Oleh
Rahmat Adianto
Lingkar Relawan dan Literasi (LIANSI)
Banyak cerita yang tertulis dari kegiatan Kemah Literasi Anoa yang diselenggarakan di Area Pelabuhan Bungkutoko Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara. Cerita-cerita yang menarik tentang berbagai aspek baik yang berkaitan dengan literasi, bahasa, sastra dan persoalan sosial.
Kemah Literasi berawal dari diskusi Kampus Literasi yang diselenggarakan oleh Laskar Sastra FKIP UHO di pelataran FKIP. Kampus literasi yang dihadiri oleh berbagai penggiat literasi dengan jamuan lapak baca dan stand-stand yang unik dari berbagai komunitas. Pada diskusi usai rangkaian acara kampung literasi melahirkan gagasan yang berupa kemah literasi yang dikemukakan oleh salah satu pemerhati dan penggiat literasi yang aktif di Sulawesi Tenggara, Kahar Muda Daeng Tulolo, pendiri komunitas Rumah Bunyi . Gagasan yang dikemukakan tentang pengadaan kemah literasi ini diserahkan kepada forum diskusi. Kemudian forum diskusi dengan semangat dan antusias mengangkat satu suara untuk sepakat mengadakan kemah literasi. Setelah kesepakatan diperoleh, dibicarakan segala regulasi hingga teknis lapangan.
Setelah semua rampung, Kemah Literasi berubah menjadi Kemah Literasi Bumi Anoa yang diselenggarakan pada 07-08 Desember 2019 dengan agenda pembuka, lapak baca di Kawasan Jembatan Kuning Teluk Kendari pada sore hari. Kemudian dilanjutkan dengan materi dari tiga orang narasumber, yakni Ahid Hidayat sebagai narasumber pertama dengan yang membahas tentang : Peta dan Perkembangan Komunitas Literasi, kemudian dilanjutkan oleh Syaifuddin Gani sebagai narasumber kedua dengan pembahasan “Berbagi Pengalaman dalam Bergiat Literasi,” dan Narasumber terakhir yang tidak kalah hebohnya dengan pembahasan “Menulis dan Bercerita” oleh Irianto Ibrahim.
Setelah kegiatan lapak baca, para penggiat literasi yang menjadi peserta dalam kegiatan Kemah Literasi Bumi Anoa membanjiri bumi perkemahan yang diramaikan dengan warna-warni tenda peserta. Penggiat literasi yang hadir dalam Kemah Literasi Bumi Anoa merupakan berbagai komunitas yang aktif baik di bidang literasi kampus maupun literasi masyarakat. Komunitas yang bergabung dalam Kemah Literasi dengan jumlah 23 komunitas, yakni Rumah Bunyi, Laskar Sastra, Lingkar Relawan dan Literasi (LIANSI, Komunitas Berpikir Sehat (KBS), Gubuk Gila, Sahabat Bumi Literasi, Perpustakaan Mini Wanderer, Mahasiswa Tanpa Fikiran (Mafia), Rimba Pustaka, Ransel Pustaka, Rumah Buku Firza, PADA IDI, HMPS Perpustakaan, Pustaka Kabanti, Lapak Baca Rongsokan, Rumah Baca Laica Abbacang, Lapak Baca Berdikari, HMA FT UMK, Suluh Gerak Kolektif, FPIK18 Bergerak, FONT SEGAR, Komunitas Sultra Heritage, dan Kelas Kepenulisan Katarsis.
Selain berbagai komunitas yang telah disebutkan, tidak sedikit pula peserta yang ikut atas nama personal (tanpa Komunitas). Registrasi peserta dilakukan dengan cara mengadakan pendataan dalam Grup WhatsApp Kemah Literasi, diisi langsung oleh para peserta yang tergabung dalam grup atau melalui perwakilan. Semalam sebelum hari H kegiatan, jumlah peserta yang terdaftar sebagai peserta dalam Kemah Literasi Anoa sebanyak 102 orang dengan rincian 28 peserta perempuan dan 74 orang perseta laki-laki.
Materi pertama dimulai pukul 19.30-21.00 oleh Ahid Hidayat. Ahid Hidayat menggambarkan Peta literasi diawali dengan alasan kedatangannya lebih awal untuk memantau proses pembukaan lapak baca di Teluk Kendari. Kemudian ia bercerita dengan berbagai pengalaman selama ia menggeluti dunia literasi. Seorang penyunting, Ahid Hidayat memberikan berbagai macam warna cerita yang berkaitan dengan pengalamannya untuk menjadi seorang penyunting, salah satunya pengorbanannya berupa finansial untuk mengikuti pelatihan penyuntingan yang diselenggarakan di luar Sulawesi. Ia mengatakan segala pengorbanan yang dilakukannya tidak sia-sia dan telah impas tergantikan oleh penghasilan yang didapatkan saat menyunting buku. Sebagai pemula Ahid Hidayat memasang tarif yang terbilang cukup rendah saat menyunting, lima ribu Rupiah perhalaman. Kemudian seiring waktu yang diselingi dengan kegigihannya untuk mempelajari berbagai teori penyuntingan, hingga akhirnya ia berani memasang tarif yang tinggi dengan nominal dua puluh ribu Rupiah perhalaman. Ahid Hidayat juga memberikan saran kepada para penggiat literasi ketika membuka lapak baca di suatu daerah agar disesuaikan dengan kebutuhan lingkungan masyarakat.
Selanjutnya narasumber dengan materi “Berbagai Pengalaman dalam Bergiat Litrasi” oleh Syaifuddin Gani (Om Pudink). Syaifuddin Gani memulai cerita dengan pengalamannya saat ia berada di jenjang sekolah menegah. Ia bercerita tentang proses pertama kali melakukan kegiatan literasi. Kisah asmara yang dialami oleh Syaifuddin Gani membuatnya mulai menulis surat untuk kekasihnya. Bukan hanya menulis surat untuk kekasihnya, tetapi tidak sedikit teman sebayanya meminta untuk menuliskan surat untuk kekasih-kekasih mereka. Kemudian masuk di perguruan tinggi, ia mulai menggeluti berbagai kegiatan literasi. Komunitas yang pertama ia ceritakan adalah Teater sendiri yang digagas oleh Ahmad Zain. Teater Sendiri memberikan banyak kesan dan perubahan dalam hidup dalam hidupnya. Melalui keharusan menulis Syaifuddin Gani dan teman-teman terkadang terpaksa menulis. Namun keharusan itulah yang membuat perubahan besar yang berdampak pada kemampuan menulis Syaifuddin Gani. Ia berhasil menghadiahkan Ahmad Zain dengan antologi puisinya yang pertama. Syaifuddin Gani sering mengulangi kata kesetiaan, karena kesetiaanlah yang memberinya kemampuan untuk menjadi penyair muda saat itu. Dengan kesetiaan suka dan duka yang tertuai dari kritik yang dilontarkan berbagai sastrawan senior tidak membuatnya berhenti berkarya.
Terakhir, Irianto Ibrahim (Anto La Malonda) dengan materi “Menulis dan Bercerita.” Irianto Ibrahim memberikan warna yang berbeda dari kedua narasumber yang sebelumnya. Ia fasih bercerita dengan metode yang santai dengan penuh komedi. Ia pandai dan lihai merangkai kata yang menghibur dan berguna. Berdasarkan teori prinsip-prinsip kritik sastra oleh Horatius dalam Pradopo bahwa esensi seni adalah dulce et utile, tidak terletak pada estetika semata, dulce et utile merupakan esensi yang diterima sebagai seni yang baik. Jika sebuah seni digambarkan mengutamakan aspek keindahan, maka ada kemungkinan seni yang diciptakan akan berbeda dengan bentuk aslinya kerena bisa saja bercampur dengan hasil kreativitas seorang pencipta. Irianto Ibrahim memberikan esensi seni sesungguhnya menurut Horatius bahwa seni menyenangkan dan berguna. Irianto Ibrahim juga berbicara tentang Sapardi dengan bait puisi ”/Aku ingin mencintaimu dengan sederhana /Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu/ Aku ingin mencintaimu dengan sederhana/ Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada/. sembari menunjuk api unggun yang berkobar ditengah bumi perkemahan itu. Ia mengatakan hal yang sederhana sebenarnya merupakan hal yang rumit. Sekalipun mungkin sederhana, tetapi itu adalah hal yang rumit. Bagaimana bisa kayu mengungkapkan kata karena api telah menjadikannya abu? Sama halnya dengan hujan yang tidak juga sempat disampaikan awan karena hujan telah melenyapkannya. Artinya dalam puisi yang dianggap sederhana itu ada proses kimiawi yang panjang jika diamati.
Subuh menjelang pagi ada lingkaran kecil yang mencoba berdiskusi bebas, penggalan sejarah Buton-Belanda, hal positif dan negatif dari seorang Rocky Gerung hingga berbagai pembahasan yang berkaitan dengan filsafat. Pada penghujung diskusi, pembahasan tentang lirik lagu “Kembali Pulang oleh Kangen Band”, “Sebelum Cahaya” oleh Letto, Al-‘Asr, dan sepenggal kata “Ada gelap sebelum subuh, kemudian terang”. Diskusi berlangsung dengan masyuk, semua orang yang tergabung dalam lingkaran diskusi terlena pada keindahan pembahasan, tanpa memikirkan teka-teki makna yang terkandung dalam pembahasan terakhir dan pada akhirnya tiba pada kesimpulan. Kesimpulan yang diperoleh dari pembahasan tentang lirik lagu “Kembali Pulang oleh Kangen Band”, “Sebelum Cahaya” oleh Letto, Al-‘Asr, Jarak antara Kehidupan dengan Kematian dalam satu tarikan napas, Jarak antara siang dengan malam dalam satu kedipan. sekejap menutup dan membuka mata, serta sepenggal kata “Ada gelap sebelum subuh, kemudian terang” diwakili oleh satu kata “Waktu”. Setelah disedari ternyata inti dari berbagai pembahasan itu tertuju pada waktu.
Pukul 7 pagi, kami semua meninggalkan lokasi perkemahan. Sejarah mencatat apa yang telah telah terjadi. Jika ini adalah permulaan, maka kita telah mengawalinya dengan sangat indah, pada apa-apa yang telah bermula, semoga ujung dan akhirnya memberikan sesuatu yang berarti untuk kehidupan. Salam Literasi dari Bumi Anoa.
Komentar
Tulis komentar baru