Skip to Content

IBU MASIH TIDUR?

Foto Rahmat adianto


Oleh : Rahmat Adianto

Sore itu, sebuah lahan yang cukup luas. Ibu berkemas mamasukkan segala sesuatu untuk dibawa pulang ke rumah. Ibu sudah lumayan tua, tapi semangatnya masih menyala dan berkobar tanpa pernah padam. Wajahnya mulai dikunjungi garis-garis keriput. Saban sore seusai mandi ia sering menjelajahkan sisir ke rambut yang kian waktu kian memutih. Sepanjang perjalanan yang ia lalui, dilihatnya dengan mata yang agak buram. Ia tak mau membeli kacamata, baginya selama masih dapat melihat ia akan terus berjalan dengan mata telanjang.

Ia semakin tua, sekian tahun hidupnya dilalui dengan bercocok tanam. Sejak kecil ia sudah diajarakan cara bercocok tanam oleh kakek dan nenek. Hidup serba kekurangan bukan alasan untuk berhenti berusaha. Alam tercipta dengan segala kayaannya, tidak lain untuk dimanfaatkan oleh makhluk yang menghuninya. Ada pepatah yang menguatkan dan memantapkan hatinya untuk selalu berjuang dan bertahan hidup. “mina bhae ka’ohia, ta katohuno lalo so mefe’ohi kainta” kata yang sederhana tetapi secara filosifis yang tergandung di dalamnya tidak sesederhana kalimat sebatas dilihat. “tidak ada kehidupan, hanya keteguan hati yang menjadikan kita hidup” kira-kira seperti itulah artinya. Entah bagaimana penjabaran makna pepatah ini. Yang jelas inilah yang membuat semangat tak pernah padam.

Mejelang Magrib, ibu tiba di rumah. Ia telah menempuh perjalanan panjangnya mencapai pulahan kilometer. Seperti biasanya, usai meletakkan keranjang yang dijijingnya, ia lalu mempersiapkan diri untuk membersihkan badan air secukupnya. Seusai mandi, ibu memasak untuk jamuan makan malam. Seban hari, selesai Magrib ayah selalu belum pulang dari hutan. Kepulangan ayah biasanya menjelang Isya atau seusainya.

Rianto anak bungsu yang masih berumur tujuh tahun baru pulang dari rumah tetangga. Seperti biasanya jika ibu dan ayah pergi beraktivitas anak itu selalu pergi ke rumah tetangga. Kebetulan di rumah tetangga ada anak sebaya yang girang pula bermain dengannya sepanjang hari. Seusai makan malam bersama Rianto dirayu tidur sebab ibu juga merasa lelah berkativitas sehari penuh. Ibu akan mendogengkan beberapa cerita rakyat misalnya seperti kisah tentang Malin Kundang, Abunawas, Monyet dan Kura-kurang, serta ditutup dengan kisa Wandiu-Diu. Di antara sekian jumlah cerita yang selalu diminta Rianto adalah Kisah Monyet dan Kura-kura dan kisah Wandiu-Diu sebagai kisah penutup.

“Minggu terakhir La Mbata-Bata, Wa Mbena Oleo, dan Wa Nturung datang ke dermaga itu, mereka pun bernyanyi:
O.. Wa ina
Wa ndiu-diu
Maipa susu andiku
Andiku La Mbata-bata
Akaku Wa Nturungkoleo”

Diakhir bait lagu yang dilantunkan ibu, Rianto tengah lalap dalam tidur mungilnya. Lalu ibu bergegas dan bersiap juga untuk istirahat dan berharap ketika terbangun kelahannya hilang bersama berlalunya malam.

Pagi yang cerah. Biru langit berkawan kumpalan awan-awan kecil. Burung berkejaran sembari bernyayi riang di udara. Hijau embun-embun belum ingin beranjak dari hijaunya dedaunan. Angin sepoi-sepoi menghampiri dan menyapa pagi itu. Hanya saja ia merasa ada yang berbeda dalam hidupnya. Sisa rasa lelah kemarin belum beranjak dari tubuhhya. Perasaan ibu semakin tidak karuan, entah apa yang membuatnya gelisah.

Saban hari ibu selalu memulai paginya dengan semangat dan senyuman yang cerah sebelum meninggalakn Rianto. Tetapi tidak dengan pagi ini. Usai memberi sarapan Rianto dan ayah, ibu lalu berpamitan pada Rianto untuk pergi ke kebun. Ayah selalu ikut bersama ibu di kebun. Tetapi setiap tiba di pertengahan hari usai makan siang, ayah akan beranjak ke hutan mengambil air nira yang telah tertampung.
Perasaan ibu tiba-tiba semakin memburuk seiring detakan jantung yang tidak wajar. Detakan jatung yang baru, tiba-tiba menghampirinya. Seperti ada yang mengintainya sepanjang perjalanan hinga bulu kuduknya berdiri sepanjang hari. Tiba-tiba ia teringat pada Rianto yang entah sedang apa siang itu. Ibu baru sadar ternyata semalam ia sempat berpesan pada Rianto agar kelak anak itu harus menjadi anak pintar, berbakti pada orang tua, bekerja keras, dan pantang menyerah selama masih mampu berjuang.

Entah apa yang tiba-tiba membuat ibu menyampaikan pesan-pasan itu pada Rianto. Hanya saja kata-kata yang ibu keluarkan bukan keluar tanpa alasan. Mungkin itu bagian dari rasa lelah dan ketakutan ibu saat itu. Ibu sempat berpikir, mungkin yang sedang mengintainya adalah malaikat maut hingga ia sempat berniat untuk pasrah kepada Tuhan karena segala kehidupan bermula pada-Nya dan berakhir pula pada-Nya.

Siang itu, ibu terisak seorang diri, menahan kepala yang tiba-tiba sakit dan tanpa ia ketahui entah apa penyebabnya. Tak ada soerang seorang pun yang berada ada di sana. Kebun tetangga juga sunyi tanpa penghuni. Hanya suara burung yang meriuh seakan mengerang, seakan merasakan penderitaan ibu.

Ibu semakin tak beradaya, mulai kehilangan kesadaran. Pandangannya semakin buram. Tubuhnya pun layu hingga perlahan ia berbaring ditempat ia bekerja. Perahan air matanya menetas tanpa ia sadari. Akhirnya matanya tertutup.

Sepanjang waktu dari siang menjelang malam tak ada yang tahu keadaan ibu. Isya telah usai, ayah belum tiba di rumah. Sementera, Rianto telah lama terisak seorang diri menanti Ibu yang tak kunjung tiba.

Ayah heran dengan serangkai peristiwa hari ini. Ia merasa ada yang aneh sepanjang hari. Tentang ibu, ia merasa ada yang mengganjal di satiap aktivitasnya. Tidak biasanya ayah memikirakan ibu sepanjang hari. Namun karena ia merasa sangat sibuk sehingga perasaan yang menghampirinya ia tepis begitu saja.

Waktu menunjuk pukul delapan sekian menit. Ibu juga belum pulang dari kebun. Ayah mengambil senter kemudian menggendong dan pergi menyusul ibu ke kebun. Setiba di kebun udara yang tadinya terasa dingin karena hembusan angin malam, hilang sekatika saat melewat pagar di dalam kebun.

Yang pertama ayah kunjungi adalah pondok tempat biasa mereka menjeda aktivitas, “Barangkali ibu kelelahan hingga tertidur di sana,” batinnya.

Tetapi di pondok itu, ibu tidak ada juga, Ayah berteriak memanggil ibu sembari menggendong Rianto mengelilingi kebun. Tepat di sebuah pohon, dari kejauhan tersorot sesuatu yang baru dilihat. Tiba-tiba seekor burung mengerang memecah hening malam dengan suara horor tepat di atas pohon itu.

Ayah semakin digelitik rasa penasaran sembari mendekti pohon itu. Sontak ia berlari ke bawah pohon itu saat melihat ibu terbujur kaku di temani keranjang yang biasa ia jinjing. Ayah menurunkan Rianto yang ia gendong lalu mengurus ibu yang tengah terbaring.

“Ayah, ibu kenapa?” tanya Rianto
“Ibu ketiduran, nak. Mungkin lelah sehari di kebun,” jawab ayah dengan suara gemeretak ketika melihat wajah pucat ibu yang terbujur kaku, tanpa sehalai napas.

Perlahan ayah menggendang ibu dan menyuruh Rianto memegang senter berjalan menuju pulang. Rianto sedikit hafal jalan pulang sebab beberapa hari menuggu lalu ibu mengajaknya ke kebun.

“Ayah, nanti malam ibu mau bercerita lagi, kan. Anto senang mendengar cerita Wandiu-diu.”
“Iya, nak ibu akan selalu bercerita untukmu,” dengan perasan hancur ia menjawab pertanyaan anaknya. Ia takut anaknya akan sakit saat mendengar ibunya telah tiada. Ayah berpikir selama pengurusan jenazah ibu, Rianto akan dititipkan kepada bibinya.

Sepanjang perjalanan Rianto bernyanyi:
“O…Wa ina
Wa ndiu-diu
Maipa susu andiku
Andiku La Mbata-bata
Akaku Wa Nturungkoleo ”

Di umur yang belia ia telah fasih menyanyikan lagu Wandiu-diu seperti yang diajarkan ibu saban malam menjelang tidur. Sembari menggendong ibu, ayah menjatuhkan air mata sepanjang perjalanan. Karena sibuk bekerja, mereka lupa untuk saling memberi perhatian.

Ayah baru ingat beberapa hari yang lalu ibu mengeluh sakit kepala. Ayah terpukul oleh penyesalan yang besar karena sibuk dengan pekerjaan, mereka lupa dengan kesehatan masing-masing.

“Anakku seandainya kamu tahu kalau ibumu telah tiada, mungkin kamu tidak akan selincah ini”.

Sekian

Kendari, 2020

RAHMAT ADIANTO lahir di Desa Lawela, Batauga, Buton Selatan. Ia kini sebagai mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Bahasa dan Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Halu Oleo. Tahun 2014 dua judul puisinya termuat dalam antologi bersama “Merindu Mentari di Bumi Anoa” terbitan Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara. Ia juga aktif sebagai anggota Sanggar Seni Fantastik Butuni sejak 2014 sampai sekarang. Mahasiswa berkulit sawo cukup matang ini, menjelang semester akhir dan sedang mengembangkan Channel YouTobe (Rahmat Adianto) yang berisi tentang kebudayaan, sastra, dan seni. Saat ini ia juga menjadi relawan-anggota Pustaka Kabanti Kendari.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler