(Konsep Estetik Abdul Hadi WM tentang Angkatan 70-an)*
Maman S Mahayana*
Dalam perjalanan sejarah kesusastraan Indonesia, kita mengenal adanya sejumlah penyebutan tentang penggolongan, periodesasi atau angkatan. Penyebutan itu tentu saja tidak serta-merta muncul begitu saja. Selalu ada usaha untuk merumuskan semangat yang melatarbelakanginya atau gerakan estetik yang mendasari karya-karya yang muncul sejalan dengan semangat zamannya. Dari sejumlah penamaan tentang angkatan atau periodesasi itu,[1] menurut hemat saya, hanya ada tiga angkatan yang melandasi penamaannya atas dasar semangat atau gerakan estetik, yaitu Pujangga Baru,[2] Angkatan 45,[3] dan sastrawan yang muncul pasca-Angkatan 66, [4] yaitu Angkatan 70-an.[5]
Sastrawan yang muncul pasca-Angkatan 66, seperti menghadapi kegelisahan yang sama tentang situasi kesusastraan—dan kebudayaan—pasca Tragedi 1965, yaitu adanya semangat kebebasan berekspresi. Semangat kebebasan berekspresi itu dimungkinkan oleh beberapa faktor berikut: (1) pudarnya pengaruh politik dalam kesenian, dan lebih khusus lagi, kesusastraan. Penolakan para seniman terhadap campur tangan politik dalam wilayah kesenian, telah menghilangkan tekanan-tekanan psikologis yang justru sangat penting bagi proses penciptaan karya seni, (2) penerbitan kembali sejumlah majalah dan suratkabar yang independen dan menyediakan rubrik sastra, memungkinkan sastrawan punya banyak pilihan untuk mengirimkan karya-karyanya ke berbagai media massa itu tanpa pretensi adanya faktor di luar sastra, (3) terbitnya majalah Horison, majalah Sastra –yang kemudian menghentikan penerbitannya akibat kasus cerpen “Langit Makin Mendung”— dan Budaya Jaya yang memberi tempat bagi karya-karya eksperimental, ikut menciptakan suasana bagi lahirnya karya-karya yang lebih berbobot, sekaligus memungkinkan lahirnya sastrawan-sastrawan baru, (4) berdirinya Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang didukung sepenuhnya oleh Pemerintah DKI Jakarta, telah ikut mendorong lahirnya semangat berkreasi dan keberanian untuk melakukan eksperimentasi, (5) terjadinya pergeseran orientasi sastrawan dalam memandang tradisi budaya tempatan memberi kemungkinan yang lebih luas bagi para sastrawan dalam melakukan eksplorasi estetiknya.
Sejak tahun 1968, dan terutama paroh pertama tahun 1970-an, bermunculanlah karya sastra yang memperlihatkan semangat kebebasan berkreasi.[6] Pada masa itu, berbagai karya eksperimental seperti memperoleh lahan yang subur dan momentum yang baik. Karya-karya eksperimental itu mencakupi semua ragam sastra (puisi, novel dan cerpen, dan drama). Maka, di antara karya-karya yang konvensional yang terbit tahun 1970-an, tidak sedikit pula yang memperlihatkan semangat kebebasan itu yang diejawantahkan dalam bentuk karya-karya eksperimental. Sementara itu, nama-nama yang oleh H.B. Jassin dimasukkan ke dalam Angkatan 66, dalam tahun 1970-an itu, justru makin memperlihatkan kematangannya. Jika disederhanakan, sastrawan tahun 1970-an, berdasarkan karya-karya yang dihasilkannya, dapat dibagi ke dalam tiga kelompok.
Pertama, mereka yang termasuk Angkatan 66 atau yang telah berkarya pada dasawarsa tahun 1960-an, bahkan sudah sejak dasawarsa tahun 1950-an, tetapi mulai makin matang pada tahun 1970-an. Jadi, kelompok ini dapat disebut sebagai sastrawan senior mengingat kiprah mereka yang memang sudah dimulai tahun-tahun sebelumnya. Yang termasuk kelompok sastrawan dari golongan ini antara lain, Gerson Poyk, Goenawan Mohamad, Hartojo Andangdjaja, Husni Djamaludin, M. Fudoli Zaini, M. Poppy Hutagalung, Mahbub Djunaidi, Mohammad Diponegoro, Nasyah Djamin, N.H. Dini, Rachmat Djoko Pradopo, Rendra, Saini KM, Sapardi Djoko Damono, Satyagraha Hoerip, Slamet Sukirnanto, Sori Siregar, Subagio Sastrowardojo, Taufiq Ismail, Titis Basino, Umar Kayam, Wildam Yatim, dan Wing Kardjo.
Kedua, mereka yang karya-karyanya baru muncul tahun 1970-an. Yang termasuk sastrawan golongan ini, antara lain, Abrar Yusra, Arswendo Atmowiloto, Aspar Paturusi, Budiman S. Hartoyo, D. Zawawi Imron, Darmanto Jatman, Diah Hadaning, Ediruslan PE Amanriza, Emha Ainun Nadjib, Frans Nadjira, Hamid Jabbar, Iman Budhi Santosa, Korrie Layun Rampan, Linus Suryadi AG, Marianne Katoppo, Putu Arya Tirtawirya, Ragil Suwarna Pragolapati, Rayani Sriwidodo, Sanento Yuliman, Seno Gumira Ajidarma, Sides Sudyarto DS, Th. Sri Rahayu Prihatmi, Toeti Herati Noerhadi, dan Wisran Hadi.
Ketiga, mereka yang menghasilkan karya dengan kecenderungan melakukan eksperimentasi. Di antaranya, ada yang sudah berkarya sejak tahun 1960-an, ada pula yang kemunculannya pada tahun 1970-an itu. Yang termasuk ke dalam golongan ini, antara lain, Iwan Simatupang, Arifin C. Noer, Danarto, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, Kuntowijoyo, Putu Wijaya, Ikranagara, Ibrahim Sattah, Leon Agusta, Akhudiat, Adri Darmadji Woko, Darmanto Jatman, dan Yudhistira ANM Massardi.
Dilihat dari kecenderungan karya-karya mereka, ada semangat yang sama yang menjadi landasan dan wawasan estetiknya, yaitu semacam kerinduan untuk menggali nilai-nilai tradisi masa lalu budaya leluhur. Menurut Abdul Hadi WM, corak pendekatan dan sikap terhadap tradisi itu dapat dibagi ke dalam tiga kelompok kecenderungan:
- Mereka yang mengambil unsur-unsur budaya tradisional untuk keperluan inovasi dalam pengucapan. Mereka melihat bahwa dalam tradisi terdapat unsur-unsur dan aspek-aspek yang relevan bagi pandangan hidup manusia mutakhir, khususnya irrasionalisme yang ternyata mendapat perhatian kaum eksistensialis dan penganut aliran sastra absurd;
- Mereka yang mengklaim menumpukan perhatian hanya terhadap satu budaya daerah saja seperti Jawa, Minangkabau, Melayu Riau, Sunda dan lain-lain. Para penulis kecenderungan ini berkarya dengan maksud memberi corak khas kedaerahan terhadap perkembangan kesusastraan Indonesia;
- Mereka yang mengambil tradisi langsung dari bentuk-bentuk spiritualitas dan agama tertentu dengan kesadaran bahwa tradisi dan budaya masyarakat Indonesia terbentuk berkat masuknya beberapa agama besar, seperti Hindu, Buddha, dan Islam.[7]
Berdasarkan ketiga kecenderungan itu, Abdul Hadi menyebutkan karya-karya dari sejumlah sastrawan sebagaimana yang terlihat dalam kutipan berikut ini:
Kecenderungan pertama, yang menyikapi tradisi dengan begitu kreatif untuk keperluan inovasi, dapat dilihat pada karya-karya Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Arifin C Noer, dan Sutardji Calzoum Bachri. Dalam seni tari dan teater tampak dalam karya Sardono W. Kusumo, Arifin C. Noer, W.S. Rendra, Putu Wijaya, dan Ikranagara. Mereka tidak berpretensi kedaerahan walaupun sadar mengambil unsur tradisi daerah.
Kecenderungan kedua dalam sastra dapat dilihat dalam karya-karya Nh. Dini, Umar Kayam, Ahmad Tohari,[8] Darmanto Jt., Linus Suryadi A.G., Wisran Hadi, Ibrahim Sattah, Subagio Sastrowardojo, dan lain-lain. … Kebanyakan dari mereka melihat tradisi sebagai produk sejarah yang bentuk-bentuknya sukar diubah dan merupakan ciri khas budaya masyarakat tertentu yang mungkin tak dimiliki suku bangsa lain.
Kecenderungan ketiga, yang menghubungkan diri dengan sumber-sumber agama dan bentuk-bentuk spiritualitas agama tampak dalam karya-karya Danarto, Abdul Hadi WM, Kuntowijoyo, M. Fudoli Zaini, Taufiq Ismail, Emha Ainun Nadjib, D. Zawawi Imron, juga Sutardji Calzoum Bachri (dalam tahap akhir perkembangan kepenyairannya).[9]
Bagi Abdul Hadi WM,[10] munculnya “kesadaran baru” dan “wawasan estetik baru” itu menunjukkan adanya perbedaan yang tajam dengan semangat dan wawasan estetik seperti yang terdapat pada karya-karya periode sebelumnya. Kecenderungan yang lain tampak dari kesadaran sastrawan tahun 1970-an itu yang mulai menolak realisme formal, dan mulai menerima improvisasi dan anti-rasionalisme. Danarto, bahkan menambahkan, selain anti-intelektualisme dan anti-rasionalisme, ada kecenderungan lain yang mencolok, yaitu adanya penjelajahan terhadap mistisisme dan tasawuf. Ciri lainnya, seperti dikatakan Dami N. Toda adalah anti-slogan. Pada karya-karya sastrawan tahun 1970-an itu, tak ada lagi semboyan seni untuk rakyat atau seni untuk seni, tak ada lagi slogan cinta tanah air, humanisme universal atau pertentangan Timur—Barat. Jadi, ada kesadaran dan semangat yang sama yang tampak dari karya-karya sastrawan tahun 1970-an itu berkenaan dengan wawasan estetik, pandangan, sikap hidup pengarang, semangat dan orientasi kebudayaannya. Atas dasar itulah, Abdul Hadi WM menamakan sastrawan periode itu sebagai Angkatan 70 dalam sastra Indonesia.[11]
Alasan utama yang menjadi pemikiran Abdul Hadi menyebut sastrawan periode itu sebagai Angkatan 70 didasari oleh adanya semacam gerakan sastra yang membawa ciri baru dan perbedaan yang mencolok dengan ciri gerakan sastra sebelumnya. “Jadi, pangkal-tolaknya adalah karya-karya yang merintis pembaharuan, yang kemudian melahirkan kemungkinan-kemungkinan baru sebagai hasil dari proses interaksi dengan kehidupan sosial, moral, intelektual, dan spiritual lingkungan dan zamannya.”
Ciri-ciri yang mencolok dari eksperimentasi yang diperlihatkan karya-karya yang muncul dasawarsa 1970-an itu, dapatlah disebutkan beberapa di antaranya. Untuk novel yang dapat diwakili oleh karya Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Kuntowijoyo, dan Budi Darma,[12] memperlihatkan adanya kesamaan tema yang mengangkat masalah keterasingan manusia modern dan kehidupan yang absurd. Identitas tokoh menjadi tidak penting yang ditandai dengan penamaan Tokoh Kita (dalam novel-novel Iwan Simatupang) atau cukup disebutkan lelaki setengah baya, penjaga kuburan, buruh pabrik, walikota, pensiunan dan beberapa nama jabatan atau status sosial yang bisa berlaku untuk siapa saja. Latar tempat dan latar waktu juga tidak mengacu pada tempat dan waktu tertentu, sehingga dapat berlaku di mana dan kapan saja. Alur yang dalam novel konvensional selalu harus didasari pada rangkaian peristiwa yang mempunyai pertalian hubungan sebab-akibat (kausalitas), dalam novel-novel tahun 1970-an itu tidak lagi berlaku. Segala peristiwa bisa tumpang-tindih tak ada hubungan sebab-akibatnya (kausalitas). Peristiwa yang dihasilkan lakuan dan pikiran disajikan seketika secara serempak, seolah-olah peristiwa itu datang saling menyergap. Akibatnya, peristiwa itu seperti tidak jelas lagi juntrungannya. Model novel-novel yang seperti inilah yang kemudian disebut sebagai novel arus kesadaran (stream of conciousness), sebuah aliran dalam sastra (terutama prosa) yang menekankan cerita melalui pikiran, perasaan, dan alam bawah sadar tokoh-tokohnya.
Untuk cerpen, dapatlah kiranya diwakili oleh karya-karya Danarto, Putu Wijaya, Kuntowijoyo, Fudoli Zaini, dan Umar Kayam[13] Lebih khusus lagi pada cerpen-cerpen Danarto, tokoh-tokoh yang muncul bisa apa saja. Air, batu, hewan, tanaman, atau benda dan binatang apapun, bisa saja menjadi tokoh yang juga dapat berdialog dengan tokoh lain. Kumpulan cerpen Danarto, Godlob (1976) dan Adam Ma’Rifat (1982) memperlihatkan adanya penggalian mistisisme Jawa dan tasawuf, sedangkan kumpulan cerpen Kuntowijoyo dan Fudoli Zaini mengedepankan tema-tema sufistik. Yang sangat kuat mengungkapkan warna lokal budaya Jawa tampak pada cerpen-cerpen Umar Kayam, Sri Sumarah dan Bawuk, sementara karya-karya Putu Wijaya yang cenderung menampilkan serangkaian teror mengangkat tema-tema keterasingan manusia perkotaan. Begitulah, cerpen-cerpen Indonesia pada dasawarsa tahun 1970-an seperti sengaja melepaskan diri dari konvensi cerpen sebelumnya. Ada inovasi (pembaruan) dan pemberontakan terhadap wawasan estetik cerpen-cerpen periode sebelumnya. Itulah yang dimaksud dengan adanya kecenderungan baru, baik yang menyangkut tema cerita, tokoh yang ditampilkan, alur cerita, maupun cara penyajiannya.
Untuk bidang drama, dapat diwakili oleh karya-karya Arifin C. Noer (10 Maret 1941—28 Mei 1995), Putu Wijaya, Rendra, Danarto, dan Ikranagara.[14] Ciri khas yang menonjol dari karya mereka adalah terbukanya peluang bagi para pemain untuk melakukan improvisasi. Dalam hal ini, para pemain yang dalam konvensi drama sebelumnya harus tunduk dan setia pada teks naskah, kini para pemain itu dibolehkan melakukan improvisasi atau menyampaikan sesuatu di luar teks drama. Bahkan, ada pula naskah drama yang penulisannya bersamaan dengan proses latihan, sehingga begitu proses latihan selama beberapa minggu itu selesai, selesai pula penulisan naskahnya. Jadi, naskah diperlakukan hanya sebatas pegangan dasar, dan ketika pemain mempunyai kesempatan untuk mengembangkan ekspresinya, pemain boleh melakukan improvisasi. Dengan begitu, pemain juga dituntut kreatif memanfaatkan momen-momen tertentu untuk mengekspresikan potensi permainannya.
Selain itu, mengingat identitas tokoh sengaja dibuat tidak jelas, maka seorang pemain dimungkinkan dapat menjalankan peran lebih dari satu tokoh. Ciri khas lainnya menyangkut lepasnya keterikatan pada panggung. Dalam hal ini, naskah-naskah drama yang konvensional, lazimnya sangat terikat pada panggung. Artinya, naskah itu harus sangat mempertimbangkan tata letak panggung berikut properti lainnya. Jadi, jika dalam konvensi naskah-naskah drama sebelumnya, latar tempat dengan segala propertinya harus serba jelas dan konkret, maka dalam sebagian naskah drama yang muncul tahun 1970-an itu, panggung tidak lagi menjadi penting. Naskah drama itu ditulis dengan kesadaran bahwa pementasan itu dapat dilangsungkan di mana saja, di sembarang tempat. Jelas bahwa dramawan Indonesia pada dasawarsa tahun 1970-an itu, tidak hanya menyerap pengaruh drama kontemporer Barat, terutama drama-drama absurd, tetapi juga menyerap unsur drama tradisional yang banyak terdapat di Nusantara ini, seperti ketoprak (Jawa Timur), tanjidor dan lenong (Betawi). Demikian juga kostum pemain, tidak perlu sangat bergantung pada kostum tertentu. Bahkan, Rendra tampil pula dengan drama Bip-Bop, sebuah drama mini kata yang lebih mementingkan lakuan daripada dialog. Akibatnya, drama itu miskin sekali dialog, karena di sana yang dipentingkan adalah lakuan.[15]
Dalam bidang puisi, terjadi juga pemberontakan terhadap konvensi yang berlaku sebelumnya. Ikatan pada bait dan larik yang dalam puisi-puisi sebelumnya –terutama puisi zaman Pujangga Baru— sudah ditinggalkan Chairil Anwar, pada tahun 70-an itu tidak lagi dipersoalkan. Artinya, para penyair tidak merasa perlu memikirkan bait dan larik dalam puisinya itu. Puisi tahun 1970-an cenderung lebih mementingkan ekspresi untuk mendukung tema yang hendak disampaikan. Karena itu, ada puisi naratif yang panjang menyerupai bentuk prosa,[16] ada pula yang sengaja disusun pendek-pendek. Dalam hal ini, semakin tidak jelas batas tegas antara prosa dan puisi. Penyair boleh saja menuliskan puisinya seperti sebuah cerpen, jika si penyair hendak memanfaatkan narasi bagi kepentingan puisinya. Selain itu, gencar pula kecenderungan untuk menggali akar tradisi kultural tempat penyair itu lahir dan dibesarkan. Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, Abdul Hadi WM, Adji Darmadji Woko, Linus Suryadi, Darmanto Jatman, D. Zawawi Imaron, Goenawan Mohamad, Emha Ainun Nadjib, Hamid Jabbar, adalah beberapa nama yang menonjol mengangkat tradisi kulturalnya.
Seperti posisi Chairil Anwar bagi Angkatan 45 dalam sastra Indonesia, kedudukan Sutardji Calzoum Bachri bagi Angkatan 70, juga tidak terpisahkan. Ia menjadi ikon bagi gerakan sastra pada dekade itu. Pemberontakan yang dilakukan Sutardji Calzoum Bachri tidak hanya berhenti pada tataran bentuk –yang tak lagi mempersoalkan bait dan larik atau rima persajakan—tetapi juga makna. Abdul Hadi menyebutnya sebagai penyair avant-garde dengan kredo puisinya yang kontroversial dan menghebohkan.[17] Penyair kelahiran Riau ini berhasil memanfaatkan mantera dari tradisi leluhurnya (Melayu) untuk kepentingan persajakannya yang tampak liar dan memukau. Di samping itu, renungannya yang mendalam tentang maut, kefanaan manusia, pencarian dan kerinduan pada Tuhan, memancarkan sebuah kesadaran transendental baru, yang dikatakan Abdul Hadi sebagai kesadaran sufistik.[18]
Kredo atau pernyataan sikap penyair Sutardji Calzoum Bachri, boleh dikatakan merupakan bentuk kesadaran itu dalam usahanya menawarkan pembaharuan. Kredo Sutardji Calzoum Bachri yang bertarikh 30 Maret 1973 dan kemudian dimuat dalam majalah Horison (No. 12, Th. 9, Desember 1974) merupakan wujud pernyataan sikap atas pendirian kepenyairannya. Berikut ini dikutip beberapa bagian dari Kredo Puisi tersebut.
“Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. Dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari-nari di atas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mondar-mandir berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, ….
Sebagai penyair saya hanya menjaga –sepanjang tidak mengganggu kebebasannya– agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertiannya sendiri, bisa mendapatkan aksentuasi yang maksimal.
Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata yang berarti mengembalikan kata-kata pada awal-mulanya. Pada mulanya–adalah Kata. Dan Kata Pertama adalah Mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.”[19]
Jika Sutardji Calzoum Bachri memanfaatkan mantera dari kultur Melayu[20] dan belakangan masuk pengaruh pemikiran tasawuf dalam karya-karyanya yang kemudian, Linus Suryadi AG (3 Maret 1951—30 Juli 1999) dan Darmanto Jatman menggunakan kultur Jawa sebagai unsur penting dalam mengungkapkan ekspresi puitiknya. Goenawan Mohamad lebih khusus lagi mengangkat simbol-simbol dunia pewayangan, sedangkan Sapardi Djoko Damono –terutama pada awal-awal kepenyairannya— cenderung berorientasi pada filsafat Jawa. Dari kultur lain, muncul pula Abdul Hadi WM dan D. Zawawi Imron (Madura), meski Abdul Hadi banyak pula menyerap pengaruh karya-karya agung para sastrawan sufi.
Dinamika yang terjadi dalam sastra Indonesia tahun 1970-an sebenarnya jauh lebih semarak. Selain bermunculan karya-karya yang mengusung tema-tema yang berkaitan dengan tradisi budaya leluhur (Batak, Cirebon, Dayak, Jawa, Madura, Melayu, Minangkabau), tema-tema sufisme (tasawuf),[21] dan keterasingan manusia modern, juga muncul beberapa gerakan yang ikut menyemarakkan kehidupan kesusastraan Indonesia tahun 70-an itu. Ada tiga hal yang menandai terjadinya kesemarakan itu dan terus berlanjut pada periode berikutnya.
Pertama, terbitnya sejumlah majalah hiburan, seperti Vista, Selecta, Varia, Aktuil, Top, Flamboyan, Violeta, yang kemudian disusul majalah-majalah wanita –Kartini Grup, di satu sisi melahirklan penulis-penulis baru, dan terutama para penulis wanita, dan di sisi lain, ikut menyebarkan popularitas sastra hiburan. Meskipun yang disebut terakhir –sastra hiburan—yang kemudian lebih sering disebut sastra populer, sudah berkembang sejak zaman sebelum Balai Pustaka,[22] kemudian semarak kembali pada dasawarsa tahun 1950-an,[23] pada tahun 1970-an itu keberadaannya cukup banyak mengundang reaksi berbagai kalangan.[24] Beberapa novel Motinggo Boesje, Remy Sylado, menyusul Abdullah Harahap, Eddy D. Iskandar, Teguh Esha, Ashadi Siregar sampai ke novel yang ditulis para pengarang wanita, seperti Ike Soepomo, Marga T., Mira W. yang terbit tahun 1970-an itu adalah contoh novel populer.[25] Dalam hal ini, seyogianya kita menempatkan posisi novel populer itu secara proporsional, sebab ada novel populer yang baik, ada pula yang buruk. Beberapa karya dari pengarang yang disebutkan itu, boleh dikatakan termasuk kategori novel populer yang baik. Bukankah novel-novel sastra yang serius juga ada yang masuk kategori baik, ada juga yang jelek?
Kedua, munculnya gerakan para penulis muda yang hendak memberontak pada kemapanan para penyair senior dan gugatan terhadap majalah Horison yang tidak dapat menampung karya-karya mereka.[26] Penganjur utama gerakan ini adalah Remy Sylado (= 23761, nama pena Japie Tambayong) yang kebetulan menjadi pengasuh majalah Aktuil (1972—1978). Dalam majalah itulah, karya-karya mereka itu dimuat dan kemudian diberi label “Puisi Mbeling.” Salah satu ciri utama puisi mbeling adalah kuatnya semangat berkelakar, kata-kata dipermainkan begitu rupa, dan bentuk tipografi dimanfaatkan untuk mencapai efek kelakar itu. Di balik kelakar itu, ada sesuatu yang hendak ditawarkan mereka, yaitu kritik sosial dan kritik atas dominasi etnis tertentu dalam perekonomian nasional.[27]
Ketiga, jika majalah Aktuil dan majalah Top menggugat kemapanan majalah Horison dan para penyair senior melalui rubrik “Puisi Mbeling” atau “Puisi Lugu” yang isinya terkesan berkelakar, maka hal yang sama juga dilakukan dalam sebuah forum yang disebut “Pengadilan Puisi”. Forum yang pada mulanya terkesan bermain-main itu diselenggarakan di Universitas Parahyangan, Bandung, 8 September 1974. Bagaimana mungkin sebuah puisi diadili dengan menampilkan Sanento Yuliman sebagai Hakim Ketua, Darmanto Jatman sebagai Hakim Anggota, Slamet Kirnanto sebagai Jaksa, Taufiq Ismail sebagai Pembela dan sejumlah sastrawan Indonesia sebagai saksi-saksi? Saksi yang memberatkan antara lain, Sutardji Calzoum Bachri, Sides Sudyarto, Abdul Hadi WM, dan Pamusuk Eneste, sedangkan Saini KM, Wing Kardjo, Adri Darmadji, dan Yudistira A.N. bertindak sebagai saksi yang meringankan. Sesungguhnya, di balik kesan main-main itu, di dalamnya ada semangat pemberontakan terhadap perpuisian Indonesia. Ada tiga instansi yang menjadi sasaran gugatannya, yaitu (1) sistem penilaian terhadap puisi Indonesia mutakhir, (2) kritikus sastra: H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung, (3) penyair mapan: Subagio Sastrowardojo, Rendra, dan Goenawan Mohammad, dan (4) majalah sastra: Horison.
Slamet Kirnanto yang bertindak sebagai Jaksa mengajukan empat tuntutan:
- Para kritikus yang tidak mampu lagi mengikuti perkembangan kehidupan puisi mutakhir, khususnya H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung harus “dipensiunkan” dari peranan yang pernah mereka miliki.
- Para editor majalah sastra, khususnya Horison (Sapardi Djoko Damono) dicutibesarkan.
- Para penyair established (mapan): Subagio, Rendra, Goenawan dan sebagainya (dll) dilarang menulis puisi dan para epigonnya harus dikenakan hukum pembuangan. Dan bagi inkarnasinya dibuang ke pulau yang paling terpencil.
- Horison dan Budaja Djaja harus dicabut “SIT”-nya dan yang sudah terbit selama ini dinyatakan tidak berlaku. Dan dilarang dibaca oleh peminat sastra dan masyarakat umum. Sebab akan mengisruhkan perkembangan sastra puisi yang kita harapkan sehat dan wajar.[28]
Majelis Hakim yang diketuai Sanento Yuliman menolak semua tuntutan Slamet Kirnanto. Adapun keputusan Majelis Hakim tersebut adalah berikut ini:
- Para kritikus sastra tetap diizinkan untuk menulis dan mengembangkan kegiatan serta meneruskan eksistensinya, dengan catatan harus segera mengikuti kursus penaikan mutu dalam Sekolah Kritikus Sastra, yang akan segera didirikan.
- Para redaktur Horison tetap diizinkan terus memegang jabatan mereka, selama mereka tidak merasa malu. Bila dikehendaki sendiri, mereka boleh mengundurkan diri.
- Para penyair mapan, established, masih diberi peluang untuk berkembang terus. Begitu juga para penyair epigon dan inkarnatif, boleh menulis terus dengan keharusan segera masuk ke dalam Panti Asuhan atau Rumah Perawatan Epigon.
- Majalah sastra Horison tidak perlu dicabut Surat Izin Cetak dan Surat Izin Terbit-nya, hanya di belakang nama lama harus diembel-embeli kata “Baru”, sehingga menjadi Horison Baru. Masyarakat luas tetap mendapat izin membaca sastra dan membaca puisi.[29]
“Pengadilan Puisi” sebagai sebuah peristiwa budaya tidaklah berpengaruh besar bagi proses penciptaan. Meskipun demikian, peristiwa itu tetap dapat dianggap penting mengingat ia mewakili semangat zamannya. Bagaimana para penyair muda masa itu merasa perlu melakukan perlawanan terhadap dominasi dan pengaruh penyair sebelumnya. Bagaimana pula mereka mengusung semangat perubahan. Dengan merujuk pada usaha pembaharuan yang dilakukan Sutardji Calzoum Bachri, para penyair muda itu hendak menegaskan kembali keberadaan dan kontribusi mereka dalam perkembangan kesusastraan Indonesia.
Selang dua minggu setelah peristiwa itu, tepatnya 21 September 1974, di Jakarta diselenggarakan acara “Jawaban atas Pengadilan Puisi” dengan menampilkan para pembicara yang namanya disebut-sebut dalam Pengadilan Puisi, yaitu H.B. Jassin, M.S. Hutagalung, Goenawan Mohamad, dan Sapardi Djoko Damono. Jawaban yang lebih menyerupai semacam pembelaan ini, tidak memberi pengaruh penting bagi perkembangan sastra Indonesia.
Demikianlah, kesusastraan Indonesia pada dasawarsa 1970-an itu memperlihatkan sebuah perkembangan penting yang tidak sekadar heboh sebagai sebuah wacana konseptual, melainkan diikuti dengan sejumlah karya yang dilandasi oleh kesadaran dan semangat membangun gerakan estetik. Hal tersebut ditandai dengan lahirnya berbagai karya eksperimental, polemik dan perdebatan mengenai konsep-konsep kesastraan, serta derasnya semangat melakukan perubahan. Dalam hal itulah, pemikiran Abdul Hadi WM laksana merepresentasikan gerakan estetik Angkatan 70-an itu. Gerakan estetik itu seperti memperoleh legitimasi manakala Abdul Hadi WM selama lebih dari satu dasawarsa (1979—1990) mengasuh rubrik Dialog, sebuah lembaran kebudayaan dalam suratkabar Berita Buana. Dalam konteks itu, Abdul Hadi tidak hanya bertindak sekadar sebagai pengasuh, melainkan redaktur yang mempunyai kesadaran visioner yang coba menawarkan sebuah model estetik dalam kesusastraan dan kebudayaan Indonesia.
* Makalah Seminar Tapak Budaya Paramadina: “Paradigma Abdul Hadi WM dalam Kebudayaan Indonesia” diselenggarakan Universitas Paramadina Mulya di Jakarta, 9 Juni 2008.
* Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, dosen luar biasa Universitas Paramadina Mulya, Jakarta.
Komentar
Tulis komentar baru