dia sengaja mencari tokoh silat tersohor untuk ditantang lalu dikalahkan dan dibunuh! Selama ini tak ada satu lawanpun yang sanggup menghadapinya.
Antara Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan konon telah saling sumpah mengangkat saudara satu dengan lainnya. Sumpah itu disertai upacara melukai lengan masing-masing, lalu menempelkan luka setelah itu yang satu menghisap darah yang lainnya! Jika dua Setan bergabung jadi satu dapat dibayangkan bahaya apa yang kini tengah mengancam seantero dunia persilatan.
Hujan telah berhenti. Elang Setan usap-usap rambutnya yang basah dengan cakar setannya. Dia memandang berkeliling.
“Kau benar saudaraku! Hujan turun matahari mencorong! Membawa alamat yang tidak baik! Tapi apakah itu perlu ditakutkan?!”
Tiga Bayangan Setan tertawa lalu meludah ke tanah. “Kau tahu, kira-kira di daerah mana kita saat ini?!”
Elang Setan memandang berkeliling dengan sepasang matanya yang berkelopak gembung merah. “Sulit aku menebak. Tak kelihatan gunung tak nampak bukit. Namun ancar-ancarnya kalau aku tak salah kita mungkin berada jauh di barat Gunung Wilis.”
“Kalau dugaanmu benar berarti paling cepat saat matahari terbenam kita baru sampai di Kartosuro,” ujar Tiga Bayangan Setan pula.
“Kita teruskan perjalanan sekarang juga. Makin cepat sampai makin baik. Dadaku selalu sesak kalau mengemban tugas seperti ini,” berkata Elang Setan lalu kembali dia mengusap rambutnya dengan jari-jari berbentuk cakar.
Tiga Bayangan Setan anggukkan kepala. “Perintah orang tua itu tidak boleh diabaikan! Terus terang aku berfikir-fikir apa urusan sebenarnya dia menyuruh kita menemui dirinya di Kartosuro…”
“Ini urusan pelik tapi rada-rada gila!” ujar Elang Setan. “Kita harus berjalan dua hari dua malam hanya untuk memenuhi permintaan Jarot Ampel!”
“Aku juga tidak senang. Tapi jangan melupakan budi orang. Paling tidak Jarot Ampel pernah menyelamatkan kita dari kematian waktu kita belum punya ilmu sehebat sekarang.”
Elang Setan menyeringai. “Kau tahu manusia-manusia macam apa kita sekarang adanya Tiga Bayangan. Aneh terdengar di telingaku kalau kini kau bisa-bisaan bicara segala macam budi orang!”
Tiga Bayangan Setan menyeringai. “Si tua Jarot Ampel itu bukan manusia sembarangan. Aku punya firasat dia menyimpan satu rahasia terhadap kita. Siapa tahu dia menyuruh kita datang ada sangkut pautnya dengan rahasia itu. Aku mau tanya, apa menurutmu dia sudah memberikan seluruh kepandaiannya pada kita?”
Elang Setan tertawa. “Mana ada guru yang mewariskan seluruh kepandaiannya pada sang murid. Paling tidak dia akan menyimpan satu ilmu andalan. Atau sebuah senjata mustika atau benda sakti apa saja…
“Kita berangkat sekarang Elang Setan! Aku ingin tahu apa maunya orang tua itu!”
Tiga Bayangan Setan berkata lalu sentakkan tali kekang kuda tunggangannya.
***
SEPERTI yang dikatakan Tiga Bayangan Setan menjlang matahari tenggelam mereka akhirnya sampai di Kartosuro. Cuaca mulai meremangi gelap dan udara terasa dingin.
“Tempat kediaman orang tua itu di kaki bukit tak jauh dari sini. Bagaimana kalau kita mampir dulu di warung kopi untuk istirahat,” Elang Setan berkata begitu mereka sampai di persimpangan jalan di pinggiran Kartosuro.
“Aku paling suka bersenang-senang. Apalagi untuk urusan perut dan urusan bawah perut…!” kata Tiga Bayang Setan lalu tertawa mengekeh. “Tapi sekali ini aku kira kita menemui Jarot Ampel lebih dulu baru cari tempat untuk bersenang-senang. Bukan sebaliknya!”
“Kalau kau tidak suka aku tidak memaksa. Kau berangkat saja duluan. Aku nanti menyusul. Tenggorokanku seperti timah meleleh. Sekujur badanku letih. Aku perlu istirahat dan meneguk secangkir kopi!”
Lalu tanpa banyak cerita lagi Elang Setan gebrak kudanya meninggalkan persimpangan. Tiga Bayangan Setan gelengkan kepala. Dia memutar kudanya ke arah timur.
Hanya beberapa saat saja kedua orang itu berpisah, di kejauhan di depannya Tiga Bayangan Setan melihat serombongan penunggang kuda mendatangi dengan cepat. Jumlah mereka lebih dari sepuluh orang. Berpakaian seragam, beberapa di antaranya membawa obor.
“Pasukan Kerajaan…” kata Tiga Bayangan Setan dalam hati. “Siapa takutkan mereka. Tapi mengingat urusan penting dengan guru ada baiknya aku menghindar jangan sampai terlihat.” Lelaki itu cepat menyelinapkan kudanya ke tepi jalan, menghilang di balik semak belukar dan pepohonan, terlindung dalam udara yang mulai kelam.
Rombongan orang berkuda lewat dengan suara gemuruh dan kepulan debu. Di belakang rombongan ternyata ada seorang berjubah kuning, bermuka pucat dengan rongga mata dan pipi sangat cekung.
Tiga Bayangan Setan yang tadinya segera hendak melanjutkan perjalanan mendadak hentikan kudanya. Dia mendongak sambil berfikir-fikir.
“Orang tua berjubah kuning itu…. Aku rasa-rasa mengenal dirinya.” Tiga Bayangan Setan berfikir keras. “Ah! Aku ingat. Dia pasti cecunguk yang bekerja jadi penjilat di Keraton. Namanya Tubagus Kasatama, berasal dari barat. Bergelar Dewa Berjubah Kuning Bertongkat Besi…. Gelar gila!” Tiga Bayangan Setan tertawa sendiri.
“Hemm…. ada apa malam-malam begini dia mau-mauan ikut rombongan pasukan Kerajaan. Tadi di sebelah depan aku lihat ada seorang Perwira Tinggi. Pasti ada urusan penting. Elang Setan sudah lama mencari cecunguk tua itu untuk ditantang dan dihabisi.
Kalau dia tidak mampir di Kartosuro tadi pasti dia sudah cari perkara menantang tua bangka itu. Tubagus Kasatama, nasibmu memang bagus seperti namamu. Seharusnya kau bakal meregang nyawa malam ini di tempat ini!”
Tiga Bayangan Setan keluar dari balik pepohonan siap meneruskan perjalanan. Namun setelah memacu kudanya beberapa ketika mendadak muncul satu pikiran di kepalanya.
“Rombongan itu menuju ke Kartosuro. Elang Setan ada disana. Jangan-jangan….”
Orang berjubah hitam ini lantas saja putar kudanya, memacu binatang itu menuju Kartosuro.
***
DUA
WARUNG kopi itu sebenarnya tidak pantas disebut warung. Selain bangunannya besar pelayannya juga banyak. Saat itu pengunjung sedang ramai. Namun, begitu sosok Elang Setan muncul di ambang pintu langsung semua tamu yang ada di situ menjadi bubar.
Mereka tak perlu tahu siapa adanya orang ini. Cukup dengan melihat tampangnya yang hancur seperti bekas dicacah dihias dengan dua mata yang kelopaknya membeliak merah serta sepasang tangannya yang berbentuk cakar runcing menge-rikan, tanpa pikir panjang semua tetamu serta merta berdiri lalu dengan ketakutan meninggalkan warung kopi lewat pintu belakang bahkan ada yang langsung melompati jendela. Mereka pantas takut setengah mati karena malam itu justru adalah malam Jum’at Kliwon di mana banyak yang masih percaya pada malam seper-ti itu segala hantu dan setan gentayangan seenaknya, terkadang memperlihatkan diri!
Elang Setan sesaat masih tegak di ambang pintu sambil bertolak pinggang dan perhatikan orang-orang yang kabur. Lalu dia melangkah masuk, menghempaskan tubuhnya di atas sebuah kursi kayu.
Para pelayan di warung kopi itu tak ada satupun berani mendatangi Elang Setan. Mereka berkumpul ketakutan disatu sudut bersama pemilik warung. Orang-orang ini jadi mengkerut ketika dari tenggorokan Elang Setan keluar suara menggeru.
“Aku hanya bicara satu kali! Apa tidak ada manusia melayani di tempat ini?!”
Habis berkata begitu Elang Setan hantamkan tangan kirinya ke atas meja kayu.
“Braaakkk!”
Empat kaki meja amblas ke lantai tapi tetap utuh! Papan meja sendiri hancur berkeping-keping. Dari sini dapat dilihat bagaimana Elang Setan mampu mengerahkan tenaga dalam tapi mengatur demikian rupa hingga tidak semua bagian meja berantakan. Melihat apa yang terjadi, sebelum tamu seram itu menghancurkan benda-benda lain yang ada dalam warung, seorang lelaki kerempeng bermuka bopeng cepat mendatangi.
“Orang jelek! Siapa kau?! Pelayan?!”
“Harap maafkan. Saya pemilik warung. Sa… saya siap melayani….”
Elang Setan menyeringai. “Nasibmu rupanya bagus. Muka buruk bopeng tapi rejeki besar. Bisa punya warung sebesar ini. Lekas kau siapkan meja baru! Hidangkan satu cangkir besar kopi manis! Bawa tekonya ke sini sekalian!”
Pemilik warung memberi isyarat pada para pelayan. Dua orang pelayan segera membersihkan kepingan-kepingan papan meja yng hancur, mencabut empat kaki meja yang masih menancap di lantai lalu meletakkan sebuah meja baru di hadapan Elang Setan. Pada saat itulah dari arah pintu ada orang berkata.
“Sediakan dua cangkir tambahan! Kami sangat berkenan menemani tamu agung ini minum bersama!”
Kepala Elang Setan tersentak. Dia cepat berpaling ke arah pintu. Dua orang dilihatnya melangkah masuk, berjalan ke arah meja di mana dia duduk. Yang satu seorang kakek bermuka pucat dan berpipi sangat cekung, mengenakan jubah kuning. Orang kedua seorang Perwira Tinggi pasukan Kerajaan. Ikut masuk ke dalam warung bersama mereka enam orang prajurit yang segera mengambil sikap mengurung. Di luar warung masih ada beberapa prajurit lagi, berjaga-jaga dekat pintu depan, jendela-jendela dan pintu belakang.
Elang Setan segera mencium gelagat tidak enak. Namun dia memperlihatkan sikap tenang. Sepasang matanya yang berkelopak merah gembung menyoroti dua orang yang melangkah ke arah mejanya. Lalu enak saja kedua orang ini duduk di hadapannya. Elang Setan segera kenali kakek berjubah kuning tapi tidak mampu mengetahui siapa adanya Perwira Tinggi di samping si kakek.
“Orang-orang hebat dari Kotaraja!” ujar Elang Setan setengah berseru. Mulutnya menyunggingkan seringai buruk. “Aku tidak mengundang kalian minum-minum ataupun bersenang-senang. Kalau mau minum silahkan saja, tapi bayar sendiri!”
Kakek berjubah kuning yaitu Tubagus Kasatama alias Dewa Berjubah Kuning Bertongkat Besi tertawa lebar.
“Jangan takut,” katanya. “Kami cukup banyak membawa uang. Katakan saja kau mau minum apa mau makan apa. Kami membayar semuanya!”
“Ah, kalian orang-orang kaya rupanya. Kalian muncul membawa keberuntungan bagiku. Katakan apa mau kalian?” bertanya Elang Setan.
Perwira Tinggi Kerajaan menjawab. “Kita minum saja dulu. Nanti masih banyak waktu untuk bicara…” ucapan ini membuat Elang Setan jadi naik darah karena merasa diremehkan. Dia hendak mendamprat dengan kata-kata kotor. Namun saat itu pemilik warung muncul membawa sebuah teko besar serta tiga buah cangkir. Tiga cangkir diletakkan masing-masing di hadapan tiga tamu. Lalu kopi hangat dalam teko dituangkannya satu-persatu ke dalam tiga cangkir.
“Selera minumku tiba-tiba saja lenyap!” kata Elang Setan. “Silahkan kalian minum berdua!”
Perwira Tinggi yang duduk tepat di hadapan Elang Setan tersenyum. “Kami tidak memaksa kalau kau tak mau minum. Cuma sayang, mungkin ini kali terakhir menikmati kopi seenak ini. Mengapa disia-siakan?”
Sepasang mata gembung merah Elang Setan mendelik. Dari tenggorokannya keluar sura menggembor.
“Perwira tinggi! Apa maksudmu dengan ucapan tadi?!” membentak Elang Setan.
“Ketahuilah kami datang membawa tugas untuk menangkapmu hidup-hidup ataupun mati! Sayang temanmu yang bergelar Tiga Bayangan Setan itu tidak bersamamu. Kalau dia ada, rejeki kami tentu lebih besar!” yang bicara adalah si kakek bermuka cekung Tubagus Kasatama alias Dewa Berjubah Kuning.
Elang Setan tertawa lebar. Cairan yang membasahi kelopak matanya menetes dan bergulir di kedua pipinya membuat Perwira Tinggi dan kakek berjubah kuning merasa jijik.
“Kopi sudah terhidang! Mengapa tidak diteguk? Apa mau menunggu sampai dingin atau takut aku telah menyuruh orang memasukkan racun ?!”
“Mana enak minum kopi hangat kalau tidak ditemani lawan bicara,” menjawab Perwira Tinggi.
Elang Setan kembali tertawa. “Kalau kalian memaksa aku rasa-rasa sungkan menolak. Baiklah, aku minum duluan…”
Tubagus Kasatama dan si Perwira Tinggi melihat Elang Setan ulurkan tangan kanannya yang berbentuk cakar. Mereka menyangka orang ini akan memegang cangkir kopi dan meneguk isinya. Ternyata Elang Setan cuma celupkan jari telunjuknya yangberkuku panjang ke dalam cangkir. Kopi hangat dalam cangkir kelihatan beriak lalu terdengan suara mendesis.
Baik Tubagus Kasatama maupun si Perwira Tinggi sama-sama menyembunyikan kekagetan mereka ketika melihat bagaimana kopi dalam cangkir laksana disedot perlahan-lahan habis hingga akhirnya cangkir tanah itu kosong!
“Enaknya kopi di warung ini…” kata Elang Setan sambil menggeliat. “Biar kuisi lagi cangkirku.”
Tubagus Kasatama dan si Perwira Tinggi mengira Elang Setan akan menuangkan kopi di teko ke dalam cangkir. Tapi yang dilakukan Elang Setan kalau tadi dia mencelupkan jari telunjuk kanannya maka kini dia memasukkan ujung tangan kirinya ke dalam cangkir. Terdengar suara mendesis disusul suara benda cair mengucur. Ketika Tubagus Kasatama dan sang Perwira melihat ke dalam cangkir ternyata sedikit demi sedikit cangkir itu terisi kopi hangat yang mengepulkan asap berbau harum!
Baik Tubagus Kasatama maupun Perwira Tinggi dari Kartosuro itu sama-sama memaklumi hanya orang memiliki kepandaian tinggi sekali yang mampu melakukan seperti apa yang diperbuat Elang Setan. Maka keduanya serta merta mempertinggi kewaspadaan.
“Aku telah meneguk kopiku. Jika kalian tidak mau minum sebaiknya angkat kaki saja dari warung ini. Tunggu aku di luar sana jika kalian memang punya urusan…”
Perwira Tinggi dan Tubagus Kasatama saling pandang.
“Orang sudah menawarkan. Rasanya tidak sopan kalau tidak memenuhi…” kata Tubagus Kasatama pula. Sang Perwira tersenyum dan anggukkan kepala. Kedua orang ini lantas memandang lekat-lekat pada cangkir kopi di hadapan mereka. Tidak menunggu lama. Tiba-tiba dua cangkir itu naik ke atas, perlahan-lahan melayang ke muka si kakek berjubah kuning dan Perwira di sebelahnya. Luar biasa! Jelas dua orang ini memiliki kepandaian yang tidak kalah dengan Elang Setan. Ketika cangkir hanya tinggal seujung jari dari mulut mereka, kedua orang ini segera membuka mulut siap untuk meneguk kopi dalam cangkir. Namun tanpa setahu mereka di bawah kolong Elang Setan kepalkan jari-jari kedua tangannya yang berbentuk cakar. Terjadilah hal yang tidak diduga oleh dua orang dihadapannya. Gerakan cangkir yang mendekati mulut serta merta terhenti.
Tubagus Kasatama dan sang Perwira Tinggi segera maklum kalau orang perguna-kan kekuatan untuk membendung tenaga dalam mereka yang dikerahkan untuk mengangkat cangkir. Keduanya lipat gandakan tenaga dalam masing-masing. Cangkir kelihatan seperti hendak bergerak lagi tapi kembali tertahan begitu di bawah meja Elang Setan kepalkan dua tangannya lebih kencang. Terjadi adu kekuatan tenaga dalam yang hebat. Walau digempur dua lawan ternyata Elang Setan sanggup bertahan bahkan menghantam.
Bahu Tubagus Kasatama dan Perwira Tinggi itu kelihatan bergetar, mula-mula perlahan lalu berubah tambah keras. Meski sadar kalau mereka tidak sanggup bertahan namun untuk menyerah begitu saja tentu saja keduanya merasa malu. Lebih baik terluka di dalam daripada menyerah!
Di bawah meja tiba-tiba Elang Setan buka kepalan kedua tangannya. Bersamaan dengan itu tubuh Tubagus Kasatama dan si Perwira Tinggi terhempas ke belakang. Sebelum itu dua cangkir yang menggantung di udara pecah berantakan. Pecahan cangkir dan kopi muncrat membasahi pakaian mereka. Sebagai orang persilatan cabang atas meskipun sudah kena dihantam lawan, sebelum jatuh jungkir balik dari atas kursi Tubagus Kasatama dan si Perwira Tinggi cepat melesat ke atas. Sambil selamatkan diri dua orang ini saling berikan isyarat. Karenanya begitu melayang turun mereka langsung menyerang Elang Setan!
Kakek berjubah kuning menghantam dengan mengebutkan lengan jubah sebelah kanan. Sang Perwira melepaskan tendangan ke dada Elang Setan. Dua serangan ini datangnya laksanan kilat. Tapi yang diserang tenang saja. Sesaat lagi angin pukulan dahsyat dan tendangan akan mengenai sasaran baru dia membuat gerakan. Dua cakar elang membabat ke depan. Cahaya hitam dan merah bertabur di udara.
“Awas! Cakar beracun!” teriak Tubagus Kasatama memberi ingat.
“Wutttt! Wutttt”
“Breettt!”
***
TIGA
PERWIRA Tinggi kerajaan itu merasa seolah nyawanya terbang ketika cakar kiri Elang Setan merobek ujung celananya sebelah kanan. Keringat dingin memercik di keningnya.
Untung hanya pakaiannya yang disambar robek. Kalau sampai daging atau kulit kakinya kena dicakar pasti cidera berat akan menimpa dirinya karena dia tahu betul kuku-kuku hitam cakar setan itu mengandung racun teramat jahat!
Elang Setan tertawa mengekeh. Enak saja dia kemudian dudukkan diri di kursi. Mengambil teko di atas meja lalu gluk-gluk-gluk! Dengan lahap dia meneguk kopi hangat langsung dari teko hingga mulutnya berlepotan. Ketika Tubagus Kasatama dan si Perwira Tinggi tegak di seberang meja dengan paras berubah, Elang Setan menyeringai. Dia seka mulutnya dengan cakar tangan kiri. Dia putar kepalanya pada Perwira Tinggi di sebelah kiri. Di antara dua lawan yang dihadapinya dia bisa menduga bahwa yang satu ini memiliki ilmu lebih rendah dari pada kakek berjubah kuning. Maka diapun menggertak membuat patah semangat lawan. “Apa kau pernah melihat merahnya jantungmu sendiri?”
Sang Perwira mendengus. “Mulutmu terlalu besar! Aku mau lihat apa kau masih bisa bicara kalau nanti tubuhmu kusuruh kuliti lalu digarang dengan panas?”
Elang Setan tertawa mengekeh. Suara tawanya lenyap lalu tiba-tiba sekali dua tangannya melesat ke depan.
“Awas serangan!” teriak Tubagus Kasatama. Dia tahu betul, sekali Elang Setan melancarkan serangan cakar setannya jarang lawan bisa selamat. Sambil berteriak kakek ini gerakkan tangan kanannya ke punggung jubah.
Saat itu tangan kiri Elang Setan menyambar melewati meja ke arah leher Perwira Tinggi sementara tangan kanannya melesat lurus ke arah dada tepat di bagian jantung! Jelas dia memang hendak berusaha menjebol dada dan membetot jantung lawannya! Satu deru keras terdengar disertai membesetnya sinar hitam legam. Elang Setan tersirap kaget ketika dirasakannya ada benda keras menindih dua lengannya. Dia cepat menarik serangan tapi benda keras itu lebih cepat datangnya dan “braaakk!”
Dua lengan Elang Setan terhempas ke atas meja, ditindih keras oleh sebatang tongkat besi yang salah satu ujungnya berbentuk runcing dn satunya lagi berupa lingkaran pipih dengan pinggir setajam pisau! Inilah tongkat besi bernama “Wesi Ketaton” yang merupakan senjata mustika andalan kakek berjuluk Dewa Berjubah Kuning Bertongkat Besi.
“Kurang ajar!” maki Elang Setan. Dia kerahkan tenaga dan tarik kedua tangannya. Tapi tidak seperti diduganya, dia ternyata tidak mampu melepaskan tindihan tongkat besi pada kedua lengannya. Malah tekanan tongkat semakin keras. Selagi dia berkutat membebaskan dua lengannya dari samping Perwira Tinggi Kerajaan menyergap dengan dua pukulan keras, satu ke dada, satu ke kepala Elang Setan.
Elang Setan meraung keras. Kalau saja dua lengannya tidak terjepit Wesi Ketaton niscaya dua hantaman dahsyat tadi akan membuat tubuhnya mental. Pipi kirinya tampak menggembung merah kena hajaran. Darah Elang Setan mendidih. Dengan lutut kanannya dia hantam papan meja hingga hancur berantakan. Hancurnya papan meja membuat lepas jepitan tongkat besi kakek berjubah kuning pada dua lengan. Sadar kalau dua tangan lawan yang sangat berbahaya itu kini lepas bebas Tubagus Kasatama segera lancarkan serangan. Tongkatnya lenyap berubah menjadi gulungan dan sambaran sinar hitam. Perwira Tinggi Kerajaan tak tinggal diam. Dia segera pula lancarkan serangan berupa pukulan-pukulan tangan kosong mengandung aji dan tenaga dalam tinggi. Elang Setan terkurung rapat. Sulit baginya untuk meloloskan diri. Dari ganasnya serangan dua orang itu jelas mereka tidak perduli apakah Elang Setan bisa diringkus hidup-hidup atau dalam keadaan jadi mayat!
Meski tenggelam dalam serangan-serangan mematikan Elang Setan bersikap tenang bahkan untuk beberapa jurus di masih melayani gempuran dua lawan dengan masih duduk di kursi kayu!
“Manusia setan ini benar-benar luar biasa!” membatin Tubagus Kasatama. Dia membentak keras lalu tongkat besinya diputar demikian rupa hingga warung itu seolah dilanda badai.
“Dewa Berjubah Kuning! Apa ini ilmu andalanmu yang terakhir?” seru Elang Setan mengejek.
“Bukan terakhir bagiku tapi terakhir bagi jalan nafasmu!” balas berteriak Dewa Berjubah Kuning. Ujung bulat tongkat Wesi Ketaton membabat ke arah leher Elang Setan didahului sambaran hawa dingin mengidikkan, “Putus lehermu!” teriak si kakek.
“Hancur tongkatmu!” balas Elang Setan. Tangan kanannya mencelat ke atas. Bukan saja untuk melindungi lehernya tapi sekaligus menangkap bagian tongkat di bawah lingkaran pipih. Begitu tertangkap pergelangan tangannya segera diputar. Sekali putar tongkat besi itu pasti akan patah! Tapi Elang Setan kecele. Tongkat lawan ternyata benar-benar senjata sakti mandraguna! Elang Setan tidak hilang akal. Sadar senjata lawan tak bisa dipatahkan atau dihancurkannya maka dia tarik kuat-kuat tongkat itu. Karena Tubagus Kasatama tak ingin senjatanya dirampas orang dan berusaha mempertahankan, tak ampun tubuhnya ikut tertarik ke depan. Pada saat itulah kaki kanan Elang Setan melesat ke depan.
“Bukkk!”
Tubagus Kasatama merasa perutnya seperti pecah. Jeritan keras keluar dari mulutnya. Tongkat terlepas dari tangan dan tubuhnya terpental dua tombak. Baru saja kedua kakinya menginjak lantai warung dan masih dalam keadaan terhuyung-huyung lawan datang menyergap. Elang Setan membuat gerakan aneh. Kedua tangannya dikembangkan ke samping laksana sayap elang raksasa. Bersamaan dengan itu tubuhnya berputar sebat.
“Craasss!”
Tangan kanan Tubagus Kastma yang terkembang karena berusaha mengimbangi diri putus laksana dibabat senjata tajam. Orang tua ini terpekik. Belum habis pekiknya tangan kiri Elang Setan ganti menghantam.
“Craasss!”
Kali ini cakar maut Elang Setan merobek pangkal leher dan dada si orang tua. Darah membasahi jubah kuningnya. Meski tangan kanan putus dan leher serta dada luka parah manusia berjuluk Dewa Berjubah Kuning ini masih tetap berdiri bahkan berusaha melompati lawan sambil hantamkan tangan kirinya. Selarik sinar kuning menggebubu menghantam Elang Setan, membuat kedua kakinya terangkat ke atas.
Elang Setan membentak keras. Dia cepat melompat sampai dua tombak. Begitu menukik tangan kirinya menyambar.
“Craassss!”
Dada kiri Dewa Berjubah Kuning jebol. Jeritan si orang tua setinggi langit mengerikan. Meski sadar kalau dia tidak akan lolos dari kematin karena jantungnya sudah kena cengkeram lawan namun dengan tangan kirinya dia masih berusaha balas menghantam dan berhasil!
Dua sosok tubuh terbanting dan terkapar di lantai warung. Yang pertama sosok Dewa Berjubah Kuning yang tak berkutik lagi, menemui ajal secara mengerikan karena jantungnya tak ada lagi dalam rongga dada kirinya! Tak jauh dari mayat si kakek menggeletak Elang Setan. Tangan kanannya memegangi perutnya yang terkena jotosan lawan sedang tangan kirinya pegangi benda merah berdenyut-denyut. Itulah jantung Dewa Berjubah Kuning!
Pemilik wrung kopi dan semua pelayan sama menggigil saking ngeri dan ketakutan setengah mati melihat kejadian itu. Lain halnya dengan Perwira Tinggi Kerajaan. Begitu melihat si orang tua menemui ajal dia cepat mengambil tongkat Wesi Ketaton. Dengan senjata ini dia menyerbu Elang Setan yang saat itu tengah berusaha bangkit membelakanginya. Bagian runcing tongkat ditusukkannya ke balok kepala Elang Setan.
Bagaimanapun tingginya ilmu Elang Setan namun dia masih belum sehebat kawannya Tiga Bayangan Setan yang tak mempan pukulan sakti dan kebal senjata tajam.
Tusukan tongkat Wesi Ketaton pada batok kepalanya akan membunuhnya seketika. Karena saat itu serangan datang dari belakang sekalipun. Elang Setan cepat mengetahui dan sempat mengelak namun keadaannya sudah sangat terlambat.
Hanya sekejapan mata lagi tongkat Wesi Ketaton akan amblas menusuk batok kepala Elang Setan tiba-tiba dari pintu warung melesat sosok berjubah hitam. Mendahului sosok ini terlihat ada tiga bayangan hitam. Bayangan-bayangan ini berupa manusia bertelanjang dada penuh bulu berkepala berbentuk raksasa berambut panjang riap-riapan serta taring mencuat, memiliki sepasang mata besar merah. Tiga bayangan ini seolah keluar dari kepala orang berjubah hitam itu. Bayangan yang di tengah melesat paling cepat ke arah Perwira Tinggi yang tengah menghunjamkan tombak maut ke kepala Elang Setan. Makhluk berkepala raksasa ini angkat tangan kanannya tinggi-tinggi lalu menghantam.
“Praaak!”
Perwira Tinggi Kerajaan itu tak pernah tahu siapa atau apa yang membunuhnya. Tubuhnya terhempas ke lantai warung dengan kepala pecah.
“Syukur kau datang menolongku. Kalau tidak…” kata Elang Setan pada si jubah hitam yang bukan lain adalah sobatnya si Tiga Bayangan Setan. Sesaat dia tegak sambil pegangi perutnya yang masih terasa sakit.
“Kau masih mau minum kopi?!” ejek Tiga Bayangan Setan.
Elang Setan hanya bisa menyeringai.
“Hampir saja kau minum kopi di akhirat!” ujar Tiga Bayangan Setan tandas. Dia memutar tubuh. Sebelum melangkah ke pintu di berkata pada Elang Setan. “Ambil tongkat besi hitam itu. Itu bukan senjata sembarangan. Pasti ada gunanya bagi kita!”
***
EMPAT
HUJAN turun lebat bukan alang kepalang seolah langit di atas sana terbelah. Satu bayangan putih berkelebat dalam kegelapan malam. Dia tengah berusaha mencari tempat berteduh. Dari mulutnya, terdengar suara bergemeletakkan akibat gigil kedinginan. Tapi dari mulut itu juga berulang kali keluar makian kesal. “Hujan sialan!”
Dalam keadaan kuyup tubuh dan pakaian orang ini tiba-tiba melihat ada satu nyala api di kejauhan. Menyangka itu adalah nyala lampu minyak rumah penduduk tanpa pikir panjang dia segera berlari ke arah sana. Ternyata nyala api itu bukan lampu minyak tanah melainkan nyala api sebuah obor yang bergoyang-goyang diterpa angin keras. Obor ini terikat pada tiang bambu sebuah gubuk tanpa dinding yang atapnya bocor disana sini.Di tengah gubuk berlantai tanah dan becek itu melintang batangan pohon. Orang yang mencari tempat berteduh ini terperangah ketika dilihatnya di atas batang kayu itu duduk terkantuk-kantuk seorang tua. Sepasang matanya sebentar terbuka sebentar terpejam. Rambutnya yang awut-awutan sebagian telah basah oleh air hujan yang menetes jauh dari atap bocor, begitu juga jubah hitamnya. Meski kebocoran seperti itu tapi orang ini tidak berusaha untuk bergeser atau berpindah duduk.
“Orang tua aneh, tak bisa kutebak apa dia lelaki atau perempuan,” kata orang yang baru datang. Dia sendiri terpaksa berpindah tempat beberapa kali agar terhindar dari kebocoran air hujan. “Berjubah hitam, tangan dan kaki tidak kelihatan. Bagaimana aku harus menegurnya. Biar aku mendehem saja….” Berfikir begitu orang ini lalu mendehem beberapa kali. Yang didehemi tidak memberi reaksi apa-apa. Kedua matanya masih terus membuka dan memejam sedang bahu dan kepalanya terayun-ayun.
“Aku yakin dia belum tidur. Tapi mengapa tidak mendengar aku mendehem. Mungkin tuli, bisa juga gagu….” Orang ini lalu berputar beberapa kali mengelilingi orang tua yang duduk di atas batang pohon. “Waktu matanya terbuka, dia pasti melihat aku.
Nyala api obor cukup terang. Tapi dia masih diam saja. Apa selain tuli dan gagu dia juga buta?! Aku tidak percaya! Kalau kutegur paksa mungkin dia marah. Manusia macam begini kelakuannya bisa aneh-aneh.” Orang ini memutar otaknya lalu senyum-senyum sendiri. Dari mulutnya kini terdengar suara siulan halus. Lalu mulutnya berucap.
“Uh… dingin-dingin begini perut rasanya lapar sekali. Untung masih ada persediaan ubi rebus. Masih hangat lagi…. Hemm…. Enaknya kumakan saja sekarang juga….” Sambil berkata begitu orang ini mengeruk ke balik pakaiannya mengambil sesuatu. “Nah ini di…. Ubi rebus. Hangat asyik…. Pengganjal perut yang lapar. Biar kukupas dulu kulitnya. Hemm… pasti enak…. Aduh besarnya ubi ini. Rasa-rasanya tak habis kalau aku makan sendiri…!” Sambil berkata begitu dia melirik ke samping lalu menyengir ketika melihat orang tua di atas batang kayu memutar kepalanya sedikit sedang kedua matanya dibuka. Bibirnya berkomat-kamit berulang kali.
“Nah, nah… Jadi sampean rupanya tidak tuli dan tidak buta. Buktinya sampean palingkan kepala mencari ubiku! Ha… ha…. Ha! Apakah sampean juga gagu-bisu? Kurasa tidak ‘kan?!”
Dua mata orang tua itu tampak membesar berkilat-kilat. Tampangnya yang penuh kerut merengut tanda dia sadar kalau sudah kena ditipu orang. Ternyata dia memang tidak gagu karena saat itu juga suara bentakannya menggeledek.
“Gubuk ini milik nenek moyangku! Diwariskan pada bapak moyangku! Bapak moyangku mewariskan pada diriku! Orang muda, jangan berani macam-macam! Lekas angkat kaki dari sini!”
Sesaat orang di hadapan si orang tua terperangah kaget. Bukan saja karena ucapan orang tua itu tapi juga karena tidak mampu memastikan dari suara orang apakah dia laki-laki atau perempuan. “Jelas dia punya kepandaian merubah suara!” berkata dia dalam hati.
Lalu dalam hati juga dia mengomel. “Perduli setan ini gubuk warisan siapa!” Lalu pada orang tua itu dia berkata. “Ah, benar rupanya. Ternyata kau tidak gagu. Kau marah tidak kubagi ubi rebus?! Lihat sendiri! Mana ada ubi rebus! Aku hanya mendustaimu! Orang itu membuka ke dua tangannya lebar-lebar sambil terus tertawa.
“Kurang ajar betul dirimu! Pertama kau masuk ke gubukku tanpa permisi. Kedua kau menipuku seolah punya ubi rebus hingga menganggu kantukku! Lekas bilang siapa dirimu yang berani mencari mati?!”
“Walah, masakan numpang berteduh dan tertipu ubi saja balasannya sampai mati segala?!”
“Aku bertanya siapa dirimu anak setan kurang ajar?!”
Yang ditanya kembali garuk-garuk kepala tapi menjawab juga. “Aku Wiro…”
“Hemm… ternyata namamu jelek. Kelakuanmu lebih jelek lagi, sejelek tampangmu!” Orang tua di atas batang kayu mendengus. “Aku muak melihatmu! Menyingkir dari hadapanku!” Habis berkata begitu orang tua ini lalu kibaskan lengan jubah sebelah kiri.
“Wutttt!”
“Hai! Kenapa kau menghantamku?!” teriak pemuda di hadapan si orang tua yang bukan lain adalah .
“Makan ubimu!” teriak orang tua itu sambil putar pergelangan tangan kirinya.
“Astaga!”
Waktu tadi lengan jubah mengebut satu gelombang angin mengeluarkan hawa dingin menderu, membabat ke arah perut Pendekar 212. Dia cepat menyingkir. Namun putaran tangan kiri yang dilakukan orang tua membuat gelombang angin berputar aneh. Wiro merasa seolah ada tangan besar dan kuat yang tak kelihatan menelikung pinggangnya. Dia menghantam ke bawah dengan tangan kanan. Namun yang dipukulnya hanya udara kosong. Di saat yang bersamaan tahu-tahu tubuhnya terangkat ke atas lalu “brak!” Tubuh Wiro terbanting jatuh punggung ke tanah becek. Selgi Wiro terhenyak kesakitan orang tua di atas batang kayu tertawa gelak-gelak.
“Sudah kau makan ubi rebusmu? Enak ya? Ha… ha… ha…!”
Perlahan-lahan Wiro bangkit berdiri. Pakaiannya basah dan kotor penuh tanah. Dia tak bisa menerka apakah orang tua tak dikenal itu punya maksud jahat atau tidak. “Orang aneh seperti yang satu ini tak perlu diladeni. Lebih baik aku menyingkir saja dari sini. Lagi pula hujan mulai reda…” Wiro lalu keluar dari gubuk bocor itu. Namun baru melangkah dua kali si orang tua tiba-tiba berseru.
“Hai! Kau sudah memakai gubukku untuk berteduh! Mana bayarannya!”
“Tua bangka brengsek!” maki murid Sinto Gendeng. Dia balikkan tubuh lalu menyahuti. “Gubukmu bocor besar. Tak ada gunanya berteduh! Cukup aku membayar dengan ucapan terima kasih saja!” Lalu tanpa perduli lagi Wiro lanjutkan langkahnya. Pada saat itulah mendadak di belakangnya terdengan suara menderu. Ada sesuatu melesat di udara, melayang ke arahnya! Cepat Wiro berpaling dan jadi sangat terkejut ketika menyaksikan batangan kayu besar yang tadi diduduki si orang tua melayang di udara setinggi kepala, siap menghantamnya. Pendekar 212 rundukkan kepala sambil kerahkan pukulan sakti “kunyuk melempar buah” lalu menghantam.
“Braakkk!”
Batang kayu mental dan hancur berkeping-keping. Terdengar suara tawa mengekeh. Orang tua berjubah hitam itu tegak beberapa langkah di hadapan Wiro, masih dibawah atap gubuk. Sambil bertolak pinggang dia berkata. “Berteduh tidak minta permisi. Pergi tidak mau membayar! Batangan kayu kursi dan tempat ketiduranku malah kau hancurkan! Kelakuanmu sudah keterlaluan!”
“Orang tua, jika aku salah harap maafkan!”
Mendengar ucapan Wiro orang tua itu kembali tertawa.
“Gampang betul mulutmu minta maaf! Pernahkah mulutmu itu makan manisan api?!”
“Manisan api…? Eh, apa maksudmu?! Tanya Wiro. Selagi dia keheranan orang di hadapannya menyambar obor yang terikat di tiang gubuk. Lalu “wusss… wusss… wusss!”
Dengan obor itu dia menyerang Wiro. Gerakannya cepat sekali. Serangan pertama yang hampir membakar mukanya berhasil dielakkan oleh Wiro, begitu juga serangan kedua ke arah perut. Tapi serangan berikutnya tak bisa dikelit. Dada baju putihnya terkena sambaran obor, langsung terbakar. Cepat Wiro tepuk-tepukkan tangan matikan obor, membuat murid Sinto Gendeng tak bisa berdiam diri lagi. Sambil mengelak dia balas menyerang. Dia berusaha membuat gerakan melebihi kecepatan lawan. Mula-mula Wiro memang bisa mendesak namun beberpa jurus kemudian lawan bukan saja mementahkan jurus-jurus silatnya malah serangan obornya sempat membakar tubuh dan sesekali menyambar pipi kanannya hingga pemuda ini mengerenyit menahan sakit!
Tidak terasa dua puluh jurus berlalu cepat. Wiro semakin terdesak. Satu kali ketika obor menusuk ke arah perutnya murid Sinto Gendeng melompat ke kiri. Dia sengaja memukul dan menymbar tiang bambu penyanggah atap gubuk terdekat. Gubuk reot itu miring hampir roboh. Wiro melesat ke luar gubuk dan menunggu sambil melintangkan bambu di depan dada siap menghadapi lawan. Karena bambu yang dipegangnya lebih panjang dari obor di tangan lawan, Wiro menyangka dia kini akan lebih mudah menghadapi serangan. Tapi satu hal yang mengejutkan terjadi begitu dia coba menusuk dengan bambu itu.
Lawan menyambuti serangannya. Menangkis dengan obor. Bagian atas obor sesaat menempel di ujung bambu. Bambu itu serta merta terbakar. Orang tua mundur selangkah. Sambil menyeringai dia meniup ke depan.
“Wusss!”
Api yang membakar ujung bambu, seperti bola tiba-tiba menggelinding sepanjang bambu dan menyambar ke arah tangan dan muka Pendekar 212!
“Gila!” teriak murid Sinto Gendeng sambil melompat mundur dan cepat lepaskan bambu yang dipegangnya tapi masih terlambat. Gelundungan bola api menyambar ke arah mukanya. Wiro menunduk.
“Wusss!”
Kain putih pengikat kepalanya dan sebagian rambutnya di atas telinga kiri masih sempat terbakar. Daun telinganya terasa panas sakit bukan main.
“Orang tidak main-main. Dia punya maksud untuk mencelakaiku. Bukan mustahil kehadirannya di tempat ini memang sengaja menghadangku!”
Berfikir sampai di situ Wiro segera mendahului menyerang. Si orang tua sambut dengan putaran obor.
“Lihat serangan!” teriak murid Sinto Gendeng
Lawan tertawa tergelak. “Serangan apa?! Aku tidak melihat serangan apa-apa. Yang kulihat kau menari tak karuan seperti monyet terbakar buntut!”
Menerima ejekan itu Pendekar 212 jadi penasaran sekali. Dia segera keluarkan jurus-jurus ilmu silat terhebatnya. Serangan dibuka dengan jurus “orang gila mengebut lalat” yang membuat obor di tangan lawan bergoyang keras tapi tak bisa dibuat mental bahkan padampun tidak. Melihat ini murid Sinto Gendeng susul dengan jurus serta pukulan sakti bernama “angin puyuh”. Sebelumnya jarang Wiro mengeluarkan ilmu pukulan ini. Di malam yang gelap angin pukulannya mengeluarkan suara menderu keras. Gubuk reyot berderak-derak. Dihadapannya si orang tua kelihatan tertegun. Jubah hitamnya berkibar-kibar dan kedua kakinya terangkat ke atas.
“Huh! Ilmumu cukup bagus untuk menakut-nakuti anak kecil!” ejek si orang tua.
Dia angkat tangan kirinya dengan telunjuk mengacung lurus ke atas. Seperti tersedot angin pukulan sakti Pendekar 212 sedikit demi sedikit amblas masuk ke dalam jari!
Meski terkejut bukan kepalang namun sadar kalau dia tidak boleh memberi kesempatan. Didahului dengan jurus “ular naga menggelung bukit” Wiro kembali lancarkan serangan. Kaki kanannya melesat. Ini merupakan serangan tipuan karena begitu orang bergerak menghindar tubuh Wiro melesat ke depan dengan dua tangan terpentang, menyambar laksana kilat ke leher lawan! Ini satu serangan sangat berbahaya. Tapi si orang tua sambut serangan itu dengan tawa bergelak lalu secepat kilat dia membuat gerakan aneh. Tubuhnya melenting ke belakang tapi kedua kakinya tidak bergeser dari kedudukan semula. Begitu dua tangan Wiro menyambar dia tusukkan obor ke arah perut Wiro sedang tangan kiri menjotos ke dada!
“Ah! Wiro keluarkan seruan tertahan. Dia tak habis pikir. Serangannya tadi dengan gerakan cepat luar biasa, tapi lawan mementahkannya begitu mudah. Sambil kertakkan rahang murid Sinto Gendeng bergerak ke samping lalu tiba-tiba sekali dia membalik lancarkan jurus serangan bernama “di balik gunung memukul halilintar”. Dua lengannya berputar laksana baling-baling. Menghantam ke arah lawan. Salah satu dari lengan itu tidak dapat tidak pasti akan mendarat di tubuh lawan. Tapi apa lacur. Tiba-tiba sekali orang tua berjubah hitam melesat ke udara sambil menotokkan obornya ke batok kepala Wiro!
Wiro sadar bahaya maut yang mengancamnya. Dengan gerakan kilat dia menghindar dengan keluarkan jurus “kepala naga menyusup awan”. Begitu obor lewat hanya seujung kuku di samping kepalanya Wiro jatuhkan diri ke tanah, berguling dua kali.
Pada gulingan ketiga dia berbalik dan hantamkan tangan kanannya. Sinar terang benderang berkelebat menyilaukan disertai menebarnya hawa panas. Murid Sinto Gendeng ternyata telah lepaskan pukulan sakti “sinar matahari”.
Di seberang sana di depan gubuk orang tua berjubah hitam keluarkan seruan keras. Tubuhnya berkelebat lenyap sebelum pukulan maut itu menghantam dirinya. Pukulan sinar matahari melabrak gubuk terus menghantam semak belukar dan pepohonan di sekitarnya. Serta merta gubuk dan semak belukar tenggelam dalam kobaran api sedang pohon-pohon hangus. Dari sini bisa dilihat bagaimana kehebatan pukulan sakti yang dilepaskan murid Sinto Gendeng. Semua benda yang dilanda pukulan itu terbakar padahal dalam keadaan basah akibat kehujanan! Namun apa gunanya semua kehebatan itu kalau dia tidak mampu menghajar lawan! Wiro kertakkan rahang.
“Sialan! Kemana lenyapnya manusia itu?” ujar Wiro dalam hati.
Di belakangnya mendadak ada suara tawa mengekeh. Wiro berbalik cepat. Orang tua berjubah hitam itu ternyata kini tegak hanya dua langkah saja di hadapannya! Di tangan kanannya masih tergenggam bambu obor yang setengahnya berada dalam keadaan hancur.
“Pukulanku hanya mampu menghancurkan ujung obor….” membatin Wiro.
“Anak muda, apa kau masih punya ilmu kepandaian lain yang hendak kau perlihatkan padaku?!”
Ejekan itu membuat panas telinga Pendekar 212. Tanpa menunggu lebih lama. Didahului dengan bentakan keras murid Sinto Gendeng menggebrak ke depan, lancarkan serangan berupa jotosan kiri kanan mengandung tenaga dalam penuh!
“Traakk!”
Potongan bambu obor di tangan orang tua berjubah hitam hancur berantakan sewaktu dipergunakan untuk menangkis. Tinju kanan Wiro terus melesat menghantam dadanya dengan telak. Selagi tubuh lawan terhuyung-huyung Wiro susul menyodokkan tinju kirinya ke lambung. Tubuh orang tua itu terlipat ke depan. Secepat kilat Wiro kembali menggebuk dengan tangan kanan. Kali ini yang di arahnya adalah muka lawan. Hantamannya mendarat tepat di kening orang tua itu hingga tubuhnya terjengkang di tanah!
“Gila! Tiga pukulanku menghantamnya telak! Dia tidak cidera sedikitpun! Malah menyeringai!”
Selagi Wiro terheran-heran, dengan satu gerakan aneh tubuh yang terjengkang di tanah itu tiba-tiba melenting ke udara. Tahu-tahu sepasang kakinya telah menjapit leher Wiro. Bau pesing! Itu yang tercium oleh Wiro. Dia berusaha menjotos tubuh lawan sambil mencoba melepaskan lehernya dari japitan sepasang kaki. Namun terlambat. Tubuh si orang tua berputar ke kanan. Akibatnya Wiro ikut terpuntir keras dan terbanting ke tanah.
“Uh…! Benar-benar edan. Copot kepalaku!” keluh Pendekar 212. Untuk beberapa saat dia hanya bisa terkapar diam di tanah. Kepalanya mendenyut sakit. Lehernya seperti putus dan pemandangannya berkunang-kunang. Pada saat itulah lawan mendatangi, mencekal leher bajunya. Tangan kiri menarik tubuhnya ke atas, tangan kanan memukul!
“Bukkk!”
Pendekar 212 merasa kepalanya seperti meledak. Setelah itu segala sesuatunya menghitam gelap. Dia roboh meliuk di tanah becek. Di hadapannya orang tua berjubah hitam menyeringai, lalu meludah ke tanah.
Ludah itu bercampur darah. Ternyata pukulan-pukulan yang dilepaskan Wiro tadi ada yang membuat cidera tubuhnya di bagian dalam. Orang tua ini agaknya menyadari hal itu karena sambil melangkah pergi dia berulang kali mengusap dadanya sambil salurkan tenaga dalam.
Ketika Wiro sadar dari pingsannya hari telah terang. Matahari pagi yang menerobos lewat daun-daun pepohonan menyilaukan matanya. Jangankan bergerak, membuka kedua matanya saja terasa sakit. Lehernya seolah patah. Menelan ludah saja rasanya sakit bukan main. Dadanya juga mendenyut sakit, mungkin ada tulang iganya yang cidera. Lalu daun telinga kirinya masih terasa panas akibat sambaran api obor. Untuk beberapa lama Wiro hanya bisa terkapar tak bergerak di tanah yang becek itu. Selang beberapa ketika setelah mencoba berulang kali akhirnya dia mampu bangkit dan duduk menjelepok di tanah walau masih terhuyung-huyung. Sehelai kertas yang tadinya terletak di dadanya jatuh ke pangkuan. Perlahan-lahan sepasang mata pemuda itu terbuka.
“Walah, sudah siang rupanya. Uh… badanku serasa remuk!”
Pertama sekali Wiro melihat semak belukar lebat dan pohon-pohon tumbuh rapat di hadapannya. Dia menoleh ke kiri. Tampak bekas-bekas gubuk yang kini telah punah dimakan api berasal dari pukulan sinar matahari yang dilepaskannya malam tadi.
“Orang tua geblek berkepandaian tinggi itu, apa dia masih ada di tempat ini…?”
Wiro bertanya-tanya sambil memandang berkeliling. “Aneh, kehadirannya malam tadi di tempat ini seperti sengaja menungguku. Dia menghajarku setengah mati tapi tidak membunuh! Sialnya aku tidak mengenal siapa dirinya. Bahkan apa dia lelaki atau perempuan saja aku tak bisa mengetahui! Apa yang harus kulakukan sekarang? Lebih baik aku segera tinggalkan tempat celaka ini. Mencari mata air membersihkan diri. Tenggorokanku serasa ditempeli besi panas. Haus sekali rasanya….”
Wiro berusaha bangkit. Pada saat itulah dia melihat lembaran kertas yang terletak di pangkuannya.
“Eh, apa pula ini? Hatinya bertanya-tanya. Dengan tangan kiri diambilnya kertas itu. Ternyata di kertas yang lembab dan kotor itu ada serentetan tulisan. Walau tulisan itu buruk sekali Wiro masih bisa membacanya.
Permainan belum selesai. Jika merasa penasaran silahkan datang ke puncak Merbabu.
“Pasti tua bangka sialan itu yang membuat surat ini! Apa mau dia sebenarnya?! Lebih baik tidak kuladeni orang gila itu….” Wiro terdiam sesaat. Berfikir-fikir. Lalu di mulutnya tersungging seraut senyum. “Hemmm…. Mungkin ada baiknya aku melayani tantangannya. Mungkin dia sendiri yang masih penasaran. Tapi kalau betul mengapa dia tidak menghabisi diriku sekaligus malam tadi…?” Wiro garuk-garuk kepala. “Ada satu keanehan. Ada sesuatu terselubung dibalik semua kejadian ini…! Bisa baik tapi mungkin sekali bisa mencelakai diriku!”
***
LIMA
BUKIT kecil di sebelah timur Kartosuro itu masih terbungkus kegelapan dini hari. Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan hentikan kuda masing-masing.
“Sudah tiga kali kita mengitari bukit ini! Jarot Ampel tidak kelihatan mata hidungnya!” berkata Tiga Bayangan Setan.
Elang Setan pencongkan mulut. Sambil letakkan tongkat besi milik Tubagus Kasatma yang diambilnya dia balas berkata. “Memang aneh. Dia menyuruh kita datang.
Tempat kediamannya kosong. Dicari-cari tidak bertemu. Kurasa….” Elang Setan putuskan ucapannya. Di sebelah tiba-tiba tampak sebuah benda terang melesat ke udara. “Tiga Bayangan! Lihat!” Elang Setan menunjuk ke langit di sebelah barat.
“Ada yang melempar benda terbakar ke udara! Jangan-jangan itu tanda isyarat dari guru! Memberitahu di mana dia berada!”
“Kalau begitu lekas kita menuju ke sana!” kata Elang Setan pula seraya menggebrak kudanya. Tiga Bayangan Setan cepat mengikuti.
“Ada nyala api di lereng bukit sebelah sana!” berseru Tiga Bayangan Setan. Elang Setan berpaling ke arah yang ditunjuk. Memang betul ada nyala api disalah satu lereng bukit. Nyala api itu kelihatan bergerak-gerak beberapa kali lalu padam.
“Kita menuju ke sana!” ujar Elang Setan.
Dua orang itu segera memacu kuda menaiki lereng bukit di mana tadi mereka melihat ada nyala api. Naik ke atas sejauh mungkin seratus tombak disatu tempat dua orang itu temukan tiga batangan kayu menancap di tanah. Pada ujung tiga kayu itu masih terlihat nyala api yang telah meredup dan akhirnya padam.
“Ada sesuatu di sebelah sana…” bisik Elang Setan lalu turun dari kuda diikuti oleh Tiga Bayangan Setan. Keduanya melangkah mendekati sebuah benda yang muncul di permukaan tanah miring lereng bukit.
“Sumur batu….” desis Elang Setan begitu sampai di hadapan benda dalam kegelapan. Yang ada di tempat itu memang sebuah sumur batu. Meskipun mulut sumur sangat lebar namun ke dua orang itu tak dapat melihat apa yang ada dalam sumur karena sangat gelap. Mereka juga tidak bisa menduga berapa kedalaman sumur itu.
“Aku mendengar seperti ada desisan halus dari dalam sumur…” kata Elang Setan.
“Jangan-jangan sumur ini sarang ular atau dihuni sejenis binatang buas!”
Tiga Bayangan Setan pegang daun telinganya kiri kanan dan pasang pendengarannya. “Bukan ular, tak ada binatang di dalam sana. Itu suara angin. Bisa terjadi karena dinding sumur batu tidak rata…”
“Apa yang harus kita lakukan sekarang? Guru Jarot Ampel masih tidak kelihatan…!”
“Sebaiknya kita tunggu sampai hari terang,” jawab Tiga Bayangan Setan.
Dari dalam sumur gelap tiba-tiba ada suara aneh. Mula-mula jauh datangnya seolah dari dasar sumur yang gelap, lalu semakin keras seperti naik ke atas.
“Tiga Bayangan, kau dengar suara itu…? Jangan-jangan sumur ini dihuni setan hantu belantara…!
“Kedengarannya sepert suara orang membaca mantera!” bisik Tiga Bayanga Setan yang diam-diam merasa tercekat tapi tetap tenang dan penuh waspada. Dia berbisik.
“Siapkan pukulan untuk menghantam jika bahaya tiba-tiba muncul…”
Suara meracau seperti orang membaca mantera itu semakin keras, tambah keras lalu tiba-tiba lenyap! Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan saling pandang. Selagi mereka sama tercekat tiba-tiba ada suara mendesir. Dari dalam sumur muncul sebuah benda. Ketika dua orang ini memperhatikan ternyata yang muncul adalah satu kepala manusia berambut putih riap-riapan. Lalu kelihatan satu wajah pucat sangat tua, penuh keriputan. Sesaat kemudian menyusul kelihatan bagian dada, perut dan pinggang. Di hadapan Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan kini muncul satu sosok kakek-kakek yang kemudian duduk berjuntai di bibir sumur batu mengenakan jubah merah muda. Tubuhnya bungkuk dan bahunya naik pertanda orang ini berusia tua sekali.
“Guru!” seru Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan begitu mereka kenali siapa adanya sosok yang barusan keluar dari dalam sumur itu. Keduanya segera jatuhkan diri berlutut.
“Bagus! Kalian datang dalam waktu tepat! Terlambat sedikit saja kalian tidak akan menemuiku lagi!” kata orang tua di tepi sumur. Saat itu dari dalam sumur tampak keluar kabut tipis hingga untuk beberapa lamanya orang tua itu antara kelihatan dan tidak.
“Guru, kami sudah datang! Mohon petunjuk gerangan apa maksudmu memanggil kami ke tempat ini?” Elang Setan ajukan pertanyaan.
Orang tua yang duduk di tepi sumur manggut-manggut. Perlahan-lahan dia angkat kedua kakinya hingga kini di tepi sumur itu dia duduk bersila terbungkuk-bungkuk seperti hendak rubuh jatuh masuk ke dalam sumur gelap.
“Waktu kita memang tidak banyak. Aku bicara langsung-langsung saja. Seratus lima puluh tahun lebih hidup di permukaan bumi. Lebih dari seratus dua puluh tahun malang melintang menyandang gelar Iblis Tanpa Bayangan. Semakin tua usiaku semakin kurasa hidup ini seolah tak ada ujungnya! Lebih dari tujuh puluh lima tahun aku membawa beban yang tidak pernah diketahui oleh orang luar, termasuk kalian berdua sebagai murid-muridku…”
Ketika si orang tua bernama Jarot Ampel bergelar Iblis Tanpa Bayangan itu hentikan ucapannya sesaat, Tiga Bayangan Setan beranikan diri membuka mulut.
“Guru, kami tidak mau berlaku lancang. Tapi jika memang kau punya beban mengapa tidak memberitahu kepada kami? Mungkin kami bisa membantu memperingan bebanmu?”
Jarot Ampel gelengkan kepala. Wajahnya yang pucat keriput tampak redup. Tenggorokannya turun naik. Lalu dia berkata. “Beban itu tidak dapat kuberikan pada siapapun. Kalau kelak aku memberitahu maka saat itulah sampai ajalku!”
Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan terkejut dan sama-sama saling pandang. Ketika mereka berpaling pada orang tua itu, keduanya melihat si kakek membuka pakaiannya di bagian dada hingga bagian depan tubuhnya yang bungkuk itu tersingkap lebar. Pada dada orang tua ini kelihatan terikat sebuah benda yang ketika diperhatikan ternyata adalah sebuah kitab tua. Demikian tuanya kitab ini baik sampulnya yang berwarna hitam maupun bagian dalamnya tampak sudah gugus lapuk dimakan usia.
“Guru….Kitab apa yang terikat di dadamu?” tanya Tiga Bayangan Setan heran. Elang Setan tak kalah herannya.
“Tujuh puluh lima tahun lebih aku membawa kitab ini. Tak boleh ada orang yang tahu. Tak boleh kulepas dari ikatannya, apalagi membaca dan mempelajari isinya! Pernah satu kali aku mencoba melanggar pantangan, mencoba mengintip apa isi kitab ini. Akibatnya aku diserang demam panas selama sepuluh minggu…!”
“Kalau begitu pastilah kitab itu sebuah benda mustika sakti!” ujar Tiga Bayangan Setan.
“Sakti dia atas sakti! Bebanku berat sekali. Memiliki tapi tidak bisa mengambil manfaat. Namun sekarang aku segera akan bebas dari semua beban….”
“Guru, apa kau tidak tahu kitab apa itu adanya? Mengapa sampai kau dibebani harus membawanya selama lebih dari separuh usiamu?” bertanya Elang Setan.
Wajah Jarot Ampel alias Iblis Tanpa Bayangan kembali menjadi redup. Suaranya bergetar ketika menyahuti pertanyaan muridnya.
“Menurut orang yang memberikannya padaku kitab ini bernama Wasiat Iblis. Berisi pelajaran ilmu kesaktian yang tidak ada duanya di dunia ini. Siapa memiliki dan mengusasinya akan menjadi raja diraja dunia persilatan…!”
“Wasiat Iblis!” seru Tiga Bayangan Setan. “Kami sudah pernah mendengarnya! Kalau begitu…!”
Jarot Ampel tersenyum, “Aku tahu apa yang ada dibenakmu Tiga Bayangan Setan. Kau dan juga saudaramu itu tiba-tiba saja punya maksud ingin memiliki kitab ini. Betul…?” Si orang tua gelengkan kepala. “Suratan mengatakan bahwa hanya ada satu manusia yang boleh memiliki dan sekaligus mempelajari isinya. Manusia itu akan datang sebelum seratus dari setelah kematianku…”
“Manusia itu, siapa dia guru?” tanya Elang Setan.
“Aku tidak tahu. Petunjuk hanya mengatakan bahwa orang itu seorang berkepandaian sangat tinggi. Akan muncul seratus hari setelah aku mati…”
“Jadi kitab itu akan menjadi milik orang lain. Lalu apa perlunya guru menyuruh kami datang ke sini ?!” Pertanyaan Elang Setan bernada tidak enak.
“Jangan kalian kecewa. Bagaimanapun juga kitab ini tidak berjodoh dengan salah satu dari kalian. Suratan sudah menentukan demikian. Kalian kusuruh datang kemari karena setelah aku mati kalian berdua harus menjaga sumur batu ini sampai saat munculnya orang yang ditakdirkan berjodoh dengan Wasiat Iblis ini…”
“Bagaimana kami tahu orangnya?” tanya Tiga Bayangan Setan.
“Kalian tak sanggup mengalahkannya. Hanya itu saja petunjuk yang aku bisa berikan.”
Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan terdiam.
“Ada satu hal lagi. Jika orang itu telah mendapatkan kitab Wasiat Iblis ini maka kalian berdua ditakdirkan akan menjadi pembantunya!”
Paras Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan langsung berubah.
“Kalau begitu apapun yang terjadi kami akan membunuhnya!” kata Elang Setan pula.
“Di alam akhirat aku mendoakan agar kalian mampu melakukan hal itu,” jawab si orang tua tersenyum tawar. Lalu dia menutup baju pakaiannya kembali. Kitab Wasiat Iblis lenyap dari pemandangan dua anak muridnya.
“Murid-muridku, aku sudah siap pergi selama-lamanya. Jaga sumur batu ini baik-baik!”
Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan saling melirik lalu sama-sama menjawab.
“Tugas dari guru akan kami laksanakan! Kami akan menjaga sumur batu sebaik-baiknya!”
“Bagus! Kalau begitu selamat tinggal”
Habis berkata begitu kakek bernama Jarot Ampel bergelar Iblis Tanpa Bayangan ini hantam kepalanya dengan tangan kanannya sendiri.
“Praaakkk!”
“Ah!” Tiga Bayangan Setan keluarkan seruan tertahan.
“Kita terlambat!” teriak Elang Setan.
Sebenarnya kedua orang ini sama-sama berniat hendak merampas kitab Wasiat Iblis itu namun tidak kesampaian karena saat itu sang guru telah memukul rengkah kepalanya sendiri. Tubuh Jarot Ampel melayang jatuh ke dalam sumur batu. Tiga Bayangan Setan masih berusaha menggapai pakaiannya tapi luput.
“Bagaimana sekarang…? Elang Setan bertanya.
“Aku harus mendapatkan kitab itu. Bagaimanapun caranya!”
“Aku juga!” sahut Elang Setan.
Dua orang yang telah saling angkat saudara ini sesaat bentrok pandangan. Elang Setan mengalah dengan berkata: “Bagusnya kita tunggu sampai hari terang. Kita belum tahu keadaan sumur batu ini. Jangan bertindak gegabah hanya karena menurutkan keinginan menjadi raja diraja dunia persilatan…”
Tiga Bayangan Setan menyeringai, “Saudara tinggal saudara. Aku tidak mau dia mendahuluiku masuk ke dalam sumur!” membatin Tiga Bayangan Setan. “Kalaupun aku harus membunuhnya apa boleh buat!”
Menunggu datangnya pagi terasa lama sekali bagi kedua orang itu. Ketika langit di sebelah timur mulai membersitkan cahaya mentari pagi dan keadaan di tempat itu mulai terang Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan cepat-cepat mendekati tepi sumur dan memandang ke dalam. Astaga! Sumur batu itu demikian dalamnya hingga mereka tidak dapat melihat dasar sumur. Lagipula di sebelah dalam masih menggantung kabut tipis menutupi pemandangan. Mereka hanya mampu melihat bagian sumur di atas lapisan kabut.
Selain lebar ternyata makin ke dalam dinding sumur batu semakin melebar dan ada ulir-ulir batu seputar dinding seperti tangga melingkar. Baik Tiga Bayangan Setan maupun Elang Setan sama-sama berfikir bahwa jika mereka masuk ke dalam sumur batu mereka harus mampu mencapai ulir terdekat lalu melangkah menuruni ulir itu hingga akhirnya mencapai dasar sumur di mana tentunya mayat Jarot Ampel tergeletak bersama kitab Wasiat Iblis itu.
Tiga Bayangan Setan bergerak lebih dulu. Tapi dari belakang Elang Setan cepat menarik bahunya. Merasa dihalangi Tiga Bayangan Setan balikkan badan lalu kirimkan satu jotosan yang tepat mendarat di dagu Elang Setan hingga kepala orang ini tersentak keras. Selagi Elang Setan terjajar nanar Tiga Bayangan Setan perguna-kan kesempatan untuk mendekati sumur lalu melompat ke dalam. Tanpa ragu dia melesat ke arah ulir batu terdekat. Namun selagi tubuhnya melayang tiba-tiba dari dasar sumur terdengar suara deras seperti air bah. Bersamaan dengan itu bertiup angin sangat kencang menebar hawa panas dan bau aneh! Lapisan kabut berpen-caran. Angin kencang menerobos ke atas.
Tiga Bayangan Setan merasakan tubuhnya bergoncang keras. Dia berusaha bertahan dengan mengerahkan tenaga luar dalam lalu menghantam ke bawah. Tapi kekuatan pukulannya terdorong ke atas, membalik memukul tubuhnya sendiri. Tiga
Bayangan Setan berteriak keras. Tubuhnya mencelat keluar sumur batu dan terkapar di tanah. Dia memang sanggup bangkit kembali tapi dari mulutnya keluar darah tanda dia telah mengalami luka dalam!
“Ada kekuatan iblis di dalam sumur itu…” kata Tiga Bayangan Setan megap-megap dengan muka pucat.
“Aku tidak percaya!” kata Elang Setan yang merasa kini punya kesempatan untuk mencoba. Apalagi saat itu suara deru dan sambaran angin telah mulai mereda. Setelah perhatikan keadaan sebelah dalam sumur dan menganggap tak ada halangan baginya untuk melompat ke dalam maka Elang Setan lantas ayunkan diri. Seringan kapas tubuhnya melayang masuk ke dalam sumur batu.
“Aku berhasil!” serunya girang ketika kakinya menjejak ulir batu terdekat yang merupakan tangga menuju ke dasar sumur. Tapi belum habis gema seruannya tiba-tiba dari dasar sumur kembali terdengar suara seperti deru air bah. Angin kencang panas dan berbau aneh melesat ke atas, membuat tubuh Elang Setan tersentak keras begitu tersambar. Dia berpegangan pada batu yang menonjol di dinding sumur batu. Tapi bagaimanapun dia mengerahkan seluruh tenaga tetap saja dia tak mampu bertahan. Tubuhnya terseret ke atas, terbanting ke dinding batu lalu jatuh ke bawah. Dari bawah semburan angin kencang menghantam dirinya kembali. Elang Setan tidak mau mengalah begitu saja. Kedua tangannya dikembangkan ke samping lalu dia kerahkan tenaga untuk membuat gerakan seperti baling-baling! Ternyata dia memang bisa bertahan dari hantaman angin keras.
Tubuhnya berputar-putar laksana titiran. Sambil berputar dia berusaha bergerak turun dengan mengerahkan bobot badannya. Sedikit demi sedikit Elang Setan melayang turun. Di mulut sumur Tiga Bayangan Setan menyaksikan kejadian itu dengan hati cemas. Bukan cemas melihat apa yang mungkin terjadi dengan saudara angkat itu tapi cemas kalau-kalau Elang Setan memang berhasil turun ke dasar sumur batu dan mendapatkan Kitab Wasiat Iblis itu!
Rasa cemas Tiga Bayangan Setan tidak lama. Saat itu dari dasar sumur kembali terdengar suara deru dahsyat. Satu gelombang angin menghantam tubuh Elang Setan hingga mencelat mental keluar sumur. Waktu lepas dari mulut sumur salah satu kakinya tidak sengaja menghantam kepala Tiga Bayangan Setan hingga orang ini terpental dan tergelimpang megap-megap. Sesaat dia merintih kesakitan lalu menyumpah panjang pendek!
Elang Setan sendiri saat itu kelihatan melayang jungkir balik di udara. Ketika tubuhnya kemudian terhempas di tanah, dari mulut, telinga dan matanya kelihatan keluar darah. Elang Setan mengeluh tinggi lalu pingsan tak sadarkan diri.
***
ENAM
PUNCAK Gunung Merapi diselimuti awan tebal. Di kejauhan berkali-kali terlihat kilat menyambar dibarengi suara guntur menggelegar. Udara dingin bukan kepalang. Di dalam sebuah goa batu, dua orang duduk berhadap-hadapan di antara api unggun. Ada satu keanehan. Api unggun itu tidak dihidupi oleh potongan kayu bakar melainkan oleh setumpuk batu hitam hingga api yang berkobar panasnya dua kali lebih hebat dari api yang berasal dari kayu biasa.
Sepasang tangan kurus yang hanya tinggal kulit pembalut tulang saling digosokkan satu sama lain di atas api unggun. Dua tangan itu dipanasi demikian rupa, dekat sekali dengan kobaran api dan tidak diangkat-angkat sampai lama sekali. Manusia biasa tidak akan mampu melakukan hal itu.
Yang punya tangan adalah seorang tua bungkuk berpakaian rombeng. Walaupun terkena cahaya kobaran api namun jelas kulit mukanya yang tipis kelihatan pucat sekali, angker dingin membayangkan kelicikan dan maut! Sepasang matanya besar tapi memiliki rongga sangat cekung. Kakek bermulut perot ini memiliki rambut putih sepanjang bahu. Dalam dunia persilatan dia dikenal dengan julukan Si Muka Bangkai alias Setan Muka Pucat.
Di hadapan orang tua berwajah setan itu duduk seorang pemuda berwajah membayangkan kekerasan dan keangkuhan. Sehelai kain merah melilit keningnya. Rambutnya lebat dan hitam. Keningnya tinggi menonjol. Dagunya kukuh. Dia mengenakan sehelai mantel hitam yang menutupi hampir sekujur tubuhnya depan belakang. Dialah Pangeran Matahari, musuh besar bebuyutan Pendekar Kapak Maut Naga 212. Selama bertahun-tahun Pangeran Matahari berusaha membunuh menyingkirkan Wiro.
Sebegitu jauh maksud kejinya itu tidak pernah kesampaian. Hal ini bukan saja membuat semakin bertumpuknya dendam kesumat dalam diri pemuda ini tapi juga membuat dia selalu mencari akal bagaimana caranya agar dapat melenyapkan Wiro. (Mengenai asal usul Pangeran Matahari dan siapa adanya orang tua berjuluk Si Muka Bangkai alias Setan Muka Pucat harap baca serial Wiro Sableng berjudul Pangeran Matahari Dari Puncak Merapi)
Setelah berdiam diri beberapa lama akhirnya sang guru membuka mulut memecah kesunyian dalam goa yang dipanasi api unggun itu. Sementara bicara kedua tangannya terus saja digosok-gosokkan di atas kobaran api.
“Muridku, tadi kau bertanya mengapa aku memintamu datang ke puncak Merapi ini. Ada satu hal penting yang akan menentukan hidup masa depanmu! Empat puluh hari yang lalu aku bermimpi…”
Belum habis sang guru bicara Pangeran Matahari sudah menyela dengan nada tinggi. “Guru, bertahun-tahun kita tidak bertemu. Hari ini kau mengatakan ada sesuatu yang penting. Ternyata kau hendak bicara segala macam mimpi! Kurasa kita hanya menghabiskan waktu percuma saja…!”
Si orang tua berwajah setan menyeringai. Dalam hati dia membatin. “Aku suka anak ini. Sejak dulu tidak berubah. Masih saja sombong dan bicara angkuh. Mere-mehkan orang lain sekalipun aku gurunya sendiri!” Setelah mendehem beberapa kali orang tu itu melanjutkan ucapannya. “Apa kau lupa dulu kalau bukan karena mimpi aku tidak akan menemukanmu? Ingat ketika gunung ini meletus dan aku melihatmu tergantung di atas pohon beringin sementara lahar panas menutupi bumi ?!”
“Aku tidak pernah melupakan hari malapetaka itu. Juga ingat jasamu menyelamatkan diriku. Tapi apakah itu perlu diulang-ulang?!” suara Pangeran Matahari tetap tinggi. Orang lain mungkin akan jengkel atau marah melihat sikapnya ini. Tapi sang guru sudah tahu sifat muridnya hanya tersenyum-senyum.
“Mimpi tidak selamanya kembang tidur. Banyak mimpi merupakan petunjuk sangat berguna….”
“Aku mendengarkan guru. Coba katakan apa mimpimu kali ini?”
“Sebelum kujelaskan aku ingin tahu dulu. Apakah kau masih berminat untuk menyingkirkan Pendekar 212 Wiro Sableng musuh besarmu itu?”
Mendengar pertanyaan itu sepasang mata Pangeran Matahari terbuka lebar. Dagunya mengencang dan pelipisnya bergerak-gerak. Si Muka Bangkai tertawa lebar. “Kau tak perlu menjawab. Dari air mukamu aku tahu kau memang ingin melenyapkan musuh besarmu itu! Nah sekarang aku tanya, apa kau pernah mendengar tentang sebuah kitab kuno bernama Wasiat Iblis?”
Pangeran Matahari angukkan kepala. “Aku pernah berusaha mencarinya. Tapi selalu menemui jalan buntu hingga aku akhirnya merasa sangsi apakah buku yang berisi ilmu dahsyat itu memang benar-benar ada….”
“Kitab itu memang ada. Dan aku telah memimpikan kitab itu, muridku!”
“Hah…?” Pangeran Matahari beringsut maju. Dari balik kobaran api unggun dia memandangi wajah gurunya lekat-lekat. “Apa mimpimu itu, guru?”
“Mimpiku memberi petunjuk di mana kitab itu berada!”
Pangeran Matahari berdiri, memutari perapian lalu duduk di samping Si Muka Bangkai. “Guru, harap kau lekas menceritakan mimpimu itu. Selengkap-lengkapnya. Jangan ada yang ketinggalan.”
“Seorang tua berjubah dan bersorban hitam muncul dalam mimpiku. Waktu itu aku merasa berada di satu gurun pasir maha panas. Orang ini tiba-tiba saja muncul dan berkata padaku. Sampaikan pesanku pada muridmu terlahir bernama Anom, putera Raja Surokerto dari ibu R.A Siti Hinggil. Seumur hidupnya selama langit masih dijunjung dan bumi masih dipijak manusia, dia tidak akan sanggup mengalahkan pemuda berjuluk Pendekar 212 Wiro Sableng itu. Kecuali jika dia menguasai ilmu yang tersimpan dalam Kitab Wasiat Iblis. Lalu dalam mimpi aku bertanya pada orang bersorban hitam itu. Apakah dia bisa memberi petunjuk di mana kitab itu bisa ditemukan? Di lantas menjawab. Pergilah ke lereng barat sebuah bukit di timur Kartosuro. Di situ ada sebuah sumur tua terbuat dari batu. Di dalam sumur tersembunyi Kitab Wasiat Iblis. Namun untuk dapat masuk ke dalamnya muridmu harus mengalahkan dua orang penjaga sumur yang memiliki kepandaian sangat tinggi… Aku bertanya siapa adanya dua penjaga sumur itu. Namun orang tua bersorban hitam membalikkan tubuh dan pergi. Saat itu aku sendiri terbangun dari tidur…”
Lama Pangeran Matahari berdiam diri setelah mendengar penuturan gurunya.
“Apa yang ada dalam benakmu, muridku?” tanya sang guru.
Si pemuda angkat bahunya. “Bagaimana aku bisa memastikan bahwa mimpimu itu bisa menjadi kenyataan?!”
“Kau tak bisa memastikan kalau tidak membuktikan sendiri. Jika kau suka segera saja berangkat menuju tempat yang kuceritakan tadi. Jika tidak suka perlu apa dituruti. Hanya saja sayang kalau ada orang lain sempat mendahului. Berarti musuh beratmu bertambah satu lagi.”
Pangeran Matahari katupkan rahangnya rapat-rapat. “Jauh-jauh datang kemari percuma saja kalau aku tidak coba menyelidik apa mimpimu itu benar atau tidak…”
Perlahan-lahan Pangeran Matahari bangkit berdiri. “Guru, aku mohon diri sekarang.”
Si Muka Bangkai anggukkan kepala. “Makin cepat kau melakukannya makin baik…. aku akan merasa bangga jika kelak kau benar-benar merajai dunia persilatan.”
Pangeran Matahari pencongkan mulutnya. “Apa menurutmu saat ini aku belum menguasai dunia persilatan?”
Si Muka Bangkai gelengkan kepala. “Musuh utamamu si Wiro Sableng itu. Harus kau lenyapkan. Lalu harus pula kau tumpas tokoh-tokoh silat lainnya termasuk nenek sakti bernama Sinto Gendeng, guru Pendekar 212…. Dapatkan kitab Wasiat Iblis itu! Dunia berada di tanganmu.
Pangeran Matahari menjura tiga kali dengan sikap kaku karena sebenarnya dia tidak suka melakukan hal ini sekalipun untuk menghormat gurunya. Lalu dia membalikkan tubuh tinggalkan goa di puncak Gunung Merapi itu.
***
TUJUH
TIDAK sulit bagi Pangeran Matahari untuk mencari letak sumur batu yang terletak di lereng barat bukit di luar Kartosuro. Bau busuk membimbingnya ke tempat itu.
“Bau busuk hebat sekali. Aku yakin itu berasal dari bangkai manusia!” katanya. Di satu tempat dia tinggalkan kuda tunggangannya lalu bergerak ke arah bau busuk. Sebagai tokoh silat yang telah bertahun-tahun malang melintang dan menggegerkan rimba persilatan Pangeran Matahari tentu saja punya pengalaman banyak. Dia tidak terus mendaki lereng bukit ke arah datangnya bau busuk namun sengaja bergerak berputar menjauh, lalu berbalik menuruni bukit. Kecerdikan ini memang sangat beralasan. Karena selama ini dua orang yang menjaga sumur batu dimana tersimpan Kitab Wasiat Iblis bersama mayat Iblis Tanpa Bayangan memang lebih banyak memperhatikan bagian bawah bukit dari arah mana orang-orang mendatangi.
Dari balik sebatang pohon besar Pangeran Matahari dapat menyaksikan keadaan di bawahnya. Di salah satu lereng bukit tampak jelas dua orang berjaga-jaga di dekat sebuah sumur batu. Sambil mengawal keduanya mengobrol dan menyantap potongan daging bakar. Tak jauh di sekitar mereka bertebaran paling tidak empat sosok mayat yang telah membusuk.
“Dua penjaga sumur batu itu agaknya bukan manusia. Bagaimana mereka bisa makan enak-enakan sementara mayat bergelimpangan di dekat mereka. Menebar bau busuk! Aku saja yang ada disini mau terbongkar rasanya isi perutku!” membatin Pangeran Matahari. Dia bertanya-tanya siapa kiranya empat orang yang menemui ajal di bawah sana. Berat dugaannya mereka adalah orang-orang pandai yang berusaha mendapatkan Kitab Wasiat Iblis itu.
Setelah sekli lagi memperhatikan keadaan sekitar sumur batu Pangeran Matahari tujukan perhatiannya pada salah seorang penjaga yang mengenakan jubah hitam.
“Berjubah hitam, kepala sulah sebelah, salah satu mata kecil seperti buta. Hemmm….” Kening Pangeran Matahari mengerenyit, rahangnya menggembung dan terkancing rapat. “Bangsat itu rupanya yang jadi salah satu pengawal sumur batu! Tiga Bayangan Setan! Manusia keparat yang punya mimpi besar hendak menguasai dunia persilatan. Bagaimana dia ada kaitannya dan jadi anjing penjaga sumur batu. Mungkin juga gurunya Si Iblis Tanpa Bayangan ada di sini?” Pangeran Matahari arahkan pandangannya pada orang kedua. “Bukan…. Yang satu itu bukan Si Iblis Tanpa Bayangan. Di mana ada Tiga Bayangan Setan di situ ada Elang Setan! Pasti Elang Setan, kambrat keparat si Tiga Bayangan Setan!” Pangeran Matahari perhatikan benda panjang yang menggeletak di pangkuan Elang Setan. “Tombak atau tongkat berbentuk aneh. Setahuku Elang Setan tidak punya senjata seperti itu. Hemmm… pasti dia sikat milik orang lain yang jadi korbannya…” Sang Pangeran memperhatikan keadaan sekitar sumur batu sekali lagi. Lalu dengan seringai congkak dia tinggalkan tempat itu, melangkah menuruni lereng bukit.
Di tepi sumur batu Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan sedang asyik menyantap daging panggang kelinci hutan yang memang banyak terdapat di bukit itu. Dengan mulut masih penuh makanan Elang Setan berkata.
“Lebih tujuh puluh hari sudah kita mendekam di tempat ini. Menunggu sampai tiga puluh hari lagi cukup lama! Bagaimana kalau orang yang dimaksud guru itu tidak muncul?”
Apa yang kau pikirkan itu sudah ada dalam benakku sejak lama. Aku mencari akal bagaimana caranya bisa masuk ke dalam sumur ini lalu mengambil kitab sakti itu. Tapi rasa-rasanya sulit. Berarti kita harus meminjam tangan orang lain.”
“Meminjam tangan orang lain bagaimana?” tanya Elang Setan.
“Kalau orang itu datang, kita pura-pura melawan. Kita biarkan dia masuk ke dalam sumur. Begitu keluar dan Kitab Wasiat Iblis sudah ada di tangannya, kita serbu dan kita rampas!”
Elang Setan tertawa bergelak. Karena di mulutnya masih ada makanan maka dia jadi batuk-batuk berulang kali.
“Hentikan batukmu! Aku mendengar suara orang mendatangi!” bentak Tiga Bayangan Setan tiba-tiba seraya palingkan kepala ke lereng bukit sebelah atas.
Baru saja Tiga Bayangan Setan berkata begitu tiba-tiba semak belukar lebat di atas mereka terkuak. Sesosok tubuh tinggi bermantel hitam muncul, melangkah dan berhenti kira-kira dua tombak dari sumur batu.
“Kau kenal kunyuk berpakaian seperti kelelawar ini?” bisik Elang Setan.
“Untuk membunuh seseorang apa perlu kenal atau tidaknya?!” sahut Tiga Bayangan Setan.
Elang Setan muntahkan daging dalam mulutnya lalu tertawa gelak-gelak. “Kau betul saudaraku! Tapi ada baiknya kau menanyakan sesuatu padanya sebelum kita mengirimnya ke liang akhirat!”
Elang Setan bangkit berdiri. Kedua tangannya yang kotor oleh minyak daging diusap-usapkan pada baju tebalnya hingga pakaian dekil itu jadi tambah kotor. Dia gerak-gerakkan jari-jari tangannya yang berbentuk cakar elang hingga mengeluarkan suara berkeretekan lalu membuka mulut.
Namun sebelum ucapan keluar dari mulut Elang Setan, Pangeran Matahari angkat tangan kanannya. Ada selarik angin menyambar membuat Elang Setan cepat-cepat miringkan kepala.
“Kalian tidak layak menanyaiku! Aku yang punya kuasa bertanya kepada pada kalian! Kalian mendengar dan mengerti?!”
“Sombong amat kunyuk satu ini!” tukas Elang Setan.
“Orang yang bakal mati memang suka bersikap macam-macam!” menimpali Tiga Bayangan Setan lalu keluarkan tawa bergelak.
Pangeran Matahari dongakkan kepala. Dari mulutnya kemudian menyembur tawa keras yang menggetarkan seantero lereng bukit dan menindih lenyap tawa Tiga Bayangan Setan. Dua tokoh silat penjaga sumur batu itu diam-diam terkesiap. Orang di hadapan mereka memiliki tingkat tenaga dalam sangat tinggi! Walau demikian dua orang ini mana mengenal takut!
Tiga Bayangan Setan berpaling pada Elang Setan lalu berkata. “Hari ini kita bakal dapat mangsa kelima! Rasanya sudah pada gatal tanganku menunggu belum ada korban baru yang datang. Kini kita dapat satu rejeki lagi!”
“Pemuda congkak! Mungkin kau mau lihat-lihat dulu empat mayat yang sudah membusuk itu sebelum kau kami tetapkan sebagai korban kelima?!” Yang berkata adalah Elang Setan.
“Tidak perlu aku mengikuti omonganmu! Aku sudah tahu siapa-siapa mereka! Aku juga tahu milik siapa tongkat besi yang kau pegang itu! Kau pasti juga telah membunuh tokoh silat istana berjuluk Dewa Berjubah Kuning Bertongkat Besi!”
“Ah! Kau sudah tahu rupanya! Masih semuda ini pengetahuanmu ternyata cukup luas! Mungkin itu bisa menolong melapangkan jalanmu ke liang kubur! Ha…ha…ha!”
Elang Setan tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba suara tawanya lenyap. Tangannya yang memegang tongkat berkelebat.
“Wutttt!”
Ujung tongkat yang berbentuk lingkaran pipih setajam mata pisau menderu. Cahaya hitam berkiblat. “Craaasss!” Semak belukar yang hanya setengah jengkal dari pinggang Pangeran Matahari dirambas rata! Yang diserang sama sekali tidak bergerak malah sunggingkan senyum mengejek.
“Sedekat ini aku berdiri kau tak sanggup membabat perutku! Matamu yang gembung itu buta atau bagaimana?! Dasar manusia tidak tahu diri! Kalau cuma jadi anjing penjaga sumur kenapa bermulut besar?!”
Mendengar dirinya disebut anjing penjaga sumur meledaklah amarah Elang Setan. Tiga Bayangan Setan ikut-ikutan marah besar. Rencana mereka semua yang pura-pura hendak mengalah serta merta terlupa. Keduanya memutuskan untuk membunuh Pangeran Matahari saat itu juga!
Elang Setan tancapkan tongkat besi ke tanah. Dia lebih suka pergunakan cakar- cakar mautnya. Dia bergerak mendekati Pangeran Matahari dari sebelah kiri sementara Tiga Bayangan Setan mendatangi dari kanan.
Pangeran Matahari dongakkan kepala, keluarkan suara mendengus. Dengan tangan kanannya dia sibakkan mantel hitam yang menutupi bagian depan pakaiannya.
“Pangeran Matahari!” seru Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan ketika melihat gambar Gunung Merapi berwarna biru dengan latar belakang sinar sang surya berupa garis-garis lurus berwarna merah!
Suara tawa mengekeh mengumandang dari mulut Pangeran Matahari yang saat itu mendongakkan kepala seolah tidak menganggap bahaya serangan dua lawan yang bakal menyerbunya.
Baik Tiga Bayangan Setan maupun Elang Setan sama-sama tidak menduga kalau pemuda di hadapan mereka adalah tokoh besar golongan hitam berjuluk Pangeran Matahari.
“Saudaraku Tiga Bayangan Setan! Rejeki kita besar sekali hari ini! Begitu kita membunuhnya, nama besar kita semakin mencuat dalam dunia persilatan!”
“Anjing-anjing penjaga sumur! Jangan mimpi! Aku menunggu seranganmu!” bentak Pangeran Matahari. Kedua tangannya kini diletakkan di pinggang.
“Bagus! Kau minta mati lebih cepat dari yang kami rencanakan!” teriak Elang Setan. Dia melirik pada Tiga Bayangan Setan. Dua orang ini saling anggukkan kepala. Di kejap itu pula keduanya berkelebat kirimkan serangan!
***
DELAPAN
LIMA larik sinar hitam menyambar ke arah muka Pangeran Matahari. Lima lagi membeset ke arah perutnya. Itulah sambaran serangan maut cakar setan yang dilancarkan Elang Setan. Dari jurusan lain Tiga Bayangan Setan lepaskan pukulan tangan kosong yang sengaja di arahkan ke bagian bawah perut lawan. Jelas kedua orang ini ingin membunuh Pangeran Matahari detik itu juga!
Meskipun tercekat melihat ganasnya serangan dua lawan namun manusia yang dikenal senagai pendekar jahat segala cerdik, segala akal, segala ilmu, segala licik dan segala congkak ini hadapi serangan orang dengan mendengus. Tangan kanannya bergerak mengibaskan mantel hitamnya ke bagian dada.
“Wuuuutttt!”
Suara mantel berkelebat angker. Mengeluarkan cahaya hitam redup. Baik Tiga Bayangan Setan maupun Elang Setan hanya mendengar suara tapi tidak merasakan adanya sambaran angin keras! Namun dahsyatnya saat itu keduanya merasa seolah ada satu kekuatan yang tidak kelihatan menahan gerak serangan yang mereka lancarkan.
Elang Setan kertakkan rahang. Tiga Bayangan Setan menggembor keras. Kedua orang ini lipat gandakan kekuatan tenaga dalam lalu merangsak ke depan. Tapi semakin mereka mengerahkan kekuatan semakin dahsyat kekuatan tak terlihat yang menghadang.
Malah kini kekuatan itu mulai bergerak, menindih gerak serangan mereka. Dua orang ini berusaha bertahan. Tak ada gunanya. Ketika Pangeran Matahari kibaskan kembali mantel hitamnya ke belakang, dua penyerang berseru keras dan terbanting ke tanah!
Pangeran Matahari dongakkan kepala lalu tertawa mengekeh. Tanpa perduli pada dua orang yang bergeletakan di tanah dia melangkah mendekati sumur batu.
“Kami belum kalah!” teriak Elang Setan lalu tubuhnya melesat ke udara.
“Jangan harap kau bisa dapatkan kitab sakti itu!” bentak Tiga Bayangan Setan. Tubuhnya yang terkapar di tanah juga melesat ke atas. Dari atas dua orang murid Iblis Tanpa Bayangan ini menyerbu lagi. Keduanya sama-sama mengarah kepala Pangeran Matahari. Sebelum cakar-cakar setan bergerak sepuluh sinar hitam dan merah lebih dulu menggebu. Tiga Bayangan Setan hantamkan dua pukulan sekaligus untuk mengepruk pecah kepala Pangeran Matahari.
Pangeran Matahari hentikan langkahnya. Kedua lututnya ditekuk. Dua tangannya tiba-tiba melesat ke atas. Terdengar suara bergedebukan beberapa kali begitu enam pasang lengan saling beradu!
Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan kembali berkaparan di tanah. Sementara Elang Setan masih menggeliat-geliat Tiga Bayangan Setan sudah melesat dan berdiri hadapi Pangeran Matahari. Kalau Elang Setan kelihatan bengkak merah dua lengannya maka Tiga Bayangan Setan tidak cidera sedikitpun. Hal ini tidak lepas dari perhatian Pangeran Matahari. Dalam hati dia berucap. “Ternyata dia memang tahan pukulan. Aku harus berlaku hati-hati terhdap yang satu ini!”
“Apa kau sudah siap menghadapi saat kematianmu Pangeran Matahari?!” kertak Tiga Bayangan Setan.
“Setan jelek! Dari tadi hanya mulutmu saja yang besar! Aku siap menunggu kematin! Ayo aku mau lihat kau hendak melakukan apa!” Pangeran Matahari renggangkan kedua kakinya, tegak menunggu sambil bertolak pinggang. Di sebelah belakang sana Elang Setan telah bangkit berdiri dan siap lancarkan serangan.
Kumis dan berewok Tiga Bayangan Setan seperti berjingkrak. Matanya sebelah kanan yang besar merah bergerak-gerak. Kedua tangannya dipentang ke depan dengan jari-jari terkepal. Mulutnya komat-kamit. Tiba-tiba dua kepalannya diadu satu sama lain. Bersamaan dengan itu dia berteriak.
“Bunuh!”
Tiga guratan dalam di kening Tiga Bayangan Setan mengeluarkan kilatan-kilatan angker. Dari ubun-ubunnya melesat keluar tiga kepulan asap yang dalam waktu sekejapan berubah menjadi tiga sosok raksasa bertelanjang dada penuh bulu. Rambut panjang riap-riapan dan sepasang mata laksana bara menyala! Inilah ilmu tiga bayangan setan yang selama ini tidak satu tokoh silatpun sanggup menghada-pinya!
Diam-diam Pangeran Matahari merasa terguncang juga. Dia segera siapkan satu pukulan sakti untuk menghadapi serangan tiga makhluk jejadian itu.
“Bunuh!” teriak Tiga Bayangan Setan sekali lagi.
Tiga sosok raksasa melesat ke depan. Masing-masing mementangkan tangan kanan yang sesaat kemudian sama-sama dihantamkan ke batok kepala Pangeran Matahari. Begitu tiga makhluk raksasa menyerang Pangeran Matahari cepat angkat ke dua tangannya. Telapak-telapak yang terkembang didorongkan perlahan saja. Terdengar suara mendesis disertai menggebunya angin panas, menghantam tepat pada tiga makhluk raksasa!
“Wusss! Wussss!”
Tiga Bayangan Setan berteriak keras. Bukan saja karena marah tapi juga karena berusaha menahan sakit oleh hawa panas yang memancar dari dua larik angin panas serangan Pangeran Matahari. Tubuhnya terhuyung-huyung tak bisa dirobohkan. Dua makhluk raksasa di sebelah kiri dan kanan meletup hancur berkeping-keping seolah terbuat dari batu. Tapi yang di sebelah tengah seolah tidak tersentuh pukulan sakti “telapak merapi” yang tadi dilepaskan Pangeran Matahari terus merangsak ke depan lalu laksana palu godam hantamkan tangan kanannya ke batok kepala Pangeran Matahari! Pangeran Matahari silangkan dua lengan ke atas untuk lindungi kepalanya. Ini merupkan gerakan menangkis yang sekaligus merupakan serangan menggunting. “Bukkk!”
Pangeran Matahari terbanting ke tanah. Dua lengannya terasa seolah hancur. Dadanya berdenyut sakit. Sebelum jatuh tadi dia masih sempat membuat gerakan menggunting. Makhluk raksasa di atas kepala Tiga Bayangan Setan menggembor marah. Tiga Bayangan Setan melompat ke hadapan lawan.
“Bunuh!” teriak Tiga Bayangan Setan.
Makhluk raksasa di atas kepalanya kembali pentangkan tangan.
“Kurang ajar!” kertak Pangeran Matahari. “Agaknya makhluk keparat yang di te-ngah tak bisa dimusnahkan. Tiga Bayangan Setan sendiri benar-benar tahan pukulan sakti! Aku harus mencari akal! Aku harus menghantam sumber kekuatannya!”
Pangeran Matahari melirik pada tombak Wesi Ketaton milik Dewa Berjubah Kuning yang mati di tangan Elang Setan. Sebelum gebukan mahkluk raksasa datang Pangeran Matahari cepat berguling menyambar tongkat besi itu. Begitu tongkat mustika berada di tangannya dia segera membalik dan tusukkan bagian runcing senjata itu ke perut Tiga Bayangan Setan.
“Breett!”
“Traanggg!”
Jubah hitam yang dikenakan Tiga Bayangan Setan robek di bagian perut. Ujung tombak terus menusuk ke perut orang itu. Namun seolah perut yang ditusuk itu dalah benda yang terbuat dari besi begitu ujung tombak menghantam terdengar suara berdentrangan. Pangeran Matahari tidak dapat menyembunyikan keterke-jutannya. Seumur hidup baru kali ini dia melihat ada manusia memliki kekebalan terhadap senjata tajam begitu rupa! Pangeran Matahari campakkan tongkat Wesi Ketaton. Tiga Bayangan Setan tertawa bergelak.
“Edan! Hampir tak dapat kupercaya!” kertak Pangeran Matahari. “Dia kebal pukulan sakti, tak mempan senjata! Aku harus mendapatkan ilmunya!”
Sementara itu dua makhluk raksasa yang tadi musnah kini secara aneh muncul kembali, bergabung dengan kawannya di sebelah tengah ini sambil keluarkan lengkingan keras kembali ayunkan tangan menggebuk ke arah kepala Pangeran Matahari! Sekali ini Pangeran Matahari tak menangkis ataupun adu kekuatan. “Otak penggerak tiga raksasa jejadian itu ada dalam diri Tiga Bayangan Setan! Aku harus melumpuhkan sumbernya!”
Memikir sampai di situ manusia segala akal segala cerdik dan segala licik ini angkat tangan kanannya. Secara aneh tiba-tiba udara di tempat menjadi redup padahal di atas matahari bersinar terang. Inilah pertanda bahwa Pangeran Matahari hendak lepaskan satu pukulan sakti. Ketika tangannya dipukulkan terdengar suara menggelegar disertai berkiblatnya sinar merah, kuning dan hitam!
“Pukulan Gerhana Matahari” seru Tiga Bayangan Setan yang mengenali pukulan sakti itu. “Siapa takut! Kalau kau punya sepuluh ilmu seperti itu keluarkan saja sekaligus!”
Pangeran Matahari merutuk dalam hati namun dia maklum kesaktian yang dimiliki lawan membuat dia sanggup menghadapi pukulan maut yang sangat ditakuti di rimba persilatan itu. Bagi Pangeran Matahari sendiri sebenarnya tak perlu gusar mendengar ejekan lawan karena pukulan sakti yang dilepaskannya itu sengaja untuk membagi perhatian Tiga Bayangan Setan. Ketika lawan berkelit sambil berteriak “Bunuh!” Pangeran Matahari cepat jatuhkan diri, berguling di tanah. Ketika berdiri lagi tahu-tahu dia sudah berada di belakang sosok Tiga Bayangan Setan. Dua jari telunjuknya bekerja! Tiga Bayangan Setan meraung keras.
“Bangsat licik! Curang pengecut! Lepaskan diriku!” Tiga Bayangan Setan hanya mampu berteriak, menggerakkan kaki tapi sama sekali tak dapat menggerakkan tangan ataupun kepalanya. Pangeran Matahari telah menotok urat besarnya di dua tempat yakni pangkal leher punggung. Walaupun tiga raksasa jejadian masih kelihatan bergerak-gerak ganas di atas kepalanya namun mereka sama sekali tidak melakukan serangan karena otak pengendalinya yaitu Tiga Bayangan Setan kini tidak beda seperti mayat hidup! Masih bernafas tapi tak bisa berfikir. Mampu menggerakkan kaki tapi tidak bisa menyerang. Dua tangannya terkulai seperti lumpuh ke sisi.
Pangeran Matahari tertawa mengekeh. Dari dalam saku pakaiannya dikeluarkan-nya sebuah benda kecil berwarna merah. Benda ini dengan paksa dimasukkannya ke dalam mulut Tiga Bayangan Setan.
“Telan!” hardik Pangeran Matahari memerintah. Ketika Tiga Bayangan Setan tak mau melakukan malah hendak memuntahkan benda dalam mulutnya itu, Pangeran Matahari pukul tengkuknya hingga Tiga Bayangan Setan tercekik dan terpaksa telan benda yang ada dalam mulutnya.
“Umurmu hanya bersisa seratus hari!” kata Pangeran Matahari pula lalu tertawa panjang. “Kau telah menelan racun kematian! Jika kau berani macam-macam jangan harap aku akan memberikan obat penawar!”
“Pangeran keparat! Iblis jahanam! Apa yang kau lakukan pada saudaraku?!” teriak Elang Setan. Tanpa tunggu lebih lama dia langsung menyerang. Kedua tangannya dikembangkan ke samping. Tubuhnya berputar, dua lengan ikut berputar laksana baling-baling. Cakar setan membabat ke arah leher Pangeran Matahari! Sinar hitam merah menghntam lebih dulu!
Pangeran Matahari bertindak cepat. Dia tahu walau tingkat kepandaian lawan masih dibawah Tiga Bayangan Setan namun nama Elang Setan bukan nama kosong. Banyak tokoh silat telah menemui ajal di tangan pembunuh haus darah ini. Sambil dorongkan dua tangannya ke depan Pangeran Matahari menyusup ke bawah putaran dua lengan. Begitu pinggang Elang Setan berhasil dicekalnya orang ini dibantingkannya ke atas sumur batu.
“Trakkk! Traakkk!”
Lengan setan menghantam bibir sumur hingga hancur di dua tempat. Pangeran Matahari pegang dua kaki Elang Setan lalu mendorong tubuh orang ini hingga kepala Elang Setan tergantung-gantung di dalam sumur.
“Kalau kau memang ingin cepat mati katakan saja! Kakimu akan kulepas!” kata Pangeran Matahari.
“Keparat jahanam! Jangan cemplungkan aku ke dalam sumur ini! Demi setan aku masih mau hidup!” teriak Elang Setan.
Pangeran Matahari tertawa. Dia tarik kaki Elang Setan hingga pinggang orang ini membelintang di bibir sumur. Tiba-tiba dari dalam sumur terdengar suara menderu.
“Angin iblis! Awas! Cepat tarik tubuhku!” teriak Elang Setan ketakutan.
Pangeran Matahari kernyitkan kening. Dia tidak tahu apa yang dimaksudkan Elang Setan namun dia maklum kalau ada satu kekuatan aneh dan dahsyat dalam sumur batu itu. Pangeran Matahari cepat tarik tubuh Elang Setan hingga orang ini jatuh terbanting di tanah di kaki luar sumur batu. Ketika Elang Setan hendak mencoba bangkit Pangeran Matahari cepat tekankan lututnya ke dada orang. “Seperti temanmu aku juga tidak percaya padamu! Lekas telan obat ini!”
“Keparat! Kau boleh bunuh aku! Aku tak akan menelan racun jahanam itu!” teriak Elang Setan.
“Kalau begitu kau memilih mati lebih cepat!” Pangeran Matahari kepalkan tinju kanannya lalu dijotoskan ke muka Elang Setan.
“Kau boleh membunuhku! Tapi serahkan dulu jantungmu padaku!” teriak Elang Setan. Dua tangannya melesat ke dada kiri Pangeran Matahari. Sang Pangeran cepat berkelit.
“Breettt!”
Mantel Pangeran Matahari robek. Dengan kedua tangannya ditangkapnya lengan Elang Setan lalu dibantingkannya ke dinding sumur batu berulang kali.
“Lakukan sepuasmu! Aku tidak merasa apa-apa…!” kata Elang Setan ganda tertawa.
“Jahanam!” maki Pangeran Matahari. Dia lepaskan pegangan pada tangan kiri lalu pergunakan tangan kanannya untuk menotok dada Elang Setan. Totokan sampai bersamaan dengan melesatnya tangan kiri Elang Setan ke leher Pangeran Matahari. Walau kini sekujur tubuhnya kaku dan gerakannya tertahan namun Elang Setan masih sempat menggurat pangkal leher Pangeran Matahari!
“Kau tak bakal lolos dari racun cakaranku!” kata Elang Setan.
“Baik, kita lihat siapa yang bakal mati duluan!” kata Pangeran Matahari. Lalu racun yang dipegangnya di masukkannya ke dalam mulut Elang Setan.
“Kau memberiku racun seratus hari! Racun cakarku hanya memberimu hidup tujuh hari! Ha… ha… ha…!” Elang Setan tertawa keras dan panjang.
“Keparat!” Pangeran Matahari hantamkan tinju kanannya berulang kali ke muka Elang Setan hingga muka yang seperti dicacah ini kini bergelimang darah yang keluar dari hidung dan bibirnya yang pecah!
“Aku tahu kau punya obat penawar. Lekas beritahu di mana kau menyimpannya. Kalau tidak kupatahkan batang lehermu saat ini juga!”
“Ha… ha! Ternyata kau juga takut mati! Pergilah ke neraka!”
“Setan alas! Apa katamu?!”
“Aku bilang pergi ke neraka!” teriak Elang Setan keras-keras.
Pangeran Matahari menyeringai. “Kau akan menyesali kebodohanmu sampai di liang kubur!” ujar sang Pangeran. Tangan kanannya bergerak mencengkeram kelingking tangan kiri Elang Setan.
“Kraaakkk!”
Elang Setan meraung keras ketika kelingking kirinya yang berbentuk cakar dan tak mampu digerakkannya itu dipatahkan oleh Pangeran Matahari. Sang Pangeran pindahkan tangannya ke jari telunjuk tangan kiri. Daya tahan Elang Setan jebol.
“Jangan…! Aku akan katakan di mana obat penawar racun itu!” Elang Setan bicara dengan nafas mengengah-engah karena marah dan juga menahan sakit.
“Katakan di mana…?!”
“Kantong kiri bagian dalam bajuku!” menerangkan Elang Setan.
Pangeran Matahari membetot lepas baju tebal yang dikenakan Elang Setan. Di sebelah kiri dalam memang ada sebuah kantong kecil. Di situ ditemuinya tabung kecil terbuat dari batang padi yang telah dikeringkan. Di dalam tabung ini ada beberapa butir obat berwarna hitam.
“Jangan kau ambil semua! Cukup satu saja…. Sisanya masukkan lagi dalam saku bajuku!” kata Elang Setan.
Pangeran Matahari menyeringai. Dia keluarkan dua butir obat berwarna hitam itu. Tabung batang padi diselipkan kembali ke dalam saku pakaian Elang Setan. Tiba-tiba salah satu dari dua butir obat itu dimasukkannya ke dalam mulut Elang Setan, membuat orang ini berteriak dan mendelik besar.
“Siapa percaya padamu! Kau harus meyakinkan bahwa kau tidak berdusta! Telan obat itu!”
Muka Elang Setan menjadi pucat.
“Ampun…! Aku ketakutan setengah mati hingga salah memberikan keterangan!” teriaknya seraya meludahkan butiran obat hitam keluar dari mulutnya.
“Salah bagaimana maksudmu?!” tanya Pangeran Matahari sambil sunggingkan senyum dingin.
“Obat penawar racun yang betul ada di saku sebelah kanan dalam….”
Pangeran Matahari tertawa lebar. Dia jambak rambut Elang Setan lalu membenturkan kepala orang ini ke dinding sumur. “Otakmu perlu diberi penyegaran agar jangan mudah lupa!” Sekali lagi kepala orang itu dibenturkannya ke dinding sumur baru dia mencari obat yang dikatakan ada di dalam kantong sebelah kanan baju tebal. Disitu ditemukannya satu tabung padi yang sama berisi butiran obat berwarna putih. Pangeran Matahari mengambil sebutir dan tanpa ragu menelannya.
“Kau sudah selamat sekarang! Kenapa tidak segera membebaskan diriku dan Tiga Bayangan Setan?” tanya Elang Setan.
Pangeran Matahari mendengus. “Turut mauku aku ingin membunuh kalian berdua saat ini juga! Tapi kupikir-pikir mungkin kalian ada gunanya!”
“Apa maksudmu?” tanya Elang Setan sedikit ada harapan.
“Kalau kalian bisa menjadi anjing-anjing penjaga sumur batu ini, pasti juga bisa menjadi anjing-anjing pengawal ke mana aku pergi…”
“Jahanam!” teriak Elang Setan.
Pangeran Matahari tertawa gelak-gelak lalu dia berdiri dan melangkah mendekati sumur batu.
***
SEMBILAN
SATU pemandangan aneh tapi lucu terlihat di puncak Gunung Merbabu siang hari itu. Seekor keledai melangkah terseok-seok. Sebentar-sebentar binatang ini seperti mau tersungkur. Di atas punggungnya yang mandi keringat duduk seorang perempun berpakaian gombrong berlengan panjang dan sangat dalam hingga baik tangan maupun kakinya tidak kelihatan. Sambil menunggang keledai sebentar-sebentar dia berseru: “Duh biung doakan aku sampai di tujuan dengan selamat. Doakan aku agar bertemu lelaki bapak jabang bayi ini.” Sambil berkata begitu dia mengusap-usap perutnya yang buncit besar.
Nyatalah bahwa perempuan penunggang keledai ini sedang hamil tua. Sesekali di antara ucapannya itu dia tertawa cekikikan lalu diseling suara sesenggukan seperti orang mau menangis.
Perempuan yang hamil besar ini jauh dari cantik. Pupur tebal berwarna putih dan merah menutui wajahnya. Alisnya dipertebal dengan sejenis bubuk hitam. Bibirnya merah celemongan entah dipoles dengan apa. Rambutnya dikuncir sampai lima buah. Setiap kuncir diberi berpita warna-warni. Dari gerak gerik, pakaian dan dandanan serta ucapan-ucapan yang keluar dari mulutnya sudah dapat diterka bahwa perempuan ini kurang waras otaknya.
Di satu pedataran kecil di puncak Gunung Merbabu dia angkat tangan kiri lalu berseru. “Hooooooo… hup! Keledaiku kita berhenti di sini! Ibundaku rupanya mendengar doaku. Kita bisa selamat sampai di puncak ini! Aku akan turun punggungmu. Awas, jangan bergerak dulu. Kalau aku sampai jatuh kupecahkan kepalamu! Kau tentu letih. Kau boleh pergi istirahat. Cari makan cari minum sendiri. Aku mau mencari bapak jabang bayiku! Aku yakin dia ada di sini. Kalau belum ada aku tunggu sampai dia datang. Hik… hik… hik! Aduh biung… aku tak mau anakku lahir tanpa bapak! Uuhhhh… uhhhh! Huek… huek…! Aduh biung aku mau muntah! Hamilnya sudah besar kok muntahnya baru sekarang…!”
Turun dari atas keledai perempuan hamil itu kembali usap-usap perutnya yang gendut sambil memandang berkeliling.
“Sepi… sunyi. Suara anginpun tidak kedengaran. Jangankan manusia, lalat atau kecoak juga tidak kelihatan! Hik… hik… hik… di mana bapak jabang bayiku! Uhhh… uhhhhk!” perempuan hamil itu kembali memperhatikan keadaan sekelilingnya. “Tidak percaya biung! Aku tidak percaya kalau di tempat ini tak ada penghuninya. Pasti ada… Sana… di sana aku lihat ada bangunan… Mungkin bapak anakku ada disitu. Kalau bertemu awas dia… Enak saja membuatku hamil lalu kabur! Akan kupuntir kepalanya atas bawah… Eh…! Maksudku kepalanya… kepalanya yang mana ya? Hik… hik… hik…!”
Sambil pegangi perutnya perempuan hamil itu melangkah tertatih-tatih menuju sebuah bangunan kayu terletak di ujung pedataran kecil itu. Belum sempat dia mendekati bangunan tiba-tiba dari atas atap bangunan melayang turun satu bayangan hitam.
Perempuan hamil ini kaget bukan main. Dia berteriak. “Aduh biung! Setan atau apa yang bisa melompat dari atap rumah! Rasanya copot jantungku saking kaget! Bisa-bisa bayiku brojol sebelum saatnya! Makhluk yang bikin kaget, siapa kau?!”
Saat itu di hadapan perempuan hamil berdiri seorang tua berjubah hitam. Rambutnya panjang awut-awutan. Sepasang matanya memandang liar memperhati-kan perempuan hamil mulai dari ujung rambut sampai ujung jubahnya yang menjela di tanah.
“Aduh biung! Orang atau apa? Kalau orang kenapa jelek amat! Hik… hik… hik? Kalau setan atau makhluk jejadian kenapa bau pesing?! Hik… hik… hik!
“Perempuan bunting gila!” teriak orang tua berjubah hitam penuh marah hingga kedua matanya tampak berkilat-kilat. Membuat perempuan hamil itu tergagau kaget dan tersurut beberapa langkah. “Kalau mulutmu tidak berhenti bicara akan kubetot copot lidahmu!”
“Lidahku mau dicopot…? Aduh biung! Jangan…. Ampun! Ba… baik… Aku akan berhenti bicara. Aku tak mau bicara!”
Orang tua berjubah hitam menggerendeng panjang lalu membentak. “Perempuan bunting? Siapa kau?! Datang dari mana?! Katakan apa keperluanmu! Jawab cepat sudah itu lekas tinggalkan tempat ini! Aku tak mau anakmu brojol di sini!”
Yang ditanya diam saja.
“Kadal bunting! Apa kau tuli atau bisu aku bertanya tidak menjawab?!” Si orang tua menghardik sambil pelototkan mata.
Perempuan hamil dongakkan kepala memandang ke atas lalu usap-usap perut gendutnya.
“Sialan betul! Kau anggap apa aku ini! Kutendang perutmu baru kau mau bicara nanti!” Orang berjubah itu melangkah mendekati perempuan hamil.
Yang didatangi jadi ketakutan dan cepat mundur. “Pecah perutku! Mati bayiku! Jangan! Jangan tendang!”
“Kenapa aku bertanya kau tidak menjawab?!”
“Ha… habis…. Tadi kau bilang kalau… kalau aku tidak berhenti bicara kau mau… mau membelot copot lidahku! Ja… jadi aku tidak mau bicara!”
“Kadal tolol! Benar-benar geblek!” si orang tua jengkel setengah mati sampai-sampai dia hentakkan kaki kanannya. Waktu kaki ini menghantam tanah, tanah tempat itu bergetas keras.
“Eh… eh… Tanah bergerak… Biung! Tolong biung! Mati bayiku ditubruk gempa!” Perempuan hamil berteriak ketakutan, pegangi perutnya sementara tubuhnya tampak terhuyung-huyung.
Kesal orang berjubah tidak tertahankan lagi. Dia melompat lalu jambak rambut berkuncir lima perempuan hamil itu.
“Ampun biung! Sakit rambutku dijambak! Lepaskan…lepaskan! Nanti rusak pitaku!”
“Perduli setan pita-pita sialan ini! Kalau perlu kutanggalkan rambutmu, kucopot kepalamu!”
“Jangan… Ampun! Aduh biung tolong! Apa salahku sampai ada orang mau mencopot kepalaku! Tadi mau mencopot lidahku! Apaku lagi yang mau dicopot…!”
“Plaaakkkk!”
Orang tua yang menjambak pergunakan tangan kirinya menampar perempuan hamil itu.
“Orang tua tak punya welas asih! Tega-teganya kau menampar aku… Hik… hik…hik…” Perempuan hamil menangis sambil usap darah yang mengucur dari sudut bibirnya yang pecah akibat tamparan keras tadi.
“Aneh…” membatin si orang tua. “Dia menangis tapi bukan menangis kesakitan karena kutampar. Padahal bibirnya sampai luka…”
“Lepaskan jambakanmu. Aku mau pergi saja dari sini! Lepaskan…!”
“Aku tidak akan melepaskan kalau kau tidak memberitahu siapa dirimu, apa keperluanmu datang kemari…!
Dari dalam rumah kayu tiba-tiba keluar seorang lelaki tu bersorban dan berjubah putih. Dia melangkah terbungkuk-bungkuk. Di punggungnya ada punuk besar. Sepasang matanya jelalatan. Perempuan hamil tadi jadi tercekat ketika melihat sepasang mata orang ini. Ternyata merah polos! Buta dan mengerikan! Sesaat sepasang mata buta itu pandangi perempuan hamil di depannya seolah-olah dia bisa melihat. Lalu mulut orang bersorban dan berjubah putih serta ada punuk di punggungnya ini terbuka.
“Orang merasa curiga melihat tindak tandukmu! Sebaiknya kau lekas bicara terangkan diri serta maksudmu datang kemari! Kalau tidak aku akan bantu kawanku ini menjambak rambutmu yang lain!”
“Hik… hik…. Orang tua bersorban seharusnya bicara sopan! Tapi yang satu ini mulutnya usil dan kotor! Untung matamu buta! Kalau melek pasti kelakuan dan mulutmu lebih kurang ajar lagi!”
Orang bersorban mendelik. Sesaat dia tertawa gelak-gelak. Dilain ketika tiba-tiba dia membentak mengancam. “Mau kupencet perutmu sampai anakmu keluar?!”
Mendengar ancaman ini perempuan hamil itu ketakutan setengah mati. Cepat-cepat dia berkata. “Jangan… jangan dipencet! Ba… baik… aku bicara. Namaku Emut-Emut…”
“Apa?! Siapa namamu? Coba kau ulangi!” kata lelaki tua berjubah hitam.
“Namaku Emut-Emut…! Aku sudah berteriak, masakan kau tidak mendengar. Kau rada-rada tuli ya…?!”
“Eh! Kurang ajar sekali mulut kadal bunting ini!” kata orang tua berjubah putih yang punggungnya berpunuk.
“Nama jelek! Belum pernah aku mendengar nama seperti itu! Jangan-jangan kau mengejek aku hah?!” Orang tua berjubah hitam dan berambut awut-awutan membentak.
“Namaku memang itu. Aku tidak dusta! Soal jelek atau bagus kenapa kau mengurusi?! Namamu sendiri siapa? Mungkin lebih jelek dari aku! Hik… hik… hik!”
“Ooooo! Memang perempuan sialan!” Orang tua yang menjambak kembali hendak menampar. Kali ini perempuan hamil itu pergunakan kedua tangannya untuk melindungi muka dan kepalanya, membuat si orang tua batalkan niatnya menampar.
“Kau tak mau bilang namamu, pasti memang namamu lebih jelek dariku! Hik… hik… hik! Betul ‘kan?!”
Si jubah hitam keluarkan suara menggereng saking marahnya. “Bilang cepat apa keperluanmu datang ke puncak Gunung Merbabu ini?! Atau kupuntir kepalamu saat ini juga!”
“A… aduh biung! Bagaimana ini?! Tadi kau mau copot lidahku, mau copot kepalaku, sekarang mau memuntir! Apa kau kira kepalaku buah kelapa? Hik… hik… hik!”
Orang yang menjambak kepalkan tinjunya, pukulannya di arahkan pada perut.
“Tobat biung! Jangan pukul! Aku akan bilang! Aku kemari mencari bapak bayiku!” kata perempuan hamil mengaku bernama Emut-Emut.
“Mencari bapak bayimu…?! Orang berjubah hitam tampak heran besar, begitu juga kawannya si mata buta merah yang bersorban dan berpunuk.
“Perempuan geblek! Kalau mau bicara dan berbuat gila jangan di tempat ini!” bentak orang tua bersorban.
“Eh, bagaimana kalian ini! Kalian bertanya memaksa! Aku sudah katakana maksudku datang kemari. Sekarang kalian bilang aku perempuan geblek, bicara dan berbuat gila! Siapa yang geblek! Siapa yang gila?! Hayooo!” Emut-Emut tampaknya marah sekali. Dia menyentakkan kepalanya hingga cekalan orang tua berjubah hitam terlepas. Ini membuat orang tua itu terkejut dan berbisik pada temannya. “Tadi sikapnya bodoh-bodoh ketakutan. Tapi sekarang dia mampu melepaskan jambakan. Agaknya perempuan bunting ini punya sesuatu tersembunyi!”
Mendengar bisikan temannya si buta mata merah yang diam-diam juga meyakini kalau Emut-Emut memiliki kepandaian berusaha membujuk dengan berkata: “Emut-Emut, harap maafkan temanku. Dia tidak bermaksud menghinamu…”
“Sudah! Aku tidak mau bicara lagi pada kalian. Aku mau duduk di atas batu sana. Aku letih…”
“Tunggu dulu Emut-Emut…”
“Aku bilang tidak mau bicara lagi pada kalian. Kecuali kalau kalian mau memberitahu nama kalian masing-masing!”
“Hemm…” gumam si jubah hitam. “Kami tak bisa memberitahu!”
“Kalian tidak jujur. Pasti ada urusan tidak baik di tempat ini. Coba beritahu siapa kalian berdua adanya!”
“Siapa kami berdua tidak perlu kau pertanyakan…!” kata lelaki bermata merah dan berpunuk.
“Hemmm…begitu? Baik! Kalau kalian tidak mau memberi nama biar aku yang memberikan!” kata Emut-Emut pula sambil senyum-senyum. Dia menuding dengan ibu jarinya pada lelaki buta mata merah dan bersorban. “Kau duluan. Aku beri nama Si Buta Konyol…hemmm kurang tepat. Sudah kau kunamakan saja Si Onta Putih. Kau suka? Hik… hik… hik!”
“Kurang ajar!” orang berpunuk kelihatan merah padam wajahnya.
“Kenapa marah? Setahuku hanya onta yang punya punuk. Kau mengenakan jubah putih dan punya punuk. Jadi Onta Putih nama yang betul-betul cocok buatmu! Kecuali kalau kau suka nama Si Buta Konyol! Hik… hik… hik!” Habis tertawa panjang Emut-Emut berpaling dan tudingkan ibu jarinya pada di jubah hitam berambut awut-awutan.
“Ada nama bagus untukmu. Kau mau tahu? Kau kuberi nama hemm… Si Rambut… Ah, itu nama jelek. Kurang pantas. Sudah, kuberi saja kau nama Si Bau Pesing! Hik… hik… hik…!”
“Setan alas!” teriak si jubah hitam marah sekali.
“Eh, jangan marah dulu! Itu nama yang sangat cocok buatmu! Kusebut kau begitu karena jubahmu sebelah bawah memang bau pesing! Kalau tidak percaya silahkan cium sendiri!” Emut-Emut membungkuk hendak memegang bagian jubah sebelah bawah tapi dia berseru keras ketika orang tua itu tiba-tiba tendangkan kaki ke arah perutnya.
“Kejam sekali! Kau hendak membunuh bayi dalam kandunganku!” Meski terhuyung-huyung namun Emut-Emut masih bisa mengelakkan tendangan tadi.
Ketika Si Bau Pesing hendak menyerang lagi kawannya Si Onta Putih memegang lengannya dan berbisik. “Orang ini aneh. Dia mampu mengelakkan seranganmu. Baiknya biar kita korek dulu keterangan dari dia…”
“Kurasa lebih baik menghajarnya lebih dulu, nanti mulutnya nyerocos sendiri!” jawab Si Bau Pesing.
“Sudah…! Biar aku yang bicara!” tukas Onta Putih. Sambil mengangkat tangan kirinya dia berkata. “Emut-Emut, kau bilang datang kemari mencari suamimu…”
“Siapa bilang mencari suami?!” Emut-Emut cemberut.
“Bagaimana kau ini! Tadi kau sendiri bilang…” suara Onta Putih menunjukkan rasa jengkel.
Emut-Emut gelengkan kepalanya keras-keras sambil tangan kanannya digoyang-goyang. “Aku kemari mencari bapak jabang bayi yang ada dalam perutku. Bukan suami! Kalau suami berarti aku pernah dinikah baru dibikin hamil! Tapi yang terjadi aku dibuat gendut duluan tanpa dinikah!”
Si buta Onta Putih dan Si Bau Pesing saling pandang lalu kedua orang tua ini sama tertawa gelak-gelak. Sambil mengusap matanya yang basah akibat tertawa Onta Putih berkata. “Baiklah, kau bilang datang kemari mencari bapak bayi dalam perutmu itu. Mengapa mencari ke sini? Apa kau yakin dia tinggal di sini?”
“Dia memang tidak tinggal di sini. Tapi aku tahu dia bakal berada disini. Kalaupun belum datang aku akan menunggu sampai dia muncul. Atau sebaiknya aku menggeledah rumah itu!” Emut-Emut hendak melangkah ke arah rumah kayu tapi orang tua berjubah hitam yang diberi nama Si Bau Pesing cepat menghalangi seraya berkata. “Kami tidak mengizinkan kau masuk ke dalam rumah itu!”
“Betul!” menimpali Onta Putih. “Kau tahu siapa bapak jabang bayimu itu? Maksudku kau tahu namanya?
“Tentu saja aku tahu! Memangnya kau kira aku mau-mauan bikin anak sama setan yang tidak punya nama?! Ceplos Emut-Emut seenaknya.
“Siapa? Siapa nama bapak bayimu?” tanya Onta Putih pula.
“Orangnya masih muda. Rambutnya gondrong segini…” Emut-Emut melintangkan tangan kirinya di pangkal leher. “Tampangnya lumayan, tidak jeleklah…. Tubuhnya tegap. Dia suka cengengesan….”
“Sudah! Aku tidak mau dengar, tidak mau tahu semua itu! Katakan saja siapa namanya!” bentak orang tua berjubah hitam kesal sekali.
“Namanya… Hemmm… Namanya Wiro Sableng. Tapi dia tidak sableng sungguhan. Hik… hik… hik! Katanya dia menyandang gelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212…”
Baik Si Bau Pesing maupun Si Onta Putih sama-sama mundur satu langkan saking kagetnya mendengar nama dan gelar yang disebutkan Emut-Emut itu.
“Eh, paras kalian berubah! Nah… nah! Jangan-jangan kalian kenal pemuda itu…. Jangan-jangan dia memang sembunyi dalam rumah sana…”
***
SEPULUH
EMUT-Emut bergegas melangkah menuju bangunan kayu tapi orang tua berjubah hitam cepat menahan dadanya dengan telapak tangan kiri. Ketika perempuan hamil itu memaksa maju, si orang tua mendorongnya dengan keras hingga di hampir terjengkang jatuh terduduk di tanah.
“Bau pesing! Kenapa kau mencegahku masuk ke dalam rumah! Pasti pemuda bapak anak ini ada di situ! Kau berusaha melindunginya! Kau barusan malah mau mendorongku! Kalau aku jatuh dan anakku brojol di sini apa kau mau tanggung jawab?!”
“Jangan nyerocos dan bicara ngaco terus! Katakan lagi siapa nama pemuda yang katamu menghamili dirimu itu?!”
“Aku sudah menyebutnya tadi. Cukup keras. Apa kau tuli atau budek?!” ujar Emut-Emut.
“Jangan sampai kutampar kau sekali lagi! Aku tidak main-main! Kau tadi menyebut Wiro Sableng…”
“Nah kau tahu, berarti kau sudah dengan! Mengapa bertanya lagi ?!”
“Orang yang kau cari tidak ada disini!” kata Si Onta Putih.
“Matamu buta, bagaimana kau bisa melihat!” sentak Emut-Emut. “Melihat dirimu sendiri kau tak mampu, mana mungkin melihat orang lain!”
Kakek buta bermata merah cuma ganda tertawa lalu menjawab. “Mata lahirku memang buta. Tapi mata batinku lebih tajam dari matamu!”
Ucapan ini membuat Emut-Emut jadi melengak. “Ucapannya itu mengingatkanku pada orang itu. Tapi ah… Keadaannya jauh berbeda. Atau mungkin…?”
Di hadapannya tiba-tiba orang tua berjubah berteriak.
“Dia datang membawa fitnah! Fitnah besar dan keji!”
“Mulutmu yang keji!” tukas Emut-Emut.
“Aku tetap akan menyelidik ke dalam rumah!” perempuan hamil ini kembali memaksa maju. Tapi lagi-lagi si orang tua menahannya dengan mendorongkan telapak tangan ke dada. Sekali ini Emut-Emut habis sabarnya. “Orang tua, aku tidak tahu apa kau laki-laki atau perempuan. Tapi memegang dada orang adalah perbutan kurang ajar! Kalau kau lelaki berarti kau tua bangka cabul! Kalau kau perempuan sama denganku berarti kau doyan manusia satu jenis! Ih…. Jijik aku jadinya!”
Mata Si Bau Pesing seperti menyala. Tangan kanannya diangkat. Tinjunya dikepal.
“Lekas angkat kaki dari sini kalau tidak mau kupecahkan kepalamu!”
“Dasar manusia bau pesing! Kau saja yang pergi duluan!”
Emut-Emut tarik tangan kiri si orang tua kuat-kuat. Sambil jatuhkan diri ke belakang dia hunjamkan kaki kanan ke perut Si Bau Pesing itu lalu menendang! Orang tua berjubah hitam berteriak keras. Kawannya Si Onta Putih keluarkan seruan tertahan. Orang yang diberi nama Si Bau Pesing itu bukan orang sembarangan.
Namun dia sama sekali tidak menyangka kalau orang hamil besar seperti Emut-Emut bisa menarik dan menendang tubuhnya demikian rupa hingga membuatnya mencelat mental. Sambil menahan sakit si jubah hitam melayang turun dan berteriak. “Tendangan dibalas tendangan!”
“Wuttt!”
Kaki kanannya menderu ke arah kepala Emut-Emut. Angin deras ikut menyambar dari bawah jubahnya. Emut-Emut keluarkan suara seperti mau muntah lalu berteriak.
“Gila! Bau pesing!” Tangan kirinya dipergunakan untuk menutup hidung. Lalu sambil berguling menghindari tendangan dia lepaskan pukulan jarak jauh tangan kanan!
Di udara orang tua berjubah hitam kembali terkejut. “Edan! Perempuan bunting itu memiliki pukulan hebat mengandung tenaga dalam tinggi! Eh, aku rasa-rasa tahu pukulan apa yang dilepaskannya!” Namun Si Bau Pesing ini tidak bisa berfikir panjang karena dia harus selamatkan diri dari hantaman serangan lawan. Dia cepat melesat ke kiri, jungkir balik di udara lalu menghantam dengan kedua tangan sekaligus!
“Bummmm! Bummmm!”
Puncak Gunung Merbabu bergetar. Tanah, pasir dan kerikil-kerikil kecil berlesatan ke atas. Di tempat itu sekarang kelihatan dua buah lobang besar, bekas dua pukulan yang tadi dilepaskan si jubah hitam. Menjejakkan kaki di tanah orang tua ini memandang berkeliling. “Kurang ajar! Berani dia mempermainkan aku! Mana dia?!”
“Bau Pesing! Aku ada di sini! Kalau kau turunan monyet dan pandai memanjat ayo naik dan kejar aku ke atas!”
Orang tua berjubah hitam mendongak ke atas. Emut-Emut ternyata duduk berjuntai di cabang sebatang pohon tak seberapa tingginya sambil uncang-uncang kaki dan tertawa cengengesan.
“Perempuan bunting anjing kurap! Perlu apa aku capaikan diri mengejarmu ke atas sana. Cukup dari sini aku bisa memanggang tubuhmu!” Orang tua berjubah hitam berteriak geram lalu angkat tangan kanannya, siap lepaskan satu pukulan dahsyat. Meski pukulan belum dilepaskan tapi hawa panas sudah menghampar di tempat itu. Namun kawannya Si Onta Puith terbungkuk-bungkuk cepat mendatangi dan berbisik.
“Tahan dulu seranganmu! Ada yang aneh kurasakan dengan perempuan bunting itu!”
“Huh apa?!”
“Dia pasti manusia punya kepandaian. Kau saksikan sendiri di bisa melompat begitu tinggi lalu menclok di cabang pohon. Setinggi-tingginya ilmu seseorang, masakan dalam keadaan hamil besar begitu rupa dia tidak takut membuat gerakan-gerakan yang membahayakan kandungannya!”
“Kukira kau benar,” jawab si Bau Pesing. “Tadi waktu dia melancarkan tendangan, bagian bawah pakaian gombrongnya merosot di bagian kaki. Betisnya tersingkap. Aku lihat betisnya putih…”
“Ah sialnya diriku yang buta! Tidak dapat melihat betis putih itu!” kata Si Onta Putih sambil mulutnya komat-kamit.
“Sialan! Otakmu bisa-bisanya kotor dalam keadaan seperti ini!” maki si jubah hitam. “Padahal keteranganku belum selesai. Dengar, betisnya memang putih tapi ini yang gila! Betis itu ditumbuhi bulu lebat!”
“Edan! Mana ada kaki perempuan berbulu lebat! Kurasa kita sudah tertipu!”
“Biar saja. Dia menipu kita! Bagaimana kalau kita berdua menelanjanginya agar terbuka kedoknya?!”
“Aku setuju! Hik… hik… hik! Ayo kita serbu dia ke atas sana!”
Si Onta Putih dan Si Bau Pesing lepaskan dua pukulan ke arah cabang pohon di mana Emut-Emut duduk berjuntai. Selagi perempuan hamil ini menghindar sambil balas menghantam dua orang tua itu lalu melihat kehebatan Si Onta Putih. Bermata buta tapi sanggup naik ke atas pohon. “Hanya ada satu manusia berkepandaian seperti dia di dunia ini. Tapi mengapa tampang, pakaian dan warna matanya lain?” Emut-Emut tak bisa berfikir lebih jauh karena dua orang tua itu begitu menjejakkan kaki di cabang pohon langsung menyerang!
Seandainya ada orang lain di tempat itu tentu akan terheran-heran melihat ada orang berkelahi di atas pohon. Kalau ketiga orang ini tidak memiliki ilmu meringankan tubuh sangat tinggi niscaya cabang pohon itu sudah patah sejak tadi-tadi!
“Tua bangka pengecut! Mengeroyok perempuan hamil!”
“Perempuan hamil katamu hah?! Kami justru ingin tahu siapa dirimu sebenarnya! Perlihatkan pada temanku perut gendutmu! Ha… ha… ha…!” Si Onta Putih tertawa tergelak-gelak. Tubuhnya meliuk ke depan. Tangan kirinya kirimkan jotosan ke dada Emut-Emut sedang tangan kanannya mematah ranting pohon. Hal yang sama juga dilakukan oleh Si Bau Pesing. Di tangan kanannya saat itu tergenggam pula sebatang ranting. Dengan benda ini dua orang tua menyerang Emut-Emut. Perempuan hamil ini segera terdesak hebat. Dua orang itu ternyata lebih banyak pergunakan ranting yang mereka jadikan senjata untuk berusaha merobek pakaian yang dikenakan perempuan hamil itu dari pada menggebuk, memukul atau menusuk.
“Tak ada jalan lain, aku harus turun agar bisa bergerak lebih leluasa!” memikir sampai di situ Emut-Emut berteriak keras lalu melompat dari atas cabang. Selagi tubuhnya melayang di udara, dua orang tua menyusul melompat ke bawah. Sambil melayang turun ke tanah dua orang tua itu kembali menggempur dengan ranting-ranting.
“Breett! Breett!”
Pakaian gombrong Emut-Emut robek di bagian pantat dan pinggang. “Kurang ajar! Mereka benar-benar hendak menelanjangiku! Biar Si Onta Putih ini aku hajar duluan. Kelihatan dia agak lamban dari Si Bau Pesing!”
Emut-Emut lalu melompat ke samping kiri, sengaja menjauhi Si Bau Pesing. Ketika Si Onta Putih berada di tengah-tengah maka dia kirimkan serangan kilat. Orang tua ini sempat dibuat kalang kabut tapi sampai lima jurus menggempur tidak satu serangannyapun mengenai si mata buta berpunuk itu!
Sementara itu orang tua berjubah hitam sesaat tampak tertegun mendelik. Samar-samar dia mengenali jurus-jurus yang dikeluarkan Emut-Emut waktu menyerang kawannya. “Tidak mungkin… tidak mungkin dia akan sekurang ajar itu! Tapi… Hah! Dari dulu dia memang sudah kurang ajar! Jurus-jurus yang dikeluarkannya, mengapa sembrawutan aneh seperti itu?!”
Si Onta Putih menahan serangan lawan dengan kiblatkan ranting di tangan kanannya bertubi-tubi. Begitu gerakan lawan tertahan dia masuk mendekat. Le-ngannya digetarkan. Ujung ranting berubah menjadi banyak lalu terdengar suara brebetan berulang kali. Dada pakaian gombrong Emut-Emut robek besar. Begitu juga bagian perutnya. Tapi sambil menjerit perempuan ini masih sempat menutupi au-ratnya.. Si Onta Putih tertawa mengekeh lalu lambaikan tangannya pada Si Bau Pesing.
“Aku siap menelanjanginya. Kau yang tidak buta apa tidak mau ambil bagian?!”
Mendengar ucapan temannya itu si jubah hitam segera pula masuk ke dalam kalangan. Kembali Emut-Emut yang masih mengandalkan tangan kosong itu dikeroyok gencar. Sebentar saja dia sudah terdesak hebat. Lengan bajunya robek. Beberapa bagian tangannya tergurat luka. Dalam bertahan mati-matian kedua matanya tidak lepas memperhatikan jurus-jurus serangan yang dilancarkan orang tua berjubah hitam. “Aku hampir pasti memang dia… Kalau betul matilah aku!” katanya dalam hati.
“Bukkk!”
“Breett!”
Emut-Emut katupkan rahang rapat-rapat agar tidak keluarkan suara mengeluh kesakitan sewaktu bahu kirinya kena ditoreh ranting di tangan kanan Si Onta Putih. Lalu dari sebelah kanan Si Bau Pesing berhasil merobek lagi pakaiannya di sebelah bawah perut!
“Setan alas! Lihat serangan!” teriak Emut-Emut.
Tubuhnya berkelebat ke arah Si Bau Pesing. Tapi selagi lawan yang satunya bertindak ayal, dia balikkan tubuh, berkelebat menggempur si buta Onta Putih. Dua tangannya diangkat ke atas dan membuat gerakan aneh. Sengaja menyongsong ujung ranting lawan. Sesaat kemudian terdengar suara trak… trak… trak berulang kali.
“Ilmu mematah tulang!” teriak Si Onta Putih. Lalu cepat-cepat campakkan ranting kayunya yang tinggal pendek sebelum sepasang tangan Emut-Emut terus meluncur mematahkan jari-jari tangannya bahkan kedua lengannya!
“Manusia buta ini sungguh luar biasa! Dia mengetahui ilmu apa yang aku keluarkan!” membatin Emut-Emut.
Orang tua berjubah hitam mendadak hentikan serangan rantingnya. Dia bergeser mendekati temannya dan berbisik. “Kau yang buta bagaimana bisa mengenali serangan yang barusan dilancarkan perempuan bunting sinting itu?!”
Si Onta Putih mengangguk sedikit. “Aku hanya menduga. Tapi yakin dugaanku tidak meleset. Setahuku ilmu itu berasal dari Negeri Matahari Terbit! Tak ada tokoh silat di sini yang menguasai atau pernah mempelajarinya. Di sana disebut koppo!”
Sepasang bola mata si jubah hitam berkilat-kilat, berputar tiada henti. “Kurang ajar! Jadi memang dia rupanya! Benar-benar kurang ajar!” Lalu pada teman di sebelahnya dia berbisik lagi. “Keluarkan tongkat bututmu! Kau serang dia habis-habisan. Aku mencari akal bagaimana bisa melumpuhkannya! Sebetulnya kalau kau suka aku ingin sekali membuat dia sampai sekarat!”
Mendengar ucapan Si Bau Pesing, kakek buta keluarkan sebuah tongkat kayu butut dari balik punggung jubah putihnya. Dengan senjata buruk ini dia lancarkan serangan berantai, merangsak tiada henti. Tongkat di tangannya berubah menjadi begitu banyak hingga sulit diduga mana yang asli mana yang bayangan. Kalau tadi tidak sulit bagi Emut-Emut untuk mematahkan ranting kayu yang dipergunakan sebagai senjata oleh orang tua buta itu, kini bagaimanapun dia mencoba tongkat itu tak berhasil dipatahkannya. Dia sempat menangkap beberapa kali namun sebelum dipatahkan tongkat itu sudah lolos dari cengkeramannya. Selagi dia berusaha membendung serangan lawan tongkat di tangan si buta mata merah itu justru mengurungnya dan Emut-Emut sempat keluarkan seruan tertahan. Dalam penglihatannya tongkat telah berubah menjadi batangan-batangan balok, membentuk lingkaran dan mengurungnya. Bagaimanapun dia berusaha menerobos tetap saja dia berada dalam kurungan itu.
“Celaka! Apa yang harus aku lakukan?!” keluh Emut-Emut. Dia jadi keluarkan keringat dingin. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba dari samping datang tusukan ranting Si Bau Pesing menembus perutnya!
“Breettt!”
Ujung tongkat dicongkelkan ke atas. Sekali lagi terdengar suara breeet! Lalu di udara tiba-tiba saja kelihatan kapuk beterbangan.
“Celaka!” keluh Emut-Emut sekali lagi. Dia berusaha menutupi pakaian di bagian perut yang robek besar. Namun saat itu terasa ada sambaran angin di punggungnya. Emut-Emut berpaling sambil hantamkan tangan kanannya namun terlambat. Satu totokan mendarat telak di punggungnya, membuat dia kaku tegang tak bisa bergerak. “Aku harus membebaskan diri. Kalau tidak benar-benar bisa celaka….” Emut-Emut kempeskan perutnya lalu kerahkan aliran darah.
Orang tua berjubah melompat ke hadapan Emut-Emut. Tangan kiri diletakkan di pinggang. Dari mulutnya keluar tawa panjang mengekeh. “Ilmu totokanku bukan dari jenis picisan yang bisa dipunahkan begitu saja! Kau boleh kerahkan tenaga dalam sampai terkentut-kentut bahkan terberak-berak! Mustahil kau bisa membebaskan diri!”
“Tua bangka pengecut! Tak sanggup menghadapiku waktu mengeroyok sekarang kau main totok!” damprat Emut-Emut.
“Perempuan bunting! Sekarang kita lihat siapa kau sebenarnya!”
Si Bau Pesing maju dua langkah. Ranting di tangan kanannya bergerak menggeletar lalu berubah jadi bayangan. Terdengar suara brett… brett… brett berulang kali. Pakaian gombrong yang melekat di tubuh. Emut-Emut robek besar di mana-mana hingga akhirnya pakaian itu jatuh merosot ke tanah.
“Sudah kau telanjangi tubuhnya!” bertanya Si Onta Putih.
“Belum, ternyata dia mengenakan pakaian laki-laki di balik baju gombrongnya!” jawab Si Bau Pesing. “Kau tahu apa yang aku lihat sobatku! Di bagian perutnya dia mengikatkan dua buah bantal besar. Kapuk beterbangan di udara! Itu rupanya jabang bayinya! Ha… ha… ha…! Ada laki-laki gila yang berpura-pura bunting pakai bantal berisi kapuk!”
“Mengaku datang ke sini mencari bapak anaknya! Ha… ha… ha! menimpali Si Onta Putih. “Lekas kau telanjangi di agar ketahuan siapa monyet jantan ini sebenarnya!”
“Kalau kau berani menelanjangiku, aku bersumpah membunuh kalian berdua!” mengancam Emut-Emut.
“Huh! Ancaman tengik! Umurmu tidak lebih panjang dari umur kami berdua!” sahut Si Bau Pesing. Sepasang matanya memperlihatkan dengan tajam perempuan hamil yang kini terlihat mengenakan pakaian ringkas. Lalu orang tua ini gerakkan tangan kanannya yang memegang ranting.
“Brettt!”
Dada pakaian orang di hadapannya robek besar. Dadanya tersingkap. Pada dada itu kelihatan rajah tiga buah angka 212! Si Bau Pesing hampir terlonjak saking kagetnya. Sekujur tubuhnya yang bungkuk bergetar.
“Anak setan! Kau rupanya!” katanya setengah berteriak.
Si Onta Putih bertanya. “Siapa? Siapa dia? Lekas katakan padaku!”
“Aku belum pasti, mungkin memang dia tapi mungkin juga orang lain menyamar….” Si Bau Pesing melompat ke hadapan Emut-Emut yang saat itu tertegak kaku tak bisa bergerak. Tangan kirinya berkelebat ke arah leher sebelah bawah Emut-Emut.
“Sretttt!”
Sekali tarik saja terlepaslah selembar topeng sangat tipis yang menutupi wajahnya. Si Bau Pesing menjerit keras ketika melihat tampang asli Emut-Emut.
***
SEBELAS
ONTA Putih mendongak lalu berkata.
“Hai! Kau menjerit! Tentu kau sudah mengetahui siapa dia! Lekas katakan padaku!”
“Anak setan! Anak geblek gendeng sialan! Dia rupanya!”
“Hai! Kau masih belum mengatakan siapa orangnya!”
“Siapa lagi kalau bukan dia! Anak setan bernama Wiro Sableng itu! Sialan benar. Berani dia menipuku!”
Emut-Emut tertawa cengengesan. Kalau saja tangannya bisa bergerak pasti saat itu dia sudah menggaruk kepalanya habis-habisan! Si Onta Putih begitu mendengar nama yang disebutkan Si Bau Pesing dongakkan kepala lalu tertawa gelak-gelak. “Kita yang tua bangka ini memang sudah kena ditipu!”
“Guru, Eyang…. Aku mau berlutut di depanmu minta ampun. Tapi tidak bisa! Aku minta ampun atas semua perbuatanku ini….” Emut-Emut berucap. Suaranya tiba-tiba saja jadi berubah.
“Eh!” Orang tua berjubah hitam mundur selangkah. “Siapa yang kau panggil Eyang, siapa yang kau panggil guru! Jangan bicara ngacok di hadapanku!”
Onta Putih tersenyum-senyum. “Aku kenali suaranya sekarang. Rupanya tadi-tadi dia pergunakan ilmu kepandaian merubah suara. Benar-benar anak setan!”
Emut-Emut alias Pendekar 212 Wiro Sableng keluarkan suara bergumam. Lalu berkata. “Guru, sebetulnya aku sudah tahu siapa kau sejak mencegat aku di gubuk reyot waktu malam hujan-hujan itu….”
Orang tua berjubah hitam itu angkat tangannya yang memegang ranting, siap untuk dipukulkan ke kepala Wiro. Saat itu Si Onta Putih tiba-tiba tertawa lalu berkata. “Sinto, kalau dia sudah tahu siapa dirimu rasanya tak perlu lagi menyamar berlama-lama. Bukankah kita sudah menguji tingkat kepandaiannya…?!”
Habis berkata begitu orang tua berpunuk ini campakkan sorban di kepalanya lalu membuka jubah putihnya. Begitu jubah ditanggalkan, di punggungnya kelihatan sebuah caping besar diikatkan ke tubuhnya yang mengenakan pakaian rombeng butut. Di ketiak kirinya ada sebuah buntalan kain. Caping besar itulah yang tadi membentuk punuk di punggungnya! Tidak sampai disitu, orang ini lalu pergunakan tangan kiri untuk menarik lepas sehelai topeng yang menutupi wajahnya.
“Kakek Segala Tahu!” seru Wiro begitu dia mengenali siapa adanya orang tua itu. Si kakek tertawa bergelak. Dia luruskan tubuhnya berulang kali. Lalu dari dalam buntalannya dia kelurkan sebuah kaleng rombeng. Setelah mendongakkan kepala dia goyangkan kaleng itu berulang kali hingga menggemalah suara kerontang menyakitkan telinga di puncak Gunung Merbabu itu!
“Aneh…. Tadi waktu berkelahi kaleng itu sama sekali tidak mengeluarkan bunyi! Berarti dia menahan gerakan batu-batu dalam kaleng dengan tenaga dalamnya! Luar biasa tua bangka satu ini!” membatin Pendekar 212.
“Kek, masih ada yang ketinggalan….” Kata Wiro pada Kakek Segala tahu.
“Eh, apa maksudmu anak geblek?!” bertanya Kakek Segala Tahu sementara si jubah hitam tegak terlongong-longong.
“Sepasang matamu seharusnya berwarna putih. Aku tak tahu kau memakai apa hingga kulihat matamu berwarna merah semua!”
Kakek Segala Tahu tertawa gelak-gelak. Dia usap kedua matanya dengan tangan kiri. Setelah mengusap dia perlihatkan telapak tangannya pada Wiro.
“Daun angsana merah!” seru Wiro. Rupanya selama ini si kakek sengaja pergunakan dua lembar daun angsana merah untuk menutupi sepasang matanya yang buta putih!
Kakek Segala Tahu kembali tertawa panjang. Dia bolang balingkan tongkat bututnya lalu berpaling pada si jubah hitam di sebelahnya. “Sinto, kau tunggu apa lagi?!”
Yang ditegur diam saja. Ragu dia rupanya.
“Orang sudah tahu siapa dirimu, perlu apa menyamar terus?!”
Mulut si jubah hitam tampak komat-kamit. Terdengar dia menggerendeng panjang pendek. “Anak setan sialan. Kau bakal menerima hukuman berat dariku…. Hik… hik…hik!”
Mula-mula orang ini buka jubah hitamnya. Kini kelihatan pakaian aslinya, sebuah kebaya panjang dalam yang sudah rombeng dan kotor serta bau apak. Dia mengenkan kain panjang sebatas betis hingga terlihat sepasang kakinya yang kurus. Perlahan-lahan dia tanggalkan topeng dan rambut palsu yang menutupi wajah serta kepalanya. Terlihat wajahnya yang sebenarnya, cekung menyeramkan tinggal kulit pembungkus tengkorak. Di atas kepalanya yang berambut sangat jarang menancap lima buah tusuk konde terbuat dari perak. Dia berusaha meluruskan tubuhnya yang bungkuk tapi tidak bisa karena nenek ini memang sudah bungkuk dimakan usia. Inilah dia si nenek sakti dari puncak Gunung Gede, salah seorang dedengkot dunia persilatan dikenal dengan nama Sinto Gendeng terlahir bernama Sinto Weni.
Kakek Segala Tahu tusukkan tongkat bututnya di punggung Wiro. Serta merta totokan yang menguasai tubuh sang pendekar punah.
“Lekas berlutut minta ampun pada gurumu!” kata Kakek Segala Tahu lalu mendorong punggung Pendekar 212.
Wiro cepat jatuhkan diri di hadapan Sinto Gendeng. Dia membungkuk berulang kali lalu berkata. “Eyang maafkan aku. Aku telah berlaku kurang ajar padamu. Berani menipu dan melawanmu!”
“Bagus! Aku terima maafmu! Tapi makan dulu gebukan ini!” Sinto Gendeng pukulkan ranting kayu di tangan kanannya ke kepala Wiro.
“Traakkk!”
Ranting kayu di tangan Sinto Gendeng patah hancur berantakan. Tangan si nenek tergetar keras. Kakek Segala Tahu telah menangkis ranting itu dengan tongkat bututnya
“Sinto,” si kakek lalu menegur, “Jangan perturutkan hati kesalmu. Bukankah semua ini sesuai dengan yang kita rencanakan? Kalau dia bisa menipu kita bukankan itu menunjukkan otaknya lebih encer dari kita?!”
Sinto Gendeng campakkan sisa patahan ranting yang dipegangnya. Dia memandang pada di buta Kakek Segala Tahu lalu pada sang murid yang masih berlutut tundukkan kepala. Sesaat kemudian nenek sakti ini tertawa terpingkal-pingkal. Begitu panjang seolah tidak akan berhenti. Wiro yang berlutut tundukkan kepala tiba-tiba melihat sesuatu mengalir di kedua kaki gurunya disertai bau yang menusuk. Wiro serta merta melompat sebelum dia terkena percikan air itu.
“Ada apa?!” bertanya Kakek Segala Tahu.
“Dia kencing…” jawab Wiro.
Kakek Segala Tahu tak dapat menahan gelaknya. Dia tertawa sampai keluar air mata. Wiro mula-mula hanya garuk-garuk kepala tapi kemudian ikut juga tertawa gelak-gelak.
“Kalian berdua sudah pada gila apa?! Mengapa tertawa begini rupa?!”
Tentu saja sang murid tak bisa menjawab. Akhirnya si kakek hentikan tawanya dan berkata. “Sinto, lain kali kalau mau buang air sebaiknya mencari tempat! Jangan kencing sembarangan!”
Sinto Gendeng yang seolah baru menyadari apa yang terjadi banting-banting kaki. Walau malu tapi justru dia tunjukkan sikap marah. Inilah sifat aneh si nenek sakti dari puncak Gunung Gede itu.
“Kita masuk ke rumah sekarang. Kawan yang satu itu sudah lama menunggu,” mengajak Kakek Segala Tahu lalu kerontangkan kaleng rombengnya.
“Tunggu dulu,” sahut Sinto Gendeng. “Aku mau tanya bagaimana sebelumnya kau sudah merasa bahwa aku yang menyamar ini adalah gurumu?!”
Wiro garuk-garuk kepala. “Eyang, kalau aku katakan kau pasti marah lagi padaku!”
“Kali ini aku berjanji tidak marah asal kau tidak bicara ngaco!” jawab si nenek.
“Pertama kulihat potongan tubuhmu. Sikapmu selalu bungkuk karena memang begitu keadaan tubuhmu. Kedua kalau kau tertawa suara palsumu tersamar dengan suara asli yang segera kukenali. Kemudian secara tak sadar kau memaki diriku dengan sebutan anak setan. Siapa yang punya kebiasaan seperti itu kalau bukan kau? Lalu ada satu hal yang paling meyakinkan….”
Wiro diam, tak segera meneruskan ucapannya.
“Apa? Ayo katakan! Kenapa kau berhenti ngomong?!” tukas Sinto Gendeng.
“Itu…. Hemmm…. Pakaianmu sebelah bawah mengumbar bau pesing…” jawab Wiro lalu tutup mulutnya dengan tangan agar tidak terdengar suara tawanya. Di sampingnya Kakek Segala Tahu justru sudah meledak duluan tawanya.
Sinto Gendeng memaki panjang pendek tapi tidak berbuat sesuatu. “Dengar anak setan, aku ada dua pertanyaan padamu. Pertama, aku tidak mengajarkan ilmu menyarukan suara padamu. Membuat aku tidak mengenali suaramu. Dari mana kau belajar ilmu itu….”
“Dari… dari seorang pandai di Negeri Matahari Terbit…” jawab Wiro.
“Hemmmm….” Sinto Gendeng komat-kamit. Lalu dia bertanya lagi. “Pertanyaan kedua. Dari mana kau belajar ilmu mematahkan tulang yang disebut koppo itu?!”
“Juga dari seseorang di Negeri Matahari Terbit itu guru…” jawab Wiro. (Mengenai ilmu mematahkan tulang yang disebut koppo harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Sepasang Manusia Bonsai”)
“Bagus, ilmumu sudah bertambah. Tapi masih jauh dari cukup untuk menghadapi tugas berat yang bakal dibebankan ke pundakmu!” Wiro terkejut dan berpaling pada Kakek Segala Tahu.
“Kek, tugas berat katamu? Tugas berat apa?”
“Anak setan,” yang menjawab si nenek sakti. “Ketahuilah, aku mencegatmu di gubuk itu hanya sekedar untuk menguji kepandaianmu. Juga apa yang terjadi disini semua ujian untukmu. Ilmu silatmu tidak kami sangsikan. Cuma kesaktianmu masih sangat kami khawatirkan….”
“Aku tidak mengerti…” kata Wiro sambil garuk-garuk kepalanya.
“Supaya kau mengerti mari ikuti aku masuk ke dalam rumah sana…” kata Sinto Gendeng lalu melangkah duluan menuju rumah kayu di ujung pedataran. Wiro pegang lengan Kakek Segala Tahu, sambil menuntun orang tua ini dia melangkah mengikuti si nenek.
“Eh, walau mataku buta kau tak usah menuntunku segala. Aku bisa jalan sendiri…” kata Kakek Segala Tahu.
“Aku tahu,” jawab Wiro setengah berbisik. “Aku cuma mau mendekat, mau tanya apa sebenarnya yang ada dibalik semua urusan aneh ini?”
“Aku cuma bisa bilang, dunia persilatan terancam kiamat!” jawab si kakek lalu lepaskan tangannya dari pegangan Wiro dan melangkah cepat menuju rumah kayu.
***
DUA BELAS
DARI luar rumah kayu itu kelihatan kecil saja. Tapi begitu masuk di dalam ternyata luas sekali. Wiro terheran-heran melihat pemandangan dalam rumah kayu ini. Bagian dalam hanya merupakan satu ruangan luas terbuka. Di atas lantai papan ada setumpukan jerami kering setinggi pinggang. Sebelah atas tumpukan jerami ini ditutup dengan lembaran-lembaran kulit kambing kering yang disambung satu sama lain hingga merupakan selembar tikar besar. Di atas tikar kulit kambing ini terbujur satu sosok tubuh gemuk besar luar biasa hingga tumpukan jerami melesak ke bawah.
“Si Raja Penidur!” ujar Wiro sambil berpaling pada Sinto Gendeng dan Kakek Segala Tahu. “Hemm…. Jika dia ada di sini berarti memang ada satu urusan besar!”
Seperti Kakek Segala Tahu dan Sinto Gendeng, Si Raja Penidur dikenal sebagai salah satu dedengkot rimba persilatan di masa itu. Hanya saja dia jarang memunculkan diri karena pekerjaannya sehari-hari bahkan sepanjang tahun cuma tidur melulu. Sekali tidur jangan harap dia bisa bangun cepat. Suara dengkurnya menggetarkan bangunan kayu itu. (Mengenai Si Raja Penidur harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Siluman Teluk Gonggo”)
Kakek Segala Tahu gelengkan kepala. “Hampir tiga puluh hari kami menungguinya di sini! Sontoloyo biang ngorok itu masih saja tidur. Kapan bangunnya…? Padahal urusan besar sudah menunggu. Gawat kalau begini…!”
“Kita harus membangunkannya secara paksa!” kata Sinto Gendeng pula.
“Itu katamu. Apa kau tidak tahu sifat keadaannya? Sekalipun petir menyambar di atas jidatnya, sekalipun geledek menggelegar di samping telinganya dia tak bakalan terbangun!” ujar Kakek Segala Tahu pula.
“Coba kau kerontangkan kaleng rombengmu di salah satu telinganya!” kata Sinto Gendeng pula.
“Aku sudah mencoba! Kau tahu hasilnya!”
“Kerahkan seluruh tenaga dalammu!”
“Baik… baik. Aku akan coba lagi!”
Kakek Segala Tahu mendekati tumpukan jerami. Dengan ujung tongkatnya dia meraba-raba sampai akhirnya dia mengetahui di mana letak kepala Si Raja Penidur. Lalu dia kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Tenaga dalam ini disalurkan ke tangan kiri yang memegang kaleng rombeng berisi batu. Begitu kaleng digoyangkan menggelegarlah suara berkerontang keras sekali. Bangunan kayu bergetar dan liang telinga seperti ditusuk besi panas! Baik Wiro maupun Sinto Gendeng cepat tekap telinga masing-masing. Sampai si kakek merasa pegal menggoyang tangan terus-terusan, Si Raja Penidur masih saja ngorok.
Akhirnya Kakek Segala Tahu capai sendiri dan berhenti menggoyang kaleng rombeng itu. Dia tanggalkan caping bambunya lalu mengipas-ngipasi mukanya yang basah oleh keringat.
“Apa lagi yang kita lakukan sekarang?!” Kakek Segala Tahu seperti putus asa.
“Bagaimana kalau kita pencet saja bijinya?!” berkata Sinto Gendeng.
Wiro tertawa geli mendengar ucapan gurunya itu sedang Kakek Segala Tahu menyeringai sambil geleng-gelengkan kepala. “Kalau dia bangun, kalau dia mati bagaimana?” ujarnya. Perlahan-lahan dia palingkan mukanya pada Wiro. Sinto Gendeng ikut menoleh. Saat itu Wiro tegak tak bergerak. Kedua matanya dipejamkan dan tangannya sibuk menggaruk-garuk kepala.
“Anak setan ini tengah berfikir keras,” kata Sinto Gendeng dalam hati yang tahu betul apa yang tengah dilakukan muridnya. Lalu dia ajukan pertanyaan. “Anak setan, apa yang ada dalam benakmu?!”
Perlahan-lahan Wiro buka kedua matanya. “Orang bangun dan orang tidur sama- sama bernafas…”
“Orang gila juga tahu hal itu!” kata Sinto Gendeng.
“Kalau jalan nafasnya terganggu, orang bangun bisa pingsan, orang tidur bisa melejang menggeliat lalu terbangun!”
“Hemmm…. Kau mau menyuruh aku memencet hidung sontoloyo itu?!” tanya Kakek Segala Tahu.
“Bukan itu yang aku maksudkan. Mungkin itu bisa menolong tapi ada yang lebih ampuh. Mengganggu jalan nafasnya bukan Cuma menutup hidung, tapi membuat begitu rupa hingga gangguan itu menjalar dalam tubuhnya, masuk ke dalam otaknya!”
“Kau bicara seperti seorang dukun besar!” kata Sinto Gendeng ketus.
Wiro angkat tangannya. “Aku cuma punya satu usul. Jika diterima kurasa pasti si penidur ini bisa kita bangunkan!”
“Sudah, katakan saja apa yang ada dalam otakmu Wiro!” kata Kakek Segala Tahu.
Wiro Sableng berpaling pada Sinto Gendeng. “Guru, kau naiklah ke atas kasur jerami itu. Berdiri tepat di atas kepala Si Raja Penidur lalu perlahan-lahan turun dan jongkok. Kukira tidak akan makan waktu lama sebelum dia bisa kita bangunkan!”
Sepasang mata Sinto Gendeng yang cekung seperti mau melompat keluar dari sarangnya. “Anak setan kurang ajar! Kau kira apa aku ini? Menyuruh aku jongkok di atas kepala si sontoloyo itu!”
“Tunggu… tunggu Sinto!” Kakek Segala Tahu menengahi. “Kurasa ucapan muridmu benarnya. Membangunkan orang dengan mengganggu jalan pernafasannya. Bau pesing tubuh dan pakaianmu akan masuk ke dalam hidungnya, larut dalam jalan pernafasan lalu mengalir dalam darah. Sampai ke jantung terus ke otak! Dia benar! Si Raja Penidur pasti akan terbangun!”
“Kau juga setan! Aku tidak mau melakukan!” kata Sinto Gendeng sambil banting kaki.
“Terserah padamu! Jika kau suka kita menunggu berlama-lama di tempat ini. Satu bulan, mungkin satu tahun lagi dia belum tentu bangun secara wajar!” kata Kakek Segala Tahu.
Sinto Gendeng banting-banting kaki. Mulutnya menggerendeng panjang pendek dan matanya berkilat-kilat memandang pada muridnya.
“Anak setan!” teriak si nenek. Tapi saat itu juga tubuhnya melesat ke atas kasur jerami. Kedua kakinya menjejak di kiri kanan kepala Si Raja Penidur. Si nenek masih memaki dan masih memandang melotot pada Wiro. Perlahan-lahan dia lalu berjongkok.
Wiro tutup mulut menahan tawa sementara Kakek Segala Tahu dongakkan kepala dan goyangkan kaleng rombengnya tiga kali berturut-turut. Saat demi saat berlalu.
“Sial! Kakiku sudah letih!” terik Sinto Gendeng.
“Bertahan Sinto! Bertahanlah!” ujar Kakek Segala Tahu.
Tiba-tiba salah satu kaki Si Raja penidur kelihatan bergerak, menyusul salah satu tangannya. Lalu kepalanya terangkat dari atas tikar kulit kambing. Hidungnya mengerenyit dan mulutnya terbuka lebar. Tiba-tiba dari mulut itu membersit suara berbangkis tiga kali. Sinto Gendeng cepat melompat turun.
“Setan alas! Bau busuk apa ini?!” teriak Si Raja Penidur seraya bangkit duduk, berbangkis lagi lalu gosok hidungnya berulang kali. Setelah menguap lebar-lebar perlahan-lahan dia buka kedua matanya, memandang berkeliling. Dia segera mengenali ketiga orang yang berdiri di samping tumpukan tempat tidurnya.
“Heh…. Kalian bertiga. Manusia-manusia jelek…. Mengapa berada disini…?
“Kau sendiri mengapa juga ada di sini?!” Kakek Segala Tahu menukas.
“Kau betul! Mengapa aku ada di sini ya…?!” Si Raja Penidur mengucak kedua matanya. Di menguap lagi lebar-lebar. “Aku tak tahu jawabannya. Ah, mengapa susah payah. Lebih baik aku tidur lagi!” Lalu dia segera hendak rebahkan tubuhnya ke atas tikar kulit kambing.
“Tunggu dulu!” seru Kakek Segala Tahu dan dengan cepat menahan punggung Si Raja Penidur dengan tongkat bututnya hingga raksasa gendut berbobot ratusan kati ini tak jadi menelentang tidur. “Sesuai ucapanmu dulu, kami datang di sini untuk mendengar jelas mimpimu tiga ratus hari lalu!”
“Mimpiku tiga ratus hari lalu?” Si Raja Penidur mendongak. “Gila…. Mana aku bisa ingat!” katanya. Dia hendak merebahkan tubuhnya kembali tapi tak bisa karena tertahan oleh tongkat kayu Kakek Segala Tahu.
“Kalau kau tak bisa mengingat biar aku yang mengingatkan!” kata Sinto Gendeng.
Tangan kanannya lalu memencet ibu jari kaki kiri Si Raja Penidur. Si gendut meringis dan berkata. “Kau ini masih suka bercanda Sinto! Jangan gelitik kakiku!” teriaknya. Si Raja Penidur menganggap kakinya digelitik, padahal jangankan ibu jari manusia, batupun bisa hancur oleh pencetan tadi!
“Tiga ratus hri lalu saat kau terbangun dari tidur, kau bilang telah mimpi tentang sebuah kitab. Ingat…?” Sinto Gendeng kembali pencet kaki si gendut.
Si Raja Penidur meyeringai. “Ya aku ingat…! Aku ingat sekarang!”
“Katamu ada sebuah kitab yang jika jatuh ke tangan jahat akan membuat kiamat dunia persilatan. Kau ingat…?”
“Ya… ya…. Aku ingat!” Si Raja Penidur menguap lebar-lebar.
“Tiga ratus hari lalu kau tak sempat menjelaskan secara rinci. Kau keburu tidur! Sekarang ini kesempatan kau mengatakannya!”
“Hemmm… huah…” Si Raja Penidur menguap lagi.
“Kalian menginginkan kitab itu?” tanya Si Raja Penidur.
“Menginginkan atau tidak itu tak jadi masalah. Yang penting jika sudah tahu kami akan mencari jalan bagaimana menyelamatkan dunia persilatan!” jawab Sinto Gendeng.
Si gendut geleng-gelengkan kepala. “Tidak satupun dari kalian berjodoh dengan kitab itu. Seorang lain akan mendapatkannya lebih dulu dari kalian. Begitu yang tersirat dalam mimpiku…”
“Sialan!” teriak Sinto Gendeng sambil bantingkan kaki.
“Brengsek!” maki Kakek Segala Tahu lalu pukulkan tangan kirinya ke jidatnya sendiri.
Wiro Sableng garuk-garuk kepala. “Dari tadi kalian ribut membicarakan sebuah kitab yang katanya bisa membuat kiamat dunia persilatan. Sebetulnya kalian ini membicarakan apa? Aku sendiri tidak diberi tahu kitab apa itu! Padahal sebelumnya disebut-sebut aku punya beban berat di atas pundak….”
Si Raja Penidur berpaling pada Sinto Gendeng. “Kau sudah dengar keluhan muridmu. Mengapa tidak menceritakan?”
Sinto Gendeng komat-kamitkan mulutnya yang perot lalu berkata. “Anak setan kau dengar baik-baik. Ada sebuah kitab bernama Wasiat Iblis. Selama puluhan tahun kitb itu lenyap tak diketahui entah kemana. Kemudian tiba-tiba diketahui kitab celaka itu berada di tangan seorang tokoh silat bernama Jarot Ampel bergelar Iblis Tanpa Bayangan. Manusia satu ini kabarnya berusia lebih dari seratus lima puluh tahun. Sudah bosan hidup. Dia ingin mati cepat-cepat. Sebelum mati kitab itu akan diserahkannya pada seseorang yang berjodoh. Nah kau bisa bayangkan kalau kitab itu jatuh ke tangan orang lain dan kita tidak bisa mencegahnya….”
“Kalau kita tahu kitab itu berada dimana dan bergerak cepat mungkin kita bisa mendapatkannya,” kata Wiro.
Si Raja Penidur menguap lalu gelengkan kepala. “Aku sudah bilang. Dalam mimpiku tersirat apa yang bakal menjadi kenyataan. Kitab itu tidak bakal kalian dapatkan….”
“Bisa jadi begitu. Tapi kalau kita tidak berusaha bagaimana membuktikannya!” ujar Wiro.
Si Raja Penidur menyeringai. “Semangatmu tinggi dan nyalimu masih berkobar-kobar anak muda. Tanyakan pada Kakek Segala Tahu, dia bisa meramal dan melihat di mana kitab itu berada. Aku sudah mengantuk dan ingin cepat-cepat tidur.…”
“Awas, cegah dia tidur!” teriak Sinto Gendeng.
Kakek Segala tahu putar tangannya yang memegang tongkat penahan punggung Raja Penidur dan alirkan tenaga dalamnya. Tubuh raksasa Si Raja Penidur bergetar tersentak-sentak.
“Gila! Kau apakan badanku ini?!” teriak Si Raja Penidur.
“Kau belum memberi semua keterangan. Dulu kau katakan kau juga melihat sebuah kitab lain dalam mimpimu. Kau bilang siapa saja yang bisa mendapatkan kitab itu maka akan sanggup menghadapi kehebatan kitab Wasiat Iblis….”
Si Raja Penidur tertawa. “Soal kitab yang satu itu memang ada dalam mimpiku. Tapi tak ada petunjuk lengkap….”
“Sudah! Katakan saja apa yang kau ketahui!” kata Kakek Segala Tahu tak sabaran.
“Namanya Kitab Putih Wasiat Dewa. Dimana beradanya tidak ada petunjuk. Yang tersirat dalam mimpiku, aku melihat seorang kakek berambut dan berkumis serta berjanggut dan berjubah putih yang tahu dimana beradanya kitab itu….”
“Gila! Di dunia ini ada ratusan orang seperti itu!” ujar Sinto Gendeng pula.
“Betul…” menyahuti Si Raja Penidur lalu menguap lebar-lebar. “Tapi orang tua yang kulihat dalam mimpi bermuka biru sebelah dan selalu mengunyah daun sirih….”
Sinto Gendeng berpaling pada Kakek Segala Tahu. “Kau bisa menyelidik siapa orang itu?”
“Aku akan berusaha. Tapi ada satu hal yang perlu kita tanyakan padanya….”
“Terlambat!” seru Wiro. “Lihat! Matanya sudah terpejam! Dia sudah tidur!”
Sesaat kemudian terdengar suara dengkur Si Raja Penidur. Tiga orang itu hanya bisa saling pandang beberapa saat lamanya. “Kakek Segala tahu, tugas penting kini berada di tanganmu. Pergunakan kesaktianmu. Kau harus bisa meramal dan memberi petunjuk mengenai dua kitab itu. Di mana beradanya….”
Kakek Segala Tahu anggukkan kepalanya. “Kita keluar saja dari sini. Dengkur si sontoloyo ini mengganggu pemusatan pikiranku….”
Sampai di pedataran di depan rumah kayu Kakek Segala Tahu duduk di atas sebuah batu. Kedua matanya dipejamkan. Kepalanya didongakkan. Tongkat bututnya menunjuk ke langit. Lalu dia goyang-goyangkan kaleng rombengnya sampai tujuh kali. Lama sekali baru dia berhenti menggoyang kaleng dan buka mata butanya yang dipejamkan.
“Kau mendapat petunjuk…?” tanya Sinto Gendeng.
“Aku melihat Kotaraja. Lalu awan berarak ke arah barat. Ada sebuah bukit kecil. Itu petunjuk mengenai Kitab Wasiat Iblis. Berarti kitab itu ada di sana tapi sulit mengetahui di mana letaknya. Kurasa terlalu sia-sia kalau kita mengejar kitab itu. Si Raja Penidur sudah mengatakan bahwa kitab itu tidak berjodoh pada salah satu dari kita. Dikejar tetap saja akan jatuh ke tangan orang lain. Malah begitu orang itu mendapatkan dan mempelajarinya, keselamatan siapa saja yang mengejar tidak akan tertolong! Lebih baik memusatkan perhatian pada kitab kedua yang dianggap sanggup menjadi penumpas ilmu yang terkandung dalam Kitab Wasiat Iblis….”
“Apa petunjuk yang kau dapat mengenai kitab kedua?” tanya Sinto Gendeng.
“Mimpi Si Raja Penidur sangat cocok dengan petunjuk yang barusan kudapat. Walau samar-samar aku dapat melihat bayangan orang tua berjubah putih bermuka biru sebelah itu. Bagian biru mukanya ada di sebelah kanan. Mulutnya komat-kamit makan sirih terus-terusan hingga bibirnya merah seperti darah. Dia adalah Tunggul Anggoro yang dikenal dengan julukan Raja Obat Delapan Penjuru Angin. Tempat kediamannya sebuah pulau terpencil di pantai selatan…. Jika kita bisa menemuinya niscaya akan dapat petunjuk di mana Kitab Putih Wasiat Dewa itu berada. Dengan menguasai ilmu kesaktian dalam kitab itu dunia persilatan bisa diselamatkan dari Kitab Wasiat Iblis….”
Kakek Segala Tahu goyangkan kaleng rombengnya lalu usap wajahnya yang keringatan. Wiro mendehem beberapa kali. “Bagiku jelas sekarang, mengapa kalian memancingku datang ke tempat ini. Untuk menguji dan sekaligus meyerahkan tugas mencari Kitab Putih Wasiat Dewa itu….”
Kakek Segala Tahu menyeringai lalu mengangguk-angguk.
“Anak setan! Syukur kau punya kesadaran!” ujar Sinto Gendeng. “Apa kau sudah siap untuk melakukannya?”
“Kalau memang tugas setiap saat aku siap melakukannya Eyang,” jawab murid Sinto Gendeng walau dalam hati sang pendekar ini berkata “Mati aku sekali ini!”
Kakek Segala Tahu ketuk-ketukkan tongkat bututnya ke tanah lalu berkata. “Ini bukan tugas mudah! Nyawamu tantangannya. Apalagi kalau orang lain kedahuluan mendapatkan Kitab Wasiat Iblis itu. Atau ada kebocoran mengenai rahasia Kitab Putih Wasiat Dewa hingga kebobolan….”
Wiro garuk-garuk kepalanya. “Kakek Segala Tahu, Eyang Guru…. Kurasa setelah mendapat petunjuk dan menerima tugas dari kalian lebih baik aku minta diri dari sini sekarang juga.”
“Bagus, makin cepat kau pergi makin baik!” kata Kakek Segala Tahu. “Ada satu nasihat lagi dariku. Kalau kau mengalami kesulitan ada baiknya kau menghubungi tokoh-tokoh silat yang punya hubungan baik denganmu. Seperti Bujang Gila Tapak Sakti, Dewa Sedih dan Dewa Ketawa. Tua Gila….” (Mengenai Bujang Gila Tapak Sakti, Dewa Sedih dan Dewa Ketawa harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Bujang Gila Tapak Sakti” dan “Pelangi di Majapahit”)
“Pasti akan aku lakukan Kek,” kata Wiro pula.
Pendekar 212 lalu menyalami dan mencium tangan gurunya serta tangan Kakek Segala Tahu. Setelah membungkuk berulang kali diapun membalikkan tubuh.
“Anak setan! Apa kau akan pergi seperti itu?!”
Teguran Sinto Gendeng membuat Wiro hentikan langkah, berpaling dan memandang pada si nenek dengan air muka tidak mengerti.
“Eyang…. Ada sesuatu yang aku lupakan?” tanya Wiro.
“Pegang kepalamu! Rambutmu masih dikuncir dan diikat pita warna-warni. Kalau mau gila cukup sebentar saja. Jangan terus-terusan!”
“Ah!” Wiro pegang kepalanya. Dia lupa. Sampai saat itu rambut gondrongnya masih dalam keadaan terkuncir dan diikat pita aneka warna. Cepat-cepat dia tanggalkan semua ikatan pita. “Sudah Eyang…. Sekarang saya bisa pergi….”
“Anak tolol! Mukamu masih babak belur bercelemong pupur merah putih. Sebelum turun dari gunung ini cari mata air atau telaga. Cuci mukamu sampai bersih. Kalau tidak anak-anak sekampung akan mengiringimu sambil berteriak orang gila… orang gila!”
“Terima kasih Eyang… terima kasih… Aku akan mencari air untuk membasuh muka jelek ini.” Lalu cepat-cepat Wiro tinggalkan tempat itu. Setelah jauh dia memperlambat larinya. Sambil garuk kepala dia berkata. “Untung aku tidak disuruh mencuci muka dengan air kencingnya!”
***
TIGA BELAS
PANGERAN Matahari dekati sumur batu itu. Bau busuk tercium keluar dari dalam sumur.
“Pasti juga ada mayat dalam sumur ini,” kata Pangeran Matahari dalam hati.
“Justru di sini tersembunyi Kitab Wasiat Iblis itu….” Dia memandang berkeliling lalu sambil pegangi tepi sumur batu dia ulurkan sebagian tubuhnya, memandang ke dalam sumur. “Gelap dan busuk. Ada selapis kabut menutupi pemandangan. Aku tak bisa melihat apa-apa….” Baru saja dia berkata begitu tiba-tiba dari dalam sumur terdengar suara menderu keras laksana ada air bah. Lalu satu gelombang angin dahsyat mencuat ke atas.
“Gila! Apa sumur tua ini ada hantu silumannya?!” teriak Pangeran Matahari berfikir sejenak. Dengan hati-hati kembali dia mendekati pinggiran sumur dan seperti tadi dia ulurkan sebgian tubuhnya. Dia tak menunggu lama. Dari dasar sumur terdengar deru dahsyat disusul dengan mengebubunya angin sangat kencang. Untuk kedua kalinya
Pangeran Matahari hindarkan diri dengan melompat ke belakang. Sesaat dia tegak tak bergerak. Pandangannya kemudian membentur sosok Elang Setan dan Tiga Bayangan Setan yang tegak dalam keadaan kaku. Satu seringai tersungging di mulutnya. Elang Setan dan Tiga Bayangan Setan segera maklum apa yang ada dalam benak orang itu. Keduanya serentak berteriak. “Jangan! Jangan jadikan kami percobaan maut!”
Pangeran Matahari melangkah ke arah Tiga Bayangan Setan. Menyangka dirinya yang hendak dijadikan percobaan orang ini meratap keras. “Demi setan jangan! Jangan!” tapi dia segera hentikan teriakannya ketika Pangeran Matahari melewatinya. Lalu di belakangnya terdengar suara pohon berderak patah. Tak lama kemudian Pangeran Matahari kelihatan menyeret sebatang pohon yang barusan dipatahkannya. Batang pohon itu dimelintangkannya di atas mulut sumur batu. Sesaat kemudian dari dasar sumur menderu suara keras disusul hembusan angin dahsyat. Batang kayu yang terletak di atas sumur mencelat mental, hancur berkeping-keping.
“Ganas sekali!” desis Pangeran Matahari. Pelipisnya bergerak-gerak. “Kalau saja guruku Si Muka Bangkai tidak mengatakan Kitab Wasiat Iblis itu ada di dalam sumur ini sudah sejak tadi-tadi aku meninggalkan tempat celaka ini. Hemmm…. Aku harus mencari akal…. Angin dahsyat mematikan itu tidak serta merta melesat keluar bila ada benda di atas sumur. Paling tidak ada jarak waktu. Ada uliran seperti tangga menurun menuju ke dasar sumur. Tapi terlalu lama kalau harus mengikuti tangga terjal itu. Melayang akan lebih cepat. Hmm….” Pangeran Mathari berfikir lagi. Dia ingat ada segulung tali yang ditinggalkannya di kantong perbekalan yang tergantung di kudanya. Akhirnya dia tetap pada keputusan untuk masuk ke dalam sumur dengan jalan melompat. Dia patahkan batang pohon untuk kedua kalinya dengan hantaman tangan kanan. Sekali ini dia sengaja memilih batang pohon lebih besar. Seperti tadi dengan hati-hati batang pohon itu diletakkan di atas sumur lalu mundur sejuh beberapa langkah.
Sesaat kemudian di dasar sumur terdengar sura macam air bah itu. Lalu angin dahsyat melesat ke atas, menghantam batang pohon besar hingga hancur berkeping-keping.
Pada saat batang pohon mental, Pangeran Matahari kibaskan mantelnya lalu melompat masuk ke dalam sumur. Kedua tangannya dikembangkan. Telapak tangan dibuka dan diarahkan ke bawah. Dari dua telapak tangan ini memancar sinar merah kuning yang memiliki kekuatan mampu menahan daya jatuh tubuhnya. Sebenarnya yang keluar dari kedua tangannya itu adalah pukulan sakti “telapak Merapi”. Selain itu mantelnya yang terkembang ikut membantu menahan kecepatan jatuh atau daya layang tubuhnya. Pangeran Matahari sudah melayang turun sedalam dua pertiga kedalaman sumut gelap ketika dia mendadak menjadi tegang karena di bawah sana tiba-tiba terdengar deru suara air bah.
Secepat kilat Pangeran Matahari melesatkan tubuhnya ke dinding sebelah kiri lalu menjejakkan kedua kakinya di ulir batu. Kedua tangannya dihantamkan ke dinding sumur.
“Craasss! Craaasss!”
Dinding batu berlubang jebol. Sepasang tangan Pangeran Matahari amblas masuk ke dalam lobang itu sampai sebatas siku. Ketika angin dahsyat mencut ke atas dia lekatkan tubuhnya rapat-rapat ke dinding sumur. Di dalam lobang dua tangannya mencengkeram kuat-kuat. Tenaga dalam dikerahkan penuh.
“Wusss! Wutt! Wuttt!”
“Breeettt!”
Angin dahsyat menghantam tubuhnya tapi dia bisa luput. Walau demikian tengkukya terasa dingin ketika mantel di punggungnya robek besar lalu terlepas mental dan melayang ke atas sumur. Dengan tubuh basah oleh keringat dingin Pangeran Matahari menunggu. Sumur tua itu dicekam kesunyian dan kegelapan.
“Saatnya aku harus turun. Mudah-mudahan angin celaka itu tidak akan menyerang lagi….” membatin Pangeran Matahari. “Bau busuk semakin santar. Berarti aku tak seberapa jauh lagi dari dasar sumur….” Memikir begitu disamping mantelnya tak ada lagi maka Pangeran Matahari melanjutkan turun ke dasar sumur dengan berjalan diulir sepanjang dinding sumur yang merupakan tangga. Dalam hati dia menghitung setiap langkah yang dibuatnya. Pada hitungan ke tujuh puluh dua kaki kirinya mencapai dasar sumur tapi tidak menginjak dasar batu melainkan menginjk sebuah benda bulat panjang hingga dia hmpir terpeleset.
“Bau busuk celaka! Gelap jahanam!” maki Pangeran Matahari.
Dia mengeruk saku pakaiannya mengeluarkan dua buah batu hitam sebesar kepalan. “Untung guru membekali dua batu api ini!” Dua buah batu hitam digosokkannya kuat-kuat. Bunga api memercik. Pada gosokan keempat salah satu dari dua batu api itu mengobarkn api. Tempat itu serta merta menjadi terang. Memandang berkeliling Pangeran Matahari jadi bergidik. Di dasar sumur batu yang tidak berair itu tergeletak sesosok mayat yang sudah membusuk dan digerogoti belatung di bagian mata, telinga dan hidung.
Sebagian kepalanya remuk, tertutup darah yang sudah mengering. Rambutnya yang putih awut-awutan penuh dengan noda darah yang sudah mengering. Sulit mengenali wajah mayat ini Pangeran Matahari punya dugaan keras ini adalah mayat Jarot Ampel alias Iblis Tanpa Bayangan.
“Kitab Wasiat Iblis itu…” desis Pangeran Matahari. “Menurut Si Muka Bangkai ada dalam sumur ini. Aku tidak melihatnya….” Pangeran Matahari memandang berkeliling lalu pandangannya kembali pada mayat Iblis Tanpa Bayangan. Dengan ujung kakinya mayat itu dibalikkannya hingga terbujur miring. Kitab yang dicari tetap tidak ditemukan. Dia memeriksa seluruh dinding sumur batu. Dia sengaja menyalakan lagi batu api kedua hingga tempat itu bertambah terang.
“Setan, di mana kitab iblis itu bisa kutemukam! Apakah guruku sengaja menipuku?!” Pangeran Matahari melangkah seputar dasar sumur batu. Ketika dia sampai di hadapan sosok mayat Iblis Tanpa Bayangan yang kini berada dalam keadaan miring, sepasang matanya membesar. Karena miring, baju di bagian dadanya tersingkap. Sebuah benda berwarna hitam tersembul dari balik baju mayat.
Pangeran Matahari tekap hidungnya lalu membungkuk memperlihatkan lebih seksama. Tangannya diulurkan untuk mengambil benda itu. Begitu jari-jarinya menyentuh benda hitam dia merasa ada hawa aneh mengalir, membuat pandangannya lebih terang dan tiba-tiba saja jalan pernafasannya sanggup meredam bau busuknya mayat!
“Pasti ini Kitab Wasiat Iblis itu! Buku sakti yang aku cari!” kata Pangeran Matahari dalam hati seraya cepat-cepat menariknya dari balik baju mayat.
“Wasiat Iblis”! Pangeran Matahari membaca tulisan yang tertera di sampul hitam kitab dengan suara bergetar. Kitab diperiksanya dengan cepat. Isinya hanya tiga lembar halaman. Tulisan di halamannya tidak mudah untuk dibaca. Apalagi di tempat yang hanya diterangi nyala api dua batu api kecil. Cepat-cepat Pangeran Matahari masukkan kitab itu ke balik bajunya. Dia memandang berkeliling.
“Kitab sakti sudah didapat. Aku harus segera tinggalkan tempat ini. Khawatir suara air bah dan angin jahanam itu tiba-tiba muncul!”
Cepat-cepat Pangeran Matahari memanjat ulir sepanjang dinding sumur batu yang merupakan tangga terjal menuju ke atas.
“Aneh, kenapa langkahku menjadi enteng dan tubuhku terasa ringan sekali!” pikir Pangeran Matahari. “Jangan-jangan buku sakti ini penyebabnya!”
Sebentar saja dia berhasil mencapai ujung atas sumur. Sekali lompat dia sudah berada di luar sumur. Begitu kedua kakinya menjejak tanah dia memandang berkeliling dan jadi terkejut. Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan tak ada lagi di tempat mereka tadi tertegak kaku akibat totokan. Sang Pangeran segera mencium bahaya.
“Pasti ada orang ketiga. Dua setan itu tak mungkin membebaskan diri sendiri dari totokanku!” Pangeran Matahari melangkah seputar sumur batu, memandang ke setiap sudut di sekitarnya.
“Kau mencari kami Pangeran Matahari?!” satu suara menegur dari belakang.
Pangeran Matahari cepat balikkan tubuh. Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan berdiri sekitar sepuluh langkah di hadapannya. Keduanya sunggingkn senyum lebar lalu tertawa mengekeh, tidak keras tapi cukup membut Pangeran Matahari merasa tidak enak. Apa lagi saat itu di antara kedua orang itu tegak berdiri seorang nenek berpakaian kuning. Meskipun tua namun wajahnya dihias secara berlebihan dan sikapnya nampak genit. Pada ikat pinggang besar warna hijau yang dikenakannya tersisip sebuah senjata berbentuk tombak yang ujungnya bercagak dua.
“Iblis Tua Ratu Pesolek!” kata Pangeran Matahari dalam hati begitu dia mengenali siapa adanya si nenek berjubah kuning.
Tiga Bayangan Setan usap-usap kedua tangannya lalu berkata. “Kau sudah masuk ke dalam sumur batu dan keluar lagi. Berarti kau sudah menemukan Kitab Wasiat Iblis itu!”
Pangeran Matahari diam saja.
“Kalau kau mau menyerahkan pada kami, kami menganggap selesai segala hutang piutang di antara kita! Kau boleh pergi dengan aman dan nyawa masih di badan!”
Mendengar itu Pangeran Matahari sunggingkan senyum lalu tertawa. Mula-mula perlahan saja kemudian makin keras dan makin keras.
“Anjing-anjing pengawalku rupanya punya nyali besar! Apa kalian lupa kalau tubuh kalian mengalir racun jahat yang hanya memberi kehidupan seratus hari pada kalian?!”
Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan balas tertawa gelak-gelak sementara Iblis Tua Ratu Pesolek tenang-tenang saja. Dari balik pakaiannya dia keluarkan sebuah kaca kecil. Sambil memandang ke dalam kaca dia merapikan susunan rambutnya yang disanggul, mengusap pipinya dan menggerak-gerakkan bibirnya yang diberi cat pewarna sangat merah.
“Soal racun dan kematian kami berdua tidak begitu memikirkan. Sahabat kami yang cantik ini berjanji akan memberikan obat penawar!”
“Hemmm begitu…? Lalu apa yang kalian berikan padanya sebagai imbalan? Tubuh kalian…?!”
“Setan alas!” maki Elang Setan.
“Jahanam!” rutuk Tiga Bayangan Setan.
Sebaliknya si nenek tua tidak menunjukkan tanda-tanda marah. Malah dia keluarkan suara tertawa genit. Setelah menyimpan kaca kecilnya dia kedip-kedipkan sepasang matanya lalu bergerak mendekati Pangeran Matahari dan berhenti lima langkah di depan pemuda itu.
“Kau masih muda. Tapi pengalamanmu mengenai hubungan perempuan dengan lelaki agaknya jauh lebih luas dari aku yang sudah tua. Ya… ya… ya… Aku memang sudah tua. Tapi keadaan badanku tidak kalah dengan apa yang dimiliki seorang gadis. Kau bisa saksikan sendiri!”
Habis berkata begitu si nenek singkapkan ke atas baju kuningnya. Sepasang mata Pangeran Matahari melihat dua buah payudara putih besar dan kencang terpentang di hadapannya.
“Gila! Bagaimana ada nenek-nenek memiliki aurat seperti ini!” ujar Pangeran Matahari dalam hati. Selagi dia terperangah melihat pemandangan luar biasa ini tiba-tiba dari balik baju kuning si nenek melesat keluar selusin senjata rahasia berupa paku hitam.
“Tua bangka kurang ajar! Kau sengaja mencari mati!” hardik Pangeran Matahari.
Tangan kanannya diangkat, siap untuk lepaskan pukulan sakti “telapak matahari” namun sebelum pukulan sempat dilepas tiba-tiba dari dada Pangeran Matahari melesat keluar satu gelombng angin keras yang memancarkan sinar hitam pekat.
Selusin paku bermentalan dan leleh. Di depan sana Iblis Tua Ratu Pesolek keluarkan jeritan keras. Tubuhnya mencelat sampai sepuluh tombak. Begitu tergelimpang di tanah tubuh itu hanya tinggal tulang belulang hangus menghitam!
Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan langsung merinding pucat melihat apa yang terjadi. Pangeran Matahari sendiri ikut ngeri juga merasa heran.
“Aneh, apa yang terjadi dengan diriku! Aku belum sempat melepas pukulan sakti. Dari dadaku tiba-tiba ada sinar hitam yang sanggup melelehkan senjata rahasia bahkan membuat si nenek mati mengerikan begitu rupa…. Astaga! Jangan-jangan Kitab Wasiat Iblis yang ada di balik bajuku!”
Selagi dia terkesiap begitu rupa tiba-tiba Elang Setan dan Tiga Bayangan Setan mendatangi dan jatuhkan diri di depan Pangeran Matahari.
“Pangeran kami telah membuat kesalahan besar. Perempuan tua itu telah menipu kami!” kata Tiga Bayangan Setan.
“Benar,” menyambung Elang Setan. “Kami berdua mohon ampun dan maafmu.
Kami bersedia melakukan apa saja yang kau katakan!”
Pangeran Matahari tertawa lebar. “Manusia-manusia culas! Nyawa kalian kuampuni sampai seratus hari dimuka. Sementara itu kalian berdua tetap menjadi anjing-anjing pengawalku! Menggonggonglah!”
“Pangeran…” ujar Tiga Bayangan Setan.
“Kami…” Elang Setan ikut bicara tapi segera disentak.
“Aku bilang menggonggonglah! Menggonggonglah seperti anjing! Atau kalian akan menyusul jadi tulang belulang hangus hitam seperti si Iblis Tua Ratu Pesolek?”
Tak ada jalan lain. Kedua orang itu mulai menggonggong menirukan suara anjing.
Pangeran Matahari tertawa gelak-gelak. “Kurang keras! Menggonggong lebih keras!” bentaknya.
Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan terpaksa patuh dan menggonggong lebih keras.
“Bagus! Menggonggonglah terus sampai lidah kalian copot!” kata Pangeran Matahari. Lalu sambil tertawa mengekeh dia tinggalkan tempat itu. Disatu tempat dia teringat pada Wiro Sableng. Langsung saja dia berteriak. “Pendekar 212! Di mana kau? Sekarang jangan harap bisa lolos dari tanganku! Wasiat Iblis merupakan wasiat kematian bagimu! Ha… ha… ha!”
***
T A M A T
Tulis komentar baru